Asmara
Asmara, kata yang sangat akrab dengan kita sejak
lama. Asmara menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia bahkan
asmara adalah kehidupan itu sendiri. Asmara adalah jemabatan bagi pelestarian
spesies homo sapiens. Kenapa hanya homo sapiens? Sebab barangkali hanya
manusialah yang memahami dan melakoni asmara, spesies lain hanya sebatas seks
belaka.
Sejak lama asmara ada, sejak sejarah manusia
diketahui atau bahkan barangkali lebih lama dari itu. Jika merujuk pada tradisi
monotheisme yang dibawa Ibrahim (Abraham), sejarah asmara bisa diketahui dari
awal mula penciptaan manusia, Adam dan Hawa (Eva). Adam yang adalah manusia
pertama diciptakan berjenis kelamin laki-laki dan berorientasi seks
heteroseksual ini kemudian meminta pada Tuhan untuk memberinya teman pendamping
sebab Adam merasa kesepian. Tuhan lalu menciptakan Hawa (Eva) untuk menemani
Adam. Manusia kedua yang diciptakan berjenis kelamin perempuan dengan orientasi
seks heteroseksual. Persoalan gender Adam dan Hawa, saya belum menemukan apakah
mereka Maskulin dan Feminin atau sebaliknya atau bagaimana. Saya belum
menemukan keterangan yang menjelaskan hal ini. Meski dalam pandangan umum,
dominasi Maskulin pastilah dimiliki laki-laki sedang dominasi Feminin pastilah milik perempuan namun jika melihat
kekinian, hal itu tidaklah berlaku kaku. Banyak ditemukan dominasi Femininitas
pada manusia berjenis kelamin laki-laki dan begitu sebaliknya. Jika hal ini
merupakan perubahan yang merupakan dampak dari kondisi sosial maka pastilah
Adam adalah Maskulin dan Hawa adalah Feminin. Namun jika dominasi gender dalam
diri manusia adalah persoalan yang bukan sepenuhnya dampak dari kondisi sosial,
ada kemungkinan lain untuk gender Adam dan Hawa.
Baiklah kita tinggalkan persoalan gender Adam dan
Hawa. Kita kembali ke persoalan asmara. Bagaimana sebenarnya asmara? Apakah
asmara benar-benar salah satu perwujudan cinta? Pertanyaan-pertanyaan ini dan
sekian pertanyaan lainnya mengenai asmara muncul bukan tanda sebab. Saya
seorang penggiat teater di daerah. Teater dalam pandangan saya mensyaratkan
totalitas, loyalitas dan miliansi. Dari beberapa pengalaman saya berproses
teater, saya kerap menemukan bahwa asmara memerikan tarikan yang sangat kuat terhadap pelakunya.
Polaritas asmara sangat besar bahkan kadang kala tak tertahankan. Tanjakan
berat bagi teman-teman saya di kelompok adalah ketika totalitas dan loyalitas
di teater dihadapkan dengan asmara. Persoalan dengan orang tua, lingkungan,
lembaga dan lainnya yang non-asmara boleh dikata mudah untuk diselesaikan atau
setidaknya orang-orang yang sedang menghadapi masalah dengan hal non-asmara
punya resistansi mental yang cukup untuk tetap menjaga kewarasan dan kewajaran
dalam berkehidupan keseharian. Namun tidak demikian dengan yang sedang di
rundung persoalan asmara. Memang ini tidak bisa di pukul rata tapi setidaknya
saya ingin berbagi kisah dan gagasan yang merupakan simpulan dari hasil
pembacaan dan pemikiran saya atas realitas.
Saya menemukan bahwa orang setangguh apapun
cenderung takluk dibawah kaki dewi asmara. Seorang teman pernah berkata, tak
ada yang dewasa dalam hal percintaan. Percintaan pada konteks ini tentu saja
asmara. Orang yang sedang dihantami asmara seolah rasionalitasnya mampus atau
paling tidak jongkok dan terseok, tertunduk payah di bawah kuil asmara. Dia,
yang sedang dihujani panah asmara, punya energi besar yang kadang tak dia
miliki jika tidak sedang dalam kondisi ini. Energi ini jika tak piawai
mengolahnya bukan tidak mungkin bisa menjadi bumerang yang justru akan
menghancurkan dirinya dan asmaranya bahkan. Asmara mampu membunuh dirinya
sendiri. Asmara mampu mengubah segala. Terlebih jika kita lihat kisah-kisah
masa lalu. Ada Tajmahal yang berdiri kokoh dan megah di India yang konon
merupakan wujud cinta seorang lelaki pada perempuan pujaannya. Apalagi jika
kita menilik karya-karya fiksi baik yang berasal dari masa lampau maupun yang
kekinian. Hampir tak ada cerita fiksi tanpa kisah asmara. Jikapun ada,
jumlahnya sangat sedikit. Asmara ini tidak perah tidak laku. Lagu-lagu yang
berkisah tertang jatuh cinta (asmara) akan sangat laku keras di pasaran.
Film-film Hollywood tak pernah absen menjadikan asmara sebagai pemanis dalam
tiap filmnya atau bahkan menjadi tema utama. Dan tulisan seperti ini yang
menyoal asmara sangat berjuta diseantero bumi.
Nah, justru dari gejala dan dampak-dampak asmara
inilah saya tergelitik untuk sedikit berpikir lebih mengenai asmara. Sebenarnya
alasannya sederhana, tiap kali proses berteater saya bersinggungan dengan
asmara, tiap kali itu pula proses tetaer itu menjadi kacau dan cenderung
berantakan. Yang bersinggungan langsung memang bukan saya. Beberapa kawan yang
terlibat bersama dalam sebuah garapan teater pernah mengalami hal serupa itu
dan justru yang saya rasakan adalah dampaknya bagi proses dan pertunjukan
teater saya. Siapa asmara sampai ia begitu hebat menggoncang tatanan kehidupan,
rasionalitas manusia, memporakporanda hingga menciptakan kehidupan baru?
Secara
biologis manusia tergolong pada kingdom Animalia. Sederhananya manusia adalah
binatang yang berakal budi dan memiliki perasaan. Jika kita melibatkan Tuhan,
karena memiliki akal budi dan perasaann inilah manusia dimungkinkan juga
memiliki sifat-sifat ke-Tuhan-an. Artinya manusia memiliki dimensi kehewanan,
dimensi kemanusiaa dan dimensi ke-Tuhan-an. Menyoal asmara. Pada hewan
barangkalii tidak kita temukan asmara. Yang ada hanya naluri seksual untuk
kepentingan pelestarian spesies. Dalam dimensi ke-Tuhan-an tidak kita temukan
asmara maupun seks. Toh, Tuhan tidak membutuhkan itu semua bahkan Tuhan tidak
membutuhkan apapun. Setidaknya itu yang diajarkan monotheisme, entah jika
ajaran lain. Asmara hanya milik manusia saja. Tapi dari mana datangnya asmara?
Apakah asmara benar-benar sebuah perasaan belaka? Saya curiga tidak demikian.
Saya curiga, janga-jangan asmara adalah
transformasi hasrat seks. Artinya asmara adalah hasrat seks dalam bentuk yang
lebih manusiawi. Hasrat seks itu bersembunyi dibalik nama agung asmara bahkan
cinta. Asmara adalah wajah panggung dari hasrat seks. Mengapa demikian?
Saya mencurigainya karena energinya yang begitu
kuat bahkan hampir menyaingi energi cinta dalam konteks yang lainnya. Hasrat
seks merupakan kebutuhan biologis yang pada dasarnya berada di luar kendali
kesadaran kita. Itu merupakan naluri, sama halnya dengan kebutuhan akan makan
dan minum. Kenikmatan yang dihasilkan
dari seks, makan dan minum adalah kenikmatan yang sangat mendasar, primordial
dan berada jauh di luar kesadaran. Kita sering kali tidak menyadari tindakan
kita yang bersumber dari hasrat biologis ini. Kita giat bekerja, giat belajar,
patuh pada orang tua, patuh pada pimpinan dan hal lainnya yang serupa, apakah
ini benar-benar murni tanpa ada campur tangan hasrat biologis ini?
Jangan-jangan kita giat bekerja sebab kita ingin memenuhi hasrat perut kita dalam
berbagai wujudnya?
Plato, seorang filsuf besar zaman Yunani Kuno
menjelaskan bahwa jiwa mempunyai tiga bagian. Epitumia, bagian hasrat, eros,
perut ke bawah (barangkali jika dalam Frued secara sederhana bisa dipadankan
dengan Id). Kedua Thomos, bagian dada, kebanggaan, rasa marah, kecewa dan
lainnya yang bersifat perasaan. Dan yang terakhir Logos, bagian yang harus
mengendalikan Ephitumia dan Thomos. Plato menggambarkan ketiganya ibarat kereta
kuda. Seorang sais yang mengendarai kereta dengan dua kuda. Satu kuda berwarna
hitam dan satu kuda berwarna putih. Kuda hitam adalah Ephitumia, kuda putih
adalah Thomos dan sais adalah Logos. Kebahagiaan hidup menurut Plato adalah
ketika sais, yang dalam hal ini adalah Logos, mampu mengendalikan kuda hitam
(Ephitumia) dan kuda putih (Thomos) dengan baik.
Jadi mengapa kekuatan asmara begitu besar, sebab
ia sebenarnya adalah hasrat biologis yang bertransformasi menjadi wujud yang
lebih etis. Tujuan akhirnya adalah kenikmatan seks. Hal ini lain hal dengan
lembaga pernikahan dan hasrat akan keturunan. Yang saya bicarkan di sini adalah
hasrat seksnya saja. Kenikmatan yang muncul dari hubungan seksual bagaimana pun
caranya. Persoalan pernikahan dan keturunan itu lain soal sebab tidak semua
hubungan seks ditujukan untuk mendapat keturunan dan tidak semua hubungan seks
dilakukan dalam lembaga perikahan.
Asmara adalah hanya karena kita mengenal norma
yang kemudian kita internalisasikan menjadi pedoman hidup dan keyakian, menjadi
cara berlaku. Asmara adalah hasil persinggungan antara hasrat seks dan norma.
Siapa yang menciptakan norma? Tentu saja manusia. Mengapa manusia menciptakan
norma? Sebab manusia sadar bahwa dirinya bukan hewan. Manusia punya kesadaran
menyadari dirinya sendiri. Dan karena dirinya dan diri diluar dirinya berbeda
maka terciptalah norma dari hasil konsensus. Asmara bukan hal yang azali dari
manusia. Hal yang azali adalah hasrat seks, sebuah eros yang di luar kendali
kesadaran, sangat mendasar.
Namun jika kita bertanya pada para pelakon asmara,
apakah benar tujuan mereka berasmara adalah hubungan seks, saya kira dengan
kultur yang sedemikian adanya, sebagia besar orang akan menjawab tidak. Namun
jika mereka diberi pertanyaan, maukah kiranya Anda berpacaran/berasmara dengan
orang yang tak beralat kelamin? Saya kira sebagian besar orang akan menjawab
tidak. Seberapa pentingkah alat kelamin dalam berasmara jika memang yang
mendasari asmara adalah bukan hasrat seks?
Ciamis, 11 Maret 2016
Hahahaha...
BalasHapusMari ngopi! :D
kiwwww
BalasHapus