Senin, 09 November 2020

Teater Masa Darurat

 

Seni pertunjukan lumpuh. COVID-19 menghajarnya habis-habisan. Gara-gara pelarangan berkumpul, berkerumun, dan anjuran di rumah saja, banyak pertunjukan diundur. Atau dibatalkan.[1] Sebagai alternatif di masa darurat, banyak pihak menyelenggarakan “seni pertunjukan daring (dalam jaringan)”.

 

Macam-macam ragamnya. Bakti Budaya Djarum Foundation menyelenggarakan #NontonTeaterDiRumahAja lewat kanal YouTube Indonesia Kaya. Pertunjukan teater yang pernah dipentaskannya “diputar ulang”. Bunga Penutup Abad (naskah/sutradara: Wawan Sofwan) yang merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia-nya Pram,[2] Citraresmi (naskah: Toni Lesmana, sutradara: Wawan Sofwan),[3] dan Nyanyi Sunyi Revolusi (naskah: Ahda Imran, sutradara: Iswadi Pratama)[4] adalah beberapa nomor yang disiarkan dalam program tersebut.

 

Tanda pagar #pentasdirumah dan #senipertunjukandirumah marak sejak masa pandemi. Kemenparekraf membuat program Pentas Di Rumah: seniman-seniman dapat mengunggah karya pertunjukannya ke Instagram dengan ketentuan tertentu.[5] 200 karya terpilih akan dapat apresiasi. Selama rentang waktu 7 – 15 Mei 2020 telah ada 1.625 karya yang terdaftar.[6]

 

Apakah seni pertunjukan daring semacam itu adalah masa depan yang niscaya bagi teater? 

 

***

 

Seni selalu berkembang. Bentuk dan isinya berubah-ubah. Kebaruan adalah hal yang selalu dikejar  seniman, salah satunya. Karena ingin baru, batas kadang dilabrak. Dilanggar. Ditabrak. Teater dan tari, batasnya sudah tidak jelas. Dengan seni rupa, dengan musik, dengan sastra, dengan film, juga begitu. Akademisi seni coba merumuskan. Membuat formula dan definisi, tapi seniman seringnya bandel. Ingin lebih dari itu. Ingin melampaui definisi yang baru kemarin sore dibuat para profesor seni.

 

Dalam kondisi saat dan pasca pandemi, semua hal terkoreksi. Hampir semua bidang kehidupan meredefinisi diri. Dengan gerakan #pentasdirumah dan #senipertunjukandirumah, teater juga—terpaksa atau dengan sukarela—mengoreksi dirinya.

 

Sejauh ini, sebagaimana yang telah dicontohkan di muka, pentas di rumah sangat mengadalkan teknologi digital dalam praktiknya. Dalam konteks wacana, ada beberapa persoalan untuk “me-daring-kan” teater.

 

Menonton teater umumnya pergi ke gedung pertunjukan. Atau di jalanan. Atau di mana saja sejauh  ruang itu disepakati sebagai panggung. Pada praktiknya, teater itu luwes. Panggung itu jangan diartikan sempit sebagai bidang tertentu berukuran sekian kali sekian kali sekian dengan kelengkapan ini dan itu. Itu hanya salah satu wujud panggung. Sejatinya, panggung adalah ruang eksistensi, ruang meng-ada, pertunjukan. Di mana pertunjukan itu exist, di sanalah panggung.

 

Sejatinya, panggung juga tidak permanen. Ia sementara saja. Panggung (stage) hanya exist, hanya meng-ada, ketika pertunjukan berlangsung, ketika pertunjukan meng-ada juga. Setelah pertunjukan usai, ia balik menjadi tempat (place).

 

Jika turut pemahaman ini maka menjadikan (halaman, teras, kamar) rumah sebagai panggung tidak menjadikan pertunjukan itu batal sebagai teater. Sah-sah saja. Unsur ke-panggung-an teater tidak gugur hanya karena pertunjukan itu tidak digelar di tempat pertunjukan seni yang khusus, yang ekslusif.

 

Teater (Di Rumah) Bukan Film

Yang dimaksud pentas (teater) di rumah, seharusnya, bukan membuat film. Menonton teater daring juga semustinya tidak jadi nonton film. Meski ia sama-sama direkam, mematut diri di depan kamera, dan ditonton “tidak secara langsung”, namun ada beda mendasar antar keduanya.

 

Sebut saja, misalnya, penyuntingan. Dalam film, setelah adegan “diambil”, ia lantas akan disunting: dipotong-sambung, disisipi musik, efek visual (jika diperlukan), dan lain sebagainya. Beberapa adegan mungkin dibuang jika, akhirnya, dinilai kurang pas.

 

Penyuntingan film menentukan dari sudut mana dan dari jarak seberapa adegan akan diperlihatkan pada penonton. Apakah close up, long shot, over shoulder shot, atau apa? Penonton tidak bisa memilih mau nonton bagian mana. Kedaulatan penonton untuk memilih sudut dan fokus sudah dimandatkan pada kameraman dan penyunting.

 

Nah, hasil suntingan itulah yang ditonton penonton sebagai karya seni rekam yang final bernama film.

 

Teater tidak demikian. Adegan dibuat, dipotong-sambung, dikoreksi, disisipi musik, tegasnya disunting ketika latihan. Jika ada unsur efek visual, pada latihan pula ia diadakan, diuji-cobakan. Hasil dari latihan sekian panjang dan melelahkan itu kemudian dipertontonkan pada penonton secara langsung.

 

Penonton dengan sangat merdeka boleh memilih mau fokus melihat bagian mana dari adegan yang sedang berlangsung. Bila ada lima orang di panggung dengan satu orang yang sedang bermonolog, penonton tidak harus fokus pada tokoh  yang sedang berbicara itu. Suka-suka penonton saja. Boleh jadi penonton A lebih tertarik memperhatikan respon tokoh lain yang sedang menyimak ketimbang si pembicara itu sendiri. Sedang penonton B lebih senang memperhatikan business-acting si pembicara daripada apa yang ia ucapkan.

 

“Fokus dan jarak pandang” inilah yang, salah satunya, membedakan film dan teater secara mendasar. Hal ini akan mempengaruhi, misalnya, akting (pemeranan realis). Karena adanya jarak pandang dari penonton ke panggung dan tidak mungkin memperbesar visual tertentu sebagaimana dalam film, maka akting teater cenderung mengalami proyeksi, pembesaran.

 

Jika di depan kamera, dengan pengambilan gambar close up ke wajah, lirikan mata ketika mendengar dering telepon, umpamanya, sudah cukup sebagai respon. Dalam (akting) teater, lirikan mata tersebut tidak akan terlalu nampak, apalagi oleh penonton yang duduk di barisan belakang. Maka respon semacam itu  bisa pula dikuatkan (diproyeksikan) dengan tolehan wajah.

 

Menonton video pertunjukan teater dalam program #NontonTeaterDiRumahAja lebih mirip menonton film. Adanya perubahan gambar, perubahan shot, persis film. Kenapa tidak memilih long/wide shot saja sepanjang pertunjukan, agar tampak seluruh panggung? Cukup satu kamera sebagai “wakil” mata penonton. Bukankah itu asyiknya nonton teater?

 

Memang, dengan pesatnya kemajuan teknologi, batas antara seni A dan seni seni B jadi kabur. Pertunjukan teater sudah sedemikian bermacam-macam. Efek visual menggunakan teknologi proyektor atau yang umum disebut video mapping sudah lazim digunakan dalam pentas-pentas teater. Musik pun sudah banyak yang tidak dimainkan secara langsung. Rekaman. Tinggal klik, musik nyala. Fade in dan fade out-nya dikontrol lewat laptop atau mixer sound.

 

Namun, meski ditunjang pelbagai teknologi canggih, teater tetap saja lain dengan film. Selain persoalan “fokus dan jarak pandang”, hal lain yang membedakannya adalah cara menontonnya.

 

Cara Menonton Teater

Dalam pandangan konvensional, menonton teater via gawai atau komputer sejatinya bukanlah “menonton teater”. Yang ditonton adalah dokumentasi pertunjukan teater. Menonton teater adalah menyaksikan secara langsung segala peristiwa yang terjadi di panggung. Dalam konteks pertunjukan teater, terjadi mengandung beberapa variabel: sekarang, di sini, dan sementara.

 

Jika tidak sekarang, tidak langsung pada saat itu, artinya ada delay atau jeda antara saat berlangsungnya peristiwa (adegan) dan saat diindranya peristiwa tersebut oleh penonton, maka gugurlah satu variabel menonton teater.

 

Jika penonton dan yang ditonton tidak berada di ruang yang sama, bukan nonton teater namanya. Menonton teater itu, antara penonton dan yang ditontonnya musti berada “di sini”, di ruang yang sama, ruang pertunjukan.

 

Dan jika pertunjukan itu bisa diputar-ulang kapan saja, jelas namanya seni rekam. Film. Menonton teater itu sekali habis. Tidak ada siaran ulang. Meski pentas berkali-kali, tiap pertunjukan mewaktu pada saatnya sendiri. Pentas hari ini, ya, hari ini. Lain dengan yang kemarin meski lakon dan pemainnya sama. Bahkan meski penontonnya sama.

 

Karena teater dimainkan dan ditonton secara langsung (live), secara  “hidup (live)”,  maka ia terus menerus terikat dimensi waktu. Tidak final sebagaimana film. Ia me-waktu. Bagi teater waktu adalah salah satu media ekspresi.

 

Karena ke-me-waktu-an-nya—sebagimana waktu—maka pertunjukan teater bersifat sementara. Lain dengan seni rupa, sastra, film, dan musik yang mana karya sang seniman “membeku” pada medianya (lukisan, patung, desain; tulisan; gambar bergerak (motion pictures); bunyi (yang direkam)), teater dan tari tidak demikian. Seperti sungai, meski melewati kelok yang sama, air yang lewat detik ini bukan air yang lewat satu detik yang lalu.

 

Tapi, dengan kemajuan teknologi digital, tiga hal tersebut, yang selama ini dianggap “keunikan” teater, agaknya akan terkoreksi juga.

 

Tentang “langsung”, kini dimungkinkan “siaran langsung” di berbagai macam aplikasi media sosial. Akting para aktor, “peristiwa panggung”, bisa langsung diindra seketika itu. Kelompok teater Artery Performa melakukan “siaran langsung” itu baru-baru ini.[7]

 

Tentang “di sini”, definisi ruang bisa terkoreksi seiring berkembangnya teknologi digital. Ruang tidak lagi musti entitas fisik yang bisa diindra. Ruang, maknanya, berkembang menjadi ruang maya. Berjumpa di Zoom Meeting, IG Live, video conference, dan hal semacamnya bisa juga dimaknai berjumpa di “ruang yang sama”: ruang maya.

 

Dinding, atap, serta lantai yang biasanya menjadi batas ruang berubah menjadi alogaritma rumit yang “membatasi” satu ruang dan data digital dengan hal serupa lainnya. Bedanya, ruang maya menjadi “ruang antara”, tempat perjumpaan tontonan dan penonton, ruang mediasi.

 

Dalam pertunjukan luring (luar jaringan), konvensional, tidak ada ruang antara. Ruang pemain, ruang peristiwa, ruang adegan, adalah ruang yang sama dengan ruang yang “dialami” penonton. Meksi ada jarak (fisik) antara pemain (di panggung) dan penonton (di kursi atau tempat menonton), namun sejatinya tidak ada “ruang antara”. Pada dasarnya penonton tidak membutuhkan media lain selain dirinya sendiri untuk “mengalami’ peristiwa teater itu.

 

Meski demikian, variabel “di sini” masih dipertahakan sebab baik (tubuh virtual) pemain maupun (tubuh virtual) penonton berjumpa dalam ruang yang sama, dalam “di sini” yang sama.

 

Lantas bagaimana dengan kesementaraan? Teknologi “siaran langsung” itu memungkinkan suatu tayangan tidak dapat disaksikan kecuali hanya pada saat itu.

 

Tiga variabel kekhasan menonton teater itu lambat laun agar diredefinisi, secara terpaksa atau sukarela.

 

Namun, meski sedemikian digitalnya teater di masa pandemi ini, satu hal, barangkali, yang tak kunjung tergantikan: tubuh. Tentu saja tubuh dengan segala kompleksitas dan dinamikanya.

 

Ke-Daging-An Yang Tak Ter-Virtual-Kan

Beralihnya aktivitas manusia ke dunia digital sejatinya bukanlah migrasi tubuh, melainkan transformasi. Bukan saja berpindah tempat (trans-migrasi) namun berubah bentuk (trans-formasi). Tubuh daging ini di-enkode menjadi alogaritma, di-avatar-kan menjadi tubuh virtual di dunia maya. Tidak ada sensasi ke-daging-an. Dingin. Kaku. Tubuh tanpa darah, daging, tulang, dan kulit; tubuh tanpa “realitas”.    

 

Bagaimana nasib teater-teater tradisional, teater komunal, teater yang “dialami”, yang mensyaratkan ke-daging-an itu sebagai bagian tak terpisahkan dalam pertunjukannya? Bagaimana Grebeg Mulud di Yogyakarta harus di-virtual-kan, tanpa ada perjumpaan fisik? Bagaimana kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis dan Pangandaran, Jawa Barat, akan tetap meng-ada, exist, dalam “ruang antara” dunia maya?

 

Dalam teater tradisional—dan lebih luasnya seni pertunjukan tradisional—sejatinya, tidak ada penonton dan yang ditonton dalam konteks relasi subjek-objek. Kesenian tradisional beralaskan kesadaran kosmologis bahwa seni pertunjukan—sebagaimana segala bentuk kesenian—adalah sesembahan, adalah ritual. Upacara.

 

Alih-alih membuat dikotomi pemain dan penonton, dalam teater tradisional yang ada adalah pembagian tugas: siapa yang bermain dan siapa yang menonton permainan. Keduanya nyawiji dalam suatu harmoni kosmologis.     

    

Dengan kesadaran relasi harmoni semacam itu, menonton adalah mengalami. Pertunjukan itu dialami oleh siapa siapa saja yang hadir “langsung, di sini, dan sementara” itu. Mengalami teater semacam itu tidak bisa di-virtual-kan sebab mengalami berarti melibatkan seluruh kualitas tubuh, lahir batin.   

 

Apakah pentas di rumah dan kegiatan sejenisnya mampu mengakomodir hal semacam ini? Sejauh ini, tidak. Dan semoga saja bentuk-bentuk “seni pertunjukan daring” ini hanyalah sementara, hanya teater masa darurat.

 

Normal Baru? Ah, selama masih ada penjarakan fisik, mengalami teater masih dalam kenangan. Apakah Normal Baru akan turut serta me-normal-baru-kan teater tradisional atau justru perlahan menghabisinya?

 

Entah. Semoga tidak.

 

Panjalu, 28 Mei 2020



[7] https://mediaindonesia.com/read/detail/303100-orang-orang-yang-dijemur (diakses pada 28 Mei 2020 pukul 23.20 WIB)

keterangan gambar: pentas virtual Gardu Teater berjudul Covid The Killer.

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...