Senin, 10 Oktober 2016

Dan Tuhan Pun Menggelengkan Kepala ; Ekstraksi Marlam#9


Dan Tuhan Pun Menggelengkan Kepala
Ekstraksi Marlam #9

Bubuy bulan, bubuy bulan sangray béntang. Panon poé, panon poe disasaté....

Bagi masyarakat Jawa barat, bukan perkara sulit untuk melanjutkan lirik lagu yang saya penggal di atas. Lagu Bubuy Bulan memang sangat familiar di masyarakat Jawa Barat. Namun meski familiar, barangkali tak banyak yang tahu bahwa lagu ciptaan Benny Corda ini konon punya makna lain selain ihwal asmara. Ada yang berpendapat bahwa bagian awal lirik lagu ini merupakan propaganda komunis, khususnya di Jawa Barat. Bulan dan béntang (bintang) adalah simbol partai-partai berhaluan Islam yang musti dibubuy dan disangray, sedang panon poé, yang berarti matahari dalam bahasa Indonesia, merupakan simbol bagi Muhammadiyah, organisasi Islam raksasa yang cukup diperhitungkan. Dengan menggunakan kata bubuy (memasak umbi-umbian dengan cara membenamkannya ke bara api), sangray (menggoreng tanpa minyak), dan disasaté (disate), lagu ini seolah berpesan bahwa ketiga benda langit ini musti dimusnahkan. Islam harus dimusnahkan. Namun ini adalah interpretasi yang perlu kajian lebih dalam. Bisa saja, interpretasi ini sudah diboncengi tendensi tertentu hingga jauh dari yang dimaksud pengarangnya. Selain Bubuy Bulan di Jawa Barat, ada pula Kembang Kacang di Jawa Tengah serta Genjer-Genjer di Jawa Timur (yang kemudian lebih tenar sebagai lagu khas PKI secara nasional) yang merupakan lagu-lagu yang dicap sebagai lagu propaganda komunis Indonesia. Benarkah demikian?

Membuka Marlam ke 9 yang membahas cerpen Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin, analisa lagu-lagu lawas yang dicurigai bernafas kiri menjadi menu pembuka usai membaca cerpen itu secara bergiliran. Ihwal lagu memang tidak tertera dalam teks yang kami baca sebab konon cerpen Langit Makin Mendung ini tak sependek yang ada dalam teks yang kami baca. Ada kelanjutan yang cukup panjang. Yang kami baca boleh jadi hanya bagian pembuka saja. Namun menurut seorang kawan yang mengusulkan cerpen ini, ia menemukan cerpen ini di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968, dan hanya sependek itulah cerpen  yang ada di sana. Entah ada versi lain, atau si penulis berniat membuatnya menjadi semacam cerita bersambung atau entah karena apa, saya tidak tahu. Akhirnya meski kami mengetahui dari seorang kawan lain bahwa ada lanjutan dari cerpen ini, kami tetap fokus membahas teks yang sudah tersaji tanpa melebar pada edisi lanjutannya. Pembacaan kami habis pada paragraf :

Muhammad tak hendak beranjak dari awan termpatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.
Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.

Menyoal gaya penulisan, kekuatan cerpen ini terletak, khususnya, pada dialog-dialog, bukan pada kalimat-kalimat naratif yang panjang atau puitik. Dengan penulis sebagai orang ketiga tunggal serba tahu, cerpen ini cukup sebangun dengan naskah drama di mana teks didominasi dialog-dialog antar tokohnya. Narasi penjelas berupa petunjuk akting (auto direction) atau penjelasan latar dan suasana dituliskan nyaris mirip dengan gaya penulisan naskah drama.  Apakah ada kedekatan penulis dengan dunia drama, entahlah. Jangankan menyoal hal tersebut, profil Kipandjikusmin sendiri hingga kini masih menjadi  misteri. Sedikitnya Kipandjikusmin merujuk pada dua orang. Pertama H. B. Yasin. Kedua, Kipandjikusmin dicurigai sebagai nama pena dari seorang sastrawan pemula yang ketika cerpen ini terbit, penulis tinggal di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam. Setidaknya, dalam pandangan umum, dua orang ini merupakan yang paling meyakinkan sebagai Kipandjikusmin.

Namun menilik isi cerpen yang berakhir dengan semacam doa, saya kira bisa jadi ini ditulis oleh seorang agamawan yang telah mencapai maqom tertentu, semacam ahli tasawuf barangkali. Personifikasi tuhan, parodisasi kehidupan sorga, Nabi Muhamamd, Malaikat Jibril, Nabi Sulaeman dan sederet nama-nama sahabat Nabi, merupakan langkah yang boleh jadi hanya bisa dilakukan oleh orang dengan pemahaman agama Islam yang tinggi tanpa ada niat melecehkan. Parodisasi ini justru adalah wujud keintiman antara penulis dengan Sang Maha. Atau mungkin juga merupakan ulah seseorang dengan sentimen tertentu pada Islam, tentunya dengan tujuan mengejek.

Selain banyak meminjam tokoh-tokoh agama Islam, Kipandjikusmin pun cukup banyak menyoal Nasakom. Ya, ajaran Soekarno yang mencoba meracik keberagaman ideologi di NKRI menjadi satu ideologi, Nasional Agama dan Komunis. Di bawah bendera palu bulan bintang, Soekarno mencoba menyatukan kaum kiri, kaum agamawan (Islam khususnya) dan kaum nasionalis. Cita-cita ini boleh jadi mulia tapi boleh jadi pula serakah. Mulia, jika memang bertujuan membingkai rakyat Indonesia dalam suatu bingkai ideologi ala NKRI. Serakah dalam arti Nasakom hanyalah senjata Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya, adalah senjata meraih suara saja dalam hajat lima tahunan, juga jika mengingat bahwa ia mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Namun konsep ini tidak pernah benar-benar membumi di Indonesia sebab agama dan komunisme tak kunjung bisa berjumpa secara kaffah.

Prosa ini tak bisa lepas dari kondisi zamannya. Langit Makin Mendung seolah membongkar kembali ingatan tentang perseteruan umat agama dan kaum komunis. Jika melihat tahun terbitnya cerpen ini pada 1968, maka kita semua mafhum bahwa tahun itu adalah tahun panas pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, dari Soekarno ke Soeharto. Pasca Gestapu, PKI dan segala yang berbau komunis dilarang keras, termasuk juga Nasakom. Namun dengan cara penyajian  yang sedemikian, siapa yang hendak ditembak Kipandjikusmin? Benarkah penganut Nasakom dan komunis pada umumnya adalah sasaran kritik karya ini? Jika demikian, bagaimana dengan parodisasi kisah-kisah Islam, tidakkah ini menjadi semacam pelecehan? Dan dakwaan yang diserangkan pengadilan pada karya ini pun demikian, dakwaan pelecehan agama. Lantas ada di pihak mana sebenarnya Kipandjikusmin ini?

Karena kemisteriusan penulis, maka saya barangkali hanya mampu berandai-andai. Jika saja penulis adalah H. B. Yasin yang kita ketahui sebagai salah seorang aktivis Manifesto Kebudayaan, maka barangkali bisa dikata bahwa cerpen ini merupakan serangan terhadap Nasakom.

“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”

Dari dialog antara tokoh Nabi Muhammad dan Tuhan di atas, Nasakom terkesan menjadi momok menakutkan yang menyebabkan manusia menderita hingga liang lahat. Ini boleh jadi serangan terhadap Nasakom. Namun jika dilihat cara penulis menyerang, dengan meminjam perspektif Islam yang diparodisasi, ini merupakan cara penyerangan yang bisa jadi bumerang. Andai saya penganut Nasakom, hanya dengan diejek demikian, saya merasa tidak perlu tersinggung dan marah. Sebaliknya, jika saya seorang muslim dari aliran tertentu, saya akan sangat tersinggung dan marah dengan parodisasi yang ada. Saya justru memandang cerpen ini lebih menyerang Islam ketimbang Nasakom. Atau bisa aja, penulis ingin menyerang keduanya dengan cara yang berbeda. Penulis meminjam Nabi Muhamad sebagai jagoan yang seolah versus Nasakom. Nasakom seolah pihak yang salah dan musti dibasmi. Namun justru dengan peminjaman tokoh Nabi (dan sederet nama lainnya) itulah Kipandjikusmin juga habis-habisan mengkritik umat Islam di Indonesia waktu itu, atau setidaknya di Pulau Jawa. Kritik yang hingga kini pun masih cukup relevan.

“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta nama ibukotanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B. H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodom dan Gomorah?”
“Hampir sama”

Barangkali saya dan Anda sekalian sudah sama mengetahui kisah Sodom dan Gomorah, negeri yang diabadikan dalam Alkitab sebagai negeri yang dilaknat Tuhan karena kelakuan rakyatnya yang kelewat batas.

Dengan Langit Makin Mendung, Kipandjikusmin agaknya mencoba mengkritik banyak pihak : Nasakom, umat Islam dan rakyat Indonesia secara umum. Peminjaman perspektif Islam bukan tanpa alasan. Jumlah umat Islam yang dominan di Indonesia boleh jadi merupakan alasan dibalik peminjaman ini, agar lebih mengena, lebih menghajar. Namun jika ditilik dari sudut kiri, pemilihan Islam boleh jadi punya alasan lain. Para penghunni surga, yang kesemuanya adalah representasi Islam (baca : agama) dibenturkan dengan para penghuni bumi Indonesia yang telah banyak keracunan Nasakom (baca : komunis). Dalam realitas masa lalu di Indonesia, para pemuka agama adalah juga merupakan tuan tanah. Para pengasuh pondok pesantren mempunyai sawah luas yang ia kerjakan untuk kesejahteraan santri-santrinya. Kaum proletar pada masa pergerakannya banyak berkonflik dengan kaum sorgawi ini ihwal kepemilikan tanah. Runcingnya konflik agamawan v.s. proletariat ini disimbolkan oleh kaum penghuni sorga v.s. penghuni bumi dalam cerpen. Demikian yang bisa saya serap dari paparan seorang kawan ihwal telaahnya dari kaca mata madzhab Marxis.

Berbicara masalah dampak, H. B. Yasin harus mendekam 9 bulan di perjara gara-gara menerbitkan cerpen ini dan menolak memberitahu identitas asli Kipandjikusmin. Cerpen ini didakwa pasal pelecehan agama. Negara telah mengambil sikap atas cerpen ini. Jika kita bersedia menggunakan kaca mata politik, kasus ini merupakan momentum untuk meraih simpati umat Islam. Masa sejak Gestapu hingga 1968 boleh jadi tahun-tahun panas nan tak menentu bagi Indonesia. Dalam kondisi chaos seperti itu, Orde Baru bisa jadi memanfaatkan situasi ini untuk meraup kepercayaan umat Islam. Atau yang paling ekstrem, cerpen ini sendiri justru merupakan bagian dari strategi Orba. Soeharto sengaja “memesan” cerpen ini untuk memanaskan situasi lantas ia akan datang sebagai penyelamat. Mengingat karier militernya yang pernah menjadi Pangkostrad, The Smiling Jenderal ini agaknya cukup potensial untuk punya langkah semacam ini. Saya jadi teringat kisah konspirasi 30 September 1965 yang akhirnya menyudutkan Letkol Untung sebagai “penjahat”.

Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet dan berpusar-pusar di laut lepas.
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak :
“Amien, amien, amien.”
Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.    

Penghujung cerpen yang lebih seperti doa dan harapan seorang Nabi Muhammad, dengannya seolah Kipandjikusmin, dengan segala kritiknya, justru sebenarnya ingin membangunkan, menyadarkan umat Islam dan mengingatkan kembali mereka pada Nabi-nya, pada ajarnya, pada pondasinya. Serupa dekonstruksi, barangkali.

Lantas, siapa sebenarnya Kipandjikusmin?

Ciamis – Cimerak
5 – 8 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...