Minggu, 20 Mei 2018

Catatan Pendek "Kriiing...!" : Romantisme Genuine


Mengintip seting sebelum pertunjukan dimulai, rasanya tidak akan ada yang istimewa kecuali barangkali kehadiran dua motor besar di atas panggung, lengkap dengan peralatan bengkelnya. “Ah, ini pasti pertunjukan yang bising”, itu asumsi prematur yang sekilas terlintas. Mendengar judul pertunjukannya, Kriiing, sepertinya lakon ini berkaitan dengan telepon. Kecurigaan itu menguat dengan adanya pesawat telepon di atas lemari bercat cokelat. Bagian kiri depan panggung nampaknya ingin menghadirkan nuansa sebuah ruangan di rumah tua yang sederhana. Seperti rumah-rumah di kampung yang dihuni orang-orang lansia. Berlantai dan dinding putih, buffet jadul lengkap dengan radio jadul. Pada dinding putih, ada kalender bergambar model perempuan, sepertinya pemberian dari sebuah toko.
 Benar saja, ini pertunjukan yang bising. Deru suara motor membuka pertunjukan. Gimik bising itu makin meneror dengan lampu motor yang menyorot tajam ke arah penonton. Tidak seperti bising-bising politik yang menahun, kebisingan knalpot itu hanya beberapa detik saja. Lampu tataan Aji Sangiaji kemudian perlahan menerangi ruang tua tempat barang-barang jadul berada. Tubuh tua berpeci hitam, hadir di sana : menyalakan radio, menyeduh kopi, merokok, dan memandang ke kejauhan, seperti melamun atau menunggu. Suara lagu Hidup Yang Sepi milik Koes Plus meluncur dari radio, menghantar penonton pada kesunyian dan kerinduan sekaligus. Detil kerut dan sorot si lelaki tua yang diperankan Dede Rokhyan tampak jelas pada layar putih di apron kiri panggung. Sayang, penempatan layar “di luar panggung” agak mengesankan keterpisahan dengan kesatuan artistik yang lain. Dan jika saja kameramen berposisi sederet dengan penonton, mungkin pertunjukan bisa dinikmati dengan lebih khusyuk. Demikian pula jika sudut pengambilan gambar karya Rain Bungsu dan Morsa Sambas lebih kaya dan variatif, proyeksi visual detil-detil itu nampaknya akan lebih kuat menghantar penonton menyelami batin si lelaki tua yang dalam dan sepi. 
Kriiing, telepon rumah si lelaki tua berdering. Dikecilkannya volume radio, diangkatnya gagang telepon dan, “salah sambung!”, katanya. Tangan dan tubuhnya gemetaran, seperti mengisyaratkan kecewa yang sangat. Namun, tubuh kecewa itu nampak datang tiba-tiba. Tidak ada kesan ketergesaan tatkala mengangkat telepon, layaknya seseorang mengakhiri penantian. 
Adegan beralih ke kanan depan panggung. Suasana yang nampak sangat berbeda dari rumah si lelaki tua. Agaknya itu seperti ruang kerja, kantor. Meja, laptop, kursi kantor, tumpukan buku-buku, dan sofa panjang tanpa sandaran. Duduk di sana seorang perempuan berambut pendek yang berupaya berbicara dengan dialek Sumatra Utara. Tak lama, tiga lelaki datang mengantre. Seorang lelaki menyodorkan berkas Surat Izin Keramaian (Kosis). Seorang lagi berkeluh kesah lantaran tak kunjung bisa tidur dan mendapat mimpi (Citul). Keduanya memberikan amplop setelah urusannya dianggap beres. Selain prihal Surat Izin Keramaian, nyaris tak ada satu penanda identitas pun yang menjelaskan bahwa perempuan berambut pendek itu adalah seorang Polisi Wanita. 
Lelaki ketiga (Haji Eming), ini agak janggal. Tatapnya kosong. “Bu. Alif, Bu! Ba, Bu! Ta, Bu!” hanya itu yang ia ucapkan dan suasana mendadak berubah. Si perempuan berambut pendek itu mengucap ulang ejaan huruf hijaiyah yang sebelumnya diucap si lelaki bertatapan kosong. Ketimbang sosok realis, lelaki itu lebih seperti personifikasi ingatan masa lalu atau mungkin alam bawah sadar si perempuan berambut pendek.
Kejanggalan lain, ketika si perempuan berambut pendek berulang-ulang memanggil para lelaki pengantre dengan panggilan “Lae”, panggilan yang dalam budaya Batak Toba lazimnya digunakan oleh sesama lelaki untuk memanggil kerabatnya.
Lampu kemudian menyoroti dua motor besar. Adegan pun berpindah. Nampak seorang montir membetulkan motor seraya bercakap dengan kawannya, si lelaki yang di adegan sebelumnya datang berkeluh kesah pada di perempuan berambut pendek. Dalam dialek Jawa, percakapan mereka masih seputar tidur dan mimpi. Akting natural aktor asal Yogyakarta, Rendra Bagus Pamungkas didukung setprop, handprop, serta wearpack a la montir membuat identitas tokoh ini dengan mudah dikenali. Tetapi agaknya kalimat-kalimat si tokoh montir terasa “terlalu berat” dibanding jika mendengar lazimnya percakapan montir kebanyakan.
Lompat lagi, lampu tanda mulai adegan kini menerangi bagian atas rumah si lelaki tua. Itu ruang yang berbeda sama sekali. Di sana ada dua lelaki. Satu ialah ia yang meminta Surat Izin Keramaian dan satunya, sepertinya seniman teater. Itu kentara sekali dari dialog-dialog yang dilontarkan dan adegan yang dimainkan. Percakapan dua lelaki itu sarat kalimat-kalimat filosofis. Di jeda percakapan, mendadak keduanya berganti peran. Si seniman teater yang di perankan aktor terbaik Festival Drama Basa Sunda XIX, Kiki Ikhsan Fauzi dengan gaya grand style-nya, seperti memainkan penggalan adegan dari sebuah lakon. AB Asmarandana, sang penulis naskah sekaligus sutradara, barangkali sengaja menyisipkan pesan-pesan personal pada dialog-dialog si seniman teater ini. Patut dicurigai bahwa mungkin apa yang katakan si tokoh seniman teater ini adalah kegelisahan yang ingin disampaikan penulis naskah menyoal ia dan laku teaternya.
Usai mereka berdua “latihan teater”, lelaki tua itu kembali meruang. Kini sayatan biola Yesterday milik The Beatles oleh Kosis menemani lamunan si lekaki tua. Seraya itu, terdengar tiga suara melontar dialog serempak. Ada pula bagian yang bergantian. Kalimat-kalimatnya kental aroma romantisme, tentang ingatan-ingatan. Berulang-ulang suara-suara itu menyebut nama Abah. Intonasi dialog dan kalimat-kalimatnya mengisyaratkan seorang anak yang sedang menceritakan ayahnya. Diantara kalimat-kalimatnya, ada sebaris terjemahan lirik lagu Yesterday, “aku percaya pada hari kemarin”. 
Selanjutnya, gawai perempuan berambut pendek, montir, dan seniman teater berdering. Mereka pun bercakap entah dengan siapa. Tokoh seniman teater bermonolog, ia bercerita tentang penantian dan keinginannya ditonton oleh seseorang. Pada bagian ini, tokoh seniman teater sebagai juru bicara utama penulis naskah membongkar realitas hidup seniman panggung yang boleh jadi tak hanya dialami penulis naskah semata. Sedang di rumah tua, lelaki tua nampak mengangkat gagang telepon tanpa kata-kata. Lelaki tua menutup telepon, tiga tokoh lain seolah kehilangan sambungan telepon. Lelaki tua duduk dan mendadak terjatuh. “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un”, ketiganya berucap rampak. Mereka menangis, mengemasi barang dan berjumpa di ruang yang lain. Setelah saling berpelukan dalam haru, ketiganya masuk ke rumah lelaki tua. Dalam tangis histeris itu, Abah si lelaki tua tiba-tiba muncul sambil bertepuk tangan bak anak kecil kegirangan.
Begitulah, empat ruang dalam satu panggung itu hadir bergantian. Masing-masingnya punya ceritanya sendiri dalam satu bingkai besar. Hadirnya lelaki pemohon Surat Izin Keramaian dan lelaki pengeluh kesah barangkali upaya agar ruang-ruang itu tetap bertaut, merekat dalam satu kesatuan ruang dan waktu. Tokoh seniman teater yang menirukan kalimat Abah dalam bahasa Sunda bisa dijadikan penanda ruang peristiwa. Dua yang lain, perempuan berambut pendek berdialek Sumatra Utara dan montir berdialek Jawa Banyumasan membuka pelbagai interpretasi ihwal latar tempat persis karena persinggungannya dengan dua lelaki pengantre. Penjelasan utuh mengenai ini didapat pada sesi diskusi usai pementasan.
Pada perbincangan santai itu didapatlah informasi bahwa Kriiiing lahir terinspirasi dari sepenggal cerita hidup sang penulis naskah. Mimi Noer Yanti, pemeran perempuan berambut pendek yang juga istri Kang Abuy, sapaan AB Asmarandana, menuturkan bahwa peristiwa yang hadir di panggung merupakan gambaran tentang keluarga penulis sendiri. Lelaki tua ialah ayah penulis naskah, biasa di sapa Abah. Perempuan berambut pendek ialah anak sulung, seorang Polwan yang berdinas di Sumatra Utara. Montir, adalah anak kedua yang punya usaha bengkel motor di daerah Jawa. Dan sang seniman teater tak lain ialah perwujudan sang penggarap sendiri.
Pada Senin, 7 Mei 2018 malam itu hadir pula Dr. Rachman Saleh atau yang biasa dikenal sebagai Rachman Sabur. Beliau yang merupakan dosen jurusan teater di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dan pimpinan Kelompok Payung Hitam  ini mengapresiasi karya produksi perdana Ngaos Art yang melibatkan aktor dari Yogyakarta dan Kalimantan Timur tersebut. Terlebih karena lakon ini genuine, lahir dari personal experience, lahir batin penulis naskah/sutradara. Salah satu poin dari komentarnya, bahwa seniman harus mampu jujur pada dirinya sendiri. Seniman harus mampu dan bersedia membongkar apa yang ada pada tubuh dan pikirannya sendiri. Menyoal potensi, kreativitas, serta produktivitas karya kelompok teater di Tasikmalaya, peraih gelar doktor bidang penciptaan seni ini mengusulkan digelarnya festival teater di Tasikmalaya. Dengan segala sumber daya yang ada, sudah saatnya Tasikmalaya memiliki gelaran festival teater, demikian Babeh, sapaan Rachman Sabur, berpendapat.
Dikutip dari www.ngaosart.tk, Ngaos Art merupakan komunitas yang bergiat di bidang seni budaya. Kelas Minggu, program latihan teater untuk siapa saja yang bersedia, merupakan salah satu program yang telah dan sedang berjalan selain program-program lain yang terus dikembangkan. 
Kehadiran Ngaos Art melalui pertunjukan Kriiing menjadi vitamin tersendiri khususnya bagi insan teater di Tasikmalaya dan sekitarnya. Pilihan bentuk realis (naturalis?) jadi seteguk kesegaran di tengah gempuran bentuk-bentuk eksploratif kontemporer dewasa ini.
Viva Teater…!

Tulisan ini dimuat di Radar Tasikmalaya edisi Minggu, 20 Mei 2018 dengan judul "Sebuah Catatan Pendek, Romantisme Genuine "Kriing"

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...