Senin, 23 Januari 2017

Inkonsistensi Wafer


“Berapa lapis? Ratusan.
Renyah di luar, garing dan lembut di dalam”

Para penyuka Tango Wafer pasti tidak asing dengan slogan di atas. Ya, itu adalah jargon andalan Tango Wafer. Slogannya memang berubah-ubah. Mungkin lebih pada kebutuhan marketing saja. Tapi ada hal  yang menarik dari slogan yang didengungkan tiap pemutaran iklan Tango Wafer itu.

Jika menautkannya dengan makanan Tango Wafer saja, barangkali terdengar biasa saja. Bahkan itu adalah kebohongan. Pada kenyataanya Tango Wafer tidaklah beratus-ratus lapisan, hanya lima atau enam lapis saja. Tentang “renyah di luar, garing dan lembut di dalam”, itu barangkali masih bisa diterima dalam konteks rasa makanan itu sendiri. Renyah di gigitan pertama, lantas terasa garing dan lembut di mulut. Kondisi renyah, garing dan lembut seolah adalah hal yang kontradiktif, namun mampu berjumpa dalam Tango Wafer. Renyah identik dengan garing, kering, dan kasar. Seperti keripik. Renyah dan lembut dalam Tanggo Wafer adalah dualisme kontradiktif yang mampu menjadi harmoni. Dan inilah yang jadi senjata Tango memasarkan produknya.

Jika saja kalimat-kalimat slogan iklan itu kita cerabut dan dijadikan otonom, barangkali ini bisa jadi semacam kalimat simpulan untuk hal lain. “Jeroan” manusia, misalnya. Bukankankah itu juga berlapis-lapis? Mungkin juga ratusan. Dan terkadang kondisinya kontradiktif. Renyah di luar (sikap yang tampak pada orang lain), garing dan lembut di dalam (kondisi batin, tersembunyi).

Perkenalan saya dengan seseorang mengingatkan saya akan Tango Wafer. Ini terjadi  ketika justru saya sedang menghadapi proses latihan teater dengan lakon Heart Of Almond Jelly karya penulis Jepang, Wishing Chong. Ketika saya dan sutradara, yang juga adalah lawan main saya, membedah karakter tokoh yang tertera dalam teks, kami, atau setidaknya saya bersimpulan bahwa baik Sayoko maupun Tatsuro sama-sama berlapis-lapis.

Lapis pertama adalah wajah biasa-biasa saja, wajah yang menyiratkan bahwa semuanya baik-baik saja. Mereka berdua seolah tidak punya masalah yang cukup berarti. Di awal-awal cerita, baik Tatsuro maupun Sayoko bercakap dengan cukup “renyah” tentang hal-hal yang terdengar ringan, namun justru dari kerenyahan itulah mereka berdua mau tak mau terseret ke hal lain yang berbeda sama sekali. Dialog-dialog yang asalnya dengan meluncur tanpa pretensi bisa mendadak berat penuh emosi. Pada bagian-bagian awal, emosi yang sebenarnya bergemuruh itu masih mampu ditekan sama-sama tak meledak. Meski keduanya punya kesadaran untuk sama-sama menekan emosi, namun barangkali dalam hal ini Tatsuro nampaknya lebih piawai, meski justru ia yang membuka “ledakan besar” dengan cukup berani dan binal. Sake yang di teguk Sayoko pun agaknya cukup berpengaruh pada kondisi psikis perempuan itu. Ia menjadi lebih terbuka dan berani.

Ada beberapa bagian  di mana Sayoko menghajar Tatsuro dengan pertanyaan telak semisal “Mengapa kamu berhenti bercinta denganku?”. Dan itu berulang. Tak hanya sekali saja diucapkan. Dan tiap kali itu Tatsuro seolah menghindar. Ia berusah kuat tetap berada dalam wilayah kepala yang dingin, tak ingin terlalu larut dalam persoalan-persoalan  yang mendalam, meski sebenarnya ia tahu, lambat laun sebuah rahasia besar akan terungkap. Rahasia yang jadi musabab utama retaknya hubungan mereka. Bahkan yang menjadikan  mereka manusia yang berbeda sama sekali dengan diri mereka sebelumnya.

Pada bagian-bagian selanjutnya, Tatsuro mulai meladeni kalimat-kalimat tajam Sayoko. Ada yang ia balas sama tajamnya, namun untuk hal yang terdalam masih coba ia pendam dan tahan. Baik Tatsuro maupun Sayoko sama-sama tahu tentang masalah itu. Namun keduanya tak pernah membahasnya dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Padahal, semua itu adalah bom waktu.

Sayoko dengan sekian masa kecil yang kurang membahagiakan nampak berusaha memandang ringan ihwal perpisahan. Buatnya berpisah ya berpisah saja, tak usah dibuat berlebihan. Toh sebelum berjumpa dengan kekasihnya, Tatsuro, Sayoko adalah pribadi yang mandiri. Itu lapisan luarnya, terkesan renyah bukan?

Sayoko yang nampak cuek dan apa adanya, blak-blakan, mampu dengan ringan membicarakan masa kecil yang cukup traumatik, banyak bicara, namun jeroannya ternyata tak serenyah kenampakannya. Dibagian-bagian pertengahan dan setelahnya, Sayoko nampak meledak emosiaonal. Memuntahkan lapisan kesekiannya namun bukan lapisan terdalamnya. Lapisan dasarnya masih sekuat tenaga ia tekan.

Tatsuro pun agaknya punya kecenderugan yang sama dalam menekan lapisan terdalamnya. Namun dalam beberapa kesempatan nampak Tatsuro yang kerap kali memulai pembicaraan. Ia seakan menggiring alur pembicaraan namun respon Sayoko  yang kerap kali meledak-ledak membuat Tatsuro pun tak lagi mampu menjadi dirigen tunggal. Keduanya, akhirnya, berkelindan. Saling hantam, saling jebak, saling menikam, saling mengobati, saling sembunyi, saling menyangka, saling menuduh,  saling menyangkal, saling mengunci, saling kabur, saling melepas, saling membekukan, saling mencarikan. Terjebak dalam irama yang nyatanya tak mampu mereka kendalikan. Iramanya kadang jadi binal dan liar, pula kadang jadi dingin membeku.

Keduanya sama-sama berlapis. Sama-sama ingin membuka lapisan demi lapisan, perlahan membuka diri mereka masing-masing, namun di sisi lain baik Sayoko maupun Tatsuro sama-sama merasa tak yakin membuka kotak rahasia yang padahal keduanya sama-sama tahu.

Lapisan-lapisan awal adalah hal yang nampak boleh jadi adalah hal yang remeh temeh, renyah-renyah saja. Tentang tempat tinggal baru, pekerjaan baru, dan hal lain yang bisa diutarakan tanpa lidah musti kelu. Namun justru lapisan remeh temeh itulah yang, dengan perlahan atau mendadak, menggusur mereka berdua pada hal-hal yang lebih dalam dan substantif. Proses ketelanjangan yang induktif ini mengalir kadang dengan mengayun, kadang pula dengan patah-patah. Karena itu maka jeda adalah satu hal yang cukup penting dan vital.  Kadang manusia perlu break untuk menjaga dirinya tetap jadi manusia.

Dan kiranya, bukan hanya Tatsuro dan Sayoko saja yang berlapis-lapis, yang renyah di luar, garing dan lembut di dalam. Kiranya, begitulah manusia, terlebih manusia dengan beban traumatik seperti Tatsuro, Sayoko, atau saya, atau Anda. Namun lapisan-lapisan itu janganlah dipandang sebagai serta merta kebohongan karena lapis pertama ternyata jauh berbeda dengan lapis-lapis selanjutnya, inkonsisten. Bisa jadi memang kebohongan untuk tujuan tertentu yang terencana, yang jahat. Atau itu adalah hal lain. Dalam kasus Sayoko dan Tatsuro, lapisan-lapisan itu jelas bukan kebohongan dalam konteks kejahatan. Trauma yang mengerikan itu seolah memaksa mereka berdua untuk bermain drama, berkilah, berdalih, menyangkal dan menyerang balik. Memaksa mereka untuk berbohong. Memaksa mereka, bahkan, membohongi diri mereka sendiri.

Dan mungkin begitulah manusia. Membaca Heart Of Almond Jelly seperti membaca diri kita sendiri, siapa pun kita. Bahwa jujur pada diri sendiri ternyata lebih sulit ketimbang menceramahi orang tentang kejujuran.

Rengganis
23 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...