Kamis, 08 Desember 2022

Membaca Teks, Tekstur, dan Konteks Amara Rababu

 


Tidak mudah mengingat sejarah. Ia harus tepat sesuai fakta tapi juga berfungsi sebagai tontonan. Hal iniyang coba dilakukan Teater Dongkrak Tasikmalaya melalui pertunjukan Amara Rababu: Sejarah Peteng Galunggung pada Sabtu-Minggu, 3-4 Desember 2022 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya.

 

Drama berbahasa Sunda karya sastrawan Nazarudin Azhar ini mengisahkan perselingkuhan Putra Mahkota Kerajaan Galuh Rahyang Mandiminyak alias Amara dan kakak iparnya, Nay Pwahaci Rababu, istri dari Raja Resi Kabataraan Galunggung, Rahyang Sempak Waja.

 

Kisah ini kurang populer tapi bukan berarti asing. Ketika mengetik “Kerajaan Galuh” di mesin pencarian jagat data, laman wikipedia, misalnya, akan memuat juga cerita perselingkuhan ini meski tidak terlalu lengkap. Tapi, karena dinilai noda yang merugikan, bahkan di Kabupaten Ciamis sendiri yang notabene bekas ibu kota kerajaan Galuh (dan Sunda), kisah ini tidak sepopuler legenda Ciung Wanara atau kisah Perang Bubat yang heroik itu.

 

Teks ini boleh jadi drama modern pertama yang mengangkat kisah peteng Galuh-Galunggung. Dan Teater Dongkrak menjadi yang pertama mengenangnya.

 

Teks ke Tekstur

 

Sebagai sebuah karya sastra, teks ini akan diksi kuat bahasa Sunda yang puitik. Ini salah satu kekuatan Nazarudin Azhar yang juga bisa ditemukan dalam karya-karyanya yang lain. Oleh sebagian penggiat seni di Tasikmalaya, sastrawan yang juga seorang jurnalis ini dijuluki Shakespeare Tasikmalaya.

 

Dinikmati sebagai sastra, solilokui Amara yang puitik nan panjang dan beberapa repetisi makna akan “berlangsung” di luar dimensi waktu. Pembaca cenderung abai pada irama dan dinamika pertunjukan karena seluruh peristiwa berlangsung dalam imajinasi yang, tentu saja, punya hukum waktu sendiri.

 

Namun, lain halnya tatkala ia bertransformasi menjadi tekstur (pertunjukan).  Dinamika dan irama pemainan pada tekstur “berlangsung” dalam imajinasi sekaligus mengejawantah dalam ruang-waktu hic et nunc 'di sini dan sekarang'. Tekstur memiliki tempo, irama, dinamika, dan durasi yang  lebih nyata. Hal-hal ini yang rasanya agak kendor pada tekstur Amara Rababu besutan sutradara Tatang Pahat ini. Salah satu dampaknya, pada beberapa bagian waktu terasa berjalan lambat padahal struktur teks dan dramaturginya masih membuka kemungkinan untuk lebih dinamis.

 

Kecuali itu, beda antara satu peristiwa dengan peristiwa lain—dengan segala hal yang melekat padanya—terasa demikian tipis sehingga kadang menjadi bias. Karena tidak ada perubahan set (selain lampu panggung dan musik) dan panggung hanya tersusun dari undakan level serta komposisi bambu, maka penonton harus peka terhadap setiap perubahan detil peristiwa panggung, termasuk  menyimak tiap kata sebab ia jadi identitas peristiwa yang paling mudah dikenal.

 

Boleh jadi ini tantangan khas mentrasformasikan teks sejarah menjadi tekstur. Ada tarikan menarik yang kuat antara kepentingan menyampaikan informasi sejarah dengan referensi akurat di satu sisi dan menyuguhkan tontoan asyik yang imajinatif-dramatis di sisi lain.

 

Karena tidak semua peristiwa sejarah berlangsung dramatis, kesadaran kuat bahwa historiografi dan drama adalah dua hal yang berbeda bisa menjadi ruang negosiasi. Hal ini berlaku bagi kreator maupun apresiator agar komunikasi kesenian bisa terjalin di frekuensi yang sama.

 


Beruntung, beberapa aktor sebagai ujung tombak komunikasi lakon tampil prima. Wit Jabo Widianto memberi takaran yang cukup dan sesuai sebagai Sempak Waja. Dialek (lentong) pilihanya unik sehingga dédéngéeun di pendengaran penonton. Ia menang dengan tenang tanpa kehilangan marah dan sedih sebagaimana manusia lain.

 

Sementara, Kiki Kido Pauji (Amara/Mandiminyak) masih asik dengan gaya favotirnya: grand style. Pilihan ini cocok dengan lakon babad macam Amara Rababu, kendati bukan satu-satunya pilihan gaya akting. Sayangnya, ia dan teman mainnya, Ami Iteung (Rababu), seperti berada di frekuensi yang berbeda.   

 

Kecuali tiga tokoh utama itu, Kisem, Teguh, Komeng, Ahong, Saepul, Pongkir, Ucha, dan Qeis, bermain cukup baik walau beberapa di antaranya ada yang berlebihan dan ada juga yang kurang berdarah.

  

Teks ke Konteks

 

Galuh adalah sebuah kerajaan. Padanannya hari ini adalah negara. Dalam konteks ini, Mandiminyaklah yang paling mendekati sebagai representasi politisi. Ia calon raja, calon presiden walau rambutnya tidak putih dan tak ada kerutan di dahinya.

 

Sementara, Sempak Waja, walau saya tidak menemukan padanan pas fungsi dan jabatannya di dunia moderen, tetapi sikapnya adalah sikap negarawan sejati.

 

Tiga kali ia kecewa kepada adiknya. Pertama, karena selingkuh dengan istrinya. Kedua,  karena tak langsung mengaku dan malah habis-habisan bersilat tidah, persis politisi. Ketiga, ia kecewa sebab manusia macam ini—yang tidak jujur, gemar berbohong, tak punya wibawa, tukang rucah—yang akan menjadi pemimpin. Kekecewaannya yang ketiga yang paling berat sebab tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan negara.

 

Namun, karena Mandiminyak akhirnya meminta maaf dan mengaku salah, Sempak Waja justru turut memuluskan jalannya ke singgasana. Andai sang kakak menuruti nafsu amarah, boleh jadi Mandiminyak akan dicatat sebagai putra mahkota yang mati dibunuh kakak sendiri.  Atau dicopot karena tertangkap basah berlaku asusila. Tapi, semua itu tidak terjadi. Sempak Waja—anak tertua yang seharusnya menjadi raja—dengan bijak dan rendah hati memaafkan keduanya bahkan sebelum mereka  minta maaf, demi wibawa dan keberlangsungan negara.

 


Kendati begitu, di kemudian hari, sejarah mencatat terjadi perang saudara hebat antara keturunan Mandiminyak dan keturunan Sempak Waja. Peristiwa ini menjadi catatan kelam yang lain dari Kerjaan Galuh, catatan kelam yang bermula dari gagalnya calon penguasa menguasai dirinya sendiri.

 

Menyaksikan Amara Rababu di tahun-tahun politik seperti sekarang, banyak hal baik yang bisa dipetik dalam konteks etika politik. Tentu saja tidak semua. Penunjukan Mandiminyak sebagai suksesor jangan sampai terjadi hari ini. Apalagi pertimbangannya karena fisik atau keturunan. Mereka yang memimpin haruslah mereka yang memang pantas. Bukan dipantas-pantaskan. Apalagi terpaksa dipantaskan.   

 

32 Tahun Teater Dongkrak

 

Pertunjukan Amara Rababu yang digelar dua hari ini bukan sekadar gelar karya, melainkan perayaan 32 tahun Teater Dongkrak Tasikmalaya. Kelompok yang mengalami pasang surut cukup dramatis ini didirikan tepatnya pada 10 November 1990. Hanya saja, karena satu dan berbagai hal, perayaan tahun ini mundur ke 3 dan 4 Desember. Demikian disampaikan Wit Jabo Widiyanto.

 


Sayang, perayaan tahun ini terasa agak berbeda. Selain karena pasca pandemi, wajah-wajah baru nampak lebih dominan ketimbang yang lama. Hal ini tentu saja baik sebagai regenarasi. Namun, andai para sesepuh dan kerabat lain bisa hadir, tentu perayaan ulang tahun ke-32 ini akan lebih lengkap dan hangat.

 

Selamat Ulang Tahun Teater Dongkrak Tasikmalaya.

Semoga terus berkarya sebab vita bravis, ars longa!

Kamis, 17 November 2022

Behind The Stage Kalang Béntang (1): Asli atau Tidak Sama Sekali!

Jam sudah menunjukan pukul enam sore. Dua ratus lima puluh penari mulai berdatangan ke back stage lengkap dengan kostum dan make upPemusik sudah bersiap di tenda sarnafil, juga lengkap dengan baju dan senjata tempur mereka. Namun, hujan belum juga reda. Kami mulai disergap cemas dan khawatir.

 

Ebel, Kang Ayi, Ewo, dan saya yang nampaknya paling khawatir. Andai hujan tak kunjung berhenti, pertunjukan akan diiringi musik hasil rekaman. Pemusik bisa saja naik ke panggung untuk bermain “bohong-bohongan”, hal yang sebenarnya umum dalam dunia entertainment. Tapi, buat saya dan semua tim kreatif Kalang Béntang, itu sungguh asing dan tidak nyaman. Sebutlah kami orang purba yang tidak akrab dengan teknologi dan “tradisi” macam demikian. Tak apa. Bermain langsung di atas panggung, dengan segala resikonya, masih lebih nikmat ketimbang “bohongan”.

 

Waktu makin maju dan hujan masih saja betah membasahi Stadion Galuh Ciamis. Atas arahan Idang yang menjadi satelit Bapak-nya Deni Weje untuk soal mengikhtiari hujan, kami melingkar dan berdoa. Berkali-kali saya menanyakan prihal ikhtiar hujan ini padanya. Meminta kepastian di tengah cemas dan ketidakpastian. Ia meyakinkan hujan akan reda. Rasio keberhasilannya 70%-80%. Idan menjanjikan jam tujuh hujan mereda.

 

Kang Ayi, sang jendral musik nan militan juga sama risaunya. Ia bahkan berinisiatif untuk langsung menemui sang pengikhtiar. Telaahnya, hujan belum juga reda karena boleh jadi ada tabrakan frekuensi antara pengikhtiar satu dengan yang lain.

 


Jam tujuh berlalu. Langit nampak cerah tapi hujan masih belum menunjukan tanda mereda. Kami makin khawatir. Kendati berkurang, namun pihak Event Organizer (EO) enggan ambil resiko. Mereka membolehkan kami live hanya jika hujan benar-benar reda. Aduh.

 

Ebel dan saya punya pikiran yang sama: mengakses penguasa. Saya akan meminta bantuan Kasepuhan untuk meminta penguasa untuk meminta EO menangguhkan acara sampai hujan benar-benar reda agar pemusik kami bisa tampil “asli”. Begitu banyak “untuk meminta” sebab demikian political art. Saya sudah yakin rencana ini berhasil. Siapa berani membantah dawuh penguasa.

 

Berkali-kali Kasepuhan saya hubungi, berkali-kali pula ia tak mengangkat.  Jangankan sampai Bupati, sampai Sekretaris Dinas pun tidak. Gagal!

 

Karena saya harus bersiap membaca puisi “Kanjuruhan Adalah Kita” karya Toni Lesmana dan Wida Waridah, EO mempersilakan saya untuk bersiap di samping kanan panggung, di tenda MOH. Berangkatlah saya, meninggalkan kalut dan ketidakpastian di pasukan musik. Di tenda MOH, Dani Sinchan sedang sibuk di depan mixer sound. Ia adalah soundman sekaligus pemilik Rima Sound System, vendor sound untuk Opening Ceremony Pekan Olahraga Provinsi Jawa Barat (Porprov Jabar) ke-XIV tahun 2022. Tak berselang lama saya tiba di sana, Ewo, soundman kami yang baik hati dan teruji tahan dalam segala kondisi, nampak menghampiri pria asal Surabaya itu. Entah apa yang mereka percakapkan. Suara musik yang mendentum kencang menjadi hijab untuk saya menguping. Setelah mereka berdua selesai, saya menghampiri Ewo.

 


Dengan agak dramatis ia menceritakan inti percakapan mereka. Setengah memohon dan dengan bahasa yang menyentuh ia meminta Sinchan untuk mengizinkan pasukan musik kami, Gamelan Ki Pamanah Rasa Plus Plus, live performance. Sincan dan timnya siap asalkan Show Director (SD) Adzha Adamti memberinya waktu untuk cek kelistrikan lebih dulu. Semua alatnya basah diguyur hujan. Ia ingin memastikan tidak ada listrik nakal yang berpotensi membuat pertunjukan kacau.

 

Barangkali karena tak kunjung diberi jawab oleh Adzha, Stage Manager (SM) Deni—pihak EO yang paling bertanggungjawab di panggung—berlari menuju FOH menemui SD. Sejurus kemudian, saya melihatnya berlari ke arah kami, masih mengenakan jas hujan plastik warna hijau.

 

“Bisa,” katanya singkat. Sinchan dan timnya langsung menyerbu panggung, memeriksa semua peralatan dengan teliti dan memastikan semuanya aman. Seraya itu, Deni yang sempat bersitegang dengan Ebel di waktu GR, melepas jas hujannya.

 

“Kita harus optimis, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar. Saya kira kami sudah dalam frekuensi yang sama: hujan pasti reda.

 

Waktu agak terulur sebab ada kekacuan di tribun VIP. Mereka yang tidak seaharusnya berada di tempat para pembesar itu malah sudah duduk manis di sana. Alhamdulillah. Lumayan untuk memberi kesempatan mereka bekerja. Kekacauan yang membawa berkah.

 


Agak lama pasukan sound memeriksa. Menurut Ewo, Sinchan tipe orang yang sangat detil, wajar kalau pemeriksaan butuh waktu tidak sebentar. Berbarengan dengan mereka memeriksa, saya lihat Kang Ayi dan pasukan musiknya sudah bersiap di panggung. Tanpa sepengetahuan saya dan Ewo, ternyata Ebel memerintahkan pasukan naik panggung. Aduh. Bagaimana jika ternyata mereka tidak bisa live?

 

“Bisa, Mas?” tanya saya pada seorang kru sound yang hendak menuruni tangga.

 

“Aman!” katanya sambil mengangkat jempol.

 

Barangkali lebay, tapi sungguh saya hampir menitikan air mata. Baru kali itu acungan jempol seorang kru sound system terasa sangat berarti buat saya.


Bataléngsar, 17 Nopember 2022


Senin, 19 September 2022

Catatan Sebulan di Sebrang: Tentang Meronce Pahawang, sebuah Teater (yang inginnya) Pemberdayaan

Setelah sempat ragu, akhirnya saya putuskan berangkat. Isteri saya yang berulang kali dicari: carilah pengalaman. “Kami di sini akan baik-baik saja,” katanya, kira-kira.

 

Sebenarnya saya menggantikan  Adit Lakon, aktor teater yang kini melebarkan sayap ke layar kaca, untuk membersamai warga Desa Pulau Pahawang mengelar sebuah pertunjukan teater. Proyek ini ia dapat dari kawannya, Hijrah, seorang agen perjalanan yang gemar mencoba hal baru. Setelah bertahun-tahun Hijrah—bersama Hendi, Nurul, dan warga lainnya—mengadakan kegiatan seni di Pahawang dengan berbagai terobosan, tahun ini ia ingin mencoba menggelar pertunjukan teater dengan lebih terkonsep. Oleh karenanya, ia meminta bantuan Adit untuk mengonsep sekaligus menggarap.

 

Lahirlah Meronce Pahawang, semacam pendekatan teater pemberdayaan yang digagas Adit. Saya berangkat berbekal gagasan itu. Seperti judulnya, pertunjukan ini dirancang sebagai presentasi hasil “meronce" berbagai potensi dan masalah (lengkap dengan penyelesaian) yang ada di Pahawang. Pada dasarnya, aktor, sutradara, dan penulis naskahnya adalah mereka. Status saya sebagai fasilitator yang membantu mewujudkan apa yang ingin mereka sampaikan ke atas panggung. Dalam Teater Kaum Tertindas-nya Augusto Boal, istilah joker mungkin mendekati.  

Dari hasil pencarian informasi di internet, hal penting yang saya tahu tentang Pahawang adalah pariwisata. Ia adalah salah satu primadona pariwisata di Provinsi Lampung dengan andalan wisata bawah laut. Cantiknya terumbu karang bisa dengan mudah dilihat dari permukaan laut. Air lautnya jernih dengan ombak yang relatif tenang. 

 

Setibanya saya di Bakauheni, panitia yang menjemput langsung saya berondong macam-macam pertanyaan. Tentu saja, karena hal pertama yang harus saya lakukan adalah riset. Setelah mereka—Hijrah, Hendi, dan Nurul—bercerita, saya meruncingkan pertanyaan: dampak apa yang dinginkan panitia dari pertunjukan teater ini?

 

Teater pemberdayaan musti punya dampak langsung kepada para pelaku (aktor) dan, syukur-syukur, penonton. Setidaknya, itu yang saya yakini. Dampak yang paling dekat dan mendukung adalah kesadaran. Ya, mirip dengan apa yang digagas Bertolt Brecht bahwa alih-alih terbawa ke "dalam" mencapai katarsis, penonton diajak untuk menyadari bahwa apa yang mereka saksikan adalah “bohongan” sehingga muncul daya kritis atas apa yang tersaji di panggung. Daya kritis itu diharapkan akan menggungah kesadaran penoton akan rupa-rupa masalah yang ada di sekeliling mereka, yang beberapa di antaranya mereka saksikan di panggung.

 

Saya mengira prosesnya akan mirip dengan pendekatan Teater Kaum Terindas. Sebagai joker, harusnya saya netral dan punya akses yang cukup untuk melakukan metode ini. Misalnya, saya menemukan masalah, untuk kemudian menjadi bahan pertunjukan, langsung dari pemilik masalah yang nantinya juga akan menjadi aktor. Mereka yang nanti mempresentasikan masalah nelayan adalah nelayan asli dalam kehidupan, misalnya. Begitu inginnya.

 

Nyatanya, saya diperjumpakan dengan siswa-siswi SMP dan SMA yang sudah diproyeksikan panita sebagai “pemain teater”. Mereka tentu punya masalah yang boleh jadi menarik dipresentasikan. Tapi, tentu saja, masalah khas anak remaja.

 

Banyak hal yang membuat pelibatan masyarakat dalam proyek teater ini terkendala. Jangankan untuk menjadi pemain, dimintai bantuan menyediakan set dan properti yang badingkut (barang yang ada diangkut) pun, banyak sekali kendala yang mengadang.

 


Karena kendala Sumber Daya Manusia (SDM), akhirnya yang saya kerjakan adalah riset, identifikasi masalah pokok (plus pemecahannya), menyusunnya menjadi naskah, dan memanggungkannya bersama anak-anak remaja itu. Agak melenceng dari yang saya bayangkan di awal.

 

Proses penyusunan naskah tidak lepas dari pengaruh dan sudut pandang panitia sebagai “yang punya hajat”. Meski punya kuasa, teman-teman panitia masih perlu banyak pengalaman untuk mengelola kegiatan semacam ini. Hal ini pula yang cukup menjadi tantangan.

 

Di satu sisi, inginnya saya memantulkan apa yang saya serap selama riset dengan independen. Bahkan, saya pikir tidak perlu ada pemecahan masalah di panggung. Biarlah penonton—sang pemilik masalah—memungkas teater ini di rumah masing-masing dalam permenungan yang kritis.

 

Tapi, independensi itu ternyata musti negosiasi. Terlebih, ada tema yang diusung: jukung. Oleh seorang seniman dari Bandar Lampung yang tahun-tahun sebelumnya terlibat dalam kegiatan ini, panitia diberi saran agar mengangkat satu tema yang mengkerucut sekaligus mengikat semua tampilan seni yang akan tersaji pada Pahawang Culture Festival 2022, termasuk teater. Karena sudah terlanjur bergeser dari metode teater pemberdayaan dalam kepala saya, yo wis lah, saya ikut saja ide itu.

 

Riset yang saya agendakan satu minggu dan saya bayangkan akan diantar berkeliling ke sana-kemari untuk wawancara dan melihat ini-itu, hanya ada dalam angan-angan. Tapi, menyenangkan juga melakukan sesuatu yang melenceng dari rencana awal. Ada banyak respon dadakan karena melihat situasi dan perkembangan.

 

Awalnya saya tidak merencanakan pertunjukan Meronce Pahawang sebagai bentuk teater yang kental dengan anasir teater rakyat. Justru cenderung lebih “grande” dengan taburan ilusi visual. Akhirnya, karena semestanya belum berjodoh, saya membuat berbagai opsi bentuk pertunjukan. Dari yang asalnya melibatkan puluhan pemain sampai akhirnya sembilan orang saja yang selamat sampai hari H. Banyak hal berada di luar kemampuan saya untuk merespon dengan baik.

 


Sebetulnya, ceritanya sederhana. Enam orang pemain berperan sebagai warga Desa Pulau Pahawang, satu orang sebagai Dewi Pahawang, dan dua orang sebagai wisatawan. Enam orang warga ini menyimbolkan enam dusun yang ada di sana. Mereka juga mewakili tiga profesi tradisional utama: nelayan, petani, tukang bangunan, plus seorang pelajar.

 

Adegan pertama menggambarkan kali pertama mereka menginjakan kaki di Pulau Pahawang dan kelahiran keenam dusun. Selanjutnya adalah gambaran bagaimana  penduduk lokal mengandalkan jukung sebagai penunjang aktivitas. Lalu, dikisahkan seorang pelajar bernama Alim tenggelam karena perahunya dihantam badai ketika pulang sekolah. Ia tenggelam dan melihat indahnya dunia bawah laut Pahawang. Di sana ia bertemu dengan Dewi Pahawang, tokoh fiksi yang saya buat. Sang dewi memberi nasihat agar ia menjaga terumbu karang dan hutan mangrove.

 

Melihat indahnya terumbu karang, Alim terpikir untuk memberdayakannya menjadi  daya tarik wisata. Ramailah Pahawang. Pariwisata maju, tapi terjadi kecemburuan sosial. Sebagian masyarakat menilai hanya mereka yang bergerak di bisnis pariwisata saja yang menikmati hasil melimpah. Sementara mereka yang masih bertahan pada profesi tradisional, hidupnya kieu -kieu baé. Mereka juga menampilkan perubahan sikap sosial: semua kini jadi serba uang.

 

Adegan selanjutnya, dua pelaku wisata berkelahi akibat salah paham masalah uang. Di tengah perkelahian itu, Dewi Pahawang muncul dengan marah. Diobrak-abriknya penduduk Pahawang. Diberi mereka nasihat: “Zaman tak mungkin dielakan, tapi asal muasal jangan kalian lupakan”. Mendengar nasihat itu, mereka sadar dan membangun Pahawang bersama-sama dengan pariwisata sebagai roda penggerak utama.

 


Cerita itu sepenuhnya saya serap selama di sana. Berkali-kali saya sampaikan, saya hanya memantulkan. Dalam arti lain, saya berupaya menjaga independensi sebagai joker, meski tidak menggunakan pola-pola Boal.

 

Dalam kepala saya mula-mula, meronce adalah sinergitas potensi-potensi yang ada di sana, termasuk seni dan budaya. Inginnya saya memasukan segala hal tentang Pahawang, termasuk tradisi dan cerita/tokoh mitilogis. Sayangnya, hal demikian sukar saya temukan di sana. Sebagian besar masyarakat telah melupakan hal demikian. Pariwisata membawa serta modernitas yang salah satu tangannya, kadang kala, sengaja atau tidak mengubur masa lalu.

 

Tadinya, cerita itu ingin saya kemas dalam bentuk yang mengalir meski teksnya fragmentatif. Namun, banyak kendala yang menyebabkan hal itu urung terwujud. Bentuk reater rakyat (tradisi/Nusantara) akhirnya menjadi juru selamat. Ada lima fragmen yang dipenggal oleh penyebutan nomor adegan oleh pemain. Saya pun berupaya membuat komunikasi dua arah dengan penonton sebagaimana umumnya teater rakyat. Tapi, pemain belum siap. Mereka yang masih muda belia itu masih perlu jam terbang lebih untuk mengasah kemampuan improvisasi.   

 

Di panggung hanya ada satu jukung. Hanya itu saja yang statusnya sebagai set plus sebuah papan bertulisakan “I Love Pahawang” yang dimunculkan sebelum akhir pertunjukan sebagai penanda transformasi Pahawang menuju kawasan wisata. Selebihnya, pemain dibekali kain putih yang baru bisa kami gunakan H-2 setelah sekitar tiga minggu latihan efektif. Kain multifungsi, seperti gunungan dalam pagelaran wayang.  


Meski didera berbagai kendala, salah satu yang menguatkan saya adalah kesetiaan Aqbar, Haikal, Dani, Tari, Safira, Intan, Sherli, Nova, dan Bella melakoni proses. Dua nama terakhir sempat pundung gara-gara tidak mendapat porsi peran yang banyak. Tapi, akhirnya bertahan sampai akhir.

 

Meski anak-anak itu tinggal di sebuah pulau dengan keliling tidak lebih dari 18 kilo meter, tapi internet membuat mereka menjadi warga dunia. Sayangnya, kecepatan internet dan kecepatan pertumbuhan kesadaran literasi tidak berjalan seimbang. Ini kondisi umum di Indonesia. Technology ia just too fast,” kata Deddy Corbuzier dalam podcast-nya menyoal Bjorka.

 

Hal yang sama juga saya rasakan terjadi di bidang lain. Pahawang mengalami percepatan yang luar biasa, yang boleh jadi mengejutkan sebagain besar warganya, seiring berkembangnya bisnis pariwisata. Rumah-rumah panggung berganti tembok permanen lengkap dengan pendingin ruangan. Itu bukan bukan gaya, melainkan kebutuhan pariwisata: home stay.

 

Sebagaimana di kawasan wisata alam lain, sebagian tanah sudah bukan lagi milik penduduk lokal. Mereka menjualnya ke investor demi pengembangan pariwisata. Kini, sebagian besar warga berkerja di lingkaran ekosistem pariwisata: pemandu; penjaga/pengelola spot snorkeling/diving; jasa perahu; pengelola dan juru masak di home stay/vila/resort; dan lain sebagainya.  

 

Andai tidak terpatok pada jukung, saya ingin bicara banyak hal dengan lebih gamblang. Namun, tetap dalam koridor cermin: realitas panggung adalah realitas faktual-kreatif  sebagaimana mestinya. Bahkan, sekali lagi, tidak perlu ada kemestian di panggung. Biarlah teater dituntaskan di rumah masing-masing dalam sebuah permenungan kritis.

 

Berhasil atau Tidak?

 

Relatif sekali jawaban atas sukses atau tidak. Tergantung indikatornya. Harus saya akui bahwa pertunjukan berlangsung dengan tergopoh-gopoh. Kondisi penonton yang membludak dan tidak terkendali; banyak manajer panggung dadakan; protokol Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang bikin dongkol adalah beberapa penyebab eksternal yang membuat pertunjukan Meronce Pahawang lumayan amburadul dari segi teknis (yang sebenarnya cukup berdampak pada suasana dramatis).

 


Untungnya, pesan pertunjukan masih relatif terjaga sampai ke penonton. Mudah-mudahan demikian.

 

Saya senang menyaksikan anak-anak bermain teater usai melakoni proses yang mungkin bagi mereka cukup melelahkan, menjemukan, dan panjang. Mereka yang sama kali belum pernah menonton teater, asing pada teater, akhirnya berteater juga. Permainan mereka sebagai aktor (yang baru pertama menginjakan kaki di panggung) patut diacungi jempol. Meski di awal gugup dan banyak lupa, mereka mampu menyelesaikan latihan dengan “selamat” dalam kondisi didera kendala teknis yang belum pernah mereka temukan ketika latihan.   

 

Lalaku satu bulan di Desa Pulau Pahawang, Kecamatan Marga Punduh, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung selama Agustus 2022 adalah pengalaman luar biasa. Banyak hal yang berjejak pada diri saya, bahkan sampai saat ini.

 

Bravo Intan, Sherli, Tari, Safira, Haikal, Dani, Aqbar, Noval, Bella. Terima kasih kepada semua tema-teman yang telah membantu di panggung (Bang Sendy, Bang Diantori, Mas Cahyo, Bang Rohman, Alaexandro, Taufik, Wisnu, dan lain-lain) maupun di luar panggung (Pak Kades Salim, Bang Nurul, Hendi, Hijrah, Acil, Pak Kadus Kalangan, Pak Katimin, Pak Sugih, Mang Tafsir, Bunda Iyung, Rita, Asep, Bang Bogel, Bang Nas, Abah Sugiri, Bu Kadus Jelarangan, Uda Arif, Helda, Faisal, dan lain-lain).

 


Maaf, tidak bisa saya sebut satu per satu.

Terima kasih Pahawang.

Rabu, 15 Juni 2022

380: Ciamis Milik Semua (?)



Perayaan Hari Jadi ke-380 Kabupaten Ciamis yang dihelat sejak awal Juni 2022 berlangsung meriah. Hampir tiga minggu masyarakat Ciamis dihibur oleh berbagai tampilan kesenian. Tidak tanggung, setelah libur dua tahun langsung tiga panggung: Ngarak Pataka, Galuh Etnic Carnival (GEC), dan Galuh Digital Fest (GDF).

 

Seperti tahun-tahun lalu, GEC masih milik Alun-Alun Ciamis. Sebagai even baru, GDF memilih titik aman yang terukur: Alun-Alun Ciamis juga. Ini juga menjadi simbol persaingan abadi antara Dinas Pariwisata (Dispar) versus Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Disbudpora) dalam hal mengelola kegiatan kesenian.

 

Ketika dua panggung berpusat di kota, Ngarak Pataka memilih berbeda. Bersama Hari Krida Pertanian, ia hadir di lima titik eks kewadanaan: Pamarican (eks Kewadanaan Banjarsari), Rajadesa (eks Kewadaan Rancah), Lumbung (eks Kewadanaan Kawali), Sukamantri (eks Kewadanaan Panumbangan), dan Cikoneng (eks Kewadanaan Ciamis).

 

Seperti GDF, Ngarak Pataka juga anak baru dalam hajatan hari jadi. Selama lima hari, 4-8 Juni, pataka lambang Ciamis diajak berkeliling dan menginap di berbagai penjuru kabupaten Ciamis. Meramaikan tiap titik, malam harinya kesenian digelar: tari, baca puisi, musik, dan lawak (bobodoran). Mereka yang mengisi acara sudah dikontrak untuk lima titik, termasuk saya. Saya sendiri dikontrak sebagai—meminjam istilah Kang Godi—patakawan: pembawa/penari pataka.

 

Secara simbolik, perjalanan estafet pataka ini bisa dibaca: Ciamis milik semua. Bukan cuma milik Bupati, “orang kota”, atau kelas elit saja. Oleh karenanya, hajatan ulang tahunnya pun musti dirayakan dan dirasakan bersama oleh seluruh masyarakat Ciamis. Hal ini bahkan selalu disampaikan Bupati ketika pidato membuka acara.

 

Sebagai pelaku sekaligus penyaksi saya merasakan bagaimana simbol itu terus dipertebal, misalnya dengan narasi primordialistik baik berupa tuturan verbal maupun tagline. Hal ini positif untuk membangkitkan kembali gairah masyarakat Ciamis yang sempat lesu dihantam pandemi dua tahun lamanya.

 

Sebagai bentuk kemasan baru perayaan Hari Jadi Ciamis, Ngarak Pataka terbilang sukses menghibur masyarakat dan memuat pesan simbolik “Ciamis milik semua”. Sayangnya, barangkali karena baru kali pertama digelar, simbol dengan sedemikian rupa penebalan itu belum terejawantahkan utuh menjadi laku pemerintah sendiri, khususnya di ranah kesenian.

 

Menerjemahkan “Ciamis milik semua” dalam konteks kesenian hari jadi, paling sederhana: memfasilitasi sebanyak mungkin seniman untuk mempresentasikan karyanya. Salah satu yang saya sayangkan dalam roadshow kemarin adalah minimnya keterlibatan seniman lokal. Hanya Pamarican dan Sukamantri yang secara simbolik berhasil menjadikan Hari Jadi Ciamis milik mereka juga. Di Pamarican, hadirin terlibat aktif dalam lingkaran ronggeng, tari pergaulan kecintaan mereka. Di Sukamantri, Bebegig Sukamantri kebanggaan Ciamis turut serta meramaikan sajian bubuka berupa tari rampak kendang. Di tiga titik lainnya, tidak ada yang baru kecuali ruang dan waktu.

 

Saya tidak tahu bagaimana tata kelola kegiatan tersebut dan siapa yang punya kuasa mengakomodir keterlibatan seniman lokal? Yang saya tahu, Ngarak Pataka itu kerjanya Dispar dan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BP2D).

 

Soal mengakomodir seniman, dalam beberapa kali kegiatan, Dispar dan BP2D kerap berupaya ngadumaniskeun seniman lokal dan seniman “interlokal” yang telah berlabel selebritas. Demikian pula pada kesempatan ini. Dua pelawak-selebritas muda dijodohkan dengan seorang pelawak senior Ciamis. Sepintas lalu, dengan sama-sama berpredikat pelawak, akan mudah membuatnya harmonis. Nyatanya tidak demikian. Perlu racikan khusus untuk mengawinkan dua generasi dari dua horizon yang berbeda.

 

Hal ini sebentuk niat baik yang kurang cantik. Tanpa persiapan matang, pola kolaborasi semacam ini justru berpotensi “membunuh” salah satu pihak alih-alih saling menghidupkan.

 

Parahnya, pembunuhan itu benar-benar terjadi. Pelawak senior Ciamis yang telah mendedikasikan nyaris seluruh hidupnya untuk dunia bobodoran itu dicoret dari daftar tampil di titik terakhir roadshow-nya yang notabene dekat dengan kampung halamannya sendiri. Tersiar kabar, pencoretan itu atas perintah seorang pejabat eselon II. Alasannya, efisiensi waktu karena malam itu akan ada pidato tambahan dari seorang pejabat. Itu versi yang saya dengar.

 

Meski batal tampil, pelawak senior itu tetap datang ke lokasi karena memang tidak terlalu jauh dari kediamannya. Katanya, ingin nonton saja. Dengan busana dan riasan seperti hendak manggung, ia duduk di sisi panggung, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bedanya, malam itu ia hanya dipanggil naik ke panggung di penghujung tampilan duo pelawak-selebritas, mengucap salam, menyampaikan terima kasih kepada Bupati, dan kembali turun panggung.

 

Belum reda kasus pelawak senior itu jadi buah bibir, tragedi pencoretan terjadi lagi. Kali ini band anak-anak muda Ciamis yang dicoret dari daftar tampil GDF. Padahal, sebelumnya mereka telah masuk rancangan susunan acara. Saya tidak tahu apa alasan dibalik pencoretan ini dan siapa dalang dibaliknya.

 

Saya cukup kenal mereka, anak-anak muda Ciamis yang dicoret itu. Mereka anak muda yang tulus ingin melalukan kebaikan melalui kesenian, terutama di Ciamis. Kami pernah kerjasama dalam beberapa kesempatan jadi saya punya pengalaman empirik tentang kebaikan mereka.

 

Sebagai musisi, karya-karya mereka juga mumpuni. Mereka sudah tidak lagi meng-cover lagu orang lain ketika manggung, melainkan membawakan lagu ciptaan mereka sendiri yang kualitasnya berani diadu.

 

Soal batal manggung karena kendala dan halangan tak terelakan, itu sudah biasa. Tapi, batal manggung karena dicoret dari daftar penampil, rasanya tentu berbeda sebab bukan sesuatu yang biasa.

 

Bagi (sebagian) seniman, panggung pertunjukan bukan sekedar perkara lahan usaha mencari nafkah. Panggung adalah ruang ekspresi, kreasi, apresiasi, dan eksistensi. Bagi sebagian seniman lain, panggung bahkan adalah pengabdian, jalan hidup, dan altar ibadah. Dengan segala kompleksitasnya, persoalan “main coret sendiri” semacam ini berpotensi memicu keruh dan kisruh. Apalagi melibatkan pejabat plat merah yang seharusnya justru mengayomi.

 

Tindakan “main coret sendiri” semacam ini adalah sebentuk arogansi yang harus dilawan. Ini kesewenang-wenangan! Kasus ini memanaskan banyak hal yang selama ini tiis-tiis jahé. Dua pencoretan ini bukan yang pertama melibatkan pejabat plat merah. Dan kini kembali terulang di momen yang baik, di momen “Ciamis milik semua”.

 

Akar Arogansi

 

Sikap arogan pejabat semacam “main coret sendiri” bisa jadi memang tabiat pribadinya. Namun, tabiat buruk itu tidak akan terlalu berdampak manakala ekosistem kesenian Ciamis sehat.

 

Meski punya dua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), satu BP2D, plus satu Dewan Kebudayaan, yang secara langsung berurusan dan beririsan dengan kesenian, ekosistem kesenian di Ciamis tidak bisa dibilang baik-baik saja. Dengan banyaknya lembaga plat merah dan semi plat merah ditambah segudang seniman tradisional dan moderen, denyut kesenian di Ciamis seharusnya lebih baik dari kondisi hari ini.

 

Karena ekosistem belum terbangun, pemerintah dan seniman menjalin pola relasi yang tidak berimbang: pola hubungan bos penguasa anggaran dan penentu kebijakan (pemerintah) dan bawahan (seniman). Relasi kuasa semacam ini berpotensi besar melahirkan arogansi pihak penguasa.

 

Dalam posisi demikian, seniman menjadi subordinat terhadap pemerintah. Seniman menjadi pihak yang serba ditentukan, lemah, tidak punya independensi, dan daya tawar. Hal semacam ini makin parah andai pejabat bersangkutan seorang megalomaniak atau orang dengan mental politisi berkulit belut.

 

Tabiat arogan pejabat bisa dibendung dengan menciptakan ekosistem kesenian yang sehat. Salah satu cara yang paling sederhana adalah membangun pola relasi mitra satata alih-alih atasan-bawahan. Seniman dan pemerintah adalah mitra kerja yang sejajar, yang memiliki hak, kewajiban, posisi, porsi, dan batasan yang jelas dan proporsional. Dalam bentuk kelembagaan, gagasan ini umumnya tercermin dalam pola relasi ideal Dewan Kesenian (sebegai representasi seniman) dan pemerintah. Sayangnya, Ciamis tidak memiliki Dewan Kesenian. Dewan Kebudayaan Ciamis yang konon telah resmi ber-SK pun tak ubahnya bagai hantu: antara ada dan tiada.

 

Selain dipengaruhi relasi kuasa, sikap arogan juga merupakan cerminan bagaimana seseorang memandang seniman dan kesenian. Andai ia memandang seniman dan kesenian tidak hanya prihal komoditas, bisnis, cuan, dan PAD, barangkali sikapnya bisa lebih layak, wajar, dan sepatutnya. Ia tentu tidak akan terlalu gagap menafsirkan pesan Ngarak Pataka yang sangat humanis: Ciamis milik semua.

Selasa, 26 April 2022

Sepenggal Kenangan Wan “Kartosuwiryo” Orlet




Suatu ketika di tahun 2020 saya mendapat amanah menggarap pertunjukan biopik K.H. Khoer Affandy. Sebagaimana yang sudah diketahui banyak orang, ada salah satu fase hidup Uwa Ajengan yang mana beliau bersinggungan erat dengan S.M. Kartosuwiryo. Ya, tokoh Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).


Untuk peran-peran seperti Uwa Ajengan dan keluarga, saya minta khusus dimainkan oleh turunannya. Selain kemiripan fisik, yang menjadi alasan adalah the power of teureuh. “Méh teu kagok nyurupna,” canda saya agak serius kepada pihak pesantren.

 

Permintaan saya dipenuhi. Kecuali itu, satu lagi permintaan khusus saya adalah agar saya diperkenankan mendatangkan aktor khusus untuk memerankan S.M. Kartosuwiryo. Pihak pesantren tak keberatan akan hal itu.  

 

Sejak awal menyusun naskah, casting pertama yang sudah bulat dalam imajinasi saya:  Kartosuwiryo. Adakah yang lebih cocok memerankannya selain Kang Wawan Orlet?

 

Ketika keinginan saya itu saya sampaikan kepada tim kreatif, astrada (Kiki Kido Pauji) yang lebih tahu prihal kabar Kang Wawan memberitahu bahwa kesehatannya beliau kurang baik. Ia sudah tidak prima seperti dulu. Berjalan tak seberapa jauh sudah cukup membuatnya ngos-ngosan seraya tubuhnya banjir keringat. Ia mudah lelah. Nafasnya pendek-pendek pula.

 


Wah, pupus harapan saya mendapat kehormatan menyutradarai Kang Wan Orlet yang legendaris itu. Dia sering cerita, suatu saat ia pernah memerankan Kartosuwiryo dan bermain di hadapan para veteran. Konon, saking menjadi-nya, ia pernah dilempar sendal oleh penonton yang memang menyimpan dendam kesumat kepada tokoh sahabat Soekarno ini. Kisah itu lebih dari sekali ia ceritakan dengan nada canda dan bangga.

 

Cobaan wé heula atuh. Sugan kersaeun,” kata astrada. Melaluinya, kami menawarkan peran Kartosuwiryo, sekali lagi, kepada Kang Wawan.

 

Gembiranya saya ketika sosok kurus berambut putih tipis itu datang ke pesantren Miftahul Huda Manonjaya, tempat kami latihan. “Duh, Kang. Mapah ti payun ka dieu gé tos eungap ayeuna mah,” keluhnya ketika kali pertama latihan. Sebagai informasi, jarak dari tempat parkir mobil ke lokasi latihan sekitar 200 meter. Jarak yang secuil untuk seorang mantan pelari maraton sepeti Kang Wan Orlet. Seharusnya. Tapi, tubunya bukan lagi tubuh atlet seperti bertahun-tahun silam.

 

Selepas lulus SMEA, Moch. Wawan Rudiat—nama aslinya—adalah seorang atlet lari maraton dan tenis meja, salah satu yang pernah membanggakan Tasikmalaya. Kisah itu saya dengar langsung darinya ketika bulan Maret silam kami (saya, Kahfi, Pa Ab Asmarandana, Kang Usep, dan Kang Hendra), menengoknya. Waktu itu kami mengabarkan bahwa Ngaos Art baru saja rampung mementaskan Nuning Bacok, pentas amal yang kami dedikasikan khusus buatnya, untuk kedua kalinya.

 

Waktu itu pula Kang Wawan mengenang pertunjukan Hikayat Uwa Ajengan dua tahun silam.

 

Aslina, keueung abi mah, Kang.

 

Kunaon kitu, Kang?

 

Paur aya nu néwak.

 

Salah satu adegannya sebagai Kartosuwiryo waktu itu: membacakan utuh teks proklamasi Negara Islam Indonesia. Bendera dwiwarna bulan bintang tak ketinggalan sebagai identitas dan pembangun atmosfer pertunjukan. Meski selepas pentas banyak yang memuji permainannya, namun ia khawatir tragedi pelemparan sendal terulang lagi. Bahkan lebih dari itu. Namun, sampai tutup usia pada 23 April lalu, kekhawatirannya tetap menjadi kekhawatiran. Tak pernah ada lagi yang melemparinya sendal gara-gara perannya demikian meyakinkan. 


Sebagai Kartosuwiryo untuk kali kedua, tak banyak yang tahu nafasnya pendek-pendek. Tak banyak yang tahu tubuhnya telah tak seperti dulu. Tak banyak yang tahu ia mengorbankan banyak hal demi menjadiYang penonton tahu, ia adalah aktor yang baik dan total di panggung, santun kepada sesama dan semesta di "panggung". 


Ketika ia menceritakan hal itu, saya agak merasa bersalah sekaligus bangga. Saya merasa bersalah membuatnya dikungkung khawatir. Di lain sisi, saya bangga sebab ia masih mengenang kebersamaan kerja kreatif kami dua tahun lalu itu. Kebersamaan kami yang terakhir, ternyata.

 


Sebagai seorang aktor, berhasil meyakinkan penonton akan perannya adalah sebuah bahagia tak tepermanai. Kang Wawan Orlet pernah mengalami itu. Kini, Babak II dari lakon panjang hidupnya telah tuntas ia perankan dengan baik. Pada Babak-Babak selepas ini, yakinlah, ia akan mampu “bermain” dengan sangat baik di hadapan Sang Sutradara, Sang Maha Dari Segala Maha.

 

Saya bersaksi, Kang Wawan Orlet adalah orang baik.

 

Allahummagfirlahu.

Alfaatihah.     

 

 Keterangan gambar:

1. Kang Wawan Orlet ketika perform pada suatu acara di GKKT. 2010.

2. Kang Wawan Orlet di Solo pada acara Solo International Performing Art (SIPA). 2013

3. Kang Wawan Orlet pada Maret 2022, sebulan sebelum Pulang.

 

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...