Membanding Wayang :
Sebuah Tulisan Subjektif.
Sabtu, 20 Agustus 2016, sekitar jam 10 pagi,
alun-alun Ciamis banjir pelajar. Kehadiran mereka tentu bukan demo menolak
kenaikan harga rokok. Ratusan pelajar sedari SD hingga SMA membanjiri pusat
kota Ciamis itu dalam rangka semacam workshop pengenalan wayang golek. Kegiatan
ini merupakan rangkaian Pesona Galuh Nagari yang merupakan program (atau proyek?)
Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI bekerjasama dengan Pemda Ciamis
dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Rangkaian acara sehari ini
dipungkas dengan pertunjukan Wayang Ajen oleh dalang Dr. Wawan Gunawan, S. Sn.
M. M. atau dikenal luas dengan nama Wawan Ajen. Beliau sendiri merupakan Kapala
Sub Direktorat Wisata Sejarah dan Religi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif RI. Ia juga dikenal sebagai penggagas konsep Wayang Ajen, wayang yang
konon wayang multidimensi, wayang modern. Kang Wawan, sapaan akrabnya, juga
merupakan kelahiran Ciamis. Manggungnya kali ini boleh jadi manggung di kampung
sendiri. Dan Bupati tentu senang dengan hal ini.
Meski tak terlalu hapal dan paham tentang wayang
golek, saya termasuk seorang penyuka wayang, khususnya wayang golek. Memang
kecintaan saya pada wayang golek boleh jadi terbatas pada Ki Asep Sunandar
semata, pada awalnya. Namun setelah saya mengenal wayang golek lewat
pertunjukan Giri Harja 3, saya jadi mulai mengenal dan menonton pertunjukan
wayang dari kelompok dan dalang lain. Dari sekian pagelaran wayang yang saya
nikmati, entah mengapa kecintaan saya tetap kokoh pada Ki Asep Sunandar Sunarya
(Alm). Entah karena beliau yang kali pertama saya tonton, entah karena
ketenarannya, karena kepiawaiannya memainkan wayang, kecerdasannya, baik secara
intelektual, emotional maupun spiritual, atau entah perpaduan semuanya. Yang
jelas, meski beliau kini telah wafat, saya tetap mengidolakan dan
merindukannya. Bagi saya, barometer kualitas pertunjukan wayang golek dan
kemampuan seorang dalang adalah garapan Ki Asep, titik. Saya fanatik? Ya,
barangkali. Meski saya pun selalu mencoba menikmati tiap pertunjukan wayang
dari dalang manapun, namun bayang-bayang Giri Harja 3 tetap melekat kuat dalam
ingatan.
Wayang Ajen agak berbeda dengan pagelaran wayang
golek pada umumnya. Dikatakan wayang multidimensi sebab pagelaran wayang ini
memadukan berbagai genre kesenian seperti tari, teater, teknologi komputer, wayang
fiber, dan lainnya. Setidaknya demikian pada awalnya. Pada perkembangannya,
konsepnya menjadi lebih sederhana, cukup wayang golek ditambah tari, lawak, dan
pengajian oleh seorang mubaligh. Cerita lakonnya pun dibuat kontekstual dan
aktual. Cerita-cerita ini ditulis dan cetak sebagai pedoman sang dalang saat
manggung. Tokoh-tokoh wayang lebih “dipinjam” sebagai media penyampai gagasan
dalang ketimbang memainkan tokoh itu sebagai tokoh dalam cerita pewayangan pada
umumnya. Musik pengiring pun tak luput dari sentuhan modernitas. Tata panggung
lengkap dengan tata cahaya pun demikian. segalanya nampak tertata dan
terkonsep. Bukan sekedar pagelaran wayang golek konvensional seperti yang
sering disaksikan.
Dari sudut pedalangan, boleh jadi ini merupakan
sebuah terobosan yang luar biasa. Konon ketika Ki Wawan Ajen mempresentasikan
karyanya di UNPAD di hadapan para dalang-dalang, nyaris semua membantai dan
menolaknya, hanya Ki Asep Sunandar yang membela dengan argumen bahwa wayang
bukanlah Al-Qur’an, bukan kitab suci, bukan sesuatu yang musti baku, kaku,
kering kreativitas, tanpa perubahan. Ini pula yang sering digaungkan Ki Asep
ketika magelaran wayang. Jika pagelaran wayang dan dalang tak mampu mengimbangi
kemajuan zaman, siap-siaplah mampus tergerus waktu. Miindung ka waktu mibapa ka zaman, demikian jargonnya.
Sependek pengetahuan saya atas Ki Asep, beliau
sangat menghormati kreativitas. Beliau,
dalam proses kreatifnya, menciptakan berbagai terobosan yang pada
awalnya mendapat banyak cemoohan dari para dalang, namun toh akhirnya sangat
dicintai masyarakat. Bahkan beliau diakui luas sebagai maestro wayang golek.
Tersebutlah tiga dalang legendaris, Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya, Ki Dalang
Dede Amung Sutarya, dan Ki Dalang Cecep Supriadi. Setidaknya ini menurut salah
satu versi.
Manusia adalah anak zamannya, demikian keyakinan
para pemikir. Artinya, apa-apa yang diciptakan, kreatifitas macam apapun yang
ditelurkan manusia takkan lepas dari zaman ketika ia hidup dan berkarya. Ki
Asep, pada zaman awal penciptaan terobosannya, pastilah yang teranyar di
zamannya. Kala itu perkembangan teknologi belum secanggih hari ini. Jika
ditilik dari sudut hari ini, boleh jadi apa yang dipanggungkan Ki Asep bukanlah
sebuah terobosan, biasa-biasa saja. Beliau masih bisa digolongkan seniman
pedalangan yang konvensional. Namun jika kita cermati proses kreatifnya apalagi
dengan referensi ihwal pakem pedalangan, kita akan paham bahwa yang beliau
lakukan ialah sebuah terobosan yang cemerlang. Dalam keliaaran kesenimanannya,
kita masih sangat mampu menemukan ruh dan bentuk-bentuk seni tradisi yang utuh.
Terlebih kepiawaiannya memainkan wayang, teknik vokal yang dahsyat, kemampuan
improvisasi serta materi gelaran baik yang berupa nasehat serius maupun
humor-humor ala rakyat yang terasa begitu “nyawiji” dengan dalang dan
wayangnya, membuat beliau memang layak disebut legenda dalang Jawa Barat, di
luar segala terobosan yang beliau ciptakan. Setidaknya itu dari kacamata saya
selaku apresiator wayang golek.
Bagaimana dengan Wayang Ajen? Sebagai sebuah
kreativitas, pegelaran wayang golek ini layak mendapat acungan jempol.
Keberanian dalang Wawan Gunawan Ajen dalam mendobrak pakem-pakem pedalangan
patut mendapat apresiasi yang layak. Terlebih beliau telah mematenkan hasil
karyanya secara akademis dengan menjadiakannya bahan disertasi yang ia buat
tatkala menyelesaikan S3-nya di UNPAD. Wayang Ajen punya pondasi akademis yang
kokoh. Segala yang hadir di panggung bisa dikata memiliki pijakan akademis yang
bisa dijelaskan dan diperdebatkan. Entah berapa puluh teori yang digunakan
untuk menopang pagelaran ini. Namun apakah gelaran wayang ini mampu dicintai
masyarakat luas seperti mendiang sang maestro dari Giri Harja 3?
Salah satu hal yang sering menjadi bahan bincangan
di masyarakat tatkala “nanggap” sebuah pagelaran seni ialah biaya. Berapa kocek
yang musti dirogoh untuk mengundang Wayang Ajen? Desas-desus mengatakan, butuh
dana cukup tinggi untuk mengundang grup wayang ini. Ini cukup dipahami jika
dilihat dari jumlah personel yang terlibat dalam sebuah pagelaran Wayang Ajen.
Belum panggung khusus dan perangkat tata cahaya serta multimedia yang musti
hadir sebagai sebuah keutuhan pertunjukan dan konsep. Sebab tingginya biaya
sebuah pagelaran Wayang Ajen, maka grup ini lebih sering tampil memenuhi
undangan pemerintah atau digelar sebagai bagian dari program (atau proyek?)
pemerintah. Profesi Wawan Ajen sebagai PNS dan jabatannya sebagai Kasudbit
Wisata Sejarah dan Religi Kemenpar RI membuatnya lebih mudah menyelusup dalam
kegiatan-kegiatan plat merah. Inilah salah satu hal yang menjadi perdebatan,
atau keirian, para seniman lain.
Panggungan Wayang Ajen bukan didapatnya dari rasa
cinta masyarakat padanya, ketenaran dan aktivitasnya hingga menjelajah lebih
dari 20 negara, mendapat sekitar 15 penghargaan luar negeri, bukan didapat atas
dasar kecintaan masyarakat pada kesenian tersebut, namun lebih pada pemanfaatan
posisi dan jabatan sang dalang dalam pemerintahan pusat. Abuse of power? Entahlah. Namun setidaknya inilah salah satu
komentar miring yang beredar luas di masyarakat, khususnya kalangan penggiat
seni.
Nada minor mustilah ada demi harmonitas sebuah
musik, begitu pun kehidupan. Apa yang dilakukan Wayang Ajen pasti banyak menuai
kontroversi, baik dari segi konsep dan pagelaran maupun jaringan kerja,
manajemen, dan “lapak panggungan”.
Sebelum habis tulisan ini, saya sebagai penyuka
pagelaran wayang golek ingin memberi penilaian jujur. Salah satu hal yang
kurang “merenah” ketika saya menikmati dalang Wawan Gunawan Ajen ialah teknik
vokalnya yang “ngagebleg”. Dalam pertunjukan wayang, kemampuan teknik vokal
sang dalang menjadi salah satu senjata utama. Satu orang musti memainkan sekian
banyak tokoh wayang dengan vokal yang berbeda-beda. Hal yang membangun
imajinasi penonton, selain gerak-gerik boneka wayang, ialah suaranya. Jika
suara tokoh-tokoh wayang nyaris sama (ngagebleg), konstruksi imaji penonton
tidak cukup kokoh. Rapuh. Teknik vokal ini yang saya sayangkan dari dalang yang
menyelesaikan S1-nya di STSI (ISBI) Bandung ini. Imajinasi saya sering kacau
jika mendengar dalang ini melontar dialog-dialognya. Siapa ini yang bicara?
Perubahan suara antara satu tokoh dan tokoh lain kurang terasa, padahal ini
merupakan senjata utama dalam sebuah pagelaran wayang, saya kira. Satu hal lagi
yang mengganjal dari pagelaran itu ialah humor-humornya yang sering tidak
pecah, tidak lucu, garing dan menjemukan. Dialog yang disiapkan jadi bahan
“ger” malah melempem sama sekali sebab barangkali komedi yang hadir tak natural
dan jujur. Komedi membutuhkan sebuah kejujuran. Alih-alih mengundang “ger” penonton,
logika-logika adegan absurd yang hadir malah tak jadi sesuatu kecuali kejemuan.
Ketika Cepot berdialog dengan Dawala, sekonyong-kongong datang banyak tokoh
replika tokoh publik yang ada di dunia kekinian, semisal presiden RI, Mentri
Parekraf, AA Gym, para waria, Satpol PP, Romy Rafael, dll. Kehadiran
tokoh-tokoh itu, yang sekedar lewat dengan beberapa patah kata, yang tak
nyambung dengan adegan sebelumnya, bagi saya cukup garing. Absurditas bisa jadi
senjata “ger” yang dahsyat ketika takaran dan momentumnya pas. Timingnya tepat. Jika meleset, hal ini
hanya akan jadi membingungkan penonton. Gaje.
Joko Widodo tiba-tiba hadir berpidato tatkala
Cepot dan Dawala berdialog. Kehadiran Jokowi itu tanpa sebab apapun dan tak
dikaitkan sama sekali dengan Cepot atau Dawala. Akhirnya, kemunculan
wayang-wayang tokoh masyarakat tersebut tidak menjadi sesuatu (dalam bahasa
Syahrini), sekedar menjadi parade wayang belaka. Berbeda dengan Ki Asep yang
ujug-ujug mendatangkan Cepot tatkala pertarungan serius antara Gatotkaca dan
wayang buta, atau ketika dialog serius antara Batara Guru dan Resi Narada,
misalnya. Kemunculan Cepot mampu menjadi bom tawa karena memecah keseriusan.
Interupsi. Semacam madzhab Brechtian dalam teater modern barangkali. Kemunculan
selintas tokoh-tokoh publik kontemporer dalam adegan wayang jika dikemas dengan
lebih apik saya kira bisa jadi momentum pecahnya tawa. Seperti Ki Asep yang
ujug-ujug menghadirkan Cepot, atau siapapun yang tak semestinya menurut pakem.
Intinya dua hal, teknik vokal dan humor. Menyoal
teknik vokal, ini lebih mudah diatasi dengan latihan, saya kira. Sedang humor,
komedi, itu punya kesulitan tersendiri. Komedi tak melulu soal teknik, tapi
kepekaan dan kejujuran. Butuh gerak batin dan kerendahan hati untuk
menghadirkan komedi yang meledak.
Entah bijak atau tidak membandingkan Wayang Ajen
dan Giri Harja 3. Entah sepadan atau tidak. Boleh jadi jika ingin sepadan, kita
musti menunggu Wayang Ajen seusia Giri Harja 3. Namun apakah ia mampu bertahan
dan setia pada jalan keseniannya? Ditengah godaan harta dan jabatan? Entahlah.
Boleh jadi penilaian ini datang bertolak dari
kecintaan saya pada Ki Dalang Asep Sunandar yang terlampau, yang lantas
menjadikannya sebagai barometer tiap pertunjukan wayang golek. Subjektif? Tentu
saja. Siapa yang melarang kita untuk subjektif? Anda pun berhak.
28
Agustus 2016