Ebel, Kang Ayi, Ewo, dan saya yang nampaknya paling
khawatir. Andai hujan tak kunjung berhenti, pertunjukan akan diiringi musik
hasil rekaman. Pemusik bisa saja naik ke panggung untuk bermain
“bohong-bohongan”, hal yang sebenarnya umum dalam dunia entertainment. Tapi,
buat saya dan semua tim kreatif Kalang Béntang, itu sungguh asing dan tidak
nyaman. Sebutlah kami orang purba yang tidak akrab dengan teknologi dan
“tradisi” macam demikian. Tak apa. Bermain langsung di atas panggung, dengan
segala resikonya, masih lebih nikmat ketimbang “bohongan”.
Waktu makin maju dan hujan masih saja betah membasahi
Stadion Galuh Ciamis. Atas arahan Idang yang menjadi satelit Bapak-nya Deni
Weje untuk soal mengikhtiari hujan, kami melingkar dan berdoa. Berkali-kali
saya menanyakan prihal ikhtiar hujan ini padanya. Meminta kepastian di tengah
cemas dan ketidakpastian. Ia meyakinkan hujan akan reda. Rasio keberhasilannya
70%-80%. Idan menjanjikan jam tujuh hujan mereda.
Kang Ayi, sang jendral musik nan militan juga sama risaunya.
Ia bahkan berinisiatif untuk langsung menemui sang pengikhtiar. Telaahnya,
hujan belum juga reda karena boleh jadi ada tabrakan frekuensi antara
pengikhtiar satu dengan yang lain.
Jam tujuh berlalu. Langit nampak cerah tapi hujan masih belum
menunjukan tanda mereda. Kami makin khawatir. Kendati berkurang, namun pihak
Event Organizer (EO) enggan ambil resiko. Mereka membolehkan kami live hanya jika hujan benar-benar reda. Aduh.
Ebel dan saya punya pikiran yang sama: mengakses penguasa.
Saya akan meminta bantuan Kasepuhan untuk meminta penguasa untuk meminta EO
menangguhkan acara sampai hujan benar-benar reda agar pemusik kami bisa tampil
“asli”. Begitu banyak “untuk meminta” sebab demikian political art. Saya sudah yakin rencana ini berhasil. Siapa berani
membantah dawuh penguasa.
Berkali-kali Kasepuhan saya hubungi, berkali-kali pula ia
tak mengangkat. Jangankan sampai Bupati,
sampai Sekretaris Dinas pun tidak. Gagal!
Karena saya harus bersiap membaca puisi “Kanjuruhan Adalah
Kita” karya Toni Lesmana dan Wida Waridah, EO mempersilakan saya untuk bersiap
di samping kanan panggung, di tenda MOH. Berangkatlah saya, meninggalkan kalut
dan ketidakpastian di pasukan musik. Di tenda MOH, Dani Sinchan sedang sibuk di
depan mixer sound. Ia adalah soundman sekaligus pemilik Rima Sound
System, vendor sound untuk Opening Ceremony Pekan Olahraga Provinsi Jawa Barat (Porprov
Jabar) ke-XIV tahun 2022. Tak berselang lama saya tiba di sana, Ewo, soundman kami yang baik hati dan teruji
tahan dalam segala kondisi, nampak menghampiri pria asal Surabaya itu. Entah
apa yang mereka percakapkan. Suara musik yang mendentum kencang menjadi hijab
untuk saya menguping. Setelah mereka berdua selesai, saya menghampiri Ewo.
Dengan agak dramatis ia menceritakan inti percakapan mereka.
Setengah memohon dan dengan bahasa yang menyentuh ia meminta Sinchan untuk
mengizinkan pasukan musik kami, Gamelan Ki Pamanah Rasa Plus Plus, live performance. Sincan dan timnya siap
asalkan Show Director (SD) Adzha Adamti memberinya waktu untuk cek kelistrikan lebih
dulu. Semua alatnya basah diguyur hujan. Ia ingin memastikan tidak ada listrik
nakal yang berpotensi membuat pertunjukan kacau.
Barangkali karena tak kunjung diberi jawab oleh Adzha, Stage
Manager (SM) Deni—pihak EO yang paling bertanggungjawab di panggung—berlari
menuju FOH menemui SD. Sejurus kemudian, saya melihatnya berlari ke arah kami,
masih mengenakan jas hujan plastik warna hijau.
“Bisa,” katanya singkat. Sinchan dan timnya langsung
menyerbu panggung, memeriksa semua peralatan dengan teliti dan memastikan
semuanya aman. Seraya itu, Deni yang sempat bersitegang dengan Ebel di waktu
GR, melepas jas hujannya.
“Kita harus optimis, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar.
Saya kira kami sudah dalam frekuensi yang sama: hujan pasti reda.
Waktu agak terulur sebab ada kekacuan di tribun VIP. Mereka
yang tidak seaharusnya berada di tempat para pembesar itu malah sudah duduk
manis di sana. Alhamdulillah. Lumayan untuk memberi kesempatan mereka bekerja.
Kekacauan yang membawa berkah.
Agak lama pasukan sound
memeriksa. Menurut Ewo, Sinchan tipe orang yang sangat detil, wajar kalau
pemeriksaan butuh waktu tidak sebentar. Berbarengan dengan mereka memeriksa,
saya lihat Kang Ayi dan pasukan musiknya sudah bersiap di panggung. Tanpa
sepengetahuan saya dan Ewo, ternyata Ebel memerintahkan pasukan naik panggung. Aduh.
Bagaimana jika ternyata mereka tidak bisa live?
“Bisa, Mas?” tanya saya pada seorang kru sound yang hendak
menuruni tangga.
“Aman!” katanya sambil mengangkat jempol.
Barangkali lebay, tapi sungguh saya hampir menitikan air
mata. Baru kali itu acungan jempol seorang kru sound system terasa sangat berarti buat saya.
Bataléngsar, 17
Nopember 2022
Mantap, ang. Saya jg ikut berdebar menunggu pertunjukan dimulai, meski hanya nonton daring (sebab tiket ludes).
BalasHapusDi setiap pertunjukan, di belakangnya pasti ada proses yang "manis pedas gurih" untuk mencapainya. Lanjutkan brother! 😁👍