Minggu, 06 Agustus 2017

Kuntilanak


Sudah 72 tahun Indonesia merdeka. Bahwa kemerdekaan itu bukan hasil gratisan, apalagi obralan, sudah tentu. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan, hasil pemberontakan, hasil perlawanan, hasil keengganan hidup dibawah cengkram penjajah. Portugis, VOC, Kerajaan Belanda, Inggris, dan Jepang adalah sekian orang-orang asing yang pernah singgah dan menjalankan penjajahan atau upaya penjajahan di tanah Nusantara. 

Berawal dari ketertarikan  pada sumber daya alam Nusantara, penjajah itu datang berwajah dagang. Semangat Gold, Glory, dan Gospel akhirnya menggiring Nusantara berada di bawah kaki kolonialisme. Belanda yang sekitar 350 tahun menjajah sebagian besar wilayah NKRI menapakkan jejaknya bahkan hingga kini. Selain peninggalan berupa benteng-benteng bekas zaman kolonial yang kini jadi objek wisata, sidik jari penjajahan ada dunia seni dan sastra, pada sistem hukum dan pemerintahan, dan yang terparah jejak kolonial itu terpatri dalam alam bawah sadar kolektif sebagian besar orang-orang Merah Putih.

Perasaan kecil dan rendah diri, inferior, subordinat, kelas dua, adalah sekalian hal yang bersarang dalam benak masayarakat post kolonial. Masyarakat post kolonial acap kali silau memandang ke Barat, rasa percaya diri yang rendah, dan lebih jauhnya kekacauan identitas. Kekacauan – atau setidaknya blur – identitas ini boleh jadi lantaran sudah terlampau banyak sejarah (yang tentu menyimpan rekam jejak biografi) tereduksi, atau dengan sengaja direduksi, dierosi demi kepentingan kekuasaan penjajahan. Dan  hebatnya budaya ini terus berlanjut pada “orde-orde” pasca kemerdekaan.

Cengkraman kuasa asing ini juga menyentuh wilayah metafisik Indonesia pasca kolonilisme. Visualisasi hantu sejatinya adalah proyeksi alam bawah sadar. Personalisasi ketakutan. Wujudnya tentu dipengaruhi pelbagai hal yang ada dalam alam bawah sadar subjek bersangkutan. Orang Mesir agak sulit merasa takut pada vampir Tiongkok yang nyata-nyata tak mereka kenal dalam budayanya. Begitupun masyarakat Siberia agaknya akan kebingungan bilamana musti berurusan dengan Palasik, Genderewo, Buto Ijo, atau Leak yang jelas jauh dari dunia bawah sadar kolektif mereka. Demikianlah, wujud hantu itu erat kaitannya dengan identitas lokal setempat yang sudah barang tentu erat pula kaitannya dengan sejarah daerah tersebut.

Berbagai macam hantu-hantu dikenal di Indonesia. Dan diantara sekian nama-nama yang sudah sedikit disebut di atas, kuntilanak adalah hantu nasional yang boleh jadi paling populer, selain pocong tentunya. Popularitasnya tak lepas dari mendiang aktris   Suzana dengan sekian lusin film-film bergenre horor-nya. Malam Satu Suro ialah salah satu yang legendaris. Sosok kuntilanak menjadi cukup humanis dan menempati sudut protagonis pada film produksi tahun 1988 ini. Melalui sosok Suketi ini, Suzana makin mengangkat popularitas kuntilanak. 

Tentang sejarah “kelahiran” kuntilanak sendiri, cukup banyak versi yang berkembang di masyarakat. Salah satu yang masyhur adalah kelahiran kuntilanak yang berkaitan dengan kota Pontianak, Kalimantan Barat. Alkisah, adalah Syarif Abdurrahman, seorang sultan pendidiri kesultanan Pontianak, sering diganggu kuntilanak ketika ia menyusuri sungai Kapuas. Kuntilanak sendiri diyakini sewujud mahluk gaib yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, namun anak dalam kandungannya belum sempat lahir. Untuk mengusir kuntilanak, ia lantas menembakkan meriam. Tempat jatuhnya meriam itu kemudian menjadi tempat pertama pendirian kesultanan. Tempat tersebut kini bernama Kampung Beting, yakni daerah persimpangan sungai Kapuas dan sungai Landak. 

Ada pula yang mengatakan bahwa kuntilanak ialah sebentuk hantu yang sengaja dipanggil seorang dukun yang berasal dari mayat perempuan. Hantu itu sengaja dipanggil guna mengganggu seorang sultan di wilayah Pontianak. Jika mendengar dongeng versi ini sambil membuka twitter atau membaca berita kekinian, maka akan terasa agak politis.

Versi lain mengatakan bahwa kuntilanak berasal dari daerah Jawa, yakni Alas Roban. Dahulu kala ada seorang perempuan Jawa yang diperkosa, dibunuh, kemudian mayatnya dibuang di Alas Roban. Rohnya gentayangan dan akan menteror para lelaki hidung belang. Dongeng ini agaknya terdengar lebih seperti Urban Legend. Dan masih banyak versi lainnya. 

Bagi masyarakat Jawa di beberapa daerah, kuntilanak diyakini sebagai hantu penculik bayi dan penganggu wanita hamil. Kuntilanak tidak akan mengganggu wanita hamil yang membawa paku, pisau, gunting, dan jarum. Demikian pula si bayi,  maka tak jarang ditemui benda-benda tersebut berada di dekat tempat tidur bayi. Itu semata-mata untuk melindungi si bayi dari kuntilanak.

Meski banyak perbedaan dalam asal usul kuntilanak, hal yang menyamakan ialah wujudnya. Kuntilanak ialah hantu perempuan berbaju putih berambut hitam terurai. Sebagian mengatakan ia memiliki punggung yang bolong karena ia mati saat hamil dan bayinya lahir dalam kubur. Ada pula yang membuat kategori baru untuk hantu jenis ini, yakni Sundel Bolong. 

Berambut hitam panjang terurai dan berbaju putih panjang seperti daster, itulah keseragaman kuntilanak pada semua versi.

Dan ihwal kuntilanak itu, bahwasanya wujud hantu populer Indonesia itu tak lepas dari pengaruh bangsa asing. Kuntilanak, hantu yang mencerminkan asimilasi lokal dan Barat. Hal ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan kuntilanak dalam beberapa variannya. Kuntilanak mengenakan semacam baju tidur, daster berwarna putih. Perempuan lokas pra kolonial tak mengenal pakaian ini sama sekali. Pakaian jenis ini jelas diperkenalkan oleh bangsa asing. Artinya kuntilanak “lahir” tentu setelah tibanya bangsa asing ke tanah Nusantara. Jika saja kuntilanak ialah produk asli Nusantara, mungkin ia harus mengenakan kebaya, batik, atau kain ulos, misalnya.

Tentang identitas masa lalunya (kalau kuntilanak dulunya ialah manusia), mungkin saja ia seorang noni (perempuan Indo) Belanda, atau bisa juga semacam gundik atau istri simpanan para pembesar VOC yang merupakan perempuan lokal. Ini nampak dari warna rambut kuntilanak yang hitam sedangkan perempuan Belanda identik memliki warna rambut pirang. Dan perempuan lokal jarang menggerai rambutnya bagai kuntilanak itu. Perempuan lokal tradisional, biasanya mengenakan hiasan rambut atau mengolah bentuk rambutnya sedemikian rupa, tak dibiarkan terurai begitu saja kecuali saat tertentu. Rambut hitam milik perempuan lokal sedang pakaian daster putih adalah pakaian tidur a la perempuan Eropa masa lampau. Kalau pun ia lahir pasca kemerdekaan, kuntilanak adalah tipe hantu perempuan yang kebarat-baratan.

Dalam urusan hantu saja jejak kolonialisme dapat terendus. Kuntilanak sudah kadung menjadi hantu yang popularitasnya boleh dibilang lebih menonjol dibanding hantu-hantu lain. Apakah ini bagian dari dampak mentalitas bawah sadar post-kolonial?

Tetang rival, tentu saja rival terberatnya ialah pocong. Soal pocong, agaknya ia juga patut dipertanyakan ke-Nusantaraan-nya. Pasalnya ia jelas mahluk hantu beragama Islam. Pemocongan jenazah adalah tuntunan ajaran agama Islam. Artinya di seluruh dunia, jenazah seorang muslim pastilah dipocong. Jadi sebenarnya pocong ialah hantu yang transnasional. Karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia maka popularitas pocong menjadi lebih kentara dibanding negara berpenduduk muslim lain di bumi ini. Rivalitas pocong dan kuntilanak ini pada hakekatnya ialah perang antara dua corak budaya yang jejaknya bisa ditelisik hingga ke negeri-negeri seberang.  

Lantas, siapa hantu pribumi itu?

Panjalu,
5 - 6 Agustus 2017

Sumber Gambar :
http://journalpsyche.org/tag/unconscious-mind/

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...