Minggu, 12 Juli 2020

Gara-Gara Sang Entah


Gara-gara corona, sholat berjamaah jadi berjarak. Demikian dianjurkan MUI dan demikian praktiknya di beberapa mesjid. Di Masjidil Haram juga. Yang lucu, mereka—sebagian masyarakat, atau kami, atau saya—sholat berjarak serentangan tangan tapi berswafoto berdempetan. Erat. Bahkan bersalaman tanda maaf-maafan ketika lebaran.

Sebagian menyarankan sholat Id di rumah. Sekeluarga saja. mungkin karena turut fatwa jadi berjarak juga. Anak perempuan dan ibu, anak lelaki dan ayah, berjarak. Padahal serumah, makan bersama, duduk sesofa. Ayah dan ibu malah sekasur. Tidak berjarak.

Kalau yakin betul, percaya, ia atau mereka tak bervirus, tidak usah berjarak juga tak apa. Memaksa berjarak malah jadi lucu. Atau aneh. Paradoks. Dengan anak sendiri, yang tiap hari dipeluk cium, tapi sholat berjauhan sebab manut anjuran. Semalam sepasang pasutri berhubungan badan. Dempet sekali. Bertukar ludah. Besoknya, mereka duduk berjauhan dalam satu mobil agar tidak kecipratatan percikan air ludah (droplet). Patuh aturan.   

Tapi, ya, memang repot juga kalau petugas harus bertanya apakah mereka yang semobil itu suami istri atau keluarga yang tinggal serumah. Harus cek buku nikah atau Kartu Keluarga. Jadi, ya, pukul rata saja: harus berjarak. Masa darurat memang aneh.

Jarak dibuat sebagai antisipasi terpapar percikan air ludah yang padanya virus bisa hidup. Intinya bukan jarak tapi antisipasi terkena percikan air ludah yang, jangan-jangan, mengandung SARS-CoV-2.

“Jangan-jangan” itu manifestasi “entah”. Ketidaktahuan memang sering bikin gelagapan. Sebab tidak tahu dan darurat, kita jadi percaya saja pada pemerintah. Manut tanpa bertanya. Mungkin, dalam kondisi normal kita sering tidak percaya pada pemerintah: omongannya, anjurannya, kebijakannya, apalagi janji. Tapi, ya, karena terdesak, akhirnya percaya juga.

Kenapa harus percaya pemerintah? WHO? Kenapa harus percaya? Sebab manusia tidak tahan berada dalam “entah” lama-lama. Harus ada yang menjawab “entah” kita. Ketidaktahuan kita. Sampai saat ini, mereka yang kita anggap punya jawabannya, meski tak terlalu pasti. Agama juga menganjurkan menyerahkan sesuatu pada ahlinya. Tidak perlu punya jawaban sendiri. Cukup makmum pada yang ‘alim.

Nah, yang ‘alim, yang pura-pura ‘alim, yang sok ‘alim kini campur aduk. Sang ‘alim A dan sang ‘alim B berdebat tentang corona, hal biasa dalam dunia ilmu pengetahuan. Tapi sebagian rakyat tidak biasa. Inginnya yang pasti-pasti. Apalagi dalam masa darurat. Perdebatan itu bisik-bisik saja. Jangan sampai wartawan tahu. Jangan sampai YouTube tahu. Bahaya! Lama-lama, bisa bikin rontok kepercayaan.

Kalau saja sejak kanak-kanak diajarkan bahwa ilmu pasti itu tidak pasti-pasti amat, perbedaan pandangan para ‘alim, para ilmuwan, tidak terlalu membuat kaget. Dulu orang percaya bumi datar dan dikelilingi matahari. Kitab Suci bilang begitu, masa tidak percaya. Setelah ilmu makin berkembang, dogma itu runtuh. Bumi itu bulat dan berputar mengelilingi matahari. Bukan geosentris tapi heliosentris. Kitab Suci disingkirkan. Atau dikoreksi. Atau, setidaknya, direinterpretasi.

Belakangan, gagasan bumi datar itu ramai lagi. Tidak hanya berdasar “ilmu pasti” tapi juga dibubuhi teori konspirasi. Pandemi ini juga tidak sepi dari teori konspirasi. Katanya, virus ini buatan segelintir orang. Tujuannya duit, dengan cara jual vaksin. Ada juga yang menyisipkkan kemungkinan depopulasi umat manusia. Demi kebaikan umat manusia dan alam, sebagian manusia harus mati. Mirip-mirip gagasan Hitler ketika membantai Yahudi dan orang-orang cacat.

Manusia tidak tahu asal muasal dan mau ke mana akhirnya. Agama memberi tahu, memberi jawaban. Sebagian percaya. Kemudian, setelah akal “cukup maju”, agama disingkirkan. Manusia punya jawabannya sendiri atas misteri sangkan paran. Sebagian mengoreksi jawaban lama. Sebagian tidak. Keukeuh pada iman dan agama. Sebagian ambil jalan tengah: agnostik.

Dalam ilmu alam, bidang yang mengkaji virus namanya virologi. Tapi, karena agama membahas dan mengurusi semua aspek kehidupan, hal ihwal virus juga bisa dibahasnya: virus adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan bukan tanpa tujuan. Tujuannya apa? Ujian, cobaan, teguran, azab, agar manusia makin bertakwa, agar manusia yakin bahwa hidup jangan jumawa: oleh mahluk miskroskopik begitu saja kacau seisi dunia. Tuhan, gitu lho. Maha Kuasa. Demikian, sebagian, yang beredar luas di media. Perenungan para tokoh agama.

Apakah “jawaban” itu membuat umat tenang? Ada yang tenang. Ada juga yang tetap resah. Ada yang puas. Ada yang masih penasaran.

“Entah” pupus dengan jawab. Terlepas dari benar atau tidak jawaban itu, tapi akhirnya jadi “tahu”. Yang bikin cemas itu, panik itu, ketidaktahuan. Ketidakpastian. Bukan ketidakbenaran. Kasarnya, salah juga tak apa asal pasti. Asal jelas.

Tapi, hati-hati. Kesalahan yang dilazimkan bisa jadi kebenaran juga ujung-ujungnya. Seperti kesasar di jalan. Bisa saja kesasar sebab jalanan samar. Lagi pula, kalau terus jalan, lama-lama asik juga menikmati ketersasaran. Yang lain juga banyak yang kesasar. Sadar dan menyesal kesasar setelah sampai tujuan. Maksud hati ke A, karena salah ambil jalan, malah sampai ke Q. Kan jauh sekali. Untuk kembali ke “jalan yang benar” harus putar balik. Melelahkan.

Sayangnya, tidak ada putar balik dalam rute hidup. Sudah mati, ya, sudah. Tapi dogma eskatologi agama cukup menenangkan. Mati sejatinya bukan tamat, selesai, melainkan “hanya” meningggal(kan) dunia (fana ini). Nanti, bakal hidup lagi (di dunia kekal): sorga atau neraka.

Eits, jangan terninabobokan. Lagi pula, dunia kekal itu bukan “wilayah hukum” manusia. Kalau mau terima, iman, terima saja sebagai kabar gembira. Atau jadikan sebagai motivasi. Kalau tidak terima, jangan nyinyir pada yang menerima. Biasa saja.

Normal Baru

Pemerintah Indonesia membuat skenario Normal Baru. Nadi ekonomi akan kembali didenyutkan. Bertahap. Intinya, kegiatan ekonomi dan lain sebagainya akan berjalan lagi tetapi dengan variabel baru: protokol kesehatan COVID-19. Tapi, apakah cuma itu isinya Normal Baru?

Yang diurusi pemerintah memang itu. Regulasi. Aturan. Tapi, yang terkoreksi bukan cuma hal ihwal aturan kerja. Bukan sekedar ekonomi. Sistem nilai di masyarakat juga akan terkoreksi dengan sendirinya. Sebagian orang boleh jadi akan menerapkan kecurigaan alih-alih waspada dan hati-hati terhadap pendatang. Apalagi yang datang dari zona merah.

Atau mungkin orang-orang sudah muak dan lelah dengan syak wasangka. Akhirnya ambil jalan tegas: membolehkan sama sekali atau melarang sekalian. Jalan tengah selalu melelahkan. Harus jaga keseimbangan. Tidak terlalu curiga. Tidak terlalu percaya. Gara-garanya: “entah”.

Hidup dengan Normal Baru adalah hidup dengan sang “entah”. Hidup dengan “jangan-jangan”. Awalnya pasti kagok, kikuk, kaku. Merasa aneh. Tidak boleh berdempetan. Harus ber-masker. Sementara pemeriksaan dan pengobatan berlangsung di laboratorium dan rumah sakit, pencegahan  akan terjadi di mana-mana. Inilah Normal Baru.

Dunia kosmetik dan kecantikan wajah akan mengalami pukulan berat. Produsen pemerah bibir atau pengharum nafas pasti cari akal biar selamat. Mungkin banting stir jadi produsen masker sebab akan jadi mode juga akhirnya. Jadi fesyen. Akan ada masker berenda, masker bertahta intan berlian, masker yang dijahit dengan benang emas. Atau mungkin masker transparan anti sesak.

Kelak, popularitas masker akan bersaing—secara bisnis—dengan face shield (pelindung wajah). Atau bisa saja memproduksi keduanya. Sekaligus. Ah, bisnis memang selalu bisa menemukan celah. Dan selalu ada pembeli yang bersedia “ditipu.”

Setelah masa kagok itu, semua akan biasa-biasa saja. Akan “normal”. Wajah bermasker adalah kewajaran. Yang tidak, boleh jadi mendapat cibiran. Meja restoran bersekat adalah kelaziman. Warteg-warteg akan cari akal sebab “ruang makannya” tak cukup luas untuk turut protokol kesehatan.

Bagaimana nasib karnaval, festival-festival, pasar malam, tradisi dan kesenian etnik yang melekat padanya keberdempetan, keberdesakan, intimasi fisik? Agak sukar membayangkan Grebek Syawal di Yogyakarta atau panjat pinang Agustusan dengan jarak fisik. Lantas, apakah tradisi dan hal komunal nan berdesak-desakan semacam itu akan punah dengan sendirinya? Oleh sang “entah”?

Wabah Maut Hitam yang melanda Eropa dan Asia 700-an tahun lalu mengajarkan banyak hal. Betapa sang “entah” membuat koyak kehidupan. 75 juta orang mati. Ribuan Yahudi dan “yang liyan” diburu sebab diyakini sebagai pembawa petaka wabah. Tatanan sosial dan budaya saat itu porak-poranda.

Bencana Virus Corona 2019 tidak semerusak itu. Mudah-mudahan. Ilmu pengetahuan lebih maju dari 7 abad lalu. Kecurigaan tanpa dasar—seperti memburu Yahudi—akan ditertawakan. Bahkan tabrakan dengan HAM. Sang “entah” tidak terlalu mengerikan seperti di masa lalu. Tapi ia tetap ada.

Jika dahulu sang “entah” muncul karena kurangnya informasi dan pengetahuan, kini ia muncul justru karena terlalu banyaknya, banjirnya, informasi dan pengetahuan. Selamat datang di era Pasca Kebenaran. Masa ketika kebenaran menjadi “benar” sejauh ia viral dan diimani banyak orang. Benar bukan kualitas. Kini, ia jadi kuantitas.

Normal Baru pasca pandemi yang terjadi di era Pasca Kebenaran butuh kewarasan yang ajeg dan konsisten untuk dilakoni. Sementara itu, harapan harus terus nyala dan diupayakan. Bahan bakarnya adalah percaya.

Iman pada sorga atau tidak, konsiprasi atau bukan, yakinlah corona ini akan berlalu. Percayalah pada siapa pun, apa pun, yang menawarkan optimisme. Salah atau benar kepercayaan kita, itu urusan nanti. Percaya saja dulu, agar harapan tak mati. Sambil terus waspada.

Seperti kata Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam serat Kalathida-nya: “….begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada”. Sebahagia-bahagianya orang yang lalai, lebih bahagia orang yang eling (sadar, ngeh, ingat) dan waspada.

Bagaimanapun nantinya Normal Baru itu, masih berjarak atau tidak sholat berjamaah kelak, life must go on!
 
Panjalu, 26 Mei 2020

ket. gambar:
Tayuban, suatu ketika tahun 2009 di Padepokan Seni Rengganis Ciamis.

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...