Selasa, 30 Agustus 2016

Membanding Wayang : Sebuah Tulisan Subjektif


Membanding Wayang :
Sebuah Tulisan Subjektif.

Sabtu, 20 Agustus 2016, sekitar jam 10 pagi, alun-alun Ciamis banjir pelajar. Kehadiran mereka tentu bukan demo menolak kenaikan harga rokok. Ratusan pelajar sedari SD hingga SMA membanjiri pusat kota Ciamis itu dalam rangka semacam workshop pengenalan wayang golek. Kegiatan ini merupakan rangkaian Pesona Galuh Nagari yang merupakan program (atau proyek?) Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI bekerjasama dengan Pemda Ciamis dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Rangkaian acara sehari ini dipungkas dengan pertunjukan Wayang Ajen oleh dalang Dr. Wawan Gunawan, S. Sn. M. M. atau dikenal luas dengan nama Wawan Ajen. Beliau sendiri merupakan Kapala Sub Direktorat Wisata Sejarah dan Religi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Ia juga dikenal sebagai penggagas konsep Wayang Ajen, wayang yang konon wayang multidimensi, wayang modern. Kang Wawan, sapaan akrabnya, juga merupakan kelahiran Ciamis. Manggungnya kali ini boleh jadi manggung di kampung sendiri. Dan Bupati tentu senang dengan hal ini.

Meski tak terlalu hapal dan paham tentang wayang golek, saya termasuk seorang penyuka wayang, khususnya wayang golek. Memang kecintaan saya pada wayang golek boleh jadi terbatas pada Ki Asep Sunandar semata, pada awalnya. Namun setelah saya mengenal wayang golek lewat pertunjukan Giri Harja 3, saya jadi mulai mengenal dan menonton pertunjukan wayang dari kelompok dan dalang lain. Dari sekian pagelaran wayang yang saya nikmati, entah mengapa kecintaan saya tetap kokoh pada Ki Asep Sunandar Sunarya (Alm). Entah karena beliau yang kali pertama saya tonton, entah karena ketenarannya, karena kepiawaiannya memainkan wayang, kecerdasannya, baik secara intelektual, emotional maupun spiritual, atau entah perpaduan semuanya. Yang jelas, meski beliau kini telah wafat, saya tetap mengidolakan dan merindukannya. Bagi saya, barometer kualitas pertunjukan wayang golek dan kemampuan seorang dalang adalah garapan Ki Asep, titik. Saya fanatik? Ya, barangkali. Meski saya pun selalu mencoba menikmati tiap pertunjukan wayang dari dalang manapun, namun bayang-bayang Giri Harja 3 tetap melekat kuat dalam ingatan.

Wayang Ajen agak berbeda dengan pagelaran wayang golek pada umumnya. Dikatakan wayang multidimensi sebab pagelaran wayang ini memadukan berbagai genre kesenian seperti tari, teater, teknologi komputer, wayang fiber, dan lainnya. Setidaknya demikian pada awalnya. Pada perkembangannya, konsepnya menjadi lebih sederhana, cukup wayang golek ditambah tari, lawak, dan pengajian oleh seorang mubaligh. Cerita lakonnya pun dibuat kontekstual dan aktual. Cerita-cerita ini ditulis dan cetak sebagai pedoman sang dalang saat manggung. Tokoh-tokoh wayang lebih “dipinjam” sebagai media penyampai gagasan dalang ketimbang memainkan tokoh itu sebagai tokoh dalam cerita pewayangan pada umumnya. Musik pengiring pun tak luput dari sentuhan modernitas. Tata panggung lengkap dengan tata cahaya pun demikian. segalanya nampak tertata dan terkonsep. Bukan sekedar pagelaran wayang golek konvensional seperti yang sering disaksikan.

Dari sudut pedalangan, boleh jadi ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa. Konon ketika Ki Wawan Ajen mempresentasikan karyanya di UNPAD di hadapan para dalang-dalang, nyaris semua membantai dan menolaknya, hanya Ki Asep Sunandar yang membela dengan argumen bahwa wayang bukanlah Al-Qur’an, bukan kitab suci, bukan sesuatu yang musti baku, kaku, kering kreativitas, tanpa perubahan. Ini pula yang sering digaungkan Ki Asep ketika magelaran wayang. Jika pagelaran wayang dan dalang tak mampu mengimbangi kemajuan zaman, siap-siaplah mampus tergerus waktu. Miindung ka waktu mibapa ka zaman, demikian jargonnya.

Sependek pengetahuan saya atas Ki Asep, beliau sangat menghormati kreativitas. Beliau,  dalam proses kreatifnya, menciptakan berbagai terobosan yang pada awalnya mendapat banyak cemoohan dari para dalang, namun toh akhirnya sangat dicintai masyarakat. Bahkan beliau diakui luas sebagai maestro wayang golek. Tersebutlah tiga dalang legendaris, Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya, Ki Dalang Dede Amung Sutarya, dan Ki Dalang Cecep Supriadi. Setidaknya ini menurut salah satu versi.

Manusia adalah anak zamannya, demikian keyakinan para pemikir. Artinya, apa-apa yang diciptakan, kreatifitas macam apapun yang ditelurkan manusia takkan lepas dari zaman ketika ia hidup dan berkarya. Ki Asep, pada zaman awal penciptaan terobosannya, pastilah yang teranyar di zamannya. Kala itu perkembangan teknologi belum secanggih hari ini. Jika ditilik dari sudut hari ini, boleh jadi apa yang dipanggungkan Ki Asep bukanlah sebuah terobosan, biasa-biasa saja. Beliau masih bisa digolongkan seniman pedalangan yang konvensional. Namun jika kita cermati proses kreatifnya apalagi dengan referensi ihwal pakem pedalangan, kita akan paham bahwa yang beliau lakukan ialah sebuah terobosan yang cemerlang. Dalam keliaaran kesenimanannya, kita masih sangat mampu menemukan ruh dan bentuk-bentuk seni tradisi yang utuh. Terlebih kepiawaiannya memainkan wayang, teknik vokal yang dahsyat, kemampuan improvisasi serta materi gelaran baik yang berupa nasehat serius maupun humor-humor ala rakyat yang terasa begitu “nyawiji” dengan dalang dan wayangnya, membuat beliau memang layak disebut legenda dalang Jawa Barat, di luar segala terobosan yang beliau ciptakan. Setidaknya itu dari kacamata saya selaku apresiator wayang golek.

Bagaimana dengan Wayang Ajen? Sebagai sebuah kreativitas, pegelaran wayang golek ini layak mendapat acungan jempol. Keberanian dalang Wawan Gunawan Ajen dalam mendobrak pakem-pakem pedalangan patut mendapat apresiasi yang layak. Terlebih beliau telah mematenkan hasil karyanya secara akademis dengan menjadiakannya bahan disertasi yang ia buat tatkala menyelesaikan S3-nya di UNPAD. Wayang Ajen punya pondasi akademis yang kokoh. Segala yang hadir di panggung bisa dikata memiliki pijakan akademis yang bisa dijelaskan dan diperdebatkan. Entah berapa puluh teori yang digunakan untuk menopang pagelaran ini. Namun apakah gelaran wayang ini mampu dicintai masyarakat luas seperti mendiang sang maestro dari Giri Harja 3?

Salah satu hal yang sering menjadi bahan bincangan di masyarakat tatkala “nanggap” sebuah pagelaran seni ialah biaya. Berapa kocek yang musti dirogoh untuk mengundang Wayang Ajen? Desas-desus mengatakan, butuh dana cukup tinggi untuk mengundang grup wayang ini. Ini cukup dipahami jika dilihat dari jumlah personel yang terlibat dalam sebuah pagelaran Wayang Ajen. Belum panggung khusus dan perangkat tata cahaya serta multimedia yang musti hadir sebagai sebuah keutuhan pertunjukan dan konsep. Sebab tingginya biaya sebuah pagelaran Wayang Ajen, maka grup ini lebih sering tampil memenuhi undangan pemerintah atau digelar sebagai bagian dari program (atau proyek?) pemerintah. Profesi Wawan Ajen sebagai PNS dan jabatannya sebagai Kasudbit Wisata Sejarah dan Religi Kemenpar RI membuatnya lebih mudah menyelusup dalam kegiatan-kegiatan plat merah. Inilah salah satu hal yang menjadi perdebatan, atau keirian, para seniman lain.

Panggungan Wayang Ajen bukan didapatnya dari rasa cinta masyarakat padanya, ketenaran dan aktivitasnya hingga menjelajah lebih dari 20 negara, mendapat sekitar 15 penghargaan luar negeri, bukan didapat atas dasar kecintaan masyarakat pada kesenian tersebut, namun lebih pada pemanfaatan posisi dan jabatan sang dalang dalam pemerintahan pusat. Abuse of power? Entahlah. Namun setidaknya inilah salah satu komentar miring yang beredar luas di masyarakat, khususnya kalangan penggiat seni.   

Nada minor mustilah ada demi harmonitas sebuah musik, begitu pun kehidupan. Apa yang dilakukan Wayang Ajen pasti banyak menuai kontroversi, baik dari segi konsep dan pagelaran maupun jaringan kerja, manajemen, dan “lapak panggungan”.    

Sebelum habis tulisan ini, saya sebagai penyuka pagelaran wayang golek ingin memberi penilaian jujur. Salah satu hal yang kurang “merenah” ketika saya menikmati dalang Wawan Gunawan Ajen ialah teknik vokalnya yang “ngagebleg”. Dalam pertunjukan wayang, kemampuan teknik vokal sang dalang menjadi salah satu senjata utama. Satu orang musti memainkan sekian banyak tokoh wayang dengan vokal yang berbeda-beda. Hal yang membangun imajinasi penonton, selain gerak-gerik boneka wayang, ialah suaranya. Jika suara tokoh-tokoh wayang nyaris sama (ngagebleg), konstruksi imaji penonton tidak cukup kokoh. Rapuh. Teknik vokal ini yang saya sayangkan dari dalang yang menyelesaikan S1-nya di STSI (ISBI) Bandung ini. Imajinasi saya sering kacau jika mendengar dalang ini melontar dialog-dialognya. Siapa ini yang bicara? Perubahan suara antara satu tokoh dan tokoh lain kurang terasa, padahal ini merupakan senjata utama dalam sebuah pagelaran wayang, saya kira. Satu hal lagi yang mengganjal dari pagelaran itu ialah humor-humornya yang sering tidak pecah, tidak lucu, garing dan menjemukan. Dialog yang disiapkan jadi bahan “ger” malah melempem sama sekali sebab barangkali komedi yang hadir tak natural dan jujur. Komedi membutuhkan sebuah kejujuran.  Alih-alih mengundang “ger” penonton, logika-logika adegan absurd yang hadir   malah tak jadi sesuatu kecuali kejemuan. Ketika Cepot berdialog dengan Dawala, sekonyong-kongong datang banyak tokoh replika tokoh publik yang ada di dunia kekinian, semisal presiden RI, Mentri Parekraf, AA Gym, para waria, Satpol PP, Romy Rafael, dll. Kehadiran tokoh-tokoh itu, yang sekedar lewat dengan beberapa patah kata, yang tak nyambung dengan adegan sebelumnya, bagi saya cukup garing. Absurditas bisa jadi senjata “ger” yang dahsyat ketika takaran dan momentumnya pas. Timingnya tepat. Jika meleset, hal ini hanya akan jadi membingungkan penonton. Gaje.

Joko Widodo tiba-tiba hadir berpidato tatkala Cepot dan Dawala berdialog. Kehadiran Jokowi itu tanpa sebab apapun dan tak dikaitkan sama sekali dengan Cepot atau Dawala. Akhirnya, kemunculan wayang-wayang tokoh masyarakat tersebut tidak menjadi sesuatu (dalam bahasa Syahrini), sekedar menjadi parade wayang belaka. Berbeda dengan Ki Asep yang ujug-ujug mendatangkan Cepot tatkala pertarungan serius antara Gatotkaca dan wayang buta, atau ketika dialog serius antara Batara Guru dan Resi Narada, misalnya. Kemunculan Cepot mampu menjadi bom tawa karena memecah keseriusan. Interupsi. Semacam madzhab Brechtian dalam teater modern barangkali. Kemunculan selintas tokoh-tokoh publik kontemporer dalam adegan wayang jika dikemas dengan lebih apik saya kira bisa jadi momentum pecahnya tawa. Seperti Ki Asep yang ujug-ujug menghadirkan Cepot, atau siapapun yang tak semestinya menurut pakem.

Intinya dua hal, teknik vokal dan humor. Menyoal teknik vokal, ini lebih mudah diatasi dengan latihan, saya kira. Sedang humor, komedi, itu punya kesulitan tersendiri. Komedi tak melulu soal teknik, tapi kepekaan dan kejujuran. Butuh gerak batin dan kerendahan hati untuk menghadirkan komedi yang meledak.

Entah bijak atau tidak membandingkan Wayang Ajen dan Giri Harja 3. Entah sepadan atau tidak. Boleh jadi jika ingin sepadan, kita musti menunggu Wayang Ajen seusia Giri Harja 3. Namun apakah ia mampu bertahan dan setia pada jalan keseniannya? Ditengah godaan harta dan jabatan? Entahlah.

Boleh jadi penilaian ini datang bertolak dari kecintaan saya pada Ki Dalang Asep Sunandar yang terlampau, yang lantas menjadikannya sebagai barometer tiap pertunjukan wayang golek. Subjektif? Tentu saja. Siapa yang melarang kita untuk subjektif? Anda pun berhak.


28 Agustus 2016 

Senin, 15 Agustus 2016

Dari mata ke Mata : Ekstraksi Marlam#5


Dari mata ke Mata
Ekstraksi  Marlam#5

Tak banyak yang hadir sore itu. Ada yang datang ada yang pergi, begitulah Marlam hingga Sabtu lalu, seperti kehidupan. Yang membuat berbeda, ada beberapa kawan yang baru kali itu bergabung dan pasti memberi warna baru sebab tiap individu pastilah membawa energinya masing-masing. Senja itu cuaca muram. Seharian Ciamis diguyur hujan.

Yang berbeda pula, sore itu majelis dibuka dengan perkenalan agar saling mengenal lantas saling mencintai, mudah-mudahan. Ada dua orang dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAI Darussalam, ada Rifki dari Kesos FISIP UNPAD, ada Azmi dari Ilmu Pemerintahan FISIP UNIGAL, ada Dimas dari Ilmu Hukum FH UNIGAL, dan ikhwan TTMC yang biasa hadir. Usai perkenalan, yang terasa agak formal itu, Kang Toni memberi semacam pengantar ihwal sastra. Tentang apa dan bagaimana sastra dipandang dan diperlakukan. Meski masing-masing orang punya pandangannya, namun pengantar dari Kang Toni ini setidaknya menjadi serupa daftar menu bagi yang baru kali pertama bersua dengan sastra.

Lepas isya, ada kawan baru bergabung. Adalah Kang Gito, Magister Filologi dari UNPAD  yang menyelesaikan SI nya di UPI jurusan sejarah yang cukup memberi warna pada lingkaran Marlam kali itu. Cerpen yang dibahas pun terhitung tak biasa. Maksudnya, cerpen kali ini lumayan, jika tak dibilang sangat, menguras pikir. Ruang nalar dan tafsir kita benar-benar diobok-obok  Saya yang tadinya berusaha mendekati cerpen ini dengan “biasa-biasa” saja seperti jika kita belajar sastra di SMA, ternyata juga terseret ke dunia simbol yang sangat multiinterpretatif.

Judulnya “Mata Yang Indah” karya Budi Darma. Biasa saja terdengarnya. Sekilas, judul ini terdengar seperti  cerita tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada perempuan bermata indah atau sebaliknya. Namun sama sekali cerpen ini bukan hal asmara. Ini kisah Haruman, seorang pengembara yang selalu dicurigai ke mana pun ia pergi. Pengembara yang banyak mendapat nasihat dari Ibunya tentang bagaimana idealnya melakoni hidup, tentang malaikat yang akan datang pada siapa pun menjelang kematian, tentang mimpi berjumpa dengan bidadari.

Terkisahlah Haruman mengembara, sesuai nasihat sang Ibu :

....Pergilah ke tempat-tempat jauh untuk mencari pengalaman. Pada saatnya nanti, kamu pasti akan merasa bahwa waktumu untuk kembali kepada saya telah tiba.

Dalam suatu hari pengembaraannya Haruman diserang burung besar yang mengincar matanya entah karena apa. Haruman melindungi wajahnya dengan tangannya, alhasil, tangannya terluka, penuh darah. Di hari yang lain, seperti tanpa sengaja ia berjumpa dengan Gues, lelaki rabun yang memiliki mata yang indah, yang adalah seorang pendayung perahu tambang. Tanpa kejelasan, Gues lantas pergi tanpa kembali. Setelah larut malam, saat tertidur lelap di bawah pohon rindang, Haruman malah sempat hampir diperkosa oleh istri Gues yang menyangka bahwa ia adalah suaminya :

Dengan sangat mendadak, mulut saya terkunci oleh sepasang bibir yang memagut-magut bibir saya. Saya mendengar nafas mendesah-desah ganas. Di antara pagutan-pagutan bibir, kadang-kadang saya mendengar suara lembut, namun dengan nada marah, ”Gues, mengapa kamu tidak pernah memperlakukan saya sebagai istri kamu?”

Saya sebenarnya agak bingung hendak memulai catatan ini dari mana sebab pembicaraan sangat luas, deras, dan bahkan jauh meninggalkan teks. Orin punya pendapat bahwa Haruman dan Gues adalah tokoh yang sama. Azmi berkata bahwa pohon rindang yang ada adalah sumber teka-teki. Rifki membaca ini sebagai repetisi dalam arti parafrase, pengungkapan kembali dalam bentuk lain yang memiliki arti yang sama. Dengan merujuk pada tafsir Kisah Penciptaan Adam dan Hawa (Eve) dalam Perjanjian Lama serta sedikit teori biologi, Kang Tito berteori bahwa boleh jadi Haruman dan Ibunya melakukan hubungan seks sedarah (inses), dan perjalan Haruman adalah semacam penebusan dosa. Saya bahkan berpendapat, barangkali Haruman mengalami semacam time travel experience. Belum lagi interpretasi nama-nama tokoh yang cukup rumit, latar belakang pengarang, pemaknaan simbol melalui komparasi sejumlah karya yang lain, dan banyak lagi, dan banyak lagi.

Namun setidaknya saya mencoba mengambil satu benang merah pembicaraan dari pembahasan Mata Yang Indah. Adalah Kang Toni yang pertama melontar semacam hipotesis : mungkinkah Haruman adalah Nabi Isa? Hipotesis ini lahir dengan asumsi bahwa “mata yang indah” adalah metafor dari semacam spiritualitas.

Sebuah kata mutiara mengatakan mata adalah jendela jiwa. Barangkali dari sinilah hipotesis itu bermula. Haruman, sang pengembara yang selalu dicurigai ke mana pun ia pergi, Haruman yang terkisah lahir tanpa ayah yang jelas, Haruman yang sebatang kara dalam pengembaraan, Haruman yang mengalami buta di akhir cerita, Haruman yang diserang tiba-tiba diserang burung besar, Haruman yang pendayung perahu tambang, Haruman yang nyaris diperkosa perempuan asing, Haruman yang kemudian pulang ke desanya menemani akhir nafas Ibu tercinta. Haruman yang berkata “Bidadari yang selama ini Ibu harapkan, telah datang menjemput saya.

Setelah panjang kita bercakap, meski tidak bulat dan final, setidaknya kita terkerucut pada satu pembahasan : Haruman adalah semacam orang suci. Kisah Haruman adalah kisah orang suci. Orang suci ini barangkali secara sederhana boleh dipahami sebagai nabi.

Dalam kisah nabi-nabi agama Abrahamik, nyaris semua nabi adalah aktor perubahan sosial pada masanya dengan jalan menentang otoritas, boleh juga ditafsirkan menjadi menentang kuasa pemerintah. Kisah Nabi Ibrahim cukup heroik tatkala menghancurkan patung-patung dewa dan pada akhirnya ia harus berurusan dengan raja (otoritas). Raja membakarnya, namun dengan kuasa Tuhan, selamatlah Ibrahim. Dalam Al-Qur’an, Nabi Musa adalah nabi yang paling banyak dibicarakan. Kisahnya banyak terdapat dalam kitab suci agama Islam meski secara sporadis. Kisah nabi pembelah laut merah ini barangkali salah satu yang paling dramatis dan cukup banyak difilmkan. Kisah kejar-kejaran Sang Mesias dan tentara Romawi pun menjadi kisah revolusioner lain dari nabi-nabi. Dan yang terkahir, Nabi Muhammad saw, seseorang yang oleh Michael H. Hart ditempatkan pada posisi pertama dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dalam bukunya. Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner bangsa Arab yang semangat serta ajarannya menyebar ke seluruh penjuru bumi dengan berbagai tafsirnya. Dan sekian lainnya kisah nabi-nabi agama Semitik yang adalah penentang kuasa, revolusioner, penentang otoritas. Dan dalam revolusinya, nabi-nabi ini pasti mengalami fase kecurigaan dan dimusuhi mayoritas. Kisah ini tersirat dalam teks melalui pengembaraan Haruman yang tak lepas dari kecurigaan orang-orang.

Sisi lain, Haruman yang pada awalnya adalah seorang yang memiliki pengelihatan (mata fisik) yang normal kemudian harus kehilangan pengelihatan fisiknya tepat menjelang Ibunya meninggal. Justru ketika “buta” itulah ia berujar bahwa bidadari telah datang menjemputnya. Dalam hal ini bidadari boleh jadi merupakan simbol kenikmatan surgawi. Nikmat surgawi yang dimaksud bukanlah nikmat surgawi versi para fundamentalis yang berani mati demi 72 bidadari kelak. Nikmat surgawi yang dimaksud adalah nikmat yang dalam bahasa sufi barangkali semacam ma’rifatullah, puncak dari segala kenikmatan. Hal itu dalam cerpen dilukiskan dengan kebutaan Haruman seraya berkata ihwal bidadari yang kini menjemputnya. Justru ketika ia buta mata fisiknya, ia dijemput oleh bidadari. Dan peristiwa itu terjadi tatkala Ibunya meninggal setelah sebelumnya ia mengakui dosa-dosanya :

Haruman, dengarlah pengakuan dosa saya. Dahulu saya pernah memperkosa seorang laki-laki, entah siapa. Saya tertarik kepada matanya, mata yang terus berkilat, mengirimkan cahaya-cahaya indah. Mata dia jauh lebih indah dari kelereng mainan para dewa. Malam harinya saya tertidur pulas dan bermimpi.

Kemudian cerpen ditutup dengan :

Tepat pada saat Ibu akan mendesahkan napas terakhir dalam hidupnya, saya berkata. “Ibu, pergilah dengan damai. Sudah sejak dahulu saya memaafkan Ibu. Bidadari yang selama ini Ibu harapkan, telah datang menjemput saya.
Saya yakin, Ibu tidak sempat mendengar kalimat saya terakhir.

Ibu, dosa Ibu, sekian panjang pengembaraan Haruman, mata Haruman, serangan burung, perkosaan istri Gues, dan segala yang telah dilalui Haruman barangkali lukisan dari hal duniawi, serupa godaan menuju yang hakiki. Setelah Haruman bisa “berdamai” dengan keduniawiannya, maka didapatnyalah bidadari. Mirip dengan ajaran Hindu dan Budha barangkali. Titik Moksa didapat setelah manusia lepas dari Sasmsara. Ma’tifatullah dicapai melalui fana.

Hal lain yang cukup menguatkan tafsir ini adalah profesi Haruman sebagai pendayung perahu tambang. Sekilas tentang profesi ini dijelaskan oleh Gues yang juga adalah seorang pendayung perahu tambang. Gues berkata :

Maaf, sudah bertahun-tahun saya mengalami rabun mata. Makin hari, makin rabun mata saya. Padahal, di desa ini hanya sayalah yang mau menjadi pendayung perahu tambang. Kebetulan pula, saya tidak mempunyai kemampuan untuk bekerja apa pun selain mendayung perahu tambang saya. Penumpang perahu tambang memang sangat jarang, namun tidak berarti bahwa saya dan perahu saya tidak pernah diperlukan.

Perahu tambang adalah perahu penyebrangan yang biasanya berada di sungai. Perahu ini akan mengantar orang dari satu sisi sungai ke sisi yang lain. Beda dengan perahu lain, perahu tambang sudah memiliki semacam jalur pasti. Tambang yang dibentangkan dari sisi sungai yang satu ke sisi yang lain adalah jalurnya. Perahu tambang haruslah ada yang mengemudikan sebab tanpanya perahu itu tak pernah kembali ke sisi asalnya. Sungai adalah metafor kehidupan. Sungai tak pernah diisi air yang sama, ia selalu baru, ia mengalir, berjalan, maju, layaknya kehidupan. Berawal dari hulu, mata air, dan berakhir di muara, laut yang maha luas. Perahu tambang ini lantas kita tafsirkan menjadi semacam “jalan menuju Tuhan” dan si pendayung atau pengemudinya adalah guru pembimbing spiritual semacam mursyid atau pir dalam tradisi-tradisi  mistik.  

Sekelumit tulisan di atas adalah tafsir, interpretasi bebas tanpa rambu-rambu teori-teori sastra ala bangku kuliah. Dianggap rampung atau rumpang, inilah nyatanya tulisan ini, tulisan yang menampakkan keterbatasan dan kebodohan saya dalam menyusun tulisan. Juga pastinya, kebodohan dalam memahami sebuah teks sastra.


15 Agustus 2016 

Seni dan Pemerintah (II)

Seniman dan Pemerintah (II)

Ada dua peristiwa yang mungkin tidak nyambung, tapi biar kelihatan cerdas, saya coba sambung-sambungkan. Dua peristiwa ini terjadi di hari yang sama, Rabu 27 Juli 2016.

Peristiwa 1
Selepas jam 12 siang, ada dua orang tak dikenal datang ke sanggar tempat saya bermarkas, laki dan perempuan. Keduanya berbusana hitam putih, PNS. Setelah mengutarakan maksudnya, pahamlah saya bahwa mereka adalah orang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang sedang melakukan pendataan seniman dan kelompok seni. Saya disuguhi formulir lima  halaman yang musti saya isi. Sembari saya mengisi, si bapak dinas yang pelaku dan pemilik salah satu sanggar seni ini berbicara lebar panjang perkara bagaimana seniman musti berlaku agar bisa “hidup”. Dari sekian obrolannya, intinya seniman harus mau “mepet” pemerintah agar bisa memperoleh bantuan. Kata bantuan ini saya pahami sebagai bantuan dana, duit.

Salah satu tujuan, atau boleh jadi tujuan utama, pendataan yang ia lakukan adalah agar kelompok-kelompok seni terdata dan dibantu membuat dokumen legal formal berupa SK dari Menkumham (Menteri Hukum dan HAM) yang konon merupakan surat “berharga” dan pembutannya memerlukan biaya antara 2,5 – 4 juta. Dengan terdatanya kelompok-kelompok seni, ia berniat membuatkan surat sakti itu secara kolektif agar biayanya lebih murah. Taksirannya, satu kelompok seni cukup membayar 1,5 juta untuk mendapat surat ini. Menurut si bapak sarjana pendidikan seni ini alumni IKIP (UPI) Bandung ini, sebuah kelompok seni tak bisa mengajukan bantuan jika kelompoknya belum memiliki surat ini. Dan jika kelompok seni tak bisa mengajukan bantuan maka ia tidak akan mendapat bantuan (baca : duit) dari pemerintah. Lantas jika tak mendapat bantuan maka segerlah kelompok itu akan mati atau paling bagus koma. Mustahil untuk maju dan berkembang. Si bapak kelahiran 1962 ini secara tak langsung  seolah meyakinkan saya bahwa bantuan pemerintah adalah hal utama yang dibutuhkan seniman-seniman dan kelompok seni, khususnya di daerah.

Usai saya mengisi formulir, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Benda itu berupa tumpukan kertas serupa kartu yang agaknya sudah didesain sedemikan rupa. Ia menyebutnya “Kartu Seniman”. Setelah hampir satu jam bercakap, ia pun pamit pulang, hendak meneruskan pendataannya.

Peristiwa 2.   
Rabu malam, 27 Juli 2016, saya dan beberapa kawan menyaksikan pertunjukan Manorek, semacam drama tradisional yang lahir dan berkembang di daerah kecamatan Banjarsari, kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sebelum magelaran, pembawa acara membacakan profil dan sejarah kelompok Manorek yang bernama Sinar Rahayu itu. Dikatakannya kelompok ini lahir tahun 1913. Timbul tenggelam, hingga pada tahun 2015 mendapat bantuan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (BPTP Jabar) dalam program revitalisasi kesenian tradisional. Konon kesenian Manorek sendiri telah berkembang sejak 1870an di pesisir Jawa Barat. Kesenian ini dulunya digunakan sebagai media penyebaran agama Islam.

Layaknya sajian kesenian tradisonal, Manorek pada bagian tertentu hadir begitu komunikatif  termasuk pada para pejabat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang hadir malam itu. Mereka (para pejabat) tak segan membalas lontaran para pemain dengan sawer dan joged bersama di atas panggung. Dan sudah bisa dibayangkan, pejabat yang nyawer itu otomatis  banjir pujian dan langsung mendapat predikat “birokrat kesenian yang baik”. Bahkan salah seorang pemain jelas menyebut nama salah seorang pejabat Disdikbud Ciamis yang menurutnya sangat berjasa dalam menghidupkan kembali Manorek yang nyaris punah ini (padahal program revitalisasi adalah milik BPTP Jabar). Makin dipuji, saweran pun makin bertambah, yang lain tak mau kalah. “Keakraban” itu pun makin sempurna tatkala dua pejabat Disdikbud berjoged bersama para pemain di atas panggung diiringi lagu Karémbong Kayas.

Benang merah antara peristiwa 1 dan 2, setidaknya dalam tafsiran saya, adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang merupakan representasi pemerintah. Benang merah yang lain adalah kesenian (seniman dan kelompok seni). Hal yang terlintas di kepala saya tatkala dua hal ini disambungkan adalah :

Bagaimana idealnya hubungan antara pemerintah dan seniman (kesenian)?

Saya tidak tahu apakah ada serupa undang-undang atau peraturan lain yang mengatur secara detil  tentang hal ini? Tentang bagaimana pemerintah berhubungan pada seniman? Pola hubungan apa yang musti hadir? Boleh jadi peraturan itu sudah ada sebab katanya sejak 1953 sampai 2008 saja sudah ada 108 peraturan tentang kesenian. Data ini berdasar hasil penelitian dari salah satu pusat studi hukum. Peraturan-peraturan itu berwujud undang-undang dan turunannya baik bersifat nasional maupun regional. Atau mungkin belum, sebab hingga kini kesenian, khususnya di daerah, nasibnya bak dibibir jurang. Atau bisa juga sudah ada tapi implementasinya masih ngaco.

Saya sebenarnya bingung, mau disebut apa hubungan ini. Hubungan antara pemerintah dan seniman di daerah yang saya pahami. Jika saya sebut ini seperti hubungan orang kaya (pemerintah) dan pengemis (seniman), bisa jadi tapi tidak sepenuhnya demikian dan agaknya terlalu kejam. Masa seniman yang agung ini disebut pengemis?

 Di daerah yang saya diami, pemerintah barangkali dipandang sebagai jutawan kaya raya yang punya uang tak terbatas dan seniman seolah memposisikan diri sebagai “pengemis”. Pemerintah memahami hal ini. Mereka menyadari bahwa yang dibutuhkan seniman, layaknya pengemis, adalah uang. Bantuan dana (duit) dari pemerintah seolah adalah segalanya bagi seniman. Saya kira kedua pihak punya pandangan yang sama. Pemerintah maupun seniman sama-sama berpikir bahwa bantuan dana adalah hal utama. Pejabat pemerintah yang “meloloskan” proposal si seniman dan akibatnya ia mendapat uang, adalah pejabat baik, pejabat yang bekerja, pejabat sholeh, pejabat yang benar. Seniman si penerima duit itu akan gila-gilaan memuji si pejabat dan akan terus menjalin “silaturrahiem” agar kembali mendapat bantuan atau proyek-proyek lainnya. Dan barangkali tempurung kepala birokrat kesenian pun isinya demikian. Tatkala mereka memberi uang pada seniman atau memberinya proyek (entah layak atau tidak), si birokrat itu akan menganggap dirinya sudah bekerja dengan baik.

Apakah sesederhana itu kerja pemerintah? Yang saya tangkap di daerah saya, mungkin demikian. Pemerintah memberi uang pada seniman, usialah kerjanya, harumlah namanya. Itu pun hanya oleh sebagian seniman, ya, seniman yang mendapat duit saja. Sedang di mata seniman yang tidak kebagian, pejabat itu tetaplah buruk, tidak becus bekerja, sampah dan layak di pecat. Jika giliran seniman ini yang mendapat proyek atau bantuan duit, pandangannya akan berubah 180 derajat.  

Yang menarik, putusan tentang siapa yang mendapat duit itu agaknya bukan berdasar kualitas karya seni tapi berdasar kedekatan, dan tentu aspek kooperatif. Maksudnya, pemerintah hanya akan memberi bantuan pada seniman yang kooperatif : bersedia memberi “cash back” pada si pejabat pemerintah. Pemerintah mungkin akan sangat gagap ketika berbicara kualitas seni. Mereka bahkan mungkin tidak bisa membedakan antara sebuah pertunjukan teater dan peristiwa anjing beranak. Pemerintah memanfaatkan ketergantungan seniman pada mereka untuk berlagak dewa dan tentu untuk korupsi.

Jika saja seniman memahami, mereka datang ke kantor-kantor dinas tidak harus sebagai pengemis melainkan sebagai penuntut hak. Penuntutan hak ini memang akan jadi lebay jika  feodalisme masih bercokol kuat di kepala dan sikap-sikap.  Seniman mustinya gagah saja ketika menuntut haknya berupa bantuan duit, misalnya. Dan pemerintah tidak perlu berlagak dewa ketika didatangi orang membawa proposal. Hakekatnya, negara adalah pelayan rakyat, pegawai negara adalah pegawai rakyat. Sikap saling hormat yang ada mustinya hadir dengan wajar dan proporsional.
   
Lantas bagaimana solusinya?


28 Juli 2016

Rabu, 03 Agustus 2016

Adam dan Hawa (Ekstraksi Marlam #4)

Adam and Eve by Francis Picabia (1931)

Adam dan Hawa
Renungan Marlam #4

Sejarah atau masa lalu adalah salah satu misteri yang hingga kini masih terus diperbincangkan. Meski telah berlalu namun sejarah agaknya punya magnet sendiri untuk  menarik manusia masa kini membongkar dan membawanya bahkan hingga masa depan. Banyak hal yang terjadi hari ini yang tampak misterius, jika kita lacak sejarahnya ternyata adalah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah konsekuensi. Para pemikir dan perenung telah banyak menyimpulkan ihwal sejarah. Seorang Bung Karno bahkan berkata JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sepenting itukah sejarah? Masing-masing pasti punya jawaban yang beragam akan hal ini. Dan saya sedang tidak membicarakan ilmu sejarah atau fakta sejarah yang telah teruji secara akademis, ini sebatas pandangan pribadi tentang salah satu misteri besar sejarah : sejarah penciptaan manusia.

Nyaris semua peradaban besar memiliki keyakinan awal penciptaan. Penciptaan semesta dan manusia pertama telah banyak menyita perhatian untuk dikaji dan diperbincangkan dari berbagai sudut. Masing-masing dengan pisau analisisnya telah mencoba memecahkan misteri ini. Selain temuan-temuan ilmu pengetahuan, teks suci agama juga cukup menyumbang besar dalam hal ini. Agama Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) punya kisah sendiri ihwal penciptaan alam semesta dan manusia pertama. Tersebutlah Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan secara langsung (tanpa aktifitas biologis). Dalam Islam, terkisahkan Adam diciptakan Tuhan dari tanah lantas Tuhan meniupkan ruh, dan hiduplah Adam. Saya tidak tahu pada pantaran usia berapakah Adam mulai hidup. Apakah Adam dihidupkan sebagai bayi hingga mengalami batila, balita, anak-anak, dan seterusnya? Atau ia ujug-ujug dewasa (misal 25 tahun jika ukuran manusia sekarang)? Namun saya kira, untuk sementara hal itu biarlah tidak saya ketahui sebab manusia selalu butuh misteri.

Adam tak dibiarkan sendiri. Tuhan lalu menciptakan Hawa (Eve) yang berjenis kelamin perempuan. Lengkaplah sepasang manusia pertama ini, Adam yang berjenis kelamin laki-laki dan Hawa yang perempuan. Dari mereka berdualah kemudian lahir manusia-manusia yang hingga kini menghuni planet bumi. Banyak yang meyakini Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam yang terpendek. Meski bagi Tuhan tak ada hal muskil, namun saya kira “tulang rusuk” ini bukan dalam arti harfiahnya. Barangkali “tulang rusuk” adalah simbol untuk merujuk makna yang lebih dalam. Ada pula yang menafsir bahwa Hawa tercipta dari “substansi” Adam. Saya kira, substansi jelas bukan Adam dalam arti fisik. Boleh jadi Hawa secara hakikat adalah “bagian dari” Adam. Adam dan Hawa adalah dwitunggal pada muasalnya. Jika demikian, mengapa Tuhan “membelahnya” menjadi dua? Entahlah. Kita perlu kembali merenungkannya. Yang jelas, itulah keyakinan yang banyak diimani umat Islam dan juga barangkali Yahudi dan Kristen. Adam yang pertama dicipta, kemudian Hawa yang kedua.

Dua jenis kelamin yang diciptakan Tuhan kali pertama ini pada awalnya barangkali tak banyak menemukan kesulitan dalam membentuk pola relasi. Saya sulit membayangkan jika Hawa adalah seorang pemimpin gerakan feminis radikal dan Adam adalah patriarkis yang misoginis. Ya, kehidupan masa lampau agaknya belum serumit sekarang. Dalam keyakinan muslim, awal kali Adam dan Hawa hadir di bumi tidaklah berada di tempat yang sama. Adam dan Hawa “diturunkan” (harfiah atau simbolik?) terpisah. Mereka tak saling jumpa selama bertahun-tahun. Dan setelah sekian lama terpisah, di Padang Arafahlah mereka berjumpa. Mereka berumah tangga, beranak pinak dan lahirlah kita.

Perkembangan keturunan Adam ini lantas menciptakan kebudayaan dan peradaban-peradaban besar. Kebudayaan dan peradaban lahir lengkap dengan tata nilai, pandangan hidup dan struktur sosial yang pada perkembangannya menjadi sangat beragam. Keberagam ini tidak lantas mencerabut manusia dari jenis kelamin asal, lelaki dan perempuan seperti leluhurnya, Adam dan Hawa. Dari perbedaan jenis kelamin yang adalah azali ini lantas terciptalah benteng besar, ke-laki-laki-an dan ke-perempuan-an.

Masyarakat manusia masa perdana hidup dengan cara berburu dan berpindah-pindah (nomaden). Untuk berburu hewan, dibutuhkan fisik yang tangguh dan laki-lakilah yang mengambil alih tugas ini. Konon secara biologis laki-laki memang punya fisik yang lebih “kuat”. Kekuatan fisik ini kemudian mengilhami kaum lelaki untuk mengimani bahwa lelaki lebih dalam segala hal ketimbang perempuan. Dan barangkali dari sini pula dominasi lelaki atas perempuan dimulai, dominasi atas segalanya. Lelaki menganggap jenis kelaminnya lebih unggul dalam segala hal dari pada jenis kelamin perempuan.

Dominasi ini pada perkembangannya menciptakan banyak pandangan yang makin mengukuhkan superioritas lelaki. Hal ini makin menjadi hingga timbul pandangan bahwa perempuan adalah mahluk “setengah manusia”. Perempuan menjadi manusia marginal. Karena ini berjalan nyaris beribu tahun lamanya serta, meminjam istilah Prabowo, terstruktur, sistematis dan masif, maka perempuan malah seolah menikmati “derita”nya sebagai sebuah keharusan dan kodrat. Di kemudian hari sejak Adam dan Hawa hadir di bumi barulah muncul istilah-istilah dualisme kontradiktif semisal patriarki v.s. matriarki, maskulin v.s. feminim, dan sejumlah istilah ke-laki-laki-an dan ke-perempuan-an lainnya. Lelaki banyak diyakini sebagai mahluk yang lebih mengutamakan logika ketimbang perasaan dan perempuan sebaliknya, lebih mengutamakan perasaan dibanding logika. Bahkan ada perbandingan 1 : 9. Bagi laki-laki 1 adalah nasfu (termasuk juga perasaan) dan 9 adalah logika, sedang perempuan sebaliknya, 1 logika 9 nafsu (perasaan). Namun setelah sekian lama, “penindasan” ini pula yang mengilhami kaum perempuan menciptakan suatu ideologi dan gerakan emansipasi yang kini dikenal dengan feminisme.

Jika kita merujuk pada kisah penciptaan Adam dan Hawa, memang Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan, dan Hawa adalah yang kedua. Ini barangkali bisa pula menjadi referensi bahkan legitimasi bagi dominasi lelaki atas perempuan dengan dalih “yang pertama adalah yang utama”. Ditambah kisah penciptaan Hawa yang konon diciptakan dari tulang rusuk Adam itu, makin kuatlah legitimasi kuasa lelaki. Dan kadang pula sebagian perempuan menerima ini sebagai takdir. Kenomorduaan ini ditelannya sebagai kehendak Tuhan, absolut. Namun bukan manusia namanya jika tak mencari kemungkinan-kemungkinan, termasuk kemungkinan tafsir lain atas kisah penciptaan Adam Hawa.

Percakapan saya dengan seorang penyair, Toni Lesmana, dan beberapa kawan membuka cakrawala baru ihwal tafsir Adam dan Hawa. Adam memang diciptakan pertama dan Hawa memang diciptakan dari, sebut saja, tulang rusuk Adam. Namun pada perkembangannya di bumi, manusia lahir musti melalui Hawa (perempuan). Di sorga sana, yang diyakini sebagai tempat awal Adam dan Hawa tinggal, boleh jadi Adam yang utama sebab ia yang pertama dicipta, namun di bumi, lahirnya manusia mustilah dari rahim Hawa (perempuan). Hawa tercipta dari Adam, namun adam-adam selanjutnya lahir dari Hawa. Mengapa hubungan sex heterosexual menjadi syarat lahirnya manusia secara alamiah? Mengapa Tuhan menjadikan demikian? Mengapa Tuhan menjadikan manusia generatif dalam metode perkembangbiakannya? Mengapa tidak vegetatif (dengan cara membelah diri, misalnya, seperti amoeba)? Jawaban akhirnya tentu ada pada Sang Pencipta. Namun manusia sebagai mahluk berakal budi tentu juga berhak punya jawaban meski tak pernah jadi jawaban terakhir.

Saya sangka, Tuhan hendak memahamkan suatu harmoni lewat penciptaan Adam Hawa. Kepertamaan Adam selalu manusia bukan untuk menjadikan kaum adam sebagai superior atas kaum hawa. Kepertamaan ini takkan ada artinya jika yang kedua tak diciptakan sebab Adam menjadi yang pertama karena ada yang kedua. Adam mustahil jadi yang pertama jika tak ada “pembanding”, dan Hawa inilah yang “menjadikan” Adam jadi yang pertama. Lelaki (juga perempuan) lahir dari rahim perempuan (atas “suntikan” lelaki). Ini suatu harmoni saya kira. Bukan siapa lebih dari siapa. Superioritas lelaki bukanlah kodrat, bukat azali, bukan takdir namun konstruksi sosial. Seperti saya tulis di atas, kekuatan fisik yang dimiliki lelakilah yang mengilhaminya menciptakan superioritas ini. Padahal kekuatan fisik bukanlah satu-satunya dimensi kekuatan manusia. Pandangan picik ini justru menjatuhkan kemanusiaan hingga pada taraf hewan belaka. Manusia yang hanya mendewakan kekuatan fisik belaka, tak beda dengan segerombolan gorila.

Zaman dahulu, bolehlah lelaki (juga perempuan) berpikir bahwa kekuatan fisik adalah tolak ukur keunggulan manusia. Namun zaman ini, pandangan itu, walau masih ada, saya kira sudah musti dimusnahkan. Kita harus memandang manusia bukan dari satu ukuran mutlak. Perempuan akan dipandang inferior, kurang, lemah jika sebatas dilihat dari sudut fisik misalnya. Tapi dapatkah lelaki sekuat perempuan dalam melampaui derita hamil dan bersalin, misalnya? Derita menstruasi? Manusia dinilai dari “nilai pada dirinya sendiri”. Nilai-nilai yang betebaran didunia relalitas memang ciptaan (interpretasi) manusia namun itu bukan nilai pada manusia yang inheren. Nilai-nilai ini adalah kontruksi sosial yang dicipta kadang untuk tujuan dan dominasi golongan tertentu. Golongan itu menciptakan tata nilai yang akan memberi mereka keunggulan. Hingga batas ini, tata nilai masih sangat bermanfaat. Namun jika tata nilai itu dijadikan barometer absolut untuk menakar manusia yang bukan dari golongannya, ketika inilah manusia justru kehilangan kemanusiaannya.   

Manusia lelaki dan perempuan bukanlah untuk saling mengungguli, namun untuk saling membangun harmoni. Di belahan bumi yang lain, para leluhur telah sejak lama menyimbolkan ini dengan Lingga Yoni misalnya. Atau ada pula yang menisbahkan Langit pada lelaki dan Bumi pada perempuan, maka harmonitas ialah selarasnya Langit dan Bumi, lelaki dan perempuan. Dalam konteks biologis, keselaran ini terwujud dalam proses reproduksi manusia yang mensyaratkan perjumpaan sperma dan sel telur. Yang ada adalah pembagian tugas, bukan superioritas. Pembagian tugas ini musti dilakukan atas dasar proporsi yang tepat. Penilaian proporsi idelanya disandarkan pada nilai yang inheren pada manusianya, bukan pada nilai rekaan yang cenderung hegemonik.

Agustus, 2016

Selasa, 02 Agustus 2016

Muntah, Catatan Peristiwa Marlam#4


Muntah
Catatan Peristiwa Marlam#4

Suara car drifting mengaum, tidak samar-samar tapi jelas dan keras sebab hanya beberapa langkah jaraknya dari tempat kami berkumpul. Tak cukup auman mobil itu mewarnai senja, tepat di samping tempat kami berkumpul : tabuhan drum, suara vokalis merdu lengkap dengan iringan band lainnya meriuh manambah campur aduk senja itu. Belum banyak yang hadir memang. Ada enam atau tujuh orang muda-mudi berkerumun di kursi panjang milik Bu Omih, itu Eep dan teman-teman wanitanya. Pa Tori sedang asik saja terkagum dengan teknologi visual effect film Jurassci World yang ditontonnya dari komputer jinjingku, tampak sangat nyata, ujarnya.

Karpet hijau dan merah digelar Salim dan Rifki. Kang Toni, Teh Wida dan kedua buah hati mereka sudah tiba sejak siang. Tak lama karpet terhampar, Kang Deni Wahyu dan Teh Anggur datang dengan wajah segar dan sumringah. Sementara itu, di luar sedang bergerombol anak-anak manusia yang wajahnya asing kecuali Azmi dan Ikhsan yang sejak lama memang pernah bersua. Ternyata anak-anak manusia UHF (Unidentified Human Face)  itu adalah para komika dari Komunitas Stand Up Comedy Ciamis. Mereka datang ke Marlam kali ini untuk Open Mic. Ini kali pertama Majelis Sore Malam bergabung dengan Stand Up Comedy. Suatu kehormatan.

Berlatar suara knalpot mobil, decitan ban, dan live music tetangga kami memulai acara dengan Open Mic dari beberapa komika Ciamis. Baru kali ini kulihat para komika Ciamis beraksi dan, menyegarkan. Beberapa materi Stand Up  mereka sampaikan mengundang pecah jam’atul marlam. Ada beberapa komika yang memang terasa kering. Wajar kupikir. Tak ada bayi yang langsung berlari.

Sebelum maghrib, Kang Deni pamit pulang, ada pengajian katanya. Open Mic lantas terpenggal adzan maghrib. Sebagian tampak sembahyang sedang yang lain asik dengan keasikannya masing-masing. Ada pula yang tampak serius mendengar arahan Ikhsan ihwal teknik-teknik Stand Up. Ia sebagai President of Ciamis Stand Up Comedy Community agaknya merasa perlu memberi sepatah dua patah wejangan pada para anggotanya agar penampilan mereka bisa makin lezat.

Ikhsan menggakhiri Open Mic para komika Ciamis dengan sajian yang cukup memukau. Jika boleh kukata, diantara para komika itu, favoritku Azmi. Materi dan gaya penyampaiannya terasa otentik, genuine, dan cocok dengan selera humorku. Komika yang lain tentu cukup menghibur hanya saja berbeda selera dengan yang ku kehendaki. Tak masalah kupikir, berbeda dalam konteks ini barangkali adalah persoalan selera, bukan salah benar maupun baik buruk.

Open Mic usai dan Muntah-nya Hamsad Rangkuti pun kami baca bergilir setelah kami berdo’a untuk kesembuhan sang pengarang yang kabarnya sedang dirawat di RS. Muntah adalah sekian dari banyak cerpen Hamsad. Aku memilih cerpen ini sebab ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan tiap perjumpaan pada marlam, kami selalu berusaha membahas karya yang berbeda-beda baik dari segi penulisan maupun isi. Berdasar titi mangsa yang tertera di ujung cerpen, karya ini ditulit pada 1980. Cerpen ini kutemui dalam kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan yang ada di rumah Kang Toni.

Ketika pembacaan, tak jarang jamaah tertawa atau nyinyir seperti tururt merasa jijik atas muntah Wien yang digambarkan cukup detil oleh Hamsad. Respon riuh tak bisa dihindari tatkala bagian-bagian romantis dibacakan. Teh Wida mengawali pembahasan usai seluruh bagian cerpen dibacakan. Ia mengutarakan pandangannya atas cerpen ini. Cerpen ini berkisah tentang sepasang kekasih, Wien dan kekasihnya si tokoh aku. Kisah berawal tatkala si aku dan Wien liburan ke Kebun Raya Bogor. Mereka berdua naik bis umum dari terminal Cililitan. Di tengah perjalanan Wien muntah dan si aku menampung muntahnya dengan kedua tangannya. Si aku ingin membuktikan kebesaran cintanya. Ia tak rela wanita pujuaannya menanggung malu karena muntahnya berserakan di lantai bis. Sejak peristiwa itu, Wien kerap muntah di depan orang banyak dan kekasihnya selalu menampung muntahnya dengan kedua tangannya. Pesta perkawinan mereka pun tak luput dari muntah. Dan lagi-lagi si aku melakukan hal yang sama. Selama tiga bulan usai pernikahan, Wien tak lagi muntah-muntah di muka umum. Muntahnya lebih bertempat, di kamar mandi. Ia sedang hamil rupanya. Suatu ketika terkisah Wien muntah di lantai kamar mandi namun ia tak segera membersihkannya. Si aku yang hendak masuk ke kamar sejurus terhenti. Disaksikannya muntah berserakan di lantai kamar mandi. Bukannya menyiram, si aku malah setengah berteriak memanggil Wien. Ia bertanya tak bisakah Wien menyiram muntahnya dengan air? Tak disangka, Wien menangis tersedu. Pertanyaan itu dianggapnya sebagai tanda-tanda kelunturan cinta sang suami.

Sekarang, menyiram muntahku saja kau sudah tidak mau. Dulu kau  mau menampungnya dengan tangan-tangan di bawah mulutku. Sekarang kau sudah tidak mencintaiku lagi! Menyiramnya saja pun kau sudah tidak mau.”
“Masih begitukah ukuran cinta bagimu, Wien? Kalau itu yang kauminta, untuk mengukur cintaku, muntahlah kau sebanyak-banyaknya ke dalam kedua tanganku. Aku akan menampungnya!

Wien pun muntah dan si aku menampungnya, seperti waktu pacaran dan di pesta pernikahan. Yang membuatnya berbeda adalah perasaan si aku. Berpuluh muntah yang di tampung, tak pernah ia merasa jijik sekali pun. Penampungan muntah yang bertubi-tubi tak membuat cintanya berkurang kepada Wien. Namun kali ini  lain. Sembari menadah muntah, si aku merasakan jijik yang sebenar-benarnya.

Teh Wida memberi pandangan bahwa inilah realitas. Cinta versi pacaran dan cinta versi rumah tangga berbeda. Penolakan si aku untuk menyiram muntah istrinya, Wien, bukan merupakan tanda kelunturan cinta. Justru boleh jadi, cintanya malah makin besar tatkala berumah tangga namun dengan wujud yang lain. Menurut Teh Wida, tokoh aku memandang persoalan muntah adalah remeh temeh yang tak perlu jadi persoalan besar dalam rumah tangga apalagi sampai menjadi barometer cinta. Namun begitulah barangkali pertikaian khas perempuan dan laki-laki, perasaan v.s. logika.

Rifki lantas memaparkan pembacaannya. Lebih kurang ia menyampaikan bahwa alih-alih menjelaskan, definisi atas suatu hal hakikatnya malah penjara yang mereduksi kedalaman makna sesuatu itu sendiri. Cinta ketika didefinisikan maka ia akan masuk dalam stagnansi dan kemutlakan, dan ini menimbulkan kekeliruan tatkala kemutlakan itu menjadi barometer bagi orang lain. Menyangka itu cinta, padahal bukan sama sekali. Bagi Wien, cinta adalah bersedia menadah muntahnya di depan orang banyak dan ini final. Selain dari tindakan ini, bukanlah wujud cinta. Sedang bagi si aku, wujud cinta tidaklah tamat dan takkan pernah sebab cinta adalah dialektika, dinamis.

Ikhsan punya pandangan lain yang unik kurasa. Pertama ia malah ingin mendapat pasangan model Wien begini yang barometer cintanya cukup dengan kesediaan pasangannya menadah muntahnya di muka umum. Kedua, perempuan macam apa yang tahun 80an muntah-muntah hanya karena naik bis Cililitan – Kebun Raya Bogor. Yang ku garis bawahi, pandangannya soal barometer cinta Wien. Lebih kurang sama dengan Rifki, namun Ikhsan melontarnya dengan gaya khas seorang komika.

Tak lama usai Oseng (Ikhsan) menyampaikan pandangannya, Eep mohon pamit hendak menarik mundur pasukannya, Teater Tangtutilu UNIGAL, sebab malam makin menjadi. Sembari itu pun, Azmi mewakili sahabat-sahabat komika menyampaikan maksud yang sama sebab malam itu ada undangan pentas yang musti mereka lakoni. Majelis pun mendadak menciut. Dari lebih 20 orang yang hadir sedari sore, kini tinggalah kami, aku, Salim, Irfan, Rifki, Orin, Kang Toni, dan Teh Wida beserta kedua buah hatinya. Tak lama pun Teh Wida pamit pulang sebab Kania nampak kurang sehat dan meminta segera merumah.

Menciutnya jumlah jamaah justru malah membuat diskusi makin melebar nyaris tak terkendali. Satu persatu kami memuntahkan pandangan kami atas cerpen ini. Pertanyaan mendasarku ialah apa yang sebenarnya ingin Hamsad sampainya melalui Muntah-nya ini. Lantas aku membuka dua kemungkinan.

Pertama, Hamsad ingin menghakimi perempuan, yang direpresentasikan Wien. Wujud cinta versi Wien sama sekali tidak berubah sejak pacaran hingga berumah tangga. Seperti yang telah disinggung di atas, wujud cinta bagi Wien mutlak : menadah muntah. Sedang pada si aku, wujud cinta berubah sejalan dengan perjalan hidup dan kedewasaan psikis mereka. Kemandegan ini yang dikritik Hamsad. Dengan landasan ini boleh jadi Hamsad adalah seorang yang sangat patriarkis dan boleh jadi juga seorang misoginis. Rifki menambahkan pertimbangan sosio-antropologis. Ka-patriarki-an Hamsad barangkali terkait karena ia orang Medan yang dalam pandangan Rifki cukup kokoh memegang patriarkisme.

Kedua, boleh jadi Hamsad tak bermaksud menghakimi siapa pun. Ia sebatas menyuguhkan persepsi cinta ala perempuan dan ala laki-laki. Perempuan yang katanya lebih mengedepankan perasaan, demikianlah persepsi cintanya, layaknya Wien. Dan lelaki yang konon lebih logis, diwakili oleh si aku yang lama kelamaan muak juga jika harus menerus menadah muntah pasangannya, terlebih setelah berumah tangga.

Rifki merespon kemungkinan pertama. Alih-alih menghakimi Wien, namun justru si aku adalah pihak yang kalah. Kekalahan ini terwujud ketika meski merasa jijik, pada akhirnya si aku tetap merelakan kedua telapak tangannya untuk kembali menampung muntah Wien. Aku justru melihat ini bukan sebagai kekalahan, melainkan kemengalahan untuk menang. Secara peristiwa barangkali si aku kalah namun secara psikis kupikir si akulah yang juara. Ia rela menadahkan tangannya karena memaklumi istrinya yang cenderung mandeg pemahaman cintanya. Simpulan sementaraku, cerpen ini sarat dengan perang gender, maskulin v.s. feminim.

Ditengah perdebatan kami, Kang Toni datang kembali. Ia malah punya pembacaan lain. Cerpen ini sebetulnya merupakan sindiran bagi kaum Adam maunpun Hawa. Kritik pada kaum lelaki ialah ketaktukan buta pada perempuan yang dicintai. Permintaan menampung muntah adalah permintaan yang irasional, dan permintaan ini datang dari kaum Hawa yang katanya memang kental dengan irasionalitas. Kaum lelaki yang katanya lebih rasional malah menuruti permintaan irasional ini. Jadi sebenarnya lelaki dalam kondisi tertentu justru lebih irasional ketimbang perempuan. Kritik pada kaum Hawa adalah laku Wien yang cenderung hiperbola. Lebay. Sebenarnya persoalan muntah tak perlu sampai jadi sumber pertikaian, tapi toh buktinya, Wien sampai menangis sejadinya hanya karena disuruh menyiram muntahnya yang berserakan di lantai kamar mandi.

Lepas dari semua pendapat kami, Kang Toni melontar bahwa Hamsad memang jago dalam mengemas cerita. Hal sepele serupa muntah bisa menjadi kisah yang menarik dibaca, diperbincangkan serta direnungkan tentunya. Hamsad menyentuh salah satu titik lemah manusia : rasa jijik. Manusia kadang sangat tangguh menghadapi musuh “the other” dan melakoni penderitaan namun malah loyo tatkala berhadapan dengan hal menjijikan. Cerpen ini bisa dibaca dengan santai dan ringan. Pembaca awam akan mudah memahami alur cerita dan tokoh yang hadir, dan barangkali pembaca akan turut tertawa atau nyinyir jijik manakala membaca cerita pendek ini. Pun bila cerpen ini dibaca lebih dalam, banyak pintu-pintu rahasia yang akan membawa kita bertualang ke alam pemahaman yang bisa jadi tak berujung.

Inilah sastra.

Mari “belajar manusia pada sastra” kata M.H. Ainun Najib.


Agustus, 2016

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...