Minggu, 29 Mei 2016

Mabuk Tari

MABUKTARI

+   A, di sanggar?
Muhun. Kumaha manawi?
+   Bade latihan tari.
Mangga. Kanggo naon manawi?
+   Kanggo ujian.
......................

Kira-kira itu isi esemes saya dengan seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan PGMI di sebuah universitas swasta di kota saya. Saya tinggal dan bergiat di sanggar seni tari tradisional di sebuah kota kecil. Orang-orang sering datang ke sanggar kami untuk belajar menari. Mereka ingin belajar menari rata-rata anak sekolah atau mahasiswa. Biasanya untuk kepentingan ujian mata pelajaran/kuliah seni. Hampir tidak ada orang yang datang ke sanggar kami dengan tujuan ingin bisa menari karena ingin atau karena kecintaannya pada kesenian. Maklum saja, saya tinggal di kota kecil yang tanggung. Belum terlalu siap dengan modernitas yang utuh. Tidak juga mau mengakar pada local wisdom. Nanggung. Penampakan kota yang sudah disentuh modernitas di sana sini tidak diimbangi dengan pola pikir yang modern. Pola pikirnya masih cenderung ngampung. Modernitasnya masih cangkang di satu sisi, sisi lain justru kini sedang menggencarnya gerakan cinta budaya lokal. Sayangnya itu pun masih cangkang. Masih baju saja atau aksesoris.
Wah, malah melenceng membahas kota tempat saya tinggal, padahal maksud saya ingin membicarakan tentang tari, khususnya yang terjadi di sanggar tempat saya bergiat.
Baru-baru kemarin ada sekelompok mahasiswa yang datang ke sanggar minta untuk dibuatkan dan dilatih tari guna kepentingan ujian mata kuliah kesenian. Anggotanya ada enam orang, perempuan semua. Latihan setiap hari selama lebih kurang seminggu. Sangat mepet dan sangat tidak ideal jika berpikir kualitas. Namun karena ini hanya untuk nilai ujian saja, mereka pun agaknya tak terlalu berpikir ke arah sana. Latihan pertama sampai terakhir, saya memperhatikan perkembangan mereka. Kualitas gerak, koreografi juga psikis mereka.
Ada satu orang diantara mereka yang pernah aktif menari semasa esem-a. Yang lain saya kira tidak. Tampak jelas perbedaannya antara yang pernah menari dengan yang sama sekali baru kali itu menari. Tubuhnya jelas kaku. Koordinasi tubuhnya tidak bekerja dengan baik. Hafalan koreografinya lemah. Daya musikalitasnya pun buruk. Seraca psikis, saya perhatikan semangat mereka latihan memang berbeda-beda satu dengan yang lain. Ada yang semangat meski ia sering salah. Ada pula yang kurang semangat dan ia selalu juga salah.
Namun yang menjadi menarik, saat menuju usai, saat semua koreografi untuk kepenentingan tari komposisi ini sudah disusun, pola lantai, musik, bahkan kostum telah digarap, ada sesuatu yang saya kira mereka pun tak menyadari. Saya perhatikan, di saat akhir itu, mereka seakan lupa bahwa mereka latihan menari adalah untuk ujian. Tidak ada sama sekali bebena ujian akaemik di mata mereka. Mereka seolah melupakannya atau terlupakan barangkali. Yang saya lihat hanya kegembiraan, kepuasan, kenikmatan menari. Ini menjadi sangat nampak karena hal ini tidak muncul di awal-awal latihan. Latihan pertama sampai ketiga saya masih melihat beban ujian di mata mereka yang kian kemari kian pudar kemudian tergantikan oleh beban pementasan yang sama sekali lain dengan beban ujian yang orientasinya nilai kuantitatif. Mereka terlena, terhanyut dalam atmosfer proses seni pertunjukan. Mereka mabuk.
Saya mencoba mengingat kembali ke belakang pada saat ada kelompok serupa yang latihan di sanggar kami. Maksudnya sekelompok siswa atau mahasiswa yang datang ke sanggar minta dilatih tari untuk tujuan ujian akademik. Mereka yang datang ke sanggar kami tidak ada yang kuliah di jurusan kesenian karena memang kampus-kampus yang ada di kota saya tidak memiliki jurusan itu. Biasanya mahasiswa yang datang ialah mereka yang kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PG-SD) atau PG-MI (Madrasah Ibtidaiyah), Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PG-TK) atau Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD). Di jurusan-jurusan itu memang ada mata kuliah kesenian yang terkadang pada ujiannya harus mementaskan sebuah tarian, biasanya berkelompok. Yang coba saya ingat ialah ternyata fenomena mabuk tari ini terjadi pada hampir semua kelompok siswa/mahasiswa. Pada akhir-akhir proses latihan, orientasi mereka seolah berubah dari yang awalnya (sebatas) ujian kemudian menjadi pementasan.
Ini yang menarik bagi saya. Bagaimana proses berkesenian bisa mengubah sesuatu bahkan niat sekalipun ketika itu dijalani dengan sungguh-sungguh. Tari, teater dan musik sebagai genre seni yang konon tergolong seni kolektif ini memang mengandung banyak keajaiban, khususnya ketika proses penggarapannya. Barangkali sebetulnya ini bukan ajaib dalam arti irasional atau gaib. Sebenarnya, saya kira ini bisa saja dijelaskan secara psikologis.
Tiap kepala jelas pasti berbeda. Beda segalanya : karakter, pikiran, perasaan, kemampuan dan sebagainya. Kalau pun ada kesamaan, tidak mungkin sama seratus persen. Biarpun pada awalnya mereka yang terlibat dalam satu tim pementasan itu punya visi yang sama, tapi pada praktiknya pasti berbenturan dengan berbagai hal. Sebut saja misalnya benturan yang terjadi antar individu itu sendiri. Atau bahkan benturan intra individu, dia dengan dirinya sendiri. Benturan keseluruhan kelompok itu dengan kelompok lain, misalnya. Dan banyak lagi. Banyaknya benturan yang terjadi tidak akan mengubah visi jika memang semua sudah sepakat dengan visi bersama yang sebelumnya telah ditetapkan. Justru inilah yang biasanya menjadi sumber benturan.
Sebut saya visi itu adalah tujuan utama. Visi itu pengikat sekian kepala yang terlibat. Katakan misalnya tujuan mereka adalah pentas tari untuk kepentingan ujian yang hasil akhirnya pasti nilai dalam wujud angka atau huruf tertentu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sekelompok orang ini musti melewati sebuah jalan. Dalam proses berkesenian, salah satu bagian jalan tersebut ialah latihan. Latihan tari. Berbicara latihan tari, banyak aspek yang akan terlibat. Kesenian adalah ciptaan manusia. Dalam tari, manusia sebagai pencipta sekaligus media sebab media utama tari adalah tubuh. Artinya latihan tari sangat berkaitan dengan manusia. Maka berbicara latihan tari pasti berbicara manusia : kelenturan, kekuatan, stamina, kecerdasan koordinasi tubuh, daya tangkap, daya ingat, dan lain-lain. Sekelompok orang ini pasti berbeda-beda dalam hal kelenturan, kekuatan dan lainnya. Di atas segala perbedaan itulah mereka musti mewujudkan visinya, tujuannya.
Dalam praktiknya, banyak saya temukan bahwa ada satu dua orang dalam kelompok tersebut yang mendominasi. Maksudnya ada saja satu dua orang yang dijadikan pemimpin atau dia menjadikan dirinya pemimpin. Biasanya sosok pemimpin adalah orang yang dianggap  terbaik dalam menari diantara mereka. Ketika awal latihan, seperti yang sudah saya kemukakan, mereka masih terpatok pada tujuan awal, ujian. Pembicaraan mereka masih seputar ujian. Namun kian kemari, ketika mereka mulai merasakan atmosfer latihan, atmosfer proses, lambat laun topik mereka beralih pada pemetasan, pada kesenian itu sendiri. Ini barangkali karena atmosfer latihan itu sendiri yang mempengaruhi mereka.
Sekelompok orang yang bukan penari, belajar menari dalam waktu singkat untuk kepentingan ujian akademik. Bisa dibayangkan bagaimana proses yang musti dilalui. Tubuh harus dalam seketika menjadi tubuh tari. Belum lagi jika tari yang disajikan berupa tari rampak yang kekompakan gerak adalah menjadi mutlak. Mereka yang bukan penari akan cukup kesulitan melakukan ini. Tapi sesulit apa pun ini harus mereka tempuh demi sebuah pertunjukan tari yang memuaskan setidaknya bagi mereka sendiri. Untuk mencapai kepuasan tersebut, mereka musti berusaha keras menyesuaikan diri dengan tari. Bagaimana mereka berusaha menyesuaikan diri dengan koreografi, dengan pola lantai, dengan musik, dengan properti inlah barangkali yang mengalihkan pikiran mereka dari awalnya pikiran ujian ke pikiran pertunjukan.
Dan ketika mereka mencapai klimaksnya, saya melihat wajah kepuasan. Bukan kepuasan karena telah melaksanakan ujian, tapi kepuasaan batin usai pementasan.


Sabtu, 28 Mei 2016

Ke-hadir-an Cinta



Ke-hadir-an Cinta

Hasil gambar untuk love 
 
Sejak sekitar tiga hari terakhir Saya dan seorang kawan, Salim (bukan nama sebenarnya), berdiskusi santai. Kami membicarakan banyak hal dan yang terutama sekali, yang agak jarang kami bicarakan, hal cinta. Ini bukan diskusi yang ujug-ujug, yang tanpa kausalitas. Saya tergelitik menyoal seorang teman perempuan kami yang sedang dirundung asmara bahkan berniat serius menyempurnakannya hingga pernikahan (jika pernikahan dipandang suatu penyempurnaan asmara).
Ini sebenarnya obrolan iseng, bisa saja tidak penting sama sekali, pada awalnya. Kami sekedar bergosip, menggosipkan kawan yang menghadapi pernikahan. Obrolan  yang sangat umum dan biasa. Membicarakan sikap lahir batin yang dapat kami tangkap dari kawan perempuan itu, sebut saja Sophia (bukan nama sebenarnya). Sikap yang eksplisit, yang Ia katakan langsung atau sikap implisit yang merupakan hasil penafsiran Saya dan Salim. Bukan hanya Sophia, penafsiran pun kami lakukan atas sikap lahir batin dari calon suaminya, sebut saja Rama (bukan nama sebenarnya).
 Kisah asmara Sophia dan Rama sebenarnya biasa-biasa saja, tidak yang unik. Saya sering mendengar kisah asmara yang serupa ini bahkan  yang lebih dramatis pun pernah Saya dengar. Singkat kisahnya begini, Sophia dalam waktu dekat berencana menikah dengan Rama. Sophia seorang perempuan dari keluarga sederhana. Ia punya seorang kakak perempuan yang belum menikah. Rama, seorang duda beranak satu. Berasal dari keluarga sederhana pula. Ayah Rama seorang seniman dan ini mewaris pada Rama meski dalam bidang seni yang berbeda. Rama dan Sophia sudah pacaran selama lebih kurang dua tahun. Keluarga Rama sudah sangat mempercayakan Sophia sebagai istri Rama, namun sebaliknya, kedua orang tua Sophia kurang sreg jika putri mereka musti menikahi seorang duda. Juga persoalan melangkahi kakak perempuannya yang hingga kini masih lajang. Sederhana dan umum sekali. Tidak ada masalah ekstrem yang mengerikan, sekilas tidak ada yang ramai untuk dijadikan bahan pemikiran. Memang jika dipandang sepintas lalu, kisah ini sangat umum dan kurang menarik jika dibadingkan perikahan beda agama atau perikahan sesama jenis, atau serupa kisah Romeo And Juliet yang legendaris itu, cinta dengan jargon “true love never ending because true love never end”, dengan akhir kematian sepasang kekasih itu. Satu sisi kisah ini boleh dibilang menggambarkan keagungan cinta tapi satu sisi bisa dibilang pula kisah ini tak lebih dari kekonyolan anak muda yang tak punya pandangan futuristik, kekonyolan asmara, sangat irasional (sebab cinta barangkali irasional).
Tapi pembicaraan Saya dan Salim itu menjadi serius ketika kami melakukan penalaran dengan metode induksi, dari hal khusus-khusus menarik simpulan yang bersifat umum. Kami mengabstraksi kisah Sophia dan Rama. Keisengan ini berawal dari sikap Sophia yang siap tapi tak siap untuk menaiki bahtera rumah tangga, melauti samodra realitas yang serba tak pasti ini. Saya kira, itu sikap yang wajar bagi perempuan seperti Sophia. Perempuan petualang, perempuan yang tampilan luarnya cederung maskulin, perempuan  yang mengidentifikasi dirinya sendiri agak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Perempuan yang punya hasrat berkesenian yang tinggi. Ia masih ingin ini itu dan banyak sekali. Sedang pada satu sisi Ia, katanya, ingin menikah dan agaknya dorongan itu kuat sekali, entah mengapa. Saya membaca dorongan itu bukan tanpa sebab. Banyak kemungkinan. Boleh jadi karena trauma. Setahu Saya, dulu Ia penah sempat akan menikah namun kandas tak jelas. Atau boleh jadi dorongan itu disebabkan karena hasrat seks yang tinggi. Atau boleh jadi Ia ingin segera dihidupi secara materi, Ia butuh seseorang yang menghidupi serta bertanggungjawab atas hidupnya secara materi. Selalu banyak kemungkinan bagi manusia sebab manusia adalah mahluk segala kemungkinan. Tiap kenyataan menyodorkan kemungkinan tapi tak semua kemungkinan menjadi kenyataan, begitu kata Dewi Naganingrum, salah satu tokoh dalam lakon Sang Manarah karya Noer JM.
Rama yang duda beranak satu pun agaknya punya dualisme sikap yang sepintas tampak paradoks. Satu sisi keinginannya untuk menikah dengan Sophia sangat tinggi namun tiap kali Sophia meminta mengundurkan jadwal pernikahannya atas alasan Ia masih ingin ini itu, Rama mengiyakan dengan senyuman. Rama pernah berkata pada Saya dengan retoris “Bukankah cinta itu membebaskan?”. Oh, mulia sekali. Namun meski membebaskan, Rama pernah juga berkata pada Saya bahwa Ia tak ingin kehilangannya, Ia semacam cinta mati barangkali. Ia pernah minta bantuan Saya untuk merujukan kembali hubungannya dengan Sophia ketika Sophia menyatakan untuk menyudahi hubungan mereka, suatu hal yang melanggar komitmen mereka berdua. Mereka berdua pernah berkomitmen jika segala masalah antar mereka tak kan bocor ke luar. Tapi ternyata demi asmara Rama melanggar komitmennya dengan pasangan  asmaranya sendiri.
Dari hal-hal itu dan masih banyak hal lain, obrolan Saya dan Salim mengalir. Kami memaparkan hasil interprestasi kami atas kisah Sophia dan Rama. Kegiatan yang iseng memang, namun dari keisengan itu muncul suatu gagasan yang barangkali pernah Saya imani atau bahkan sedang, tentang cinta dan mencintai.
Hingga saat ini Saya masih mencurigai bahwa asmara dalah hasrat seks dalam wujud yang lebih beradab. Itulah barangkali mengapa energi asmara begitu besar, sebab ia berasal dari naluri seks yang sangat biologis, yang merupakan bawaan manusia tanpa ada pegaruh eksternal. Hasrat seks adalah kebutuhan manusia yang sangat mendasar. Dengan akal budi manusia, hasrat ini dipoles sedemikian rupa hingga mewujud menjadi lebih beradab, lebih santun, lebih manusiawi. Hasrat asmara, sebagaimana hasrat lainnya, mensyaratkan pemuasan. Pemuasan hasrat ini dalam wujud paling sempurna musti melibatkan subjek lain. Ada subjek lain yang kemudian dijadikan media pemuas hasrat. Dari sanalah timbul rasa ingin memiliki yang kuat, saling memiliki hingga terkadang bagi pelakon asmara, privasi adalah hal yang musti dimusnahkan. Intervensi atas otonomi diri adalah pemandangan lumrah pada pelakon asmara. Namun tentu ini tidak berlaku mutlak bagi semua gaya hubungan asmara. Banyak juga gaya hubungan asmara yang tidak demikian.
Menurut pandangan umum, hasrat asmara ialah hasrat yang pemuasan totalnya bersifat resiprok, mensyaratkan kepemilikan mutlak media pemuas hasrat. Ada rasa ingin memiliki yang besar sekaligus rasa enggan kehilangan yang juga besar. Lalu bagaimana individu mendapatkan media pemuasnya? Apakah benar hasrat asmara ini resiprok? Apakah benar resiprokalitas ini  musti penuh dan mutlak? Jika memang resiprok absolut, bagaimana dengan  kisah asmara bertepuk sebelah tangan? Dan apakah individu media pemuas ini ditemukan atau diciptakan? Menemukan pasangan asmara atau menciptakan pasangan asmara?
Jawaban-jawaban ini yang kemudian menjadi pembicaraan antara Saya dan Salim. Pertama Saya memisahkan dulu terminologi asmara dan cinta. Menurut Saya, asmara merupakan salah satu wujud cinta. Wujud cinta yang boleh jadi resiprokal mutlak. Sedang cinta punya cakupan  yang lebih luas. Cinta punya sistem yang lebih kompleks atau barangkali lebih sederhana ketimbang asmara. Cinta kadang non-resiprokal. Bahkan dalam filsafat Yunani Kuno kita mengenal Agape, jenis cinta yang dalam bahasa Inggris di tafsirkan sebagai unconditional love, cinta tak bersyarat, cinta tanpa karena. Cinta ya cinta saja, tidak harus terbalas, asal mencintai saja. Bahkan katanya, anugrah cinta terbesar adalah pembebasan. Bagaimana si pecinta membebaskan si tercinta, membebaskannya menggapai kebahagiaan, meski si pecinta harus kehilangan si tercinta dalam arti lahir maupun batin. Apakah ada jenis cinta seperti ini antar manusia?  
Pembicaraan Saya dan Salim kemudian mengkrucut pada metode kehadiran cinta. Meski kami berawal dari kisah asmara Sophia dan Rama, justru kami malah jauh meninggakannya. Kami bahkan tidak lagi berkutat dengan terminologi asmara, namun cinta. Cinta yang kadang non-resiprokal itu. Kami mengabstaksi temuan-temuan pada kisah Sophia dan Rama kemudian juga dari kisah kami pribadi yang kemudian kami interpretasi menjadi sebuah pemikiran, khususnya tentang bagaimana cara cinta hadir, ditemukan atau diciptakan?
Jika cinta ditemukan dan resiprokal, berarti sejak pandangan pertama individu B sudah sadar bahwa individu A lah yang mampu menuntaskan hasrat cintanya dan begitupun sebaliknya. Sederhananya cinta pada pandangan pertama. Jika demikian, apakah mungkin dua orang individu bisa saling mencintai tanpa ada proses pengenalan sedikitpun terlebih dahulu? Detik pertama berjumpa, langsung yakin bahwa dialah pasangan cinta kita. Apakah demikian cara kehadiran cinta? Cinta ujug-ujug saja hadir, pada detik pertama, tanpa proses pengolahan stimulus dalam otak? Saya agak sangsi dengan hal demikian. Bilapun individu A mengalami hal demikian, maka apakah sudah dapat dipastikan bahwa individu B pun mengalamai hal yang sama? Boleh jadi si A demikian tapi B tidak. Kemudian apakah dapat dipastikan bahwa yang dialami A adalah kehadiran cinta yang agung itu, cinta yang sublim itu? Bukan cinta dalam arti ketertarikan karena estetika rupa? Atau hasrat seks?
Jika cinta ditemukan dan non-resiprokal, apakah mungkin si A tiba-tiba saja mencintai B dengan keyakinan penuh bahwa itulah cinta Agape? Cinta yang membebaskan? Bahkan membebaskan B untuk mencintai C, D, M, Q, Z dan lainnya? Sedang di B tak mengalami sensasi apapun terhadap A? Ini juga agak janggal.
 “Ditemukan” dalam pengertian saya adalah semacam discover, menemukan hal yang sudah ada sebelumnya, mengetahui hal yang telah ada namun belum pernah diketahui sebelumnya. Love Discovery dalam konteks ini ialah jika cinta itu hadir, ditemukan secara tiba-tiba tanpa proses apapun. Semacam haqqul yakin jika dalam terminologi Islam.
Adakah yang demikian? Saya ragu karena belum pernah mendengar atau mencercapi yang demikian.
Diskusi Saya dan Salim setidaknya menyimpulkan bahwa cinta hadir melalui proses. Artinya ada serangkaian proses yang dilewati oleh individu yang kemudian karena proses tersebut maka hadirilah cinta.  Boleh jadi yang dinamakan masyarakat sebagai cinta pada pandangan pertama adalah ketertarikan estetis yang terjadi pada pandangan pertama. Impresi awal. Selanjutnya adalah interpretasi, bahkan barangkali impresi awalpun adalah tafsir individu atas realitas yang terjadi melalui proses pengindraan. Jadi barangkali kalimatnya musti diubah menjadi “kesan yang indah pada pandangan pertama”.
Jika kesan pertama mendarat begitu indah dan baik pada diri individu, maka selanjutnya akan ada proses tafsir yang mendorong usaha-usaha kearah pemuasan hasrat cinta. Cinta pada awalnya merupakan ketertatikan atas kesan estetis dan etis barangkali. Nah, cinta yang kemudian akan menjadi sublim atau tidak, kuat atau tidak, menancap atau tidak, loyal atau tidak, itu semua terjadi melalui proses atau dengan kata lain diciptakan. Pada akhirnya individu itulah yang menciptakan cinta melalui proses tafsir atas realitas. Individu sangat otonom untuk memutuskan Ia akan mencintai atau tidak.
Jika cinta itu diciptakan, cinta adalah hasil rekayasa manusia. Dalam pembelajaran akting yang Saya ketahui, seorang aktor dituntut mampu merekayasa tokoh yang Ia perankan. Seorang aktor yang baik musti total dalam merekayasa, dalam mencipta, penuh dan utuh luar dalam. Aktor harus mampu menciptakan pola pikir, menciptakan sikap batin dan pada akhirnya aktor harus mampu menciptakan rasa, menciptakan cinta. Dan sependek pengalaman Saya, rekayasa  yang dilakukan aktor itu kerap kali berhasil.
Jadi, mari belajar mencintai.

Negara, Seni dan Seniman



Negara, Seni dan Seniman

Suatu sore, saya bersama seorang teman sedang melatih anak-anak SMA untuk sebuah pementasan teater di sekolah mereka. Beberapa waktu sebelumnya, guru mereka yang merupakan pembina kesenian di sekolah tersebut menghubungi saya dan meminta bantuan untuk melatih serta menyutradarai ekskul kesenian di SMA itu untuk sebuah pementasan yang rutin diadakan tiap tahunnya. Saya menyangupi karena memang sedang membutuhkan uang untuk pertunjukan kelompok teater saya yang sedang saya garap. Saya bersama dua orang teman, seorang penata musik dan seorang lagi penata artistik, saya sendiri sebagai sutradara merangkap penata tari menyanggupi untuk menggarap pementasan itu.
Latihan disepakati seminggu tiga kali, Kamis, Jum’at dan Sabtu. Jadwal itu ialah penyesuaian saya dengan jadwal latihan teater kelompok saya. Biasanya kami berlatih di ruang kelas. Sore itu, entah bagaimana cerita awalnya kami berlatih di aula. Memang sejak lama pun saya meminta pada pengurus untuk bisa mengurus ijin agar kami bisa berlatih di aula yang juga akan kami gunakan sebagai tempat pementasan. Latihan sore itu mulai jam tiga kurang. Biasanya kami berlatih hingga pukul enam. Sore itu ketika latihan masih berjalan, seseorang mengingatkan saya untuk memperpendek durasi latihan karena aula yang kami pakai latihan akan digunakan untuk acara pramuka. Saya mengiyakan saja dan jam lima kurang pun latihan sudah saya sudahi. Usai latihan, seperti biasa saya mengevaluasi latihan yang barusan saja berlangsung. Ditengah pembicaraan, tiba-tiba si ketua ekskul itu menyela dan mengatakan bahwa aula akan segera digunakan untuk upacara anak-anak pramuka, jadi aula harus segera dikosongkan. Reaksi saya ketika itu selayaknya manusia, marah. Dan perasaan saya saat itu kecewa sekaligus sedih. Ternyata begitu terinjaknya kesenian dibanding ekskul lain. Memang terkesan sederhana dan remeh temeh masalahnya. Cuma menyela  evaluasi karena aula akan digunakan untuk kegiatan pramuka. Tapi dibalik itu saya merasa miris. Seketika itu memang saya hanya marah saja, itu pun tak begitu dahsyat. Namun ketika pulang, saya berpikir tentang kejadian barusan. Sejenak mengingat masa lalu, beberapa kali saya mengalami peristiwa seperti itu meski tak serupa. Intinya ekskul kesenian selalu saja terinjak dan terkalahkan oleh ekskul yang lebih “nasional”. Kesenian di sekolahan hanya jadi pelengkap saja dan tidak pernah benar-benar serius dipelajari, apalagi diamalkan, cuma dipengenalan sebatas permukaan saja. Dan selalu kesenian dikerjakan dengan setengah hati, kesenian selalu menjadi nomor sekian, tidak penting, aksesoris, pelengkap dan hiburan semata. Maka wajar jika ekskul seni itu selalu terinjak-injak, kalah oleh ekskul yang lebih “nasional”. 
Saya tidak tahu kapan pastinya seniman mulai ada di muka bumi ini. Yang jelas saya tahu ialah sejarah mengatakan bahwa kerajaan, negara serta peradaban manapun di belahan dunia manapun  yang pernah ada di muka bumi ini pasti memiliki karya seni dan senimannya. Artinya bahwa negara, kerajaan, kesultanan atau apapun istilahnya pastilah tak terlepas dari seni dan secara otomatis senimannya.
Lihat saja misalnya peradaban Mesir Kuno yang jejak kesenian dan senimannya bisa kita telusuri dari hieroglif yang katanya terdiri dari 700 gambar itu. Mari berkunjung ke Cina Kuno yang sisa kemegahannya masih dapat kita nikmati hingga kini. India dengan Ramayana dan Mahabarata-nya telah bercerita banyak hal tentang manusia, negara serta filsafat Hindu. Berkunjung ke Eropa, kita tak bisa lepas dari sejarah kerajaannya juga seni dan senimannya. Inggris dengan William Shakespear-nya, Jerman dengan Gothe-nya, Itali dengan Da Vinci-nya, dsb.
Bicara Nusantara juga tak bisa lepas dari bicara keseniannya. Lahir, berkembang serta jayanya kerajaan-kerajaan Nusantara berbanding lurus dengan perkembangan seni di kerajaan tersebut. Singosari, Kediri, Majapahit, Sriwijaya, Sunda, Galuh, Bali, Caruban Nagari dan kerajaanya lainnya pastilah memiliki kesenian dan senimannya. Kini kisah sejarah itu masih dapat kita saksikan di daerah yang memiliki keraton atau kesultanan. Sebut saja misalnya Yogya, Solo serta Cirebon yang masih memiliki keraton, ketiga keraton itu pun masih pula memiliki kesenian serta seniman keraton (kerajaan).
Seniman-seniman itu dihidupi oleh Negara dan tugasnya jelas, menciptakan karya seni. Sejak dulu memang seniman memiliki kekerabatan yang dekat dengan keluarga kerajaan baik kerajaan Nusantara maupun di belahan dunia lainnya. Seniman-seniman kerajaan ini bertugas membuat karya seni yang mana ia hidup darinya. Karya seninya dihargai oleh negara bahkan dipelihara dan dihormati. Banyak juga seniman  yang membuat karya seni pesanan penguasa baik sebagai hiburan atau bahkan propaganda. Intinya sudah sejak lama negara/kerajaan memiliki hubungan erat dengan seni dan senimannya sampai ada istilah seniman kerajaan.
Dan bagaimana Indonesia kini? Negara, seni dan senimannya? Saya tak akan terlampau luas membicarakan Indonesia yang belum pernah saya jelajahi tiap incinya. Ruang lingkupnya akan saya persempit menjadi kabupaten Ciamis, sebuah kabupaten di Jawa Barat. Dari Ciamis ini  embrio pemikiran saya tentang Negara, seni dan seniman lahir. Dan Ciamis pun akan saya persempit lagi dunia pendidikannya dan saya ini pun saya persempit lagi menjadi sekolah setingkat SMA saja, ini masih dipersempit lagi hingga memang apa yang saya ungkapkan disini ialah hasil pemikiran yang berasal dari pergesekan saya dengan peristiwa-peristiwa yang benar-benar saya alami sendiri, salah satunya yang saya sampaikan di muka.
Ya, awalnya saya berpikir pramuka adalah sahabat ekskul seni karena memang pengalaman saya di sewaktu sekolah di SMA berkata demikian. Ternyata barangkali pemikiran itu timbul karena kebetulan saya berkawan baik dengan para anggota dan pengurus pramuka di sekolah saya waktu itu. Setelah saya pikir kembali, justru pramukalah yang menjadi penindas kesenian. Bukan karena orang-orang pramukanya, tapi karena payung hukumnya. Pramuka, setahu saya, memang memiliki payung hukum berupa undang-undang. Bahkan presiden otomatis menjadi pramuka utama (kalau tak salah). Pramuka diwajibkan ada di setiap sekolah di seluruh NKRI, mulai dari SD sampai SMA. Segala tektek bengeknya telah teratur jelas dalam UU dan AD ART Gerakan Pramuka. Dan nyatanya memang di tiap sekolah pasti ada pramuka. Anggarannya jelas, even-evennya dari yang lokalan tingkat kecamatan hingga tingkal internasional selalu digelar. Pertanyaannya kenapa pramuka bisa sampai dianak emaskan seperti itu? Apakah karena pramuka berskala internasional? Apakah kesenian tidak berskala nasional? Atau apakah karena dahulu pramuka membantu perjuangan kemerdekaan? Oh, apakah seniman waktu itu cuma bengong saja? Padahal kita tahu Soekarno pun dulu sempat berjuang dengan media seni drama ketika dalam pengasingan dan kita juga tahu bagaimana perjuangan para penyair, misalnya, dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ataukah karena pramuka diyakini sebagai media pembentukan karakter bagi para anggotanya sedang kesenian hanya media hiburan saja?
Akibat penindasan yang sering dialami kesenian di sekolah, akhirnya  menjadikan saya apriori pada ekskul “nasional” itu. Atau bisa saja ini akibat saya iri pada mereka. Kenapa mereka begitu diperhatikan negara sedang kesenian biasa-biasa saja bahkan cenderung kurang didukung? Padahal jika kita merujuk sejarah, berbicara pramuka di Indonesia kita akan berhenti pada tahun dan peristiwa tertentu pada jaman kemerdekaan misalnya. Namun ketika kita bicara kesenian, mungkin penelitian kita akan berhenti pada awal kehidupan manusia di muka bumi. Dari hal ini saya berpikir bahwa kita, masyarakat Indonesia (sebagai negara) terjebak dalam kebudayaan ‘45 saja. Kebudayaan ’45 merupakan istilah saya untuk merujuk pada kebudayaan yang erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan. Pramuka dan PASKIBRA adalah salah satu contohnya. Kenapa kita begitu dangkal dengan berpikir hanya sampai tahun ’45 saja? Memang sebagai Negara barangkali, tahun ’45 merupakan peristiwa paling bersejarah maka banyak hal yang berkaitannya dengannya kemudian di “nasional”kan atau bahkan disakralkan. Tapi berbicara Nusantara atau bicara kita sebagai etnis A, suku A, kerajaan A dan sebagainya yang lebih mengakar, kita memiliki sesuatu yang jauh lebih tua dari usia Indonesia, jauh lebih tua dari Pramuka atau PASKIBRA. Kita punya sesuatu yang sebenarnya lebih mendarah daging dari kedua organisasi itu dan mungkin karena terlalu mendarah daging, terlalu melekat sampai-sampai sering kita lupakan.
 Saya tidak tahu pasti kenapa pramuka begitu disakralkan oleh negara dan keberadaannya diwajibkan di sekolah. Dan kenapa negara tidak mewajibkan kesenian di sekolah. Kesenian hanya dipelajari dua jam pelajaran tiap minggunya, itu pun dipelajari sebatas formalitas saja. Padahal jika benar-benar dilakoni  kesenian justru bukan sebatas hiburan belaka namun kesenian bisa digunakan sebagai media pembentukan karakter, yang menurut saya jika kesenian yang lakoni itu merupakan kesenian lokal, justru karater yang hadir akan lebih meng-Indonesia.
  Berbicara seniman negara, seperti disebutkan di muka, hampir semua negara/kerajaan/kekaisaran/kesultanan atau apa pun istilahnya pastilah memiliki tim kesenian yang memang diurus dan dihidupi negara. Justru saya tidak mengetahui adanya atlet kerajaan pada jaman dahulu. Atlet negara, keberadaannya menyusul setelah ada kompetisi olah raga antar negara, dan itu usianya jauh lebih muda dari kesenian. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mengapa kesenian yang dulu menjadi bagian dari sebuah negara/kerajaan kini nasibnya tidak jelas, bahkan cenderung kurang didukung. Jangankan negara, di sekolah saja, seperti pengalaman saya diatas, kesenian begitu terpinggirkan. Pikiran sementara saya prihal nasib kesenian (kebudayaan) yang begitu menyedihkan ialah karena Indonesia memang tidak punya “Kebudyaan Nasional” atau “Kesenian Nasional” sebab Indonesia terdiri dari beratus kebudayaan maka otomatis juga terdiri dari beratus pula kesenian. Mungkin si pemerintah (sebagai penyelenggara Negara) bingung, karena bingung maka tidak diurus saja sekalian. Atas hal ini, perlukah kita menyalahkan Gajah Mada yang menurut sejarah ialah orang yang pertama kali menyatukan kerajaan-kerajaan se-Nusantara dibawah bendera Majapahit yang kemudian menjadi cikal bakal Indonesia?
Coba jika Indonesia tak pernah bersatu seperti sekarang? Jika kita masih berupa kerajaan-kerajaan? Atau jika bentuk negara kita ialah serikat seperti Amerika Serikat yang mana masing-masing Negara bagian memiliki aturan sendiri-sendiri yang tak bertentangan dengan undang-undang pemerintahan federal?
Mari berpikir.

Sabtu, 14 Mei 2016

Asmara

Asmara

Hasil gambar untuk love

Asmara, kata yang sangat akrab dengan kita sejak lama. Asmara menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia bahkan asmara adalah kehidupan itu sendiri. Asmara adalah jemabatan bagi pelestarian spesies homo sapiens. Kenapa hanya homo sapiens? Sebab barangkali hanya manusialah yang memahami dan melakoni asmara, spesies lain hanya sebatas seks belaka.
Sejak lama asmara ada, sejak sejarah manusia diketahui atau bahkan barangkali lebih lama dari itu. Jika merujuk pada tradisi monotheisme yang dibawa Ibrahim (Abraham), sejarah asmara bisa diketahui dari awal mula penciptaan manusia, Adam dan Hawa (Eva). Adam yang adalah manusia pertama diciptakan berjenis kelamin laki-laki dan berorientasi seks heteroseksual ini kemudian meminta pada Tuhan untuk memberinya teman pendamping sebab Adam merasa kesepian. Tuhan lalu menciptakan Hawa (Eva) untuk menemani Adam. Manusia kedua yang diciptakan berjenis kelamin perempuan dengan orientasi seks heteroseksual. Persoalan gender Adam dan Hawa, saya belum menemukan apakah mereka Maskulin dan Feminin atau sebaliknya atau bagaimana. Saya belum menemukan keterangan yang menjelaskan hal ini. Meski dalam pandangan umum, dominasi Maskulin pastilah dimiliki laki-laki sedang dominasi Feminin  pastilah milik perempuan namun jika melihat kekinian, hal itu tidaklah berlaku kaku. Banyak ditemukan dominasi Femininitas pada manusia berjenis kelamin laki-laki dan begitu sebaliknya. Jika hal ini merupakan perubahan yang merupakan dampak dari kondisi sosial maka pastilah Adam adalah Maskulin dan Hawa adalah Feminin. Namun jika dominasi gender dalam diri manusia adalah persoalan yang bukan sepenuhnya dampak dari kondisi sosial, ada kemungkinan lain untuk gender Adam dan Hawa.  
Baiklah kita tinggalkan persoalan gender Adam dan Hawa. Kita kembali ke persoalan asmara. Bagaimana sebenarnya asmara? Apakah asmara benar-benar salah satu perwujudan cinta? Pertanyaan-pertanyaan ini dan sekian pertanyaan lainnya mengenai asmara muncul bukan tanda sebab. Saya seorang penggiat teater di daerah. Teater dalam pandangan saya mensyaratkan totalitas, loyalitas dan miliansi. Dari beberapa pengalaman saya berproses teater, saya kerap menemukan bahwa asmara memerikan tarikan  yang sangat kuat terhadap pelakunya. Polaritas asmara sangat besar bahkan kadang kala tak tertahankan. Tanjakan berat bagi teman-teman saya di kelompok adalah ketika totalitas dan loyalitas di teater dihadapkan dengan asmara. Persoalan dengan orang tua, lingkungan, lembaga dan lainnya yang non-asmara boleh dikata mudah untuk diselesaikan atau setidaknya orang-orang yang sedang menghadapi masalah dengan hal non-asmara punya resistansi mental yang cukup untuk tetap menjaga kewarasan dan kewajaran dalam berkehidupan keseharian. Namun tidak demikian dengan yang sedang di rundung persoalan asmara. Memang ini tidak bisa di pukul rata tapi setidaknya saya ingin berbagi kisah dan gagasan yang merupakan simpulan dari hasil pembacaan dan pemikiran saya atas realitas.
Saya menemukan bahwa orang setangguh apapun cenderung takluk dibawah kaki dewi asmara. Seorang teman pernah berkata, tak ada yang dewasa dalam hal percintaan. Percintaan pada konteks ini tentu saja asmara. Orang yang sedang dihantami asmara seolah rasionalitasnya mampus atau paling tidak jongkok dan terseok, tertunduk payah di bawah kuil asmara. Dia, yang sedang dihujani panah asmara, punya energi besar yang kadang tak dia miliki jika tidak sedang dalam kondisi ini. Energi ini jika tak piawai mengolahnya bukan tidak mungkin bisa menjadi bumerang yang justru akan menghancurkan dirinya dan asmaranya bahkan. Asmara mampu membunuh dirinya sendiri. Asmara mampu mengubah segala. Terlebih jika kita lihat kisah-kisah masa lalu. Ada Tajmahal yang berdiri kokoh dan megah di India yang konon merupakan wujud cinta seorang lelaki pada perempuan pujaannya. Apalagi jika kita menilik karya-karya fiksi baik yang berasal dari masa lampau maupun yang kekinian. Hampir tak ada cerita fiksi tanpa kisah asmara. Jikapun ada, jumlahnya sangat sedikit. Asmara ini tidak perah tidak laku. Lagu-lagu yang berkisah tertang jatuh cinta (asmara) akan sangat laku keras di pasaran. Film-film Hollywood tak pernah absen menjadikan asmara sebagai pemanis dalam tiap filmnya atau bahkan menjadi tema utama. Dan tulisan seperti ini yang menyoal asmara sangat berjuta diseantero bumi.
Nah, justru dari gejala dan dampak-dampak asmara inilah saya tergelitik untuk sedikit berpikir lebih mengenai asmara. Sebenarnya alasannya sederhana, tiap kali proses berteater saya bersinggungan dengan asmara, tiap kali itu pula proses tetaer itu menjadi kacau dan cenderung berantakan. Yang bersinggungan langsung memang bukan saya. Beberapa kawan yang terlibat bersama dalam sebuah garapan teater pernah mengalami hal serupa itu dan justru yang saya rasakan adalah dampaknya bagi proses dan pertunjukan teater saya. Siapa asmara sampai ia begitu hebat menggoncang tatanan kehidupan, rasionalitas manusia, memporakporanda hingga menciptakan kehidupan baru?
  Secara biologis manusia tergolong pada kingdom Animalia. Sederhananya manusia adalah binatang yang berakal budi dan memiliki perasaan. Jika kita melibatkan Tuhan, karena memiliki akal budi dan perasaann inilah manusia dimungkinkan juga memiliki sifat-sifat ke-Tuhan-an. Artinya manusia memiliki dimensi kehewanan, dimensi kemanusiaa dan dimensi ke-Tuhan-an. Menyoal asmara. Pada hewan barangkalii tidak kita temukan asmara. Yang ada hanya naluri seksual untuk kepentingan pelestarian spesies. Dalam dimensi ke-Tuhan-an tidak kita temukan asmara maupun seks. Toh, Tuhan tidak membutuhkan itu semua bahkan Tuhan tidak membutuhkan apapun. Setidaknya itu yang diajarkan monotheisme, entah jika ajaran lain. Asmara hanya milik manusia saja. Tapi dari mana datangnya asmara? Apakah asmara benar-benar sebuah perasaan belaka? Saya curiga tidak demikian.
Saya curiga, janga-jangan asmara adalah transformasi hasrat seks. Artinya asmara adalah hasrat seks dalam bentuk yang lebih manusiawi. Hasrat seks itu bersembunyi dibalik nama agung asmara bahkan cinta. Asmara adalah wajah panggung dari hasrat seks. Mengapa demikian?
Saya mencurigainya karena energinya yang begitu kuat bahkan hampir menyaingi energi cinta dalam konteks yang lainnya. Hasrat seks merupakan kebutuhan biologis yang pada dasarnya berada di luar kendali kesadaran kita. Itu merupakan naluri, sama halnya dengan kebutuhan akan makan dan minum. Kenikmatan  yang dihasilkan dari seks, makan dan minum adalah kenikmatan yang sangat mendasar, primordial dan berada jauh di luar kesadaran. Kita sering kali tidak menyadari tindakan kita yang bersumber dari hasrat biologis ini. Kita giat bekerja, giat belajar, patuh pada orang tua, patuh pada pimpinan dan hal lainnya yang serupa, apakah ini benar-benar murni tanpa ada campur tangan hasrat biologis ini? Jangan-jangan kita giat bekerja sebab kita ingin memenuhi hasrat perut kita dalam berbagai wujudnya?
Plato, seorang filsuf besar zaman Yunani Kuno menjelaskan bahwa jiwa mempunyai tiga bagian. Epitumia, bagian hasrat, eros, perut ke bawah (barangkali jika dalam Frued secara sederhana bisa dipadankan dengan Id). Kedua Thomos, bagian dada, kebanggaan, rasa marah, kecewa dan lainnya yang bersifat perasaan. Dan yang terakhir Logos, bagian yang harus mengendalikan Ephitumia dan Thomos. Plato menggambarkan ketiganya ibarat kereta kuda. Seorang sais yang mengendarai kereta dengan dua kuda. Satu kuda berwarna hitam dan satu kuda berwarna putih. Kuda hitam adalah Ephitumia, kuda putih adalah Thomos dan sais adalah Logos. Kebahagiaan hidup menurut Plato adalah ketika sais, yang dalam hal ini adalah Logos, mampu mengendalikan kuda hitam (Ephitumia) dan kuda putih (Thomos) dengan baik.
Jadi mengapa kekuatan asmara begitu besar, sebab ia sebenarnya adalah hasrat biologis yang bertransformasi menjadi wujud yang lebih etis. Tujuan akhirnya adalah kenikmatan seks. Hal ini lain hal dengan lembaga pernikahan dan hasrat akan keturunan. Yang saya bicarkan di sini adalah hasrat seksnya saja. Kenikmatan yang muncul dari hubungan seksual bagaimana pun caranya. Persoalan pernikahan dan keturunan itu lain soal sebab tidak semua hubungan seks ditujukan untuk mendapat keturunan dan tidak semua hubungan seks dilakukan dalam lembaga perikahan.
Asmara adalah hanya karena kita mengenal norma yang kemudian kita internalisasikan menjadi pedoman hidup dan keyakian, menjadi cara berlaku. Asmara adalah hasil persinggungan antara hasrat seks dan norma. Siapa yang menciptakan norma? Tentu saja manusia. Mengapa manusia menciptakan norma? Sebab manusia sadar bahwa dirinya bukan hewan. Manusia punya kesadaran menyadari dirinya sendiri. Dan karena dirinya dan diri diluar dirinya berbeda maka terciptalah norma dari hasil konsensus. Asmara bukan hal yang azali dari manusia. Hal yang azali adalah hasrat seks, sebuah eros yang di luar kendali kesadaran, sangat mendasar.
Namun jika kita bertanya pada para pelakon asmara, apakah benar tujuan mereka berasmara adalah hubungan seks, saya kira dengan kultur yang sedemikian adanya, sebagia besar orang akan menjawab tidak. Namun jika mereka diberi pertanyaan, maukah kiranya Anda berpacaran/berasmara dengan orang yang tak beralat kelamin? Saya kira sebagian besar orang akan menjawab tidak. Seberapa pentingkah alat kelamin dalam berasmara jika memang yang mendasari asmara adalah bukan hasrat seks?






Ciamis, 11 Maret 2016 

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...