Sabtu, 29 Oktober 2016

Waria (II)


(Toilet di sebuah kampus di Inggris)

Waria (II)

Sore tadi, seorang kawan datang mengunjungi saya. Cukup lama kami tak jumpa. Kami memang jarang jumpa kecuali ada hal yang perlu dibicarakan. Ia seorang ketua sebuah organisasi di Ciamis. Dalam kurun waktu sekarang-sekarang ini kami memang sedang bekerjasama dalam sebuah pekerjaan kecil. Tak biasanya ia lama duduk berbincang. Biasanya hanya sebentar saja, asal sudah mengutarakan maksud, ia biasanya langsung pulang. Istri sudah menunggunya di rumah, katanya. Namun sore ini, karena memang hujan sedari siang turun tak henti, ia duduk cukup lama. kami berbincang banyak hal, sedari hal yang menyangkut pekerjaan kami hingga meluas ke topik yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bidang kerjasama kami.

Dari sekian panjang kami bercakap, ada hal yang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Ia bercerita bahwa seorang kawannya pernah bertanya apakah saya seorang bencong (waria) atau gay? Pertanyaan serupa pun sempat terlontar dari istrinya sendiri. Alasan sang istri bertanya ialah karena suatu ketika tatkala usai ia menyaksikan saya berakting dalam sebuah pementasan teater, ia mengunggah foto dirinya (dan beberapa orang lain) bersama saya, lantas seorang kawannya bertanya tentang saya, bencong atau gay? Mendengar kisah itu dari kawan yang lama tak jumpa, pecahlah tawa saya terbahak-bahak. Usai habis tertawa, barulah saya menjelasan tentang keakraban saya dengan beberapa kawan waria yang berawal dari sebuah riset kecil-kecilan untuk kepentingan pembuatan naskah drama sekitar setahun yang lalu (hingga kini, naskah itu belum kunjung rampung). Beberapa kali pula saya terlibat dalam acara ihwal HIV/AIDS yang sebagian para penggiatnya adalah kawan-kawan waria. Keakraban ini memang saya unggah di beberapa media sosial. Dengan beberapa kawan waria, kami sering saling berbalas komentar atau sekedar memberi jempol di Facebook. Barangkali dari media sosial itulah asal mula pertanyaan tentang “identitas” saya.

Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, saya anggap sebagai dampak yang wajar dari keakraban dengan dunia waria, khususnya yang saya sebarluaskan di media sosial. Tentang dampak medsos, pada bulan puasa tahun ini, ketika saya ribut dengan beberapa kawan dari sebuah ormas keagamaan, serta merta mereka melabeli saya dengan “aktivis LGBT”, “PKI”, “Komunis”, “Liberal”, dan label lainnya yang menurut mereka layak disematkan. Yang menggelitik ialah label “Komunis” dan “Liberal” yang disematkan berbarengan pada saya oleh kawan-kawan itu, sungguh luar biasa. Baiklah, ini sekedar intermezo saja, atau boleh jadi ini bahan renungan bahwa media sosial ternyata sangat berpotensi mendeviasi identitas. Apa-apa yang kita unggah di medsos ternyata kerap dibaca lain oleh masyarakat dumay (dunia  maya). Dan memang ada pula masyarakat dumay yang sengaja mengkaburkan identitasnya untuk tujuan tertentu. Sebetulnya itu wajar saja jika kita merujuk pada kata maya yang menurut KBBI berarti : hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan. Anehnya, orang-orang di era tekno seperti sekarang ini lebih menganggap dunia maya sebagai realitas yang sesungguhnya.

Dari kawan itu pula lantas kami sedikit membicarakan waria. Ia bercerita, pernah suatu ketika ia mendapat tawaran kerjasama dari para penggiat HIV/AIDS di Ciamis. Ia tidak menceritakan detil kegiatan yang dimaksud, namun barangkali para penggiat HIV/AIDS itu berniat mengadakan semacam sosialisasi seputar HIV/AIDS. Tawaran dari para penggiat HIV/AIDS yang beberapa adalah waria itu ditolak oleh kawan saya ini. Belum siap, katanya. Ia, dan kelompoknya, belum siap jika suatu ketika masyarakat memandang miring padanya dan kelompoknya karena bergaul dengan waria, karena terlibat dalam suatu kegiatan dengan waria. Ia belum siap menerima dampak buruk akibat persinggunganya dengan waria meski dalam bentuk kegiatan yang boleh dikata positif. Ia bilang bahwa masyarakat Ciamis belum siap menerima waria secara terbuka. Itu pendapatnya, dan saya kira sah-sah saja meski pengatasnamaan masyarakat Ciamis barangkali perlu tinjauan yang lebih mendalam.

Benarkah demikian? Entahlah. Saya agak berat jika musti bersuara mengatasanamakan masyarakat. Kalaupun harus, paling berani saya hanya menduga-duga saja, tentu dengan pijakan argumen yang lebih dulu saya olah masak-masak.

Di Ciamis, atau barangkali di Indonesia, membicarakan waria memang belum selugas membicarakan WPS (wanita penjaja seks), misalnya. Identitas mereka yang dipandang abu-abu aganya menjadi sebab gagapnya kebanyakan masyarakat tatkala membahas waria. Kalaupun dibahas, sekian label buruk cenderung lebih dulu melekat ketimbang melihat waria secara bersih, tanpa prasangka. Apriori ini kerap menjali ganjalan untuk sebuah pandangan utuh dan jernih mengenai waria dan persoalan-persoalan mereka. Jika saja prasangka ini bisa sedikit pudar dan lebih mengedepankan akal sehat, agaknya waria akan lebih punya tempat yang cukup layak di masyarakat.

Melihat dandanannya saja, mungkin orang-orang sudah punya sekian tafsir yang berkonotasi negatif. Dan ketimbang tabayyun, konfirmasi, klarifikasi, atau mengkaji lebih dalam, barangkali orang-orang akan lebih suka tenggelam dalam prasangka buruk mereka dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Prasangka bahwa waria adalah mahluk terkutuk, kotor, manusia kelas dua, amoral, sampah masyarakat, penentang kodrat, hina, dan predikat buruk lainnya telah terpatri menjadi keyakinan, keyakinan palsu, saya kira. Keyakinan yang berangkat dari prasangka prematur tanpa verifikasi adalah keyakinan palsu. Meski berstatus keyakinan palsu namun keyakinan ini terlanjur diimani mendalam oleh sebagian masyarakat. Mereka, yang mengimani keyakinan palsu itu, biasanya lebih suka menghakimi ketimbang memberi solusi.

Jika keyakinan ini terhujam dalam, wajar saja jika sebagian lelaki akan lari terbirit-birit ketika satu atau dua waria mendekatinya, bahkan untuk sekedar ngamen. Sering saya menyaksikan beberapa lelaki yang tengah nongkrong di alun-alun Ciamis lari tunggang langgang, ketakutan, jika ada waria yang hendak menghampiri. Kalau saja kita tanya alasan ketakutannya, barangkali ia akan kebingunan sendiri, mengapa ia ketakutan. Usai bingung, mereka barangkali dengan sederhana akan menjawab ngeuleuh (jijik). Dan jika kita bertanya kembali, kenapa jijik? Apanya yang membuat jijik? Kebanyakan mereka akan hanya diam tanda kebingungan.

Mereka yang kebingungan tatkala ditanya alasan ketakutannya, juga sama bingungnya dengan saya melihat kelakuan mereka. Jika saja waria itu membawa senjata tajam, ketakutan mereka barangkali cukup masuk akal. Kalau para lelaki yang terbirit-birit itu takut diperkosa waria, saya kira itu ketakutan yang ultra-hiperlebay. Berdasar percakapan saya dengan Teh Anggur Sanjaya, ketua komunitas waria Ciamis, film-film menyumbang cukup banyak bagi citra (buruk) waria di masyarakat. Pada film-film tertentu sering kita saksikan adegan waria yang menodongkan silet, pisau, atau senjata tajam lainnya pada para lelaki yang mereka santroni. Senjata-senjata itu biasanya mereka sembunyikan dalam tas. Adegan ini memang terjadi, hanya saja tidak di semua tempat. Ketimbang waria rampok begitu, waria tanpa senjata tajam masih jauh lebih banyak jumlahnya. Di beberapa daerah, khususnya di perkotaan, kawasan pelabuhan, kawasan-kawasan yang terkenal garang, memang kejadian bak di film-film itu pernah terjadi. Tetapi gambaran itu bukanlah representasi yang bisa mewakili karakter dan kehidupan waria secara umum. Berbicara perampok, saya kira tidak berkaitan dengan identitas gender seseorang. Adegan-adegan film, yang adalah bohongan itu, sudah terlanjur menjadi bagian dari keyakinan palsu sebagian masyarakat. Inilah dahsyatnya dampak film. Selain sebagai karya seni, film juga punya andil besar dalam menggiring persepsi masyarakat dalam memandang suatu persoalan. Film-film yang bisa ditonton berjuta-juta pasang mata dengan biaya relatif murah menjadi alat hipnotis yang cukup manjur terlebih dengan kehadiran pesawat televisi macam hari ini. Kotak kaca itu telah jadi media sihir murah meriah yang cukup efektif.

Agaknya keyakian palsu ini sudah menghujam hingga ke alam bawah sadar sehingga ketika ada waria mendekat, tanpa harus berpikir, para lelaki itu lari tunggang langgang atau sekedar bergidik tanda jijik. Jika hendak ditelaah, apa yang jijik dari waria? Mereka toh adalah manusia, lengkap dengan cipta, rasa dan karsa. Mereka terpaksa menjadi manusia kelas dua karena konstruksi sosial tidak memberi ruang yang cukup buat mereka beraktualisasi. Mengapa tidak waria menjadi PNS, pegawai bank, pembalap, pilot, tentara, guru, dokter, politisi, menteri, atau profesi lainnya.

Sudah menjadi formula umum jika suatu hal yang berada diluar mainstream pastilah dibilang aneh, tak lazim, dan lebih parah lagi, mereka yang out of the box ini lantas mendapat kutukan dan caci maki hanya karena mereka berbeda dari yang banyak. Agaknya, di abad XXI ini, setidaknya di Ciamis, identitas gender masih bisa menjadi senjata diskriminasi yang masih sering digaungkan. Jangankan identitas gender, ekspresi gender saja masih kerap menjadi bahan gosip yang sering berkelanjutan menjadi tuduhan bernada miring, lagi-lagi keyakinan palsu.

Saya tidak membayangkan Indonesia kelak seperti Thailand yang punya ratu waria yang mendunia atau seperti AS yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Saya hanya membayangkan jika waria bisa seperti masyarakat lainnya dalam mengakses pekerjaan, pendidikan, fasilitas kesehatan dan bidang lainnya. Saya membayangkan ketika negara tidak lagi mempersoalkan identitas dan ekspresi gender. Dan saya berharap kelak mereka mendapat tempat yang layak dalam jalinan hubungan antar manusia, sebab mereka adalah manusia.

Rengganis
28 – 29 Oktober 2016

Sabtu, 22 Oktober 2016

Teater Di Ciamis; Catatan Seorang Mualaf Teater


(Teater Epidaurus, Yunani. Dibangun sekitar abad IV SM)

Teater Di Ciamis
Catatan Seorang Mualaf Teater

Teater, kata dengan definisi yang kompleks. Teater sebagai kata benda pun sudah punya banyak pengertian, batasannya nyaris tak jelas. Apalagi jika ditambah teater sebagai kata kerja. Definisi ala KBBI atau kamus mana pun saya kira tak mampu mewadahi secara utuh. Di kampus-kampus, boleh jadi teater masih punya sekian batasan yang cukup jelas, namun ketika ia mengalir ke masyarakat luas, definisi-definisi ala kampus itu sudah tak mampu lagi membatasi peristiwa yang terjadi. Saya kira ini tak hanya terjadi pada teater saja. Segala hal produk keilmuan (sosial budaya) jika telah merembes ke masyarakat, boleh jadi mengalami perubahan begitu rupa yang bahkan bisa sangat jauh dari pengertian awal. Namun saya tidak bermaksud memaparkan pengertian teater sebab saya pun masih kerap dibingungkan olehnya.

Saya tinggal di wilayah selatan Jawa Barat. Kabupaten Ciamis, namanya. Konon, dahulu kala, Ciamis ini merupakan pusat kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda. Ciamis pun pernah menjadi “jajahan” Mataram Islam pada awal abad 17 M. Sebagai daerah yang punya sejarah panjang, Ciamis kaya akan beragam kesenian dan adat istiadat. Salah satu bentuk kesenian yang ada adalah teater tradisional. Di beberapa daerah di Ciamis, sandirwara dulu sempat mengalami masa jaya. Bahkan di daerah Banjarsari, ada kesenian Manorék, semacam sandiwara namun dimainkan dengan dwi bahasa, Sunda dan Jawa Banyumasan. Akulturasi ini hadir karena daerah Banjarsari bisa digolongkan daerah perbatasan. Bahkan ada beberapa kampung di Banjarsari yang menggunakan bahasa Jawa Banyumasan sebagai bahasa sehari-hari.

Bagaimana dengan nasib kesenian modern? Sama seperti daerah lain, kesenian modern di Ciamis pun punya tempat tersendiri. Bahkan banyak bentuk kesenian tradisi yang telah memberi sentuhan seni modern pada tiap pagelarannya. Lantas bagaimana dengan teater modern?

Membicarakan teater modern di Ciamis, saya tak bisa bicara banyak, apalagi ihwal sejarah. Saya masih terbilang awam, baru, mualaf di teater Ciamis. Barangkali ada pula yang memandang tulisan ini sebagai wujud kelancangan dari saya yang ingusan ini. Itu jika mau berprasangka buruk. Tapi, biarlah. Saya enggan memusingkan diri dengan prasangka-prasangka yang malah menjadi penjara.

Entah sejak kapan teater modern lahir di Ciamis. Pengertian lahir dalam hal ini adalah pertama kali adanya pentas teater modern di Ciamis yang diproduksi oleh kelompok teater yang ada di Ciamis pula. Jika sebatas pentas teater modern, bisa saja kelompok teater dari luar Ciamis berkunjung dan menggelar pementasannya di kota Galendo ini. Sependek yang saya ketahui, dahulu konon ada kelompok teater bernama Teater AIU, yang sering beraktivitas di daerah Ciamis Kota. Tersebutlah nama Wawan S. Arifien sebagai salah seorang penggiat di kelompok ini. Saat aktif di AIU, beliau berprofesi sebagai guru di salah satu SD di Ciamis. Kini beliau saya kenal sebagai Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Ciamis. Saya tidak tahu tahun berapa kelompok ini eksis dan tidak mengetahui pula jenis pertunjukan teater macam bagaimana yang menjadi kekhususan mereka. Saya hanya mengenal kelompok ini dari cerita-cerita para penggiat seni yang sempat mengenalnya, Noer JM salah satunya. Konon, beliau adalah salah satu penggiat di kelompok ini. Ia sering menyebut-nyebut nama Teater AIU sebagai salah satu kelompok yang pernah mewarnai dunia teater modern Ciamis.

Pernah pula saya mendengar nama Teater Korsi, kelompok teater yang pernah juga terpatri namanya, setidaknya dalam ingatan para mantan penggiatnya. Masih Noer JM, yang sering bercerita tentang hal ini. Konon, ia dan beberapa kawanlah  yang mendirikan Teater Korsi. Sama seperti Teater AIU, saya kurang mengetahui jejak karya Teater Korsi. Entah foto, video, atau berita di koran, saya belum sempat menemukannya karena memang belum sempat pula saya menelusuri secara lebih mendalam terkait hal ini. Saya hanya sempat mendengar kedua nama itu terselip dalam pembicaraan Noer JM, Dadang Q’most (Dan’Q), Toni Lesmana, Godi Suwarna, atau para sesepuh lain yang pada masa mudanya adalah aktivis teater di Ciamis. Bahkan beberapa dari mereka masih sering terlibat aktif dalam beberapa produksi teater atau kegiatan kesenian lainnya di Ciamis.  Meski usia tak lagi muda, namun kecintaan mereka pada dunia seni masih kentara meski dengan wujud dan kadar yang berbeda dibanding saat mereka masih bugar belasan tahun lalu.

Teater Balangatrang adalah nama lain yang sempat saya dengar. Konon, Dadang Q’most adalah salah satu yang membidani kelahirannya. Sebelum Universitas Galuh (UNIGAL) menjadi seperti sekarang, dahulu STKIP Galuh adalah cikal bakalnya. Pada masa itulah Teater Balangantrang lahir sebagai teater berbasis kampus. Entah atas alasan apa, nama Balangantrang berganti menjadi Teater Titik Dua. Nama itu kemudian diubah kembali menjadi Teatet Tangtutilu. Anggie Sri Wilujeng konon sempat membina kelompok ini untuk beberapa saat. Teater Tangtutilu saat ini berstatus sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNIGAL, Ciamis. Saya memang miskin informasi dan wawasan ihwal Teater Balangantrang, Teater Titik Dua, atau Teater Tangtutilu periode awal. Sama dengan dua kelompok teater yang lebih dulu disebut, profil, identitas, madzhab teater serta karya-karya kelompok teater kampus ini tidak saya ketahui kecuali Teater Tangtutilu sejak tahun 2010. Sejak tahun itu, mulailah saya  mengenal kelompok ini secara langsung dan tergabung di dalamnya (tak lebih dari dari satu tahun) selama menyandang status mahasiswa tingkat satu di kampus ungu itu.

Dalam waktu singkat itu, sempat saya menggarap lakon Ben Go Tun (Saini KM). Hanya saja proses itu terhenti hanya pada fase reading. Sukarnya kawan-kawan Tangtutilu mengatur waktu dan energi serta asingnya mereka akan “tradisi teater modern” adalah faktor utama gagalnya lakon itu dipentaskan disamping kualitas mental dan motivasi mereka yang rendah.

Sependek perkenalan saya, hanya dua lakon teater indoor otonom (tidak menempel pada kegiatan lain) yang pernah saya ketahui diproduksi oleh mereka. Yang satu adalah naskah buatan mereka sendiri. Yang lain adalah naskah karya Yoyo C. Durachman. Jika tak keliru mengingat, judulnya Dunia Seolah-Olah. Pada perkembangannya kini, agaknya Tangtutilu lebih berorientasi pada format teater oratorium ketimbang pertunjukan teater modern yang biasa hadir di auditorium gedung-gedung pertunjukan. Malah belakangan, mereka lebih terkonsentrasi pada  garapan tari prosesi untuk kepentingan acara-acara formal universitas. Saya kurang tahu juga, sebagai sebuah kelompok teater, mengapa mereka lebih asik latihan menari dan menabuh gamelan ketimbang mencumbui teater secara lebih intim dan khusuk.

Adalah Teater Jagat, sebuah nama kelompok teater yang gaungnya masih terdengar hingga kini. Kelompok ini bermarkas di Kawali, sebuah daerah di Utara Ciamis yang memang kaya akan potensi seni. Melacak sejarah teater ini agaknya Dadang Q’most, Pandu Radea, Didon Nurdani, Otong Durahim, Abdul Halim, dan sekian nama lain keluarga besar SMAN 1 Kawali tentunya yang paling fasih bicara. Sependek pengetahuan saya, nama-nama yang saya tuliskan itu merupakan aktivis teater generasi-generasi awal yang melahirkan Teater Jagat. Nama sesepuh kesenian Godi Suwarna pun konon tercatat sebagai tokoh yang turut andil dalam kelahiran dan perkembangannya. Keberadaan situs Astana Gede yang berdekatan dengan SMAN 1 Kawali menjadi stimulus tersendiri bagi perkembangan mereka. Acara dua tahunan, Nyiar Lumar, adalah stimulus lain yang boleh jadi menyumbang besar selama perjalanan kelompok ini, jika tidak dikatakan sebagai dialektika Teater Jagat dan Astana Gede. Pada 2011 saya pernah menyutradari di Teater Jagat SMAN 1 Kawali. Séksa, sebuah drama bahasa Sunda karya Dhipa Galuh Purba kami pilih sebagai sajian lakon pada Festival Drama Basa Sunda (FDBS) tingkat pelajar. Nasib saya di Jagat hanya seumur jagung. Jika tak keliru, usai garapan itu hingga kini, Emam Hermansyah Sastrapraja adalah yang membina teater ini. Beliau adalah alumni jurusan teater STSI Bandung. Sedikit bernostalgia, beliau adalah orang yang kali pertama memperkenalkan saya dengan teater modern. Jika saya pandang sekarang, waktu itu beliau agaknya meminjam gagasan Brechtian yang sering dimiripkan dengan bentuk teater tradisional Sunda, Longser. Lakon Kumbakarna Gugur adalah awal mula saya manggung sebagai aktor.

Mendengar kabar angin, selain menggeluti teater, Jagat kini pun merambah ke dunia perfilman dan pertelevisian. Persoalan kacenderungan bentuk dan karya-karya Teater Jagat, saya masih perlu banyak mengkaji lagi. Hingga saat ini, saya belum mampu menyimpulkan mengenai hal ini sebab masing-masing tangan sutradara punya bentuk dan gaya yang berlainan, sedang Jagat sudah ditangani sekian sutradara dengan sekian kecenderungan pula. Sebagai yang pernah menyutradari di Teater Jagat, the teste of Teater Jagat bagi saya agaknya masih bergantung pada the teste of directornya. Dalam kasus ini, cita rasa kelompok pada akhirnya bergantung pada cita rasa penggarapnya, meski ada pula beberapa kelompok teater lain yang punya cita rasa khas kelompok terlepas dari siapapun sutradaranya.   

Denyut teater Ciamis erat dengan dunia sekolahan. Seperti Teater Jagat yang merupakan ekstrakulikuler di SMAN 1 Kawali, ada pula beberapa kelompok teater lainnya dengan status yang sama, Teater Luhur misalnya. Kelompok ini merupakan ekstrakulikuler di SMPN 1 Ciamis. Nama teater ini tak bisa lepas dari sosok Dadang Q’most (Dan’Q) sebagai salah satu tenaga pengajar serta motor penggerak kesenian di sekolah tersebut. Selain beliau, patut pula dicatat nama Jaro X Yus, sebuah nama yang sangat familiar di peta kesenian Ciamis. Alumni jurusan teater STSI Bandung ini lebih dari 8 tahun membina teater di SMPN 1 Ciamis (jika saya tak keliru mengingat tahun). Entah berapa banyak anak didiknya yang melanjutkan minat keseniannya ke jenjang yang lebih serius. Sepeninggalan Jaro X Yus dari Luhur, kini Aris Didu Sanjaya menggantikannya mengomandani kelompok ini. Selain sempat di  Teater Luhur, Jaro X Yus juga membina teater di Teater Doea milik SMAN 2 Ciamis dan Teater Tanah Merah SMAN 1 Baregbeg. Untuk Teater Tanah Merah, saya kurang begitu tahu, apakah masih diasuh olehnya atau tidak. Sedang Teater Doea hingga kini masih menjadi asuhannya.

SMAN 1 (Sanggar Seni Nuansa) dan SMAN 3 Ciamis agaknya lebih asik dalam bidang seni lain dibanding teater. Sedang SMKN 1 dengan Sanggar Kharisma-nya meski rutin mengadakan pertunjukan setahun sekali, namun perkenalannya dengan “tradisi teater modern” masih jauh dari kata akrab. Sedang SMKN 2  Ciamis, belum pernah saya dengar geliat teater modernya secara kelembagaan meski beberapa siswanya secara pribadi punya potensi di bidang ini.

SMPN 2, 3, 5, 6 dan 8 belum sempat saya cium aroma teater modernnya, sependek perkenalan saya, entah di masa lampau mereka. Sedang SMPN 4 Ciamis punya Erwin Tejasomantri. Alumni Teater Lakon UPI Bandung yang menjadi pengajar komputer ini, meski dengan geliat yang tak terlalu menonjol namun layak dicatat sebagai penjaga gawang Teater Sempat yang setia membina anak didiknya. Kesetiaan itu kadang muncul berwujud pertunjukan singkat pada acara-acara sekolah atau mengisi acara-acara umum lainnya, atau setidaknya rajin apresiasi baik pemetasan teater maupun acara kesenian lain. Menyoal SMPN 7 Ciamis, tatkala Bambang Yudiana masih tercatat sebagai keluarga besar SMPN 7 Ciamis, nafas teater setidaknya masih bisa dirasakan meski dengan kondisi terengah-engah. Beliau adalah salah satu deklamator yang jarang absen pada tiap panggung festival atau lomba baca puisi di beberapa daerah.

Di wilayah sekolah berbendera Islam Ciamis, teater modern agaknya belum menemukan maqomya. MAN 2 Ciamis yang pernah tercatat ikut meramaikan Festival Monolog Nasional tingkat pelajar di UNES, Semarang, Jawa Tengah dan Festival Teater Remaja di STSI Bandung, tak lagi terdengar deru teaternya. Padahal pada awal tahun 2000an, Teater Sangkala terbilang cukup khusuk bergiat di bawah asuhan Eman Hendarsyah Sastrapraja di MAN 2 Ciamis. Pernah pula, sekali saja saya melihat pementasan dari kelompok Teater Faslah, kelompok teater di bawah bendera Ponpes Darussalam Ciamis. Tahun 2007, kalau tak salah. Saya lupa lagi judul lakon yang mereka bawakan. Yang masih mampu saya ingat adalah lakon itu bernafas kritik sosial. Sayangnya pertunjukan itu menjadi pertunjukan Teater Faslah pertama dan terakhir yang sempat saya tonton hingga kini. Di bawah asuhan Abdul Halim (Halim Shinobu), seorang alumni jurusan teater STSI Bandung, kabarnya, kini dunia film menjadi wadah ekspresi yang lebih diminati oleh Teater Faslah.

Status sebagai ektrakulikuler sekolah, membuat kelompok-kelompok yang saya sebut di atas agaknya lebih memfokuskan pergerakannya di ruang domestik kampus masing-masing. Adapun keikutsertaan mereka dalam kompetisi teater masih terbatas pada even-even plat merah walaupun ada beberapa yang pernah keluar dari tradisi “dinas”.

Di penghujung 2009, Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) lahir dan agaknya cukup menyumbangkan darah segar pada nadi teater di Tatar Galuh. TTMC merupakan kelompok non-lemdik (lembaga pendidikan; non-kampus, non-sekolah, non-ponpes) yang didirikan beberapa penggiat seni di Ciamis. Sejak kelahirannya hingga saat ini, eksistensinya masih tetap terjaga setidaknya dengan rutin menggelar pertunjukan teater tiap tahun, ada atau tidak ada even disamping menggelar Marlam (Majelis Sore Malam), sebuah ruang diskusi yang berpijak pada cerpen yang diadakan secara periodik dua minggu sekali.

Tak bisa dipungkiri, adanya even-even kesenian serupa festival teater atau proyek-proyek pemerintah bisa jadi stimulus untuk melahirkan sebuah kelompok teater, TTMC salah satunya. Kelompok ini lahir untuk kepentingan FDBS, pada awalnya. Setelah tiga lakon pertama diproduksi untuk kepentingan festival (FDBS dan FNK Teater Remaja), baru sejak 2011 TTMC berhasil melepaskan diri dari belenggu proyek dan festival-festival itu. Meski demikian, keikutsertaan kelompok ini dalam FDBS masih tetap dipertahankan sebagai napak tilas dan ajang silaturraheim, selain mengukur langkah dalam kerja kreatif teater. Saya kira, kelompok serupa TTMC (dalam hal stimulus kelahiran) cukuplah banyak. Ini sehat–sehat saja selama tidak  kecanduan. Jika tak mampu lepas dari stimulus eksternal ini, kelompok hanya akan jadi perkumpulan selebritis semata, yang hadir pada hajatan-hajatan saja atau akan jadi fenomena obor karari dalam istilah bahasa Sunda, sekali berarti setelah itu hangus mampus. Ketergantungan pada festival atau kegiatan-kegiatan serupa saja malah akan jadi kecenderungan yang kurang sehat bagi perkembangan teater modern itu sendiri, khususnya di Ciamis. Independensi sebuah kelompok (non lembaga pendidikan) dan pertunjukan teater harus diupayakan sedemikan rupa agar artikulasi kreatifnya tidak tersendat, gagap, dan terbata-bata.  

Validitas data nama-nama kelompok, nama tokoh berikut kisahnya yang saya tulis di atas masih sangat layak disangsikan. Nama Teater Dalit yang sempat saya tangkap dari beberapa  tuturan Noer JM, luput dari ingatan mengenai detil kisah dan identitasnya. Saya hanya mendasarkan “catatan sejarah” ini dari cerita-cerita nostalgia para sesepuh dan sedikit pengalaman saya sendiri. Nama-nama itu pun belumlah mencakup seluruh wilayah Kabupaten Ciamis yang 27 kecamatan ini (menjadi 41 jika ditambah Kota Banar dan Kabupaten Pangandaran sebagai eks wilayah kabupaten Ciamis). Boleh jadi pernah ada kelompok teater modern di Panawangan, Sukamantri, Rancah. Lakbok, Rajadesa, Lumbung, Pamarican, atau daerah lainnya yang luput dari pantauan. Wawasan saya akan hal ini masihlah terlampau dangkal.

Menyoal bentuk pertunjukan teater yang menjadi kecederungan di Ciamis, di luar kelompok TTMC, saya belum mampu bicara banyak. Sebagian besar kelompok teater yang saya sebut di atas notabene adalah kelompok berbasis sekolahan, dan saya bukanlah seorang yang terlibat aktif di sekolah manapun di Ciamis. Hanya sesekali saya menonton aksi mereka, itu pun di ruang yang terbatas. Jadi agaknya membicarakan bentuk pertunjukan teater ala kelompok ekstrakulikuler sekolah atau UKM kampus di Ciamis masih perlu kajian yang lebih komprehensif. Selain nyaris tidak adanya pertunjukan otonom dari kelompok-kelompok teater tersebut, pergaulan saya yang kuper (kurang pergaulan) dan kudet (kurang up date), wawasan dan pengalaman yang masih sangat dangkal, serta fakirnya pemahaman saya akan teater adalah kendala pasti bagi bahasan ini.

Akhirnya, tulisan ini boleh jadi sebagai wujud harapan saya akan hidupnya nafas teater modern di Ciamis yang sinambung. Saya sebagai genarasi hijau nan miskin ilmu terpaksa puas hanya dengan mendengar kisah-kisah nostalgia dari para pendahulu teater Ciamis, meskipun  beberapa jejaknya masih dapat saya cercap hingga kini. Walau tak sempat sejaman dan terasuh, namun tak berlebihan kiranya jika saya haturkan terima kasih pada mereka yang lebih dulu memantik api teater modern di Tatar Galuh ini. Tanpa mereka, barangkali Ciamis akan benar-benar ada dalam the dark ages. Saya yakin mereka masih gagah, masih mencintai, dan bersemangat, hanya saja barangkali usia dan yang turut serta dengannya, membuat mereka memilih wujud cinta yang lain.

Lihatkah! Sembilan puluh tahun penuh warna.
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.   

(bait 9, puisi Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya karya W. S. Rendra)

Ciamis – Cijulang
2016

Rabu, 19 Oktober 2016

WARIA (I)


Waria (I)

Senin dini hari, saya sampai di stasiun Wonokromo, Surabaya. Waktu itu sekitar jam 2. Tak lama menunggu, kakak ipar saya datang menjemput. Pagi hari, saya diajak jalan-jalan ke Tugu Pahlawan dan Museum 10 Nopember. Mendengar namanya, sudah bisa dipastikan apa yang ada di objek wisata itu. Menuju ke lokasi itu, saya di suguhi pemandangan kota Surabaya yang serba modern. Jalan aspal yang lebar lengkap dengan kemacetannya, gedung-gedung bertingkat khas perkotaan, pusat perbelanjaan yang nyaris semua bertuliskan bahasa asing, dan beberapa patung serta monumen sebagai ciri bahwa dahulu kala di kota ini pernah terjadi pertempuran dahsyat melawan bangsa asing. Ya, asing yang dulu ditendang dan asing yang kini disayang.

Selepas isya, saya kembali diajak menyusuri kota Bung Tomo itu. Kali ini Lapangan Makodam V Brawijaya adalah tujuan pertama kami. Sejak sore, lapangan ini sudah mulai dipenuhi para pedagang. Mereka bersiap menyambut sekian warga Surabaya dan sekitarnya yang hendak berburu barang khas pasar malam serupa baju, perabotan rumah tangga, aksesoris perhiasan, dan lainnya yang tentunya serba murah. Atau para orang tua yang hendak memanjakan anaknya dengan wahana bermain anak-anak yang serba murah meriah pula. Ini terjadi tiap malam. Lapangan Makodam V Brawijaya memang punya banyak fungsi. Sejak sore hingga sekitar jam 10 malam, tempat ini akan berubah menjadi pasar malam. Orang-orang sekitarnya cukup menyebut dengan “Lapangan Kodam” saja tanpa embel-embel pasar malam. Sekitar jam 3 dini hari, entah berapa puluh tentara akan membersihkan lapangan luas itu sampai tak tersisa sedikit pun kotoran dan sampah, dan ini termasuk tugas dinas. Ajaib.

Usai puas berkeliling Lapangan Kodam, saya diajak keponakan saya menuju Taman Bungkul, taman kebanggaan walikota Surabaya yang fenomenal itu, ya, Tri Rismaharini. Saya tak terlalu merasakan kenikmatan taman ini. Barangkali karena saya terlalu sering nongkrong dan begadang di tempat ramai nan terbuka, jadi suguhan Taman Bungkul malam hari bukan suatu yang istimewa. Bicara hal istimewa, salah satu yang istimewa dari suatu daerah adalah kulinernya. Saya memang tak sempat mencicipi banyak kuliner khas Surabaya, namun yang masih saya ingat adalah ketika kakak saya membelikan panganan rujak cingur. Sajian makanan yang aneh menurut saya. Ada toge, tahu, dan lontong. Itu bahan yang memang wajar bila disajikan bersama, namun jika ketiga itu disatukan dengan mangga muda yang asam, ini cukup aneh, saya kira. Belum lagi bumbunya yang terbuat dari bahan dasar udang, membuatnya agak berbau terasi, dan rasanya cukup tak biasa. Dan yang membuat saya enggan memakan habis rujak cingur itu adalah ketika mengetahui ternyata pada rujak itu ada lidah dan bibir sapi. Seperti namanya, cingur yang dalam bahasa Indonesia konon berarti mulut, panganan ini menjagokan lidah dan bibir sapi sebagai bahan utama. Bagi yang terbiasa, makanan ini barangkali punya kelezatan yang unik. Namun bagi saya yang baru mencicipi dan tak menyukai lidah dan bibir sapi, rujak cingur adalah jenis kuliner yang cukup saya rasakan sekali saja.

Selain objek wisata dan kuliner yang yang sudah dijajal, bagi saya Surabaya masih punya keistimewaan lain, atau lebih tepatnya keunikan, setidaknya ini dari pandangan saya. Adalah Kembang Kuning, sebuah komplek pemakaman Kristen yang ada di pinggiran Surabaya. Entah berapa ratus makam yang ada di sana. Penuh sesak, sama seperti rumah-rumah orang yang masih hidup di kota ini. Saya dan ponakan mengendarai motor. Di kanan-kiri kami berjejal makam-makam dengan tanda salib. Ada beberapa warung kopi kecilan yang berjualan di sela antara makam yang masih agak luas. Dan yang membuat saya terheran sekaligus kagum adalah keberadaan para waria yang menjajakan jasa pelayanan aktivitas seks. Ya, mereka mangkal di situ, di atas atau di samping makam-makam itu. Satu nisan, satu waria. Malam itu ada sekitar 5 atau 7 waria yang saya lihat. Sekilas agaknya boleh jadi pemandangan itu mirip adegan di film-film horor. Tengah malam, para waria memenuhi pekuburan dengan dandanan cantik dan pewangi tubuh yang menggairahkan. Masing-masing mereka stand by di nisan yang berlainan. Dan warung-warung yang saya ceritakan di atas, bukanlah warung kopi biasa. Tentu saja, warung itu adalah information centrenya. Konon para pemilik warung itu juga adalah germo bagi para waria tersebut. Selain waria, ada beberapa WPS (Wanita Penjaja Seks) tampak nongkrong di komplek kuburan itu juga meski hanya satu dua yang saya lihat. Persoalan di mana mereka “bermain”, saya sama sekali tidak tahu. Apakah mereka “bermain” di antara kuburan-kuburan itu, atau mencari tempat lain? Entahlah.

Membicarakan waria, saya jadi teringat kawan saya, seorang waria. Anggur Sanjaya, namanya. Mungkin sudah sekitar setahun saya mengenal ketua Srikandi Panjalu (komunitas waria di Ciamis) ini. Perjumpaan kami boleh dibilang sengaja. Waktu itu saya sedang mengadakan semacam riset untuk kepentingan naskah monolog yang rencananya akan saya susun, namun hingga saat ini naskah itu malah  terbengkalai. Awal jumpa, jujur saja saya menyimpan sedikit rasa takut. Namun seiring pembicaraan yang hangat dengan Teh Anggur, rasa takut itu hilang dan berubah jadi kekaguman. Teh Anggur dengan santun dan akrab menjawab semua pertanyaan saya. Semua bayangan kengerian saya tentang waria sirna sudah. Usai percakapan hingga dini hari itu, saya jadi teringat pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Stigma yang disematkan pada waria boleh jadi karena masyarakat tidak sepenuhnya mengenal mereka. Banyak teman saya yang takut, geli, jijik jika bertemu dengan waria. Ketika saya bertanya apa alasannya, mereka nyaris tak bisa menjawab. Inilah salah satu bentuk irasionalitas manusia. Rasa takut, geli, dan jijik yang saya pikir adalah hasil kontruksi sosial yang terlanjut merembes ke dalam kepala, menjadi fobia yang tak terjelaskan. Imej waria pun diperburuk oleh tayangan TV yang terlalu berlebihan menggambarkan sosok waria. Masyarakat pecandu TV akan menerima segala yang berasal dari kotak elektronik itu sebagai kebenaran tanpa kritik sama sekali. TV telah mencekoki dan membangun kontuksi ilusif yang kokoh dalam dalam kepala tentang banyak hal, waria salah satunya.     

Dari satu sudut pandang, saya mengacungi jempol pada para waria. Mereka berani memperjuangkan apa yang mereka yakini secara penuh dan total. Perjuangann itu pasti bukan tanpa pengorbanan. Seabrek resiko musti mereka tanggung akibat pilihan ini. Dikucilkan masyarakat, putus hubungan dengan keluarga dan teman-teman, mendapat stigma negatif, sulit mencari lapangan pekerjaan, dan masih banyak lagi. Pengucilan masyarakat dan keluarga, saya kira masih bisa ditolelir. Hanya saja jika negara malah ikut mengucilkan bahkan melakukan diskriminasi, saya pikir ini bisa jadi perdebatan panjang. Akses pekerjaan yang sangat terbatas membuat para transgender ini terpaksa harus menjadi penjaja seks, pengamen, atau paling beruntung kerja di salon. Untuk urusan penjaja seks, jika banyak yang bertanya apakah ada yang menggunakan jasa mereka? Tentu ada. Dunia prostitusi berjalan dengan hukum ekonomi, ada yang membutuhkan maka pasti ada yang menyediakan. Pelanggan waria dikelompokan ke dalam LSL, lelaki seks lelaki, jika ditilik dari segi aktivitas seksual. Saya sedang tidak mengomentari waria dan LSL dari sudut kajian ilmiah tertentu atau agama. Saya hanya menilik persoalan ini dari sudut saya saja, sebagai saya.

Persoalan waria adalah persoalan yang kompleks, bukan cuma perkara laki-laki yang berubah penampilan jadi perempuan semata. Berbagai dimensi akan terlibat jika kita hendak menyoal waria ini. Berdasarkan beberapa percakapan saya dengan Teh Anggur dan beberapa sumber lain, saya mencoba membuat kronologi perjalan seorang lelaki menuju waria.

Awalnya, pada masa anak-anak, mister x (bukan nama sebenarnya) merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Sebagai anak lelaki, ia lebih nyaman jika mencontoh ibu ketimbang ayah, atau kakak perempuan ketimbang kakak laki-laki. Ia lebih asik melakukan pekerjaan perempuan ketimbang laki-laki. Ia lebih nyaman membantu ibu memasak ketimbang mencangkul atau mengurusi kolam bersama ayah. Ia lebih asik bermain boneka ketimbang mobil-mobilan atau perang-perangan. Ia lebih senang berpose, berlenggak-lenggok di depan cermin ketimbang hujan-hujanan main bola  bersama anak lelaki lainnya. Tentu saja ini simpulan yang gegabah, namun setidaknya ini bisa menjadi semacam ilustrasi.

Menginjak remaja, ketika hasrat seks mulai menyeruak, ketertarikan pada sesama jenisnya mulai ia rasakan. Saya kurang paham apakah ketertarikan ini dalam konteks romantis atau seksual, atau keduanya. Pada kasus waria, masih menurut Teh Anggur, mister x selain menyimpan ketertarikan pada sesama jenisnya, ia pun merasa dirinya sebagai perempuan. Ini bedanya dengan gay. Gay, tertarik pada laki-laki namun merasa diri laki-laki. Sedang waria, tertarik pada laki-laki dan merasa diri perempuan. Pada waria, feminin adalah ekspresi gender yang dominan. Sedang pada gay, jejak maskulin masih dapat terbaca dengan kadar yang berbeda-beda antara satu gay dan yang lain.

Rasa ketertarikan pada sesama jenis ini akan menemui sebuah persimpangan. Ada dua jalan yang berbeda, dan mister x harus memilih satu jalan saja. Gay atau transgender (waria)? Jika ketertarikan mister x pada lelaki dibarengi dengan perasaan diri sebagai perempuan, maka kemungkinan besar ia akan memilih jalan waria, dan begitu sebaliknya.

Setelah ia menetapkan jalannya, menetapkan identitasnya, tinggalah ia melakoni hidupnya dengan identitas barunya itu.

Tentang kronologi yang saya tuliskan di atas, barangkali lebih seperti simpulan yang gegabah, simplifiksi yang bisa jadi terjerumus pada simpulan yang prematur dan rumpang. Kita masih belum meninjau faktor psikologis, sosiologis, agama bahkan biologis dalam kaitannya dengan persoalan ini.

Waria adalah manusia, individu yang padanya ada kekhasan personal sekaligus  kompleksitas, seperti manusia lain tanpa judul waria. Masih ada segudang kerumitan  lain yang semoga bisa saya coretkan di lain kesempatan.

Kereta Api Pasundan – Rengganis
18 Oktober 2016

Jumat, 14 Oktober 2016

Perempuan


Perempuan

.................................................
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Begitulah petikan lirik lagu Sabda Alam karya Ismail Marzuki yang hingga kini masih sering dinyanyikan dalam berbagai versi. Bagi Ismail, keberadaan dan hubungan pria dan wanita merupakan sabda alam, kehendak alam, kehendak Tuhan, dan begitu adanya dan memang  sudah begitu adanya. Ini tentu saja bisa mememiliki banyak interpretasi, dan yang dikemukakan di atas adalah salah satu tafsir atas teks lirik lagu tersebut, tafsir saya pribadi.

Wanita dalam KBBI berarti perempuan dewasa. Sedang perempuan, masih menurut KBBI, ialah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Arti lainnya adalah istri; bini dan betina (masih menurut KBBI). Sedang masih  menurut KBBI, puki adalah kemaluan perempuan. Barangkali istilah puki untuk mewakili kemaluan perempuan masih agak asing. Masyarakat kebanyakan masih lebih akrab dengan istilah vagina untuk mewakili kemaluan perempuan meski menurut kamus besar itu vagina adalah saluran antara leher rahim dan alat kelamin perempuan; liang senggama pada perempuan. Vagina adalah bagian dari puki. Namun baiklah, pada tulisan ini saya bukan hendak membahas terminologi yang merujuk pada alat kelamin perempuan. Saya ingin sedikit berbagi ihwal perempuan itu sendiri. Ini lebih pada refleksi saya tentang perempuan. Sudah tentu banyak sekali tulisan yang memuat gagasan besar tentang perempuan, gagasan-gagasan penting. Refleksi filosofis tentang perempuan pun sudah banyak dilontar para filsuf. Dan yang tertarik membahas ihwal perempuan tentu bukan saja manusia yang memiliki puki, tetapi manusia yang memiliki penis pun punya pandangannya atas parempuan, seperti Ismail Marzuki, manusia dengan penis, yang menyoal wanita (perempuan) dalam lagunya.

Dulu saya sedikit memandang miring pada perempuan. Perempuan adalah mahluk lemah, lebih mengedepankan perasaan dari akalnya, cengeng, manja, dan sekian predikat miring lainnya yang saya sematkan pada perempuan. Terlebih dalam agama yang saya anut, ada semacam ajaran bahwa lelaki lebih berhak jadi pemimpin. Ini menambah pandangan miring saya terhadap perempuan. Mungkin bukan teks agamanya yang keliru, namun saya barangkali yang masih dangkal pemahaman dalam hal ini. Di lingkungan tempat tinggal saya pun, perempuan tak banyak memiliki peran penting. Sebatas dapur, kasur, sumur. Sedang jenis kelamin lainnya, laki-laki, adalah mahluk paling sempurna, superior, lebih dari perempuan dalam segalanya. Saya agak sulit menghormati perempuan, bahkan mungkin ibu saya sendiri.

Perjumpaan saya dengan orang-orang, bacaan, dan peristiwa-peristiwa yang saya lakoni akhirnya membentur pandangan saya itu. Pandangan yang picik, saya kira. Perempuan, tidak lagi semiring yang saya kira sebelumnya. Bahkan tidak miring sama sekali. Tegak lurus.

Jika kita lihat perjalanan perempuan sedari lahir hingga dewasa, setidaknya ada beberapa momentum yang membuat saya memberikan predikat tangguh dan kagum pada mereka.

Pertama, menstruasi.
Momen ini harus dan pasti dilewati perempuan. Dalam agama Islam, momentum ini menjadi penanda berawalnya fase akil baligh. Fase utuhnya ia sebagai muslimah. Terikatlah ia secara utuh dengan hukum-hukum Islam. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Beberapa teman perempuan  pernah saya tanyai ihwal momentum ini, khususnya perasannya. Memang beragam hasil yang saya dapat. Ada yang biasa-biasa saja. Ada panik, ada yang malu, dan beragam respon lainnya. Menstruasi ini pula yang konon menjadikan perempuan mendapat posisi inferior dalam masyarakat. Beberapa pemikiran misoginis memandang perempuan adalah mahluk kotor karena ia mengeluarkan darah kotor dari tubuhnya, rutin. Perempuan selalu mengalami masa kotor. Bahkan dalam sebagian aliran agama yang saya anut, perempuan dalam kondisi menstruasi dilarang masuk tempat ibadah, memegang dan membaca kitab suci, dan melakukan ibadah-ibadah tertentu karena dipandang kotor dan tak semestinya mahluk kotor mendekati hal-hal suci semacam kitab suci dan tempat ibadah. Ini memang bukan keyakinan universal. Banyak pendapat lain tentang hukum ini dalam agama saya. Menstruasi yang merupakan hal biologis, alamiah namun memiliki banyak dampak yang jauh kaitannya sama sekali dengan dasar akarnya.

Pada menstruasi ada istilah PMS, Pre Menstruate Syndrome. Semacam serangkaian gejala yang biasa hadir menjelang menstruasi. Gejala-gejala yang menyakitkan serupa rasa nyeri  pada bagian tubuh tertentu, emosi yang tak stabil akibat perubahan hormon, sensitivitas meningkat, dan ketidaknyamanan lainnya. Sindrom ini tak hanya menyoal fisik saja, wilayah psikis pun turut terpengaruh karena ada perubahan hormon yang terjadi pada tubuh perempuan. Setidaknya itulah yang saya ketahui dari beberapa orang teman perempuan saya dan sedikit pelajaran biologi yang saya lahap ketika SMA. Saya lantas membayangkan bagaimana jika saya, atau lelaki lainnya, harus melewati fase ini tiap bulan selama sekitar lebih kurang 30 - 40 tahun. Sanggupkah kami? Kami, kaum lelaki, yang terkenal memiliki kekuatan fisik lebih dari perempuan, yang konon memiliki mental baja, keberanian, ketangguhan, keadilan, kebijaksanaan, dan segala kehebatan lain, sanggupkah? Entahlah. Imajinasi saya belum cukup canggih untuk menjangkau itu.    

Di lain pihak, berkat menstruasi pula manusia lantas mengembangkan teknologi pembalut wanita, yang kini menjadi bisnis dengan oplah miliyaran. Ribuan, bahkan jutaan, orang bisa menggantungkan hidup dari pembalut wanita, dari menstruasi, dari “darah kotor” perempuan. Dari penalaran sederhana semacam ini saja, masihkan perempuan harus dipandang kotor karena kehendak alam-nya? Padahal hal itu menjadi pintu penghidupan banyak manusia?

Kedua, proses kelahiran.
Ini hal lain yang menjadikan saya kagum pada kaum Hawa. 9 bulan lamanya ia musti membawa-bawa janin dalam tubuhnya, mengalami serangkaian gejala menyakitkan pada bulan-bulan tertentu pada fase kehamilannya. Perempuan menanggung hasil perbuatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Ia menanggung akibat dari perjumpaan dua manusia. Satu orang menanggung hasil perbuatan tak hanya dirinya sendiri. Secara alamiah, kehamilan mustahil terjadi jika tanpa pembuahan, dan pembuahan terjadi lewat hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Ada keterlibatan orang lain dalam suatu sebab kehamilan yang akan ditanggung hanya oleh perempuan. Saya katakan secara alamiah sebab di era tekno sekarang ini, rekayasa kehamilan sangat mungkin dilakukan melalui tangan-tangan dokter.

Pada fase ini, lagi-lagi tubuh dan psikis perempuan harus mengalami turbulensi. Dahsyatnya turbulensi pada fase kehamilan agaknya sudah sangat akrab di masyarakat. Bahkan sering jadi bahan cerita, candaan, dan kekonyolan. Bagaimana ibu hamil yang menyidam menginginkan hal yang tak lazim kerap jadi bahan obrolan baik di warung kopi atau dalam suatu kajian serius.

Usai derita 9 bulan, seorang perempuan musti menghadapi momen penentuan, melahirkan. Peristiwa dahsyat ini boleh jadi merupakan hal paling krusial dalam proses kehidupan, kelahiran. Keluarnya bayi baik via vagina atau operasi sesar, kerap disebut awal kehidupan seorang manusia. Momentum melahirkan ini sangat penting baik bagi sang perempuan (ibu) maupun sang anak (bayi). Dua nyawa bertarung hebat dalam peristiwa ini. Bertarung, sebab ini boleh jadi momen dengan resiko kematian baik bagi ibu, bayi atau keduanya. Dan pertarungan ini hanya dilakoni oleh perempuan semata. Laki-laki (ayah) cukup menunggu dan berdo’a, bagi yang percaya do’a.
    
Melahirkan bukan akhir dari lakon perempuan sebagai mahluk yang mampu berpreprodusi. Sebagai kelompok mamalia, secara biologis, ada fase sapih, fase menyusui yang harus dilalui sebagian besar anak mamalia. Sependek pengetahuan saya, idealnya fase menyusui anak manusia adalah selama lebih kurang 24 bulan. Ini memang bukan suatu hal yang musti. Dalam beberapa kebudayaan, ada profesi ibu susu yang bertugas menyusui anak manusia. Ibu susu ini adalah seorang perempuan, yang bukan ibu biologis si anak, yang ditugasi menyusui selama fase anak menyusui. Namun di kebudayaan lain, kenyataan bahwa ibu biologis masih menyusui sendiri anaknya masih bisa kita jumpai. Terlebih dengan kemajuan ilmu psikologi, konon kegiatan menyusui oleh ibu biologis ini sangat dianjurkan untuk membentuk alam psikis anak agar kelak sang anak menjadi manusia yang ajeg.

Ihwal menyusui ini kiranya bisa sangat panjang dibahas. Jika dilhat dari segi kesehatan si ibu, kegiatan menyusui ini konon justru bisa membuat si ibu lebih sehat dan bahkan terhindar dari kanker payudara. Namun meski begitu, banyak pula ibu yang memilih menyusui anaknya menggunakan susu buatan atau lazim disebut susu formula. Hal ini dilakukannya entah karena kesadaran atau keterpaksaan.

Menyoal prodak susu buatan, entah berapa merek susu yang diperuntukan bagi ibu hamil dan menyusui. Entah berapa juta orang yang menggantungkan hidupnya dari susu ini. Belum lagi dokter dan sekian tenaga medis lain yang sama menggantungkan hidup dari perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui. Sejak pembalut hingga susu, berapa rupiah, berapa dollar yang dihasilkan dari tubuh perempuan? Dan dengan tubuhnya yang “berharga” itu, perempuan masih sering anggap mahluk setengah manusia.

Ketiga, menopause.
Meski kaum berpenis pun mengalami hal semacam ini, yang biasa disebut Andropause, namun menopause pada perempuan agaknya lebih signifikan. Sekilas peristiwa berhentinya siklus menstruasi ini bisa saja terdengar sederhana. Yang biasanya menstruasi kemudian tidak, ringan saja terdengarnya. Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Berhentinya siklus menstruasi adalah juga berhentinya produksi sel telur dan merupakan peristiwa perubahan hormon yang bertahap. Perubahan hormon ini berdampak signifikan bagi perempuan. Wilayah mental pun turut terdampak oleh hal ini. Mental perempuan menopause cenderung kurang stabil, sensitif, dan sederet lainnya. Ada semacam turbulensi pada perempuan ketika masuk tahapan ini, seperti ketika ia masuk tahap mestruasi.

Dari tiga hal di atas, saya kira sudah cukup menggambarkan ketangguhan perempuan. Sekian “deirta alamiah” harus dilewati namun ia masih mampu tersenyum dan menyiapkan sarapan pagi buat anak dan suami. Masih mampu meniti karier. Masih mampu berkiprah di berbagai bidang meski dengan berbagai rintangan berbau bias gender.

Dan dari sekian pertistiwa badaniyah perempuan, ia masih harus dibebani secara kultural oleh sekian lagi tugas-tugas domestik. Hegemoni kaum adam selama sekian ribu tahun peradaban manusia telah menjadikan perempuan seolah menerima diri mereka sebagai mahluk lemah tak berdaya. Penerimaan ini akhirnya terartikulasi secara sadar oleh diri mereka sendiri. Mereka, karena konstruksi sosial, akhirnya mengimani bahwa diri mereka inferior, mahluk subordinat, manusia kelas dua. Bahasa-bahasa tertentu cukup menjadi representasi bagaimana perempuan menjadi kaum kedua.

Pada perkembangan kekinian, ketika kesadaran mulai menyebar menjadi kekuatan komunal,  banyak gerakan yang menginginkan perbaikan nasib kaum perempuan. Kini kita mengenalnya dengan nama umum gerakan feminisme. Saya tak terlalu membaca feminisme, namun agaknya  meski pada tahap awal gerakan ini lahir dari kesadaran ketertindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan, toh pada perkembangannya, feminisme menjelma menjadi semacam madzhab pemikiran yang mampu mewadahi berbagai persoalan, tidak hanya menyeoal perempuan semata, namun ihwal ketertindasan secara umum.

Perempuanisasi.
Membuat segala sesuatu serba perempuan semisal majalah perempuan, perkumpulan-perkumpulan khusus perempuan, dan ihwal perempuan lainnya barangkali adalah upaya membuat konstruksi yang memungkinkan diri mereka beraktualisasi secara utuh sebagai perempuan. Awalnya saya pikir upaya ini justru membuat kaum perempuan makin termarginalkan. Perempuanisasi berbagai hal bisa pula kita pandang sebagai upaya eksklusifikasi. Alih-alih menuntut kesejajaran, perempuan membuat dunia mereka sendiri, dunia perempuan. Kaum hawa agaknya lebih memilih membuat segregrasi ketimbang harus menceburkan diri secara penuh ke dalam “dunia yang sudah ada”, dunia lelaki, dunia maskulin.

Apakah perempuanisasi adalah wujud ketidakberdayaan? Wujud kekalahan?

Awalnya saya pikir demikian. Namun belakangan, saya justru memandang segregasi ini sebagai upaya perlawanan terhadap hegemoni maskulin. Dunia sudah terlanjur lelaki, maka dekonstruksi kultural boleh jadi adalah cita-cita final dari perempuanisasi. Pada akhirnya perempuanisasi akan sirna seiring penerimaan kaum lelaki yang kian wajar pada perempuan. Segregasi sosial dan politik adam hawa pada akhirnya tak perlu ada. Tak perlu lagi ada istilah POLWAN (Polisi Wanita) yang bagi saya adalah wujud penindasan melalui bahasa. Mengapa tak disebut POLISI saja, tanpa perlu ada tambahan wanita?

Apakah ramalan saya ini terlampau ngawur, jika melihat panjangnya imperium maskulin menguasai dunia ini? Entahlah.

Akhirnya, hari ini saya hanya baru mampu mengagumi dan menghormati perempuan seyogianya, setidaknya berdasar pencarian serta keyakinan yang saya imani. Dan saya percaya waktu akan mengajarkan kita banyak hal. Saya pun tak bosan memperbaiki cara pandang dan gagasan saya akan hal ini. Tulisan kecil ini hanya refleksi pribadi saya setelah sekian saya mengenal perempuan.


Ciamis – Tanggerang

September – Oktober 2016

Kamis, 13 Oktober 2016

Kematian


Kematian

Berapa yang telah meniggalkan dan berapa yang telah ditinggalkan?

Kematian sebenarnya bukan hal yang aneh, yang luar biasa. Seperti kelahiran, ia biasa-biasa saja sebenarnya. Yang membuatnya jadi luar biasa ialah ketika mereka berdua, kematian dan kelahiran itu, hadir berdekatan dengan kita. Entah mengapa, kita, atau setidaknya aku, harus merasakannya sebagai sesuatu yang luar biasa padahal lahir dan mati sudah ada sejak lama dan aku pun mengenalnya sejak lama pula. Manusia sudah sejak lama mengalami lahir, mengalami mati. Dan tak cuma manusia, tiap yang hidup pasti mengalami dua hal itu. Kelahiran kerap kali diidentikkan dengan kebahagiaan dan sebaliknya kematian bertaut dekat dengan kesedihan. Benarkah demikian adanya? Apakah selalu seperti itu? Selalu saja kematian, yang merupakan keharusan, harus dilebeli dengan sedih dan penderitaan?

Sejak aku tinggal di Rengganis, setidaknya empat kali aku mengantar jenazah sampai ke liang lahat. Pertama adalah tetangga sanggar, Kang Endang Sadur. Meninggalnya terbilang mendadak. Kedua, ibunda dari Bah Wawan, guruku. Ia memang sudah sangat sepuh. Sehari-hari pun ia sering sakit-sakitan dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena tak kuasa berjalan jauh. Ketiga, kakanda dari Bah Wawan, seorang janda tua yang akhir hidupnya ia habiskan mengurusi ibundanya tercinta. Tengah malam ia meninggal. Pagi hari jasadnya baru dikebumikan. Yang terakhir, yang baru saja, Haryawan Raksa Manggala, Arya sapaan akrabnya. Anak cikal Bah Wawan. Usianya baru 20an. Ia meninggal karena kecelakaan. Motornya menabrak pohon di kiri jalan. Ia terpental. Belum sempat bangun, mobil truk pengangkut ayam menggilasnya hingga tubuhnya berantakan. Ia tewas di tempat. Detil kejadiannya masih simpang siur. Nyaris tak ada saksi mata. Kejadiaannya hanya diketahui dengan mengadalkan rekaman CCTV milik RM Mergosari yang kini sudah di tangan Polisi. Jam 00.28 WIB kejadian itu berlangsung menurut rekaman CCTV. Sebenarnya ada satu orang lagi, tapi aku tak turut mengantar jenazahnya. Mang Wiwin namanya, suami Teh Omih. Ia adalah adik ipar Bah Wawan. Kematiannya pun terbilang mendadak. Memang ia sakit-sakitan, namun hari itu, ia tampak biasa saja, tak menunjukan sakit yang teramat sangat. Mendadak ia pingsan. Seketika ia dibawa ke RSUD Ciamis. Selang sejurus saja dokter lantas menyatakan ia meninggal. Kabarnya angin duduk menjadi penyebab kematiannya. Aku sendiri tak begitu paham apa itu angin duduk. Setahuku memang ia punya penyakit jantung, namun bukan itu penyebab kematiannya.

Dua orang yang sebut terakhir, Arya dan Mang Wiwin, yang kematiannya kurasa cukup luar biasa. Barangkali karena mendadak dan juga karena dengan keduanya aku terbilang akrab, terlebih dengan Mang Wiwin. Aku paham betul kebiasaannya tiap subuh. Menyalakan pompa air lantas menunggui anak-anaknya mandi di kamar mandi sanggar. Tak jarang kami berbagi rokok. Atau ia dengan sengaja mengunjungiku di kamar sekedar untuk nonton film di laptopku. Ketika komputer masih terparkir di sanggar, Spider Soliter dan Zuma adalah game favoritnya. Setahun sudah ia meninggalkanku, meninggalkan Teh Omih dan ketiga anaknya, Ari, Fidi, dan Abi. Hampir seminggu setelah ia tiada, aku baru benar-banar sadar bahwa ia memang telah meninggal. Selama seminggu itu, aku sering melihatnya di tempat biasa ia menunggui anak-anaknya mandi, atau di taman depan sanggar, atau di kursi warung tempat biasa ia menyantap masakan buatan istrinya. Ada sedikit sesalku padanya. Tak sempat ku mengantarnya ke liang lahat, ke rumah terakhirnya. Tapi sudah begitu jadinya. Kini, hanya doa yang mampu kuantar buatnya.

Arya, ah, Arya. Aku kenal ia sejak kelas 6 SD. Kami memang tak begitu akrab seperti aku dan adik perempuannya, Novina, yang adalah patnerku menari. Meski ayahnya seorang koreografer namun ia agaknya tak tertarik sama sekali dengan dunia seni tari. Ia lebih akrab dengan sepak bola. Ia pun seorang yang tergolong aktif di masyarakat. Tiap kali ada acara masyarakat semacam 17 Agustusan, atau apa pun, ia hampir tak pernah absen. Kenangan kami tak begitu banyak karena memang jarang jumpa, jarang bersama. Namun meski begitu, seseorang yang kukenal sejak kelas 6 SD pada 2009 kemudian pada 12 Oktober 2016 ia tewas dengan tragis, ini bukan suatu hal biasa yang bisa begitu saja berlalu di ingatan. Sekitar jam setengah dua dini hari kudapat kabarnya dari Bah Wawan. Di penghujung terjaga, di gerbang kantuk, Android-ku berbunyi tanda panggilan masuk. Ada apa Bah Wawan menghubungiku dini hari begini, pikirku. Tangisan histeris meledak diujung telpon seketika sejak baru sejurus ku ucap “Halo”. Bah Wawan menangis setengah berteriak. Ia mengabarkan bahwa Arya menginggal akibat kecelakaan motor. Entah apa yang harus kukatakan selain “Inna Lillahi’ dan “Sabar”. Jangankan menenangkan Bah Wawan, aku pun harus menenangkan diriku sendiri. Berita itu begitu menghajarku ibarat halilitar di cuaca cerah bersinar.

Lalu, apa yang bisa dapatkan dari kisah kematian?

Kita ditinggalkan. Kita kehilangan. Kita tak bisa jumpa lagi dengannya selain dalam mimpi. Melihat foto, video, atau lukisan wajahnya takkan membuat kehendak jumpa terpuaskan, kurasa. Tempat terbaik berjumpa dengan mereka adalah ingatan dan doa.

Pada akhirnya kematian demi kematian akan menghampiri kita sampai akhirnya kita yang dapat giliran meninggalkan yang hidup. Kematian tidak terjadi secara random. Ada kepastian  yang tak kuasa kita tentang. Hanya karena kepastian itu adalah sebuah misteri, maka manusia membuat sekian pengetahuan dan teknologi agar terhindar dari kepastian itu. Ketakutan akan kematian adalah salah satu motovasi besar yang menggerakkan peradaban manusia. Berbagai ilmu lahir disebabkan oleh ketakutan ini. Sekian pemikiran muncul menguak misteri kematian.

Tapi betapa pun itu, kematian adalah musti.


Ciamis, 13 Oktober 2016   

Senin, 10 Oktober 2016

Dan Tuhan Pun Menggelengkan Kepala ; Ekstraksi Marlam#9


Dan Tuhan Pun Menggelengkan Kepala
Ekstraksi Marlam #9

Bubuy bulan, bubuy bulan sangray béntang. Panon poé, panon poe disasaté....

Bagi masyarakat Jawa barat, bukan perkara sulit untuk melanjutkan lirik lagu yang saya penggal di atas. Lagu Bubuy Bulan memang sangat familiar di masyarakat Jawa Barat. Namun meski familiar, barangkali tak banyak yang tahu bahwa lagu ciptaan Benny Corda ini konon punya makna lain selain ihwal asmara. Ada yang berpendapat bahwa bagian awal lirik lagu ini merupakan propaganda komunis, khususnya di Jawa Barat. Bulan dan béntang (bintang) adalah simbol partai-partai berhaluan Islam yang musti dibubuy dan disangray, sedang panon poé, yang berarti matahari dalam bahasa Indonesia, merupakan simbol bagi Muhammadiyah, organisasi Islam raksasa yang cukup diperhitungkan. Dengan menggunakan kata bubuy (memasak umbi-umbian dengan cara membenamkannya ke bara api), sangray (menggoreng tanpa minyak), dan disasaté (disate), lagu ini seolah berpesan bahwa ketiga benda langit ini musti dimusnahkan. Islam harus dimusnahkan. Namun ini adalah interpretasi yang perlu kajian lebih dalam. Bisa saja, interpretasi ini sudah diboncengi tendensi tertentu hingga jauh dari yang dimaksud pengarangnya. Selain Bubuy Bulan di Jawa Barat, ada pula Kembang Kacang di Jawa Tengah serta Genjer-Genjer di Jawa Timur (yang kemudian lebih tenar sebagai lagu khas PKI secara nasional) yang merupakan lagu-lagu yang dicap sebagai lagu propaganda komunis Indonesia. Benarkah demikian?

Membuka Marlam ke 9 yang membahas cerpen Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin, analisa lagu-lagu lawas yang dicurigai bernafas kiri menjadi menu pembuka usai membaca cerpen itu secara bergiliran. Ihwal lagu memang tidak tertera dalam teks yang kami baca sebab konon cerpen Langit Makin Mendung ini tak sependek yang ada dalam teks yang kami baca. Ada kelanjutan yang cukup panjang. Yang kami baca boleh jadi hanya bagian pembuka saja. Namun menurut seorang kawan yang mengusulkan cerpen ini, ia menemukan cerpen ini di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968, dan hanya sependek itulah cerpen  yang ada di sana. Entah ada versi lain, atau si penulis berniat membuatnya menjadi semacam cerita bersambung atau entah karena apa, saya tidak tahu. Akhirnya meski kami mengetahui dari seorang kawan lain bahwa ada lanjutan dari cerpen ini, kami tetap fokus membahas teks yang sudah tersaji tanpa melebar pada edisi lanjutannya. Pembacaan kami habis pada paragraf :

Muhammad tak hendak beranjak dari awan termpatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.
Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.

Menyoal gaya penulisan, kekuatan cerpen ini terletak, khususnya, pada dialog-dialog, bukan pada kalimat-kalimat naratif yang panjang atau puitik. Dengan penulis sebagai orang ketiga tunggal serba tahu, cerpen ini cukup sebangun dengan naskah drama di mana teks didominasi dialog-dialog antar tokohnya. Narasi penjelas berupa petunjuk akting (auto direction) atau penjelasan latar dan suasana dituliskan nyaris mirip dengan gaya penulisan naskah drama.  Apakah ada kedekatan penulis dengan dunia drama, entahlah. Jangankan menyoal hal tersebut, profil Kipandjikusmin sendiri hingga kini masih menjadi  misteri. Sedikitnya Kipandjikusmin merujuk pada dua orang. Pertama H. B. Yasin. Kedua, Kipandjikusmin dicurigai sebagai nama pena dari seorang sastrawan pemula yang ketika cerpen ini terbit, penulis tinggal di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam. Setidaknya, dalam pandangan umum, dua orang ini merupakan yang paling meyakinkan sebagai Kipandjikusmin.

Namun menilik isi cerpen yang berakhir dengan semacam doa, saya kira bisa jadi ini ditulis oleh seorang agamawan yang telah mencapai maqom tertentu, semacam ahli tasawuf barangkali. Personifikasi tuhan, parodisasi kehidupan sorga, Nabi Muhamamd, Malaikat Jibril, Nabi Sulaeman dan sederet nama-nama sahabat Nabi, merupakan langkah yang boleh jadi hanya bisa dilakukan oleh orang dengan pemahaman agama Islam yang tinggi tanpa ada niat melecehkan. Parodisasi ini justru adalah wujud keintiman antara penulis dengan Sang Maha. Atau mungkin juga merupakan ulah seseorang dengan sentimen tertentu pada Islam, tentunya dengan tujuan mengejek.

Selain banyak meminjam tokoh-tokoh agama Islam, Kipandjikusmin pun cukup banyak menyoal Nasakom. Ya, ajaran Soekarno yang mencoba meracik keberagaman ideologi di NKRI menjadi satu ideologi, Nasional Agama dan Komunis. Di bawah bendera palu bulan bintang, Soekarno mencoba menyatukan kaum kiri, kaum agamawan (Islam khususnya) dan kaum nasionalis. Cita-cita ini boleh jadi mulia tapi boleh jadi pula serakah. Mulia, jika memang bertujuan membingkai rakyat Indonesia dalam suatu bingkai ideologi ala NKRI. Serakah dalam arti Nasakom hanyalah senjata Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya, adalah senjata meraih suara saja dalam hajat lima tahunan, juga jika mengingat bahwa ia mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Namun konsep ini tidak pernah benar-benar membumi di Indonesia sebab agama dan komunisme tak kunjung bisa berjumpa secara kaffah.

Prosa ini tak bisa lepas dari kondisi zamannya. Langit Makin Mendung seolah membongkar kembali ingatan tentang perseteruan umat agama dan kaum komunis. Jika melihat tahun terbitnya cerpen ini pada 1968, maka kita semua mafhum bahwa tahun itu adalah tahun panas pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, dari Soekarno ke Soeharto. Pasca Gestapu, PKI dan segala yang berbau komunis dilarang keras, termasuk juga Nasakom. Namun dengan cara penyajian  yang sedemikian, siapa yang hendak ditembak Kipandjikusmin? Benarkah penganut Nasakom dan komunis pada umumnya adalah sasaran kritik karya ini? Jika demikian, bagaimana dengan parodisasi kisah-kisah Islam, tidakkah ini menjadi semacam pelecehan? Dan dakwaan yang diserangkan pengadilan pada karya ini pun demikian, dakwaan pelecehan agama. Lantas ada di pihak mana sebenarnya Kipandjikusmin ini?

Karena kemisteriusan penulis, maka saya barangkali hanya mampu berandai-andai. Jika saja penulis adalah H. B. Yasin yang kita ketahui sebagai salah seorang aktivis Manifesto Kebudayaan, maka barangkali bisa dikata bahwa cerpen ini merupakan serangan terhadap Nasakom.

“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”

Dari dialog antara tokoh Nabi Muhammad dan Tuhan di atas, Nasakom terkesan menjadi momok menakutkan yang menyebabkan manusia menderita hingga liang lahat. Ini boleh jadi serangan terhadap Nasakom. Namun jika dilihat cara penulis menyerang, dengan meminjam perspektif Islam yang diparodisasi, ini merupakan cara penyerangan yang bisa jadi bumerang. Andai saya penganut Nasakom, hanya dengan diejek demikian, saya merasa tidak perlu tersinggung dan marah. Sebaliknya, jika saya seorang muslim dari aliran tertentu, saya akan sangat tersinggung dan marah dengan parodisasi yang ada. Saya justru memandang cerpen ini lebih menyerang Islam ketimbang Nasakom. Atau bisa aja, penulis ingin menyerang keduanya dengan cara yang berbeda. Penulis meminjam Nabi Muhamad sebagai jagoan yang seolah versus Nasakom. Nasakom seolah pihak yang salah dan musti dibasmi. Namun justru dengan peminjaman tokoh Nabi (dan sederet nama lainnya) itulah Kipandjikusmin juga habis-habisan mengkritik umat Islam di Indonesia waktu itu, atau setidaknya di Pulau Jawa. Kritik yang hingga kini pun masih cukup relevan.

“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta nama ibukotanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B. H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodom dan Gomorah?”
“Hampir sama”

Barangkali saya dan Anda sekalian sudah sama mengetahui kisah Sodom dan Gomorah, negeri yang diabadikan dalam Alkitab sebagai negeri yang dilaknat Tuhan karena kelakuan rakyatnya yang kelewat batas.

Dengan Langit Makin Mendung, Kipandjikusmin agaknya mencoba mengkritik banyak pihak : Nasakom, umat Islam dan rakyat Indonesia secara umum. Peminjaman perspektif Islam bukan tanpa alasan. Jumlah umat Islam yang dominan di Indonesia boleh jadi merupakan alasan dibalik peminjaman ini, agar lebih mengena, lebih menghajar. Namun jika ditilik dari sudut kiri, pemilihan Islam boleh jadi punya alasan lain. Para penghunni surga, yang kesemuanya adalah representasi Islam (baca : agama) dibenturkan dengan para penghuni bumi Indonesia yang telah banyak keracunan Nasakom (baca : komunis). Dalam realitas masa lalu di Indonesia, para pemuka agama adalah juga merupakan tuan tanah. Para pengasuh pondok pesantren mempunyai sawah luas yang ia kerjakan untuk kesejahteraan santri-santrinya. Kaum proletar pada masa pergerakannya banyak berkonflik dengan kaum sorgawi ini ihwal kepemilikan tanah. Runcingnya konflik agamawan v.s. proletariat ini disimbolkan oleh kaum penghuni sorga v.s. penghuni bumi dalam cerpen. Demikian yang bisa saya serap dari paparan seorang kawan ihwal telaahnya dari kaca mata madzhab Marxis.

Berbicara masalah dampak, H. B. Yasin harus mendekam 9 bulan di perjara gara-gara menerbitkan cerpen ini dan menolak memberitahu identitas asli Kipandjikusmin. Cerpen ini didakwa pasal pelecehan agama. Negara telah mengambil sikap atas cerpen ini. Jika kita bersedia menggunakan kaca mata politik, kasus ini merupakan momentum untuk meraih simpati umat Islam. Masa sejak Gestapu hingga 1968 boleh jadi tahun-tahun panas nan tak menentu bagi Indonesia. Dalam kondisi chaos seperti itu, Orde Baru bisa jadi memanfaatkan situasi ini untuk meraup kepercayaan umat Islam. Atau yang paling ekstrem, cerpen ini sendiri justru merupakan bagian dari strategi Orba. Soeharto sengaja “memesan” cerpen ini untuk memanaskan situasi lantas ia akan datang sebagai penyelamat. Mengingat karier militernya yang pernah menjadi Pangkostrad, The Smiling Jenderal ini agaknya cukup potensial untuk punya langkah semacam ini. Saya jadi teringat kisah konspirasi 30 September 1965 yang akhirnya menyudutkan Letkol Untung sebagai “penjahat”.

Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet dan berpusar-pusar di laut lepas.
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak :
“Amien, amien, amien.”
Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.    

Penghujung cerpen yang lebih seperti doa dan harapan seorang Nabi Muhammad, dengannya seolah Kipandjikusmin, dengan segala kritiknya, justru sebenarnya ingin membangunkan, menyadarkan umat Islam dan mengingatkan kembali mereka pada Nabi-nya, pada ajarnya, pada pondasinya. Serupa dekonstruksi, barangkali.

Lantas, siapa sebenarnya Kipandjikusmin?

Ciamis – Cimerak
5 – 8 Oktober 2016

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...