Jumat, 27 Desember 2019

Liburan Sang Aktor

 

Desember adalah bulan liburan. Tiap kali bulan ke-12 ini menjelang usai, tempat berlibur ramai diserbu orang-orang, yang penat dengan rutinitas. Keseharian memang sering kali membosankan. Dari bangun tidur sampai mata memejam, tiap hari dilalui begitu-begitu saja. Apalagi pekerja kantoran dan anak sekolah. Demikian juga mahasiswa, kalau sekedar kejar gelar. Sungguh menjemukan!

Liburan bisa dilakoni dengan bermacam cara. Ada yang pergi ke pantai, ke gunung, ke tempat yang jauh. Nonton ke bioskop atau bermain ke tempat rekreasi. Atau sekedar berkunjung ke rumah sanak saudara. Atau di rumah saja, bermalas-malasan.

Orang kota datang ke kampung, melihat sawah, kebun, alam nan purba. Orang kampung datang ke kota, melihat mall, gedung-gedung bertingkat, dan sekian pencapaian peradaban. Orang-orang mencari apa yang tidak mereka dapat dan temukan di keseharian. Sesuatu yang baru. Kadang yang asing. Kadang yang aneh, yang tidak biasa,

Demi itu semua, demi “mengalami” yang tak biasa itu, orang-orang bersedia mengeluarkan biaya besar: beli tiket bus, kereta, pesawat, atau kapal laut; atau membeli bensin buat perjalanan ke suatu tempat nan jauh; menginap di hotel, masuk wahana rekreasi, makan di restoran; membeli oleh-oleh, dan lain sebagainya.

Sepulang liburan, kembali ke rutinitas. Kembali menghadapi masalah, dan liburan tidak berdampak apa-apa selain menguras tabungan. Ah, sayang sekali jika liburan sekedar memindahkan tubuh (organisme) dari satu tempat ke tempat lain, dari satu situasi ke situasi yang lain sementara segala “aku” yang kompleks itu tidak turut serta, masih tinggal di tempat kerja, di sekolah, di kampus. Aduh!

Sejatinya liburan memberi dampak positif. Usai liburan, pengalaman dari situasi yang tak biasa itu bagusnya membawa pengaruh untuk peningkatan kualias diri. Liburan macam ini bisa terjadi kalau segala totalitas “aku” terlibat: tubuh, pikiran, emosi, perasaan, dll.  

Salah satu bentuk liburan adalah bermain peran. Ya, akting.

Bermain peran juga liburan sebab si pemain peran (aktor) dituntut untuk secara total berlibur, melancongkan dirinya ke diri yang lain. Dari situasi kesehariannya yang “biasa” ke situasi tokoh yang “luar biasa” (maksudnya di luar kebiasaan). “Aku” yang sehari-hari begini harus menjadi begitu, sesuai dengan tuntutan peran. Aktor harus mau pergi (sementara) ke tubuh, pikiran, dan emosi si tokoh. Singkatnya, aktor harus melancong, berlibur ke kehidupan si tokoh, lengkap dengan segala kompleksitas ke-manusia-annya.

Dalam pendekatan akting realis, akting itu utamanya harus mampu membuat penonton yakin bahwa yang mereka tonton adalah demikian adanya, adalah sungguh seperti yang dikisahkan. Ketika dikisahkan A adalah seorang petani tua yang licik, yang mengakali sistem irigasi agar sawahnya paling banyak mendapat air, maka si aktor pemeran tokoh A musti mampu meyakinkan penonton bahwa ia benar-benar A. Tubuh, pikiran, emosi, dan segala ke-diri-an aktor harus menjadi petani, tua, dan licik.

Namun, jangan dibiarkan terlampau larut. Jika demikian, namanya kesurupan, bukan akting. Akting membutuhkan kesadaran. Akting berada dalam tegangan antara “aku” dan “aku” yang lain, antara “Aku” dan “Aku-Liyan”. Siapa aku siapa liyan, sungguh bisa berbalik posisi. Ketika memainkan peran, maka “Aku” aktor menjadi liyan bagi “Aku” tokoh, demikian sebaliknya. Aktor, dalam pendekatan akting realis, musti mampu berlaku demikian. Bermain dalam tegangan dengan sadar, rileks, total, dan meyakinkan sekaligus.

Ini merupakan sejenis liburan sebab pergi ke situasi yang tak biasa. Malah boleh jadi bermain peran adalah sejatinya liburan sebab melibatkan segenap ke-manusia-an secara total.    

Kalau liburan menghendaki dampak positif setelahnya, bagaimana dengan seni peran ini? Seturut dengan liburan yang dipahami khalayak, yang diharapkan membawa dampak positif itu, demikian pula akting. Seni peran ini janganlah tamat usai lampu panggung padam saja. Akting ini jangalah usai bersama riuh tepuk tangan penonton selesai juga. Bagi sang aktor, akting ini sejatinya justru berdampak positif bagi kehidupan kesehariannya.

Setelah sang aktor liburan ke tubuh, ke pikiran, ke emosi, ke situasi liyan yang lain itu, ia akan kembali “menjadi Aku”. “Aku” dengan kualitas yang lebih baik tentunya.

Bagaimana liburan itu bisa membawa dampak positif? Usai meninggalkan “Aku” sedemikian waktu, jika benar-benar secara total memasuki “Aku-Liyan” itu, tentu ada satu dua hal yang bisa dibawa pulang.

Totalitas menjadi “Aku-Liyan“ akan mengakibatkan lahirnya pengalaman. Nah, pengalaman sebagai “Aku-Liyan” ini adalah “oleh-oleh” berharga yang bisa memperkaya pengalaman batin dan intelektualitas aktor. Bahwa mungkin spiritualitas. Hal ini bila disadari dan dikelola dengan tepat bisa berdampak positif bagi kualitas diri sang aktor.  

Pengalaman yang diperoleh bukan hanya ketika bermain sebagai tokoh, namun terutama sekali ketika proses menjadi tokoh itu sendiri. Proses latihan sejatinya ruang belajar, ngaji. Ini yang penting. Liburan yang sebenarnya bukan di atas panggung, disoroti lampu dan ditepuki penonton. Justru ketika proses “menjadi aku” itulah liburan sang aktor sebenarnya.

Makin banyak “Aku-Liyan” yang dikunjungi, yang dilancongi, makin banyak pula “oleh-oleh” yang bisa dibawa pulang, buat menyusun dan memperkaya “aku” agar kelak menjadi “Aku-Otentik”.

“Aku-Otentik” tentu tidak mudah. Gelas harus kosong agar bisa diisi air. Demikian pula aktor, harus mampu menjadi “kosong” agar “berisi”. Terlalu penuh juga tidak baik, nanti luber. Seperti  gelas kosong yang diisi terlalu banyak air, kan akhirnya luber tak karuan. Jam terbang itu penting, tapi frekuensi juga harus diperhatikan. Musti ada jeda antara liburan satu ke liburan yang lain. Kalau tanpa jeda sama sekali, seperti pemain peran sineton atau FTV, atau beberapa pemain peran film, bukan “oleh-oleh” yang diperoleh, namun hanya rasa lelah.

Alih-alih berlibur, seni peran justru jadi pekerjaan yang menjemukan meski berganti-ganti peran. Aktingnya pun jadi garing, cangkang saja. Lihat saja pemain sinetron kejar tayang itu! Yang aktingnya bukan saja tidak meyakinkan, namun cenderung dipaksakan. Menjemukan!

Mungpung masih Desember, masih musim liburan, berliburlah agar tidak jemu dan menjadi orang yang menjemukan. Selamat liburan!


Panjalu, 27 Desember 2019

(foto ilustrasi: "Kopi Terbalik Di Pantai Pangandaran". Dokumentasi pribadi)

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...