“Berapa lapis? Ratusan.
Renyah di luar, garing dan lembut di dalam”
Para penyuka Tango Wafer pasti tidak asing dengan
slogan di atas. Ya, itu adalah jargon andalan Tango Wafer. Slogannya memang
berubah-ubah. Mungkin lebih pada kebutuhan marketing saja. Tapi ada hal yang menarik dari slogan yang didengungkan
tiap pemutaran iklan Tango Wafer itu.
Jika menautkannya dengan makanan Tango Wafer saja,
barangkali terdengar biasa saja. Bahkan itu adalah kebohongan. Pada kenyataanya
Tango Wafer tidaklah beratus-ratus lapisan, hanya lima atau enam lapis saja. Tentang
“renyah di luar, garing dan lembut di dalam”, itu barangkali masih bisa diterima
dalam konteks rasa makanan itu sendiri. Renyah di gigitan pertama, lantas
terasa garing dan lembut di mulut. Kondisi renyah, garing dan lembut seolah
adalah hal yang kontradiktif, namun mampu berjumpa dalam Tango Wafer. Renyah identik
dengan garing, kering, dan kasar. Seperti keripik. Renyah dan lembut dalam
Tanggo Wafer adalah dualisme kontradiktif yang mampu menjadi harmoni. Dan inilah
yang jadi senjata Tango memasarkan produknya.
Jika saja kalimat-kalimat slogan iklan itu kita
cerabut dan dijadikan otonom, barangkali ini bisa jadi semacam kalimat simpulan
untuk hal lain. “Jeroan” manusia,
misalnya. Bukankankah itu juga berlapis-lapis? Mungkin juga ratusan. Dan terkadang
kondisinya kontradiktif. Renyah di luar (sikap yang tampak pada orang lain),
garing dan lembut di dalam (kondisi batin, tersembunyi).
Perkenalan saya dengan seseorang mengingatkan saya
akan Tango Wafer. Ini terjadi ketika
justru saya sedang menghadapi proses latihan teater dengan lakon Heart Of
Almond Jelly karya penulis Jepang, Wishing Chong. Ketika saya dan sutradara,
yang juga adalah lawan main saya, membedah karakter tokoh yang tertera dalam
teks, kami, atau setidaknya saya bersimpulan bahwa baik Sayoko maupun Tatsuro
sama-sama berlapis-lapis.
Lapis pertama adalah wajah biasa-biasa saja, wajah
yang menyiratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Mereka berdua seolah tidak
punya masalah yang cukup berarti. Di awal-awal cerita, baik Tatsuro maupun Sayoko
bercakap dengan cukup “renyah” tentang hal-hal yang terdengar ringan, namun
justru dari kerenyahan itulah mereka berdua mau tak mau terseret ke hal lain
yang berbeda sama sekali. Dialog-dialog yang asalnya dengan meluncur tanpa
pretensi bisa mendadak berat penuh emosi. Pada bagian-bagian awal, emosi yang
sebenarnya bergemuruh itu masih mampu ditekan sama-sama tak meledak. Meski keduanya
punya kesadaran untuk sama-sama menekan emosi, namun barangkali dalam hal ini
Tatsuro nampaknya lebih piawai, meski justru ia yang membuka “ledakan besar”
dengan cukup berani dan binal. Sake yang di
teguk Sayoko pun agaknya cukup berpengaruh pada kondisi psikis perempuan itu. Ia
menjadi lebih terbuka dan berani.
Ada beberapa bagian
di mana Sayoko menghajar Tatsuro dengan pertanyaan telak semisal “Mengapa
kamu berhenti bercinta denganku?”. Dan itu berulang. Tak hanya sekali saja
diucapkan. Dan tiap kali itu Tatsuro seolah menghindar. Ia berusah kuat tetap berada
dalam wilayah kepala yang dingin, tak ingin terlalu larut dalam
persoalan-persoalan yang mendalam, meski
sebenarnya ia tahu, lambat laun sebuah rahasia besar akan terungkap. Rahasia
yang jadi musabab utama retaknya hubungan mereka. Bahkan yang menjadikan mereka manusia yang berbeda sama sekali
dengan diri mereka sebelumnya.
Pada bagian-bagian selanjutnya, Tatsuro mulai
meladeni kalimat-kalimat tajam Sayoko. Ada yang ia balas sama tajamnya, namun
untuk hal yang terdalam masih coba ia pendam dan tahan. Baik Tatsuro maupun
Sayoko sama-sama tahu tentang masalah itu. Namun keduanya tak pernah membahasnya
dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Padahal, semua
itu adalah bom waktu.
Sayoko dengan sekian masa kecil yang kurang
membahagiakan nampak berusaha memandang ringan ihwal perpisahan. Buatnya berpisah
ya berpisah saja, tak usah dibuat berlebihan. Toh sebelum berjumpa dengan
kekasihnya, Tatsuro, Sayoko adalah pribadi yang mandiri. Itu lapisan luarnya,
terkesan renyah bukan?
Sayoko yang nampak cuek dan apa adanya, blak-blakan, mampu dengan ringan
membicarakan masa kecil yang cukup traumatik, banyak bicara, namun jeroannya
ternyata tak serenyah kenampakannya. Dibagian-bagian pertengahan dan
setelahnya, Sayoko nampak meledak emosiaonal. Memuntahkan lapisan kesekiannya
namun bukan lapisan terdalamnya. Lapisan dasarnya masih sekuat tenaga ia tekan.
Tatsuro pun agaknya punya kecenderugan yang sama
dalam menekan lapisan terdalamnya. Namun dalam beberapa kesempatan nampak
Tatsuro yang kerap kali memulai pembicaraan. Ia seakan menggiring alur
pembicaraan namun respon Sayoko yang kerap
kali meledak-ledak membuat Tatsuro pun tak lagi mampu menjadi dirigen tunggal. Keduanya,
akhirnya, berkelindan. Saling hantam, saling jebak, saling menikam, saling
mengobati, saling sembunyi, saling menyangka, saling menuduh, saling menyangkal, saling mengunci, saling
kabur, saling melepas, saling membekukan, saling mencarikan. Terjebak dalam
irama yang nyatanya tak mampu mereka kendalikan. Iramanya kadang jadi binal dan
liar, pula kadang jadi dingin membeku.
Keduanya sama-sama berlapis. Sama-sama ingin
membuka lapisan demi lapisan, perlahan membuka diri mereka masing-masing, namun
di sisi lain baik Sayoko maupun Tatsuro sama-sama merasa tak yakin membuka
kotak rahasia yang padahal keduanya sama-sama tahu.
Lapisan-lapisan awal adalah hal yang nampak boleh
jadi adalah hal yang remeh temeh, renyah-renyah saja. Tentang tempat tinggal
baru, pekerjaan baru, dan hal lain yang bisa diutarakan tanpa lidah musti kelu.
Namun justru lapisan remeh temeh itulah yang, dengan perlahan atau mendadak, menggusur
mereka berdua pada hal-hal yang lebih dalam dan substantif. Proses
ketelanjangan yang induktif ini mengalir kadang dengan mengayun, kadang pula
dengan patah-patah. Karena itu maka jeda adalah satu hal yang cukup penting dan
vital. Kadang manusia perlu break untuk menjaga dirinya tetap jadi manusia.
Dan kiranya, bukan hanya Tatsuro dan Sayoko saja
yang berlapis-lapis, yang renyah di luar, garing dan lembut di dalam. Kiranya,
begitulah manusia, terlebih manusia dengan beban traumatik seperti Tatsuro,
Sayoko, atau saya, atau Anda. Namun lapisan-lapisan itu janganlah dipandang
sebagai serta merta kebohongan karena lapis pertama ternyata jauh berbeda
dengan lapis-lapis selanjutnya, inkonsisten. Bisa jadi memang kebohongan untuk
tujuan tertentu yang terencana, yang jahat. Atau itu adalah hal lain. Dalam
kasus Sayoko dan Tatsuro, lapisan-lapisan itu jelas bukan kebohongan dalam konteks
kejahatan. Trauma yang mengerikan itu seolah memaksa mereka berdua untuk bermain
drama, berkilah, berdalih, menyangkal dan menyerang balik. Memaksa mereka untuk
berbohong. Memaksa mereka, bahkan, membohongi diri mereka sendiri.
Dan mungkin begitulah manusia. Membaca Heart Of
Almond Jelly seperti membaca diri kita sendiri, siapa pun kita. Bahwa jujur
pada diri sendiri ternyata lebih sulit ketimbang menceramahi orang tentang kejujuran.
Rengganis
23
Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar