Sabtu, 14 Mei 2016

Asmara

Asmara

Hasil gambar untuk love

Asmara, kata yang sangat akrab dengan kita sejak lama. Asmara menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia bahkan asmara adalah kehidupan itu sendiri. Asmara adalah jemabatan bagi pelestarian spesies homo sapiens. Kenapa hanya homo sapiens? Sebab barangkali hanya manusialah yang memahami dan melakoni asmara, spesies lain hanya sebatas seks belaka.
Sejak lama asmara ada, sejak sejarah manusia diketahui atau bahkan barangkali lebih lama dari itu. Jika merujuk pada tradisi monotheisme yang dibawa Ibrahim (Abraham), sejarah asmara bisa diketahui dari awal mula penciptaan manusia, Adam dan Hawa (Eva). Adam yang adalah manusia pertama diciptakan berjenis kelamin laki-laki dan berorientasi seks heteroseksual ini kemudian meminta pada Tuhan untuk memberinya teman pendamping sebab Adam merasa kesepian. Tuhan lalu menciptakan Hawa (Eva) untuk menemani Adam. Manusia kedua yang diciptakan berjenis kelamin perempuan dengan orientasi seks heteroseksual. Persoalan gender Adam dan Hawa, saya belum menemukan apakah mereka Maskulin dan Feminin atau sebaliknya atau bagaimana. Saya belum menemukan keterangan yang menjelaskan hal ini. Meski dalam pandangan umum, dominasi Maskulin pastilah dimiliki laki-laki sedang dominasi Feminin  pastilah milik perempuan namun jika melihat kekinian, hal itu tidaklah berlaku kaku. Banyak ditemukan dominasi Femininitas pada manusia berjenis kelamin laki-laki dan begitu sebaliknya. Jika hal ini merupakan perubahan yang merupakan dampak dari kondisi sosial maka pastilah Adam adalah Maskulin dan Hawa adalah Feminin. Namun jika dominasi gender dalam diri manusia adalah persoalan yang bukan sepenuhnya dampak dari kondisi sosial, ada kemungkinan lain untuk gender Adam dan Hawa.  
Baiklah kita tinggalkan persoalan gender Adam dan Hawa. Kita kembali ke persoalan asmara. Bagaimana sebenarnya asmara? Apakah asmara benar-benar salah satu perwujudan cinta? Pertanyaan-pertanyaan ini dan sekian pertanyaan lainnya mengenai asmara muncul bukan tanda sebab. Saya seorang penggiat teater di daerah. Teater dalam pandangan saya mensyaratkan totalitas, loyalitas dan miliansi. Dari beberapa pengalaman saya berproses teater, saya kerap menemukan bahwa asmara memerikan tarikan  yang sangat kuat terhadap pelakunya. Polaritas asmara sangat besar bahkan kadang kala tak tertahankan. Tanjakan berat bagi teman-teman saya di kelompok adalah ketika totalitas dan loyalitas di teater dihadapkan dengan asmara. Persoalan dengan orang tua, lingkungan, lembaga dan lainnya yang non-asmara boleh dikata mudah untuk diselesaikan atau setidaknya orang-orang yang sedang menghadapi masalah dengan hal non-asmara punya resistansi mental yang cukup untuk tetap menjaga kewarasan dan kewajaran dalam berkehidupan keseharian. Namun tidak demikian dengan yang sedang di rundung persoalan asmara. Memang ini tidak bisa di pukul rata tapi setidaknya saya ingin berbagi kisah dan gagasan yang merupakan simpulan dari hasil pembacaan dan pemikiran saya atas realitas.
Saya menemukan bahwa orang setangguh apapun cenderung takluk dibawah kaki dewi asmara. Seorang teman pernah berkata, tak ada yang dewasa dalam hal percintaan. Percintaan pada konteks ini tentu saja asmara. Orang yang sedang dihantami asmara seolah rasionalitasnya mampus atau paling tidak jongkok dan terseok, tertunduk payah di bawah kuil asmara. Dia, yang sedang dihujani panah asmara, punya energi besar yang kadang tak dia miliki jika tidak sedang dalam kondisi ini. Energi ini jika tak piawai mengolahnya bukan tidak mungkin bisa menjadi bumerang yang justru akan menghancurkan dirinya dan asmaranya bahkan. Asmara mampu membunuh dirinya sendiri. Asmara mampu mengubah segala. Terlebih jika kita lihat kisah-kisah masa lalu. Ada Tajmahal yang berdiri kokoh dan megah di India yang konon merupakan wujud cinta seorang lelaki pada perempuan pujaannya. Apalagi jika kita menilik karya-karya fiksi baik yang berasal dari masa lampau maupun yang kekinian. Hampir tak ada cerita fiksi tanpa kisah asmara. Jikapun ada, jumlahnya sangat sedikit. Asmara ini tidak perah tidak laku. Lagu-lagu yang berkisah tertang jatuh cinta (asmara) akan sangat laku keras di pasaran. Film-film Hollywood tak pernah absen menjadikan asmara sebagai pemanis dalam tiap filmnya atau bahkan menjadi tema utama. Dan tulisan seperti ini yang menyoal asmara sangat berjuta diseantero bumi.
Nah, justru dari gejala dan dampak-dampak asmara inilah saya tergelitik untuk sedikit berpikir lebih mengenai asmara. Sebenarnya alasannya sederhana, tiap kali proses berteater saya bersinggungan dengan asmara, tiap kali itu pula proses tetaer itu menjadi kacau dan cenderung berantakan. Yang bersinggungan langsung memang bukan saya. Beberapa kawan yang terlibat bersama dalam sebuah garapan teater pernah mengalami hal serupa itu dan justru yang saya rasakan adalah dampaknya bagi proses dan pertunjukan teater saya. Siapa asmara sampai ia begitu hebat menggoncang tatanan kehidupan, rasionalitas manusia, memporakporanda hingga menciptakan kehidupan baru?
  Secara biologis manusia tergolong pada kingdom Animalia. Sederhananya manusia adalah binatang yang berakal budi dan memiliki perasaan. Jika kita melibatkan Tuhan, karena memiliki akal budi dan perasaann inilah manusia dimungkinkan juga memiliki sifat-sifat ke-Tuhan-an. Artinya manusia memiliki dimensi kehewanan, dimensi kemanusiaa dan dimensi ke-Tuhan-an. Menyoal asmara. Pada hewan barangkalii tidak kita temukan asmara. Yang ada hanya naluri seksual untuk kepentingan pelestarian spesies. Dalam dimensi ke-Tuhan-an tidak kita temukan asmara maupun seks. Toh, Tuhan tidak membutuhkan itu semua bahkan Tuhan tidak membutuhkan apapun. Setidaknya itu yang diajarkan monotheisme, entah jika ajaran lain. Asmara hanya milik manusia saja. Tapi dari mana datangnya asmara? Apakah asmara benar-benar sebuah perasaan belaka? Saya curiga tidak demikian.
Saya curiga, janga-jangan asmara adalah transformasi hasrat seks. Artinya asmara adalah hasrat seks dalam bentuk yang lebih manusiawi. Hasrat seks itu bersembunyi dibalik nama agung asmara bahkan cinta. Asmara adalah wajah panggung dari hasrat seks. Mengapa demikian?
Saya mencurigainya karena energinya yang begitu kuat bahkan hampir menyaingi energi cinta dalam konteks yang lainnya. Hasrat seks merupakan kebutuhan biologis yang pada dasarnya berada di luar kendali kesadaran kita. Itu merupakan naluri, sama halnya dengan kebutuhan akan makan dan minum. Kenikmatan  yang dihasilkan dari seks, makan dan minum adalah kenikmatan yang sangat mendasar, primordial dan berada jauh di luar kesadaran. Kita sering kali tidak menyadari tindakan kita yang bersumber dari hasrat biologis ini. Kita giat bekerja, giat belajar, patuh pada orang tua, patuh pada pimpinan dan hal lainnya yang serupa, apakah ini benar-benar murni tanpa ada campur tangan hasrat biologis ini? Jangan-jangan kita giat bekerja sebab kita ingin memenuhi hasrat perut kita dalam berbagai wujudnya?
Plato, seorang filsuf besar zaman Yunani Kuno menjelaskan bahwa jiwa mempunyai tiga bagian. Epitumia, bagian hasrat, eros, perut ke bawah (barangkali jika dalam Frued secara sederhana bisa dipadankan dengan Id). Kedua Thomos, bagian dada, kebanggaan, rasa marah, kecewa dan lainnya yang bersifat perasaan. Dan yang terakhir Logos, bagian yang harus mengendalikan Ephitumia dan Thomos. Plato menggambarkan ketiganya ibarat kereta kuda. Seorang sais yang mengendarai kereta dengan dua kuda. Satu kuda berwarna hitam dan satu kuda berwarna putih. Kuda hitam adalah Ephitumia, kuda putih adalah Thomos dan sais adalah Logos. Kebahagiaan hidup menurut Plato adalah ketika sais, yang dalam hal ini adalah Logos, mampu mengendalikan kuda hitam (Ephitumia) dan kuda putih (Thomos) dengan baik.
Jadi mengapa kekuatan asmara begitu besar, sebab ia sebenarnya adalah hasrat biologis yang bertransformasi menjadi wujud yang lebih etis. Tujuan akhirnya adalah kenikmatan seks. Hal ini lain hal dengan lembaga pernikahan dan hasrat akan keturunan. Yang saya bicarkan di sini adalah hasrat seksnya saja. Kenikmatan yang muncul dari hubungan seksual bagaimana pun caranya. Persoalan pernikahan dan keturunan itu lain soal sebab tidak semua hubungan seks ditujukan untuk mendapat keturunan dan tidak semua hubungan seks dilakukan dalam lembaga perikahan.
Asmara adalah hanya karena kita mengenal norma yang kemudian kita internalisasikan menjadi pedoman hidup dan keyakian, menjadi cara berlaku. Asmara adalah hasil persinggungan antara hasrat seks dan norma. Siapa yang menciptakan norma? Tentu saja manusia. Mengapa manusia menciptakan norma? Sebab manusia sadar bahwa dirinya bukan hewan. Manusia punya kesadaran menyadari dirinya sendiri. Dan karena dirinya dan diri diluar dirinya berbeda maka terciptalah norma dari hasil konsensus. Asmara bukan hal yang azali dari manusia. Hal yang azali adalah hasrat seks, sebuah eros yang di luar kendali kesadaran, sangat mendasar.
Namun jika kita bertanya pada para pelakon asmara, apakah benar tujuan mereka berasmara adalah hubungan seks, saya kira dengan kultur yang sedemikian adanya, sebagia besar orang akan menjawab tidak. Namun jika mereka diberi pertanyaan, maukah kiranya Anda berpacaran/berasmara dengan orang yang tak beralat kelamin? Saya kira sebagian besar orang akan menjawab tidak. Seberapa pentingkah alat kelamin dalam berasmara jika memang yang mendasari asmara adalah bukan hasrat seks?






Ciamis, 11 Maret 2016 

2 komentar:

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...