Kamis, 23 Januari 2020

Subhanallah. “Nikmat mana lagi yang kau dustakan?” (Catatan Perjalanan “Seranjang Dua Kepala”)

Judul kegiatan “Seranjang Dua Kepala” datang belakangan. Mulanya pentas keliling ini akan membawa satu monolog saja. Rika akan mementaskan “Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu”, sebuah lakon yang diadaptasi dari cerpen W. S. Rendra.

Kami sudah memformat pentas keliling kali ini hanya akan melibatkan tiga orang saja: saya, Rika, dan Salim. Sebabnya adalah hanya tinggal kami bertiga yang tersisa. Kecuali itu, tentu saja alasan biaya menjadi pendorong yang cukup kuat mengapa kali ini kami memilih monolog.

Di tengah proses, Rika melontar ide agar saya turut juga bermonolog. Karena ia tahu saya telah selesai menulis sebuah monolog, maka ia menyarankan agar saya membawakan monolog itu namun dalam versi bahasa Sunda.

Supaya “pasar” bisa memilih, itu alasannya mengapa monolog saya dialihbahasakan. Untuk kerja itu, untuk menerjemahkan monolog itu, saya tidak sanggup. Bisa saja saya terjemahkan sendiri, namun pasti hasilnya buruk. Akhirnya saya mohon bantuan seorang kawan sastrawan asal Garut yang baik hati. Deri Hudaya, namanya. Olehnya, “Kafan” yang saya tulis dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi “Boéh” dalam bahasa Sunda.   

Karena sejak awal merancang serba minimalis, maka perkara set pertunjukan pun tunduk padanya. Monolog saya akhirnya merespon set ranjang tua yang telah Rika siapkan untuk pertunjukannya. Dari sini muncul gagasan “Seranjang Dua Kepala” sebagai nama kegiatan pentas keliling ini.

Set (benda) yang sama coba kami dekati dengan dua pendekatan yang berlainan. Sebenarnya tidak benar-benar berbeda dalam arti bertolak belakang. Toh, baik saya maupun Rika, masih sama-sama mempersepsikan ranjang itu sebagai ranjang (dalam arti tempat berbaring). Dan pada bagian-bagian tertentu kami sama-sama mengubah persepsi benda itu, bukan lagi sebagai ranjang.

Pada adegan ketika Karnaen menemui si tokoh di bawah pohon kemuning, ranjang itu menjadi semacam kursi taman tempat si tokoh dan lelaki pujaannya itu bercakap-cakap. Kala Karnaen menyatakan cintanya seraya mencium tangan si tokoh, ai lari ke bagian belakang ranjang sembari berkata: “Saya berlari ke dalam rumah sambil mengunci pintunya”. Pada saat itu ruang di bagian belakang ranjang dipersepsikan menjadi “dalam rumah” dan dengan demikian ranjang menjadi semacam pintu atau dinding rumah.

Saya sendiri memperlakukan ranjang itu menjadi macam-macam benda dan ruang. Ada kalanya saya anggap salah satu bagian ranjang itu adalah jok motor. Ada pula kalanya saya persepsikan ranjang itu menjadi jalanan menuju rumah sakit.  

Yang membedakan, Rika merancang pertunjukan dengan pendekatan realis, sedang saya tidak demikian. Lakon saya memang tidak realis jika realis (dalam teater) dimaknai sebagai peniruan kehidupan nyata. Apakah upaya pendekatan kami berhasil? Belum! Dari dua pertunjukan ini, masih lebih banyak yang rumpang ketimbang yang apik dan cemerlang.

Saya akui itu. Tata bunyi, umpamanya. Tata bunyi dalam “Boéh” saya lakukan sendiri. Dan hasilnya saya nilai kurang bagus. Banyak sekali bagian-bagian hal ihwal bunyi yang saya rasa kurang pas namun saya bingung bagaimana memperbaikinya. Kebingungan itu, selain karena kebodohan, kecerobohan, dan kebuntuan ide, juga disebabkan saya tidak menguasai teknologi perekaman dan penyuntingan bunyi dengan baik.

Kegiatan pentas keliling ini sebenarnya menargetkan sekolah-sekolah di kabupaten Ciamis sebagai mitra apresiatornya. Untuk tahun ini kami juga menawarkan lokakarya akting ke sekolah-sekolah tersebut. Jadi, paket yang kami tawarkan adalah lokakarya akting dan apresiasi monolog. Dua kegiatan itu kami bandrol 15 ribu rupiah per orang.

Harga itu saya anggap murah sekali, setara atau bahkan lebih murah dari semangkuk baso. Dengan 15 ribu siswa bisa mendapat pelatihan akting singkat, sertifikat, dan apresiasi monolog. Murah! Murah sekali! Sebenarnya saya tidak tega. Terkesan merendahkan. Tapi apa mau dikata. Situasinya belum berimbang.

Masyarakat sekolahan di Ciamis memang masih memandang murah kesenian, apalagi teater. Jangankan siswanya, guru, kepala sekolah, bahkan pejabat Dinas Pendidikan pun memperlakukan kesenian bahkan lebih murah dari semangkuk baso.

Pada perkembangannya, kami tidak hanya pentas di sekolah-sekolah. Berikut ini tempat dan waktu pentas yang pernah kami lakoni:

5 November 2019
SMAN 1 Lumbung, Ciamis
9 November 2019
Halaman “Rumah Gardu”, Cidahu, Ciomas, Panjalu, Ciamis
11 November 2019
SMAN 1 Baregbeg, Ciamis
13 November 2019
SMAN 1 Pamarican, Ciamis
20 November 2019
MA PUI Cijantung, Ciamis
30 November 2019
Lab. Bahasa, FKIP UNIGAL, Ciamis
15 Desember 2019
Lembur Kaulinan Cibunar, Sadanya, Ciamis
18 Januari 2020
Gedung NU Kota Tasikmalaya

Hanya di SMAN 1 Pamarican, MA PUI Cijantung, dan Lembur Kaulinan Cibunar kami berhasil  mengadakan lokakarya akting. Itu pun dengan bandrol yang variatif hasil negosiasi.

Bagi saya, tiap tempat dan waktu kami pentas itu istimewa. Tiap-tiap mereka punya cerita sendiri yang selalu bisa saya kenang.

Lumbung   
Karena SMAN 1 Lumbung adalah tempat kali pertama kami pentas, banyak hal yang bisa saya ingat. Misal saja prihal penonton dan estimasi pendapatan. Awalnya, yang diproyeksikan menonton hanya kelas XII saja sejumlah 50 orang. Setelah dicek ulang ternyata jumlah seluruh kelas XII hanya 48 orang. Dan yang membayar tiket hanya 39 orang.

Di sana kami menjual tiket 10 ribu dengan potongan 20% (bagi hasil buat guru yang mengkoordinir). 39 kali 8 ribu sama dengan 312 ribu rupiah. Nah, ketika kami memasang banner di depan kelas yang akan kami gunakan pentas, nampak murid kelas X dan XI mengerumuni. Melihat itu, saya mengajukan pada guru mitra kami agar mengajak pula kelas X dan XI menonton, meski tidak diwajibkan macam kelas XII.

Singkat cerita, mereka semua menonton namun tidak membayar tiket. Sebagai gantinya tiap kelas menyumbang 50 ribu. Dari sumbangan kelas itu terkumpul 300 ribu. Selain itu, guru-guru berinisiatif membuat kencléng buat sumbangan sukarela para penonton. Dari sana terkumpul 40 ribu 5 ratus. Setelah dihitung-hitung, pulang dari SMAN 1 Lumbung kami membawa pulang uang 660 ribu 5 ratus.

Subhanallah. Awalnya kami berasumsi mendapat 400 ribu dari 50 penonton, namun ternyata Tuhan punya hitung-hitungan sendiri. Saya terharu, malu, sekaligus merasa lucu.

Halaman “Rumah Gardu”
Rumah Gardu adalah nama yang Rika berikan untuk sekretariat Gardu Teater yang juga adalah rumah tempat saya dan istri saya tinggal. Pentas di halaman rumah itu sebenarnya ide dadakan, sangat dadakan. Rika yang punya ide. “Mungpung set dan perlengkapan lainnya masih ada di rumah, kenapa tidak kita pentas dulu di sini?” kira-kira begitu kata Rika pada saya sehari sebelum tanggal 9 November 2019.

Kami memang berniat pentas di sini, tapi saya pikir itu nanti saja, sebagai penutup pentas keliling. Sejujurnya, bagi saya pribadi, pentas di kampung sendiri itu berat bukan main. Maksudnya berat secara mental. Ini adalah kali pertama.

Di kampung ini, kampung ayah saya, saya tumbuh besar. Ada sekian beban masa lalu yang musti saya hadapi. Pentas malam itu, bagi saya seperti membunuh diri saya yang lain, yang darah tumpahnya sampai bahkan ke kuburan ayah dan ibu saya.

Saya pesimis kegiatan ini akan direspon baik oleh para tetangga, apalagi halaman Rumah Gardu tempat kami pentas adalah halaman mesjid juga. Namun, seperti di SMAN 1 Lumbung itu, Tuhan rupanya hitung-hitungan-Nya sendiri. Kegiatan ini sampai diumumkan via toa mesjid di RT tetangga  (mesjid di RT saya menolak mengumumkan).

Ba’da Isya, warga sudah berdatangan. Mereka duduk tertib beralas baliho bekas dan tikar yang kami sediakan. Beberapa tetangga malah membawa tikar sendiri. Yang membuat saya terharu—sekaligus merasa lucu—adalah respon mereka yang nampaknya cukup gembira, terhibur, bahkan larut dalam pertunjukan. Beberapa diantaranya meminta berfoto usai pertunjukan berakhir sembari mengucap selamat. Ada salah seorang tetangga yang sampai-sampai memberi amplop berisi uang. Subhanallah.

Untuk itu semua, secara khusus saya harus berterimakasih pada istri saya (ailopyupul, muuuuaaaccchhh). Dia yang menggagas ide itu. Dia juga yang meyakinkan saya untuk terus bertahan dan maju. Memang, dia tak sepenuhnya memahami apa yang saya rasakan, tapi yang pasti dia meyakinkan saya bahwa dia akan selalu menemani dan mendukung saya. Untuk yang kesekian kalinya, subhanallah, “nikmat mana lagi yang kau dustakan?”

Baregbeg
Di jadwal pentas keliling kami, tempat ini tidak masuk hitungan sebab belum ada konfirmasi kepastian. Malah kami berasumsi batal sebab sebelumnya guru mitra kami di sana berkali-kali mengeluhkan harga tiket. Awalnya, ia minta bandrol 5 ribu per siswa.

Wah, berat di ongkos, dong!

Sebagai pemimpin produksi saya ingin serba pasti. Bukan hanya tentang untung rugi, namun banyak hal lain yang lebih berguna yang bisa kami lakukan ketimbang menunggu dalam ketidak pastian. Setelah hampir saya batalkan, guru mitra kami memberi kabar kepastian tentang tempat dan waktu. Tentang asumsi jumlah penonton, ia baru mengabarkan beberapa saat menjelang hari H.

Untuk titik ke tiga ini, sebab kurang koordinasi, ada beberapa hal diluar asumsi awal yang agak memberatkan kami. Ya, karena sudah terjadi, menjadikannya sebagai pelajaran adalah langkah paling masuk akal ketimbang menggerutu ini itu.

Pamarican
Ini kali kedua kami pentas di Pamarican. Sebelumnya pada 2018, “Sangkuriang Dayang Sumbi” pernah pula ditonton siswa-siswi SMAN 1 Pamarican. Kali itu juga kami memberi lokakarya, namun dadakan dan cenderung tidak sistematis.

Pada 2019 kemarin, kami lebih siap memberi lokakarya sebab telah kami rencanakan jauh hari sebelumnya. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tempat. Sekolah itu belum mempunyai ruangan yang cukup besar yang bisa menampung 300-an penonton.

Guru mitra kami di sana mengabarkan bahwa yang diwajibkan menonton dan mengikuti lokakarya adalah kelas X dan XI. Kepala sekolah tidak memberi izin kelas XII sebab mereka difokuskan menghadapi UN. Padahal, menurut guru mitra kami itu, justru kelas XII yang sangat membutuhkan kegiatan ini sebab relevan dengan materi yang sedang ia sampaikan. 

Di sana kami pentas di aula sekolah. Luasnya 2 kali ruang kelas. Penonton yang diproyeksikan menonton lebih kurang 250 orang. Karena diyakini tidak akan muat, maka pertunjukan digelar dua kali. Rika yang main waktu itu.

Pagi hari kami mulai dengan lokakarya di lapang terbuka depan aula. Cuacanya lumayan terik sedang mereka tidak terlalu terbiasa berkegiatan beratap awan. Jadinya, lokakarya itu terasa kurang efektif dan tidak sesuai dengan yang kami rancang. Akhirnya kami banyak improvisasi, bahkan memangkas waktu kegiatan sebab matahari makin ganas menuju jam dua belas.

Pertunjukannya sendiri saya kira sukses dalam arti penonton mengalami dengan cukup khidmat teater yang sedang melakon. Rika juga bermain bagus saya kira. Saya bahkan berkaca-kaca dibuatnya. Waktu itu saya mengoperatori lampu dan musik sekaligus. Saya menghadapi dimmer dan laptop sendirian sebab Salim bertugas memastikan Maryam, anak batita saya, tenang tak membuat gaduh.

Aktivitas saya itu, yang secara langsung menyangkut pertunjukan itu, membuat saya harus super fokus menonton. Mata saya berkaca-kaca ketika tangan kiri menggeser fader dan tangan tangan men-scroll mouse menaikan volume musik sementara wanita pemalu dari Klaten itu terisak mengingat Karnaen yang telah menjadi abu.

Mungkin terdengar lebay atau berlebihan. Tapi demikian adanya. Saya kerap terharu oleh kisah kesetiaan dan penantian.

Cijantung
Sore itu, 19 November 2019, saya dan Salim berangkat ke MA PUI Cijantung dari persinggahan kami, rumah Kang Toni dan Teh Wida. Di sana kami menitipkan set dan semua perlengkapan pertunjukan.

Karena saya yang kebagian main, maka dengan berkendara motor pun sudah cukup buat mengangkut semua keperluan pentas. Awalnya kami diarahkan ke basement sebuah gedung di seberang sekolah itu. Rencannya, tempat itu yang akan digunakan pentas dan lokakarya. Saya tak sempat jumpa dengan guru mitra kami dan hanya bercakap via udara saja.

Sesampainya di lokasi, saya dan Salim mengambil bangku dari sekolah yang telah disediakan buat set “ranjang” saya. Semua berjalan lancar sebelum listrik tiba-tiba mati. Ketika kami mencari tahu musababnya, tetiba saja seorang lelaki 40 tahunan turun dari motor dan mendekati kami. Saya jelaskan baik-baik siapa saya dan maksud kedatangan kami. Tapi, dia nampak tidak gembira mendengar itu. Rautnya terlihat jengkel. Kami malah terlibat adu mulut dengan emosi tinggi. Gerbang basement itu ditutupnya (tak dikunci) tanpa permisi dan ia langsung ngeloyor pergi.

Saya berburuk sangka: jangan-jangan listrik ini mati disabotase oleh si bapa itu. Namun, usut punya usut, ternyata listrik mati disebabkan pulsanya habis. Waduh, saya belum pernah sekali pun berurusan dengan token listrik sebab saya pelanggan listrik pasca bayar tulen. Saya tidak tahu cara mengisi pulsanya. Setelah cari tahu ke mbah Google, saya beranikan diri membeli ke Indomart. Sepulang saya dan Salim dari sana, gerbang basement itu ternyata sudah dikunci. Cilaka! Pasti ulah si bapa itu.

Motor Salim dan semua perlengkapan pentas kami tertahan di basement. Kami serasa jadi dua prajurit yang berada di behind enemy line, terombang-ambing tak karuan, tanpa kepastian.  Akhirnya, setelah panjang lebar berbirokrasi dan negosiasi, gerbang itu kembali dibuka dan kami disilakan pindah. Kami tidak diizinkan pentas di sana sebab basement itu sedang dalam renovasi yang dikejar tengat.

Tidak ada masalah tanpa solusi. Kami akhirnya diberikan ruang tempat pentas yang malah lebih bagus dari basement tadi. Kami pentas di ruang aula, lengkap dengan panggung permanennya.

Setelah kami jumpa guru mitra kami, persoalan menjadi agak terang. Intinya, koodinasi yang terjalin kurang baik antara dia dan pihak lain di sekolah itu. Dan sebab kami yang ada di sana saat itu, maka kami yang jadi samsak.

Lagi-lagi, tidak ada sikap yang lebih masuk akan kecuali menjadikan pelajaran. Dan lagi-lagi, subhanallah. Meski melalui situasi tegang nan emosional, namun akhirnya happy ending juga.

UNIGAL
Sudah sejak lama kami mengajukan proposal pertunjukan ke UNIGAL, tepatnya prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNIGAL. Mitra kami adalah asisten dosen yang juga senior saya di teater. Selain mengampu mata kuliah Sanggar Sastra, ia juga penanggungjawab Laboratorium Sastra. Rencananya kami akan pentas di sana tapi waktu yang tepat belum juga didapat.

Setelah lama menuggu, akhirnya tanggal 30 November 2019 disepakati sebagai tanggal pentas.  Karena prodi Diksatrasia, Rika lebih relevan untuk pentas ketimbang saya. Pertunjukan ini dijadikan bahan tugas buat mahasiswa yang mengontrak mata kuliah Sanggar Sastra.

Dari semua tempat yang kamu kunjugi, Lab. Sastra UNIGAL adalah yang paling mudah kami kondisikan. Maksudnya, kami bisa dengan mudah memasang lampu dan kelengkapan lainnya. Dinding dan jendelanya sudah serba gelap dan kain backdrop sudah permanen di sana. Kami tidak perlu banyak menguras tenaga untuk menghalangi cahaya matahari masuk.

Pentas pun terbilang khidmat. Seperti biasa, Salim bertugas menjaga Maryam agar tetap kondusif sedang saya mengendalikan lampu dan musik. Yang membuatnya lain adalah percakapan-percakapan usai pertunjukan.

Kedatangan kami yang cuma bertiga itu menimbulkan pertanyaan kawan-kawan mahasiswa penggiat teater di sana. Kami menjelaskan bahwa jangankan bertiga, sendirian pun sebenarnya bisa saja menggelar pertunjukan teater, tentu dengan bantuan dari sana-sini sebab kodrat teater adalah kolektif. Yang penting kuatnya kemauan.

Semoga saja kedatangan kami ke sana bisa turut menyumbang energi buat mereka berkarya.

Cibunar
Yang paling berkesan di sana, tentu saja berhubungan dengan hujan. Desember adalah bulan hujan. Demikian pula saat saya dan Salim tiba di sana sehari sebelumnya, hujan lebat mengguyur Jawa Barat secara umum. Kami khawatir sebab kami akan pentas di sana beratap awan dan bintang-bintang saja. Saya tidak mengakhawatirkan pementasan, namun penonton dan hal ihwal kelistrikan.

Acara di mulai pagi hari. Kami memang tidak pentas tunggal. Nama acaranya Gelar Warga Mandiri dan Gotong Royong. Konten acaranya banyak dan beragam. Kami hanya salah satu dari sekian banyak pengisi acara. Siang menjelang sore tanggal 15 Desember 2019 kami dijadwalkan memberi lokakarya dasar-dasar seni peran. Waktu itu cuaca masih cerah meski dilangit gumpalan Cumulonimbus mulai nampakan diri.

Menjelang Maghrib, langit penuh dikuasai awan hujan. Ia telah siap menunaikan tugasnya. Dan benar saja. Sebelum adzan berkumandang, hujan angin lengkap dengan petirnya dengan perkasa membungkam kami, memojokkan, dan memaksa kami berteduh di teras rumah. Sebelum itu, lampu, dan segala yang berhubungan dengan listrik—yang telah kami tata sejak dini hari—kami tutupi dengan baliho bekas.

Kami menunggu dan terus menunggu. Saya bicara pada Salim dan istri saya tentang berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Pentas bisa saja diundur esok hari, atau dibatalkan sama sekali. Atau kita membuat panggung darurat yang tahan air.

Kalau acara malam itu batal, bukan hanya saya yang gagal pentas. Anak-anak dan ibu-ibu warga sekitar yang telah berlatih jaipongan dan kosidah cukup lama pun, tidak akan jadi manggung. Setelah berdiskusi cukup alot, Deni Weje sebagai empunya acara memutuskan untuk mengundur pentas saya ke esok hari. Sedang anak-anak dan ibu-ibu, diundur entah sampai kapan.

Saya tidak puas. Bukan karena pentas saya diundur, namun karena pengisi acara yang lain tidak jelas nasibnya. Ketika semua dilanda kecewa dan kebuntuan, tetiba saja Deni Weje mendapat foto anak-anak yang telah berdandan, siap menari jaipongan.

Suasana lesu itu berubah seketika menjadi haru, tapi kami masih diliputi bingung: di mana mereka akan menari? Kecuali itu, lampu dan pengeras suara juga jadi persoalan sebab beberapa diantaranya terancam basah kena hujan. Satu lampu yang saya bawa positif basah kuyup karena tidak sempurna ditutupi.

Saya melontar ide agar kita memanfaatkan tenda kerucut yang terpajang di sana sejak pagi untuk kepentingan pameran kuliner. Semua setuju sebab tidak ada yang punya ide lain. Lampu kami alihkan, demikian juga tenda-tenda itu. Kami akan pentas dalam tenda, tadinya. Namun, selama bekerja dalam hujan yang mulai mereda itu, ide berkembang.

Deni Weje memutuskan untuk menggunakan teras rumah sebagai panggung, dan tenda-tenda itu sebagai tempat penoton, lampu, speaker, berikut para operatornya.

Kain hitam dibentangkan sebagai backdrop. Semua bekerja serba cepat sebab jam sudah menunjuk angka sembilan. Anak-anak yang telah sejak lama berdatangan, sengaja dihibur oleh salah seorang penggiat. Ia bernyanyi sembari sesekali mendongeng agar anak-anak lupa akan penantiannya.

Lampu-lampu yang basah saya putuskan absen menerangi panggung. Beresiko. Nyaris setengah sepuluh, Deni Weje yang menjadi pemandu acara membuka dengan basmalah. Anak-anak menari bergantian. Sedang ibu bapak mereka menonoton entah dengan perasaan apa. Ibu-ibu tak jadi main kosidah entah karena apa. Saya bersiap di dalam rumah. Set ranjang saya basah 100%.

Dan ketika tiba giliran saya main sebagai pamungkas acara, satu per satu penonton mulai pergi. Mugkin karena terlampau malam, hampir jam 11 waktu itu. Beberapa yang bertahan pun akhirnya pergi setelah tahu saya berkostum menyerupai pocong. Mereka takut dan memutuskan pulang. Yang bertahan menonton hanya panitia dan beberapa kawan-kawan saja.

Meski tubuh terasa lelah, saya berupaya main dengan maksimal, sisa tenaga tak tidur di malam sebelumnya. Saya dan Salim ngeset lampu sejak hujan reda, sekitar jam 1 dini hari sampai pagi. Dan semua yang kami lakukan itu, harus dibongkar sebelum digunakan sebab alam tidak mengizinkan demikian.    

Meski dengan segala kedaruratan itu, saya cukup puas sebab kami bisa berbagi energi melalui lokakarya dasar-dasar seni peran. Dan saya teringatkan kembali lewat peristiwa hujan hari itu bahwa domain manusia adalah berusaha, bukan menentukan.

Tasik
Di Tasik, saya benar-benar terharu sekaligus malu. Sependek saya berteater, baru kali itu saya merasa dibantu dengan amat sangat oleh kawan teater yang notabene belum lama saya kenal. Saya sering dibantu, tapi biasanya yang membantu itu kawan-kawan yang sudah lama saya kenal.

Yang membuat saya malu sekaligus terharu, saya merasa belum pantas diperlakukan sedemikian luar biasanya oleh kawan-kawan di sana, wa bil khusus kawan dari Yayasan Ngaos Art. Mereka menyiapkan tempat pentas dan menginap, lampu-lampu, menanggung makan, memberi amplop berisi uang, mengantar pulang set, dan membedah dua pertunjukan kami dengan detil, blak-blakan, namun santun dan penuh penghormatan. Subhanllah.

Mereka bahkan keukeuh menawarkan untuk menyiapkan segala keperluan set pertunjukan kami, termasuk menyediakan ranjang tua. Ah, malu banget saya kalau sampai mereka sedemikian repot oleh kami. Saya tetap keukeuh untuk membawa ranjang sendiri sebab sungkan merepotkan.

Awalnya saya sempat ragu. Saya nilai pertunjukan saya belum layak untuk dipertontonkan di Kota Tasikmalaya, kota dengan sejarah dan geliat teater yang sedemikian hidup dan dinamis. Di sana banyak teaterawan yang mutu karyanya sudah diakui banyak pihak. Terlebih, saya dibantu oleh Ngaos Art, sebuah kelompok teater yang meski belum lama lahir namun digawangi oleh mujahid-mujahid teater pilih tanding. Aduh, tambah malu saya.

Namun, malu dan ragu itu, akhirnya kalah juga oleh kebutuhan saya “meng-ada”, bereksistensi. Ya, pentas di Tasik ini sama sekali bukan kami tujukan untuk cari untung. Buntung pun tak apa. Saya pribadi punya kebutuhan eksistensi. Dan untungnya, Rika dan Salim bisa memahami itu dan setuju untuk pentas. Meski saya pemimpin produksi dan ketua Gardu Teater, namun keputusan-keputusan vital kami ambil secara kolektif kolegial.   

Malam itu, saya tidak sempat menonton Rika bermain sebab Maryam menangis karena ngantuk. Saya membawa Maryam keluar menjauh agar tangisannya tak mengganggu kekhidmatan. Usai Rika bermain, Maryam saya serahkan padanya dan saya pun siap-siap pentas.

Untuk pentas di Tasik, saya mempersiapkan diri secara lebih khusus. Saya teringat ajaran guru saya, Gusjur Mahesa, juga Toni Lesmana, tentang berpuasa untuk sebuah tujuan. Ya, Mas Gusjur pernah mengajarkan untuk berpuasa selama tiga hari sebelum pertunjukan. Kang Toni pun demikian. Saya murid yang buruk, tak patuh ajaran guru. Namun, menjelang pentas di Tasik, saya niatkan peristiwa  pertunjukan itu sebagai sebuah upacara sakral, ritus. Tentu harus kudus, setidaknya buat saya sendiri. Makanya saya tirakat, puasa, sekaligus sebagai upaya detoksifikasi tubuh.

Dan, lagi-lagi, subhanallah. Walau banyak kendala teknis diluar yang saya sangka, namun saya menikamti permainan saya dengan kenikmatan yang lain dari pernah saya rasakan sebelumnya. Semua itu: tangis Maryam, air termos yang dingin, samping yang terlempar ke penonton, dan segala hal diluar sangkaan saya itu, saya anggap bagian dari ritus yang memang harus begitu adanya.

Terimakasih
Atas nama pribadi, saya menghaturkan terimakasih pada Rika R. Johara, seniman teater yang juga istri saya yang luar biasa, yang telah banyak membantu saya agar jadi lebih baik dalam banyak hal. Juga Dadan Sudrajat alias Salim, padanya saya belajar ketekunan, totalitas, dan kerelaan. Terimakasih.

Saya menghaturkan terimakasih pula pada Kang Deri Hudaya yang telah menerjemahkan naskah saya. Mas Ebel (Dani Djamaluddin) yang telah menata musik untuk pertunjukan Rika, atas nama kelompok saya haturkan terimakasih. Pada Fikar yang telah banyak sekali membantu, khususnya di Baregbeg dan Tasik.

Atas nama pribadi dan kelompok, kepada Hari Jauhari, pemilik percetakan Eldesign Cihaurbeuti, saya ngutang kaos, sertifikat, banner, dan tiket, terimakasih atas kepercayaannya. Juga pada kakak saya, Amelia Mustaqima dan suaminya Mas Imam, terimakasih banyak telah meminjamkan modal awal buat pertunjukan kami.

Pada keluarga besar Bi Utin, kami ucapkan hatur nuhun. Mereka yang telah meminjamkan ranjang tua itu. Pada Kang Godi Suwarna dan Teh Neng, hatur nuhun. Dari mereka kami meminjam lampu dan kain hitam. Kiki Baehaqi, terimakasih telah meminjamkan mobil untuk mengangkut barang-barang kami dari Panjalu ke Ciamis.

Selama pentas keliling ini, set dan semua perlengkapan kami disimpan di kediaman Kang Toni dan Teh Wida di Kedungpanjang, Ciamis. Untuk semua kebaikan dan dukungan mereka selama ini, kami haturkan terimakasih.    

Dan terimakasih yang luar biasa pada seluruh warga dusun Cidahu desa Ciomas kecamatan Panjalu, Ciamis yang telah mengapresiasi pertunjukan kami. Juga kepada Teh Tini dan Bi Didih yang membantu mempersiapkan pertunjukan kami di Rumah Gardu. Pada Pak Kepada Dusun yang telah mengumumkan kabar kegiatan kami di mesji RT 18, terimakasih kami haturkan.

Kepada mitra-mitra kami: Pak Daday (SMAN 1 Lumbung), Bu IIs Wiga (SMAN 1 Baregbeg), Teh Yuli (MA PUI Cijantung), A Anggie (SMAN 1 Pamarican), Kang Deni Weje, Bobi, Umay, Iing, Inuy, dan kawan-kawan lain dari Sakola Motekar (Lembur Kaulinan Cibunar), Kang Jaro X Yus (UNIGAL) yang juga telah meminjamkan kain hitamnya, pada mereka semua, dan nama-nama lain yang akan sangat panjang jika saya sebut satu per satu, kami haturkan terimakasih sebesar-besarnya.

Pada kawan-kawan di Tasikmalaya: Guru Ab Asmarandana, untuk semua kebaikan dan ilmunya, kami ucapkan terimakasih. Juga Mas Citul, Mas Fahrul, A Teguh, Dodoy, Epul, Kang Dwi dari Yayasan Ngaos Art, kami haturkan terimakasih banyak. Pada Kang Aan LESBUMI Kota Tasikmalaya, terimakasih telah menyilakan Gedung NU kami gunakan sebagai ruang ritus. 

Dan pada seluruh penonton yang telah mengapresiasi monolog kami, terimakasih sebanyak-banyaknya kami ucapkan. Semoga perjumpaan kita menjadi jalan turunnya berkah.

Secara khusus, saya pribadi hendak mengahaturkan terimakasih teriring do’a pada orang-orang yang telah lebih dulu meninggalkan alam fana ini yang menginspirasi saya, khususnya dalam penciptaan naskah “Boéh”: Ayah dan Ibu saya, Kang Apuy, Arya, Ruri, Lela, Teh Omih, Mang Wiwin, Mang Iding, semoga bahagia di alam baka. Alfaatihah.

Semoga segala yang telah kami lakukan dapat menjadi kebaikan bagi kami sendiri, orang lain, dan semesta.

Panjalu, 23 Januari 2020

keterangan gambar: potret di SMAN 1 Pamarican (oleh Anggie Agustiana Kabie, M. Pd.) 

Jumat, 10 Januari 2020

Mengalami Ritus Teater


Banyak yang berkeyakinan bahwa teater berasal dari ritus. Teater sebagai seni pertunjukan berakar dari peristiwa upacara keagamaan, dari laku ibadah. Dalam ritus, sesungguhnya tidak ada penonton dalam arti orang yang “hanya menonton dan menyimak”. Semua yang terlibat adalah pemain dengan peran dan fungsi-fungsi yang berbeda.

Ada yang berperan sebagai pemimpin upacara: membaca mantra, jampi, atau do’a. Ada pula yang mengamini atau yang “terdo’akan”. Ada alat dan benda yang digunakan untuk kepentingan upacara, umpamanya air suci, sesajen, dupa, menyan, dan lain-lain. Kadang ada pula hewan yang dikorbankan baik disembelih atau dilarung ke laut, misalnya.

Laku tersebut merupakan cara manusia berinterkasi dengan Sang Maha Pencipta. Ia sakral. Kudus. Baik pemimpin upacara maupun “peserta” ritus, sama-sama ada dalam satu frekuensi. Mereka berada dalam tegangan antara kesadaran imanen dan kesadaran transenden; dunia nampak (materiil) dan dunia tak nampak (imateriil). Kesemua itu dilakukan dengan satu tujuan (orientasi): Tuhan (dengan macam-macam sebutan-Nya).

Dalam dimensi komunal, ritus merupakan kebutuhan bersama segenap individu yang terhimpun dalam suatu masyarakat. Ya, kebutuhan. Ritus menghubungkan manusia dengan kekuatan diluar dirinya. Hubungan yang baik akan mendatangkan kebaikan pula bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya manusia butuh ritus, demi kebaikannya sendiri. Dan karena kebutuhan, maka peristiwa itu, ritus itu, dilakukan dengan penuh kesadaran, baik oleh “pemain” maupun “penonton”.

“Mengembalikan teater pada ritus” adalah kredo yang lazim dalam teater zaman post-modern kini (teater post-modern sebagai sebuah pendekatan ilmiah teater, itu lain hal). Mungkin akibat jengah dengan konvensi dan hukum-hukum lama dalam teater, maka para teaterawan berupaya mencari kebaruan justru dengan pulang pada muasal teater, yakni ritus.

Namun, hal apa dari teater yang “dikembalikan”? Apakah mengembalikan itu bermakna menjadikan  (seni) pertunjukan teater sebagai laku ibadah, sebagaimana ritus? Memulangkan sakralitasnya? Kekudusannya? Menjadikan teater sebagai  sarana keterhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa?

Pasti ada satu atau dua kelompok teater atau individu teaterawan yang berlaku demikian. Pasti ada sebagian teaterawan yang menjadikan teater sebagai tirakat, jalan mardhotillah, menjemput ridho Gusti. Dalam cara pandang yang luas, semua laku manusia di alam fana ini berpotensi menjadi ibadah.

Selain golongan teaterawan tersebut, ada pula pengarya (creator) yang hanya pinjam bentuk saja. Maksudnya, meminjam bentuk ritus untuk mengemas gagasan artistik dan estetiknya. Sementara itu, spiritnya lain sama sekali. Dalam konteks ini, ritus didekati sebagai suatu peristiwa budaya (bukan sebagai keterhubungan transendental).

Salah satu ciri ritus yang sering dipinjam ialah ketakterjarakan: meniadakan jarak atau batas antara penonton dan pemain, antara tontonan dan yang menonton. Jarak dalam arti ini bisa berarti jarak fisik yang terukur maupun jarak dalam arti perbedaan fungsi atau peran antara pemain dan penonton.

Pertunjukan teater yang digelar di panggung khusus buat pertunjukan, mensyaratkan adanya jarak antara pemain (di panggung) dan penonton. Jarak ini penting, sebab secara simbolik ia juga bisa dimaknai sebagai jarak antara dunia panggung (dunia imajinasi; dunia rekaan; artifisial) dengan dunia realitas keseharian.

Dunia panggung—meski sebagai mimesis realitas—sesungguhnya adalah “representasi” dunia ideal. Alih-alih representasi realitas, dunia panggung adalah realitas tersendiri. Biarpun ia bersumber dari realitas keseharian, namun yang telah terolah, terseleksi, terbumbui, terartifisialisasi, terstilir, serta “teridealisasi” menjadi seni pertunjukan.  

Pembedaan antara dunia panggung dan realitas keseharian ini berakar dari cara pandang modern yang dikotomis: memisah secara rigid antara realitas dan imajinasi; nyata dan tak nyata; ideal-rasional dan empirik; dan lain-lain. (Cara pandang ini kemudian digugat dan didekonstruksi oleh post-modern)

Dalam ritus (komunal), pemisahan macam ini tidak ada. Penonton adalah peserta ritus sekaligus, artinya bagian tak terpisah dari ritus. Ketakterjarakan ini boleh jadi berakar dari cara pandang manusia pra-modern yang memandang dunia ini sebagai sebuah kesatuan utuh. Yang nampak dan yang tak nampak, semuanya berada dalam kesatuan kosmologis. Jagat Alit dan Jagat Gede manunggal dalam  kasunyatan.

Implikasi ketakterjarakan dalam pertunjukan teater adalah terkoreksinya definisi dan batasan panggung. Panggung tidak lagi dipahami sempit sebagai bidang geometris dengan batasan-batasan dan kelengkapan tertentu tempat aktor dan peristiwa teater ber-laku.

Panggung dalam konteks ritus bisa dipahami sebagai ruang terjadinya peristiwa (karena sedang membicarakan bentuk ritus, maka penetapan ruang ritus (laku ibadah komunal) yang biasanya ditetapkan berdasarkan daya-daya metafisik diabaikan). Panggung tidak memiliki batasan fisik. Batasnya lebih pada fungsi. Maksudnya, sejauh tempat itu, ruang itu, difungsikan sebagai tempat berlangsungnya peristiwa, maka ia adalah panggung.

“Ketiadaan penonton” akhirnya mengoreksi pula cara mengapresiasi. Teater bukan ditonton dan disimak secara indrawi, namun dialami. Baik (yang berperan sebagai) pemain maupun (yang berperan sebagai) penonton sama-sama mengalami. Ya, mengalami teater.

Namun, pengalaman mengalami teater ini tidak selalu menyenangkan, khususnya buat “subjek yang berperan sebagai penonton”. Kadang kala ketakterjarakan itu dihadirkan ujug-ujug bahkan tidak sopan alih-alih khusuk-khidmat seperti ritus ibadah pada umumnya.

Tapi, itulah ritus jaman now. Ritus (teater) post-modern. Barangkali.   
  
Panjalu, 9 Januari 2020

keterangan gambar: mendeklamasikan puisi pada Nyiar Lumar 2018. 
(potret karya Edi Martoyo) 

Jumat, 03 Januari 2020

Menertawakan Mpo Alfa OVJ, Absurdisme, Cawokah, Dan Lain-Lain


Beberapa kali saya menonton OVJ di Trans 7. Seringnya tidak sengaja. Tiap kali saya menonton, selalu ada adegan Mpo Alfa dihipnosis. Dalam ketakberdayaan dan ketakterkendalian tubuh dan pikirannya ia melakukan hal-hal yang tujuannya hanya satu: membuat penonton tertawa. Ini pasti ide tim kreatif. Mereka yang merancang dan mengarahkan selebritis-selebritis itu musti berlaku begini dan begitu.

Tiap kali itu, tiap kali Mpo Alfa dihipnosis agar “bertingkah lucu”, saya malah merasa heran. Kenapa kita tertawa melihat ketaksadaran? Pernahkah tim kreatif mengkaji secara ilmiah dampak psikis hal itu pada Mpo Alfa (dan pada penontonnya)?

Walau, umpamanya, itu semua hanya akting belaka, artinya Mpo Alfa tidak terhipnosis sama sekali, tertawanya penonton akibat “akting pura-pura terhipnosis” itu pun patut menjadi tanda tanya besar. Apakah tidak ada cara lain untuk tertawa?

Dunia komedi memang penuh misteri. Kenapa kita tertawa melihat orang dihina dan diolok-olok  fisiknya? Kenapa kita tertawa melihat orang terjatuh atau kejepit pintu? Kenapa kita tertawa mendengar cerita “bodor cawokah” perempuan yang diolok-olok tubuh dan seksualitasnya? Kenapa kita tertawa ketika orang lain menderita?

Di acara-acara komedi macam OVJ, menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) biasanya sebisa mungkin dihindari. Tidak baik menertawakan orang karena agamanya, karena suku bangsanya, atau karena warna kulitnya, demikian kira-kira pendapat umum. Namun, alih-alih menghindari SARA, kebodohan, kondisi fisik, dan ketidaksadaran lantas jadi bahan lawakan.

Lain OVJ lain pula Stand Up Comedy. Beberapa komika justru menjadikan SARA sebagai amunisi open mic mereka.  Tentu tidak lepas dari kontroversi, namun toh mereka punya banyak penggemar yang tertawa menertawakan guyonan berbau SARA.

Dalam khazanah bobodoran (lawakan) Sunda, ada yang disebut cawokah: humor yang mengeksploitasi seksualitas sebagai materinya. Cawokah banyak ditemukan dalam pertunjukan wayang golek, calung, réog, bahkan di mimbar-mimbar pengajian. Banyak penceramah menggunakan cawokah sebagai pemanis dakwah mereka.

Humor-humor seksis acap kali menjadikan perempuan sebagai objek, tak terkecuali cawokah. Namun, entah mengapa, ibu-ibu pengajian bisa terpingkal-pingkal mendengar tubuh dan seksualitas mereka sendiri diolok-olok.

Kaum Adam apalagi. Dibalik keras tawa mereka, mungkin ada rasa puas yang lamat-lamat sebab, sekali lagi, perempuan menjadi objek, subordinat terhadap laki-laki. Dan itu artinya kemenangan patriarki. Ini barangkali tidak disadari sebab sudah menjadi bagian dari kelaziman dan ke(tak)sadaran (?).

Lawakan, bayolan, komedi, atau humor merupakan bagian dari kebudayaan. Ia tidak lahir ujug-ujug dari sebuah kreativitas yang bersih dari weltanschauung: pandangan dunia; bagaimana dunia dipersepsi dan perlakukan oleh suatu individu atau kebudayaan. Dunia Barat yang sarat dengan rasionitas tentu punya cara ber-humor-nya sendiri. Cara mereka memandang dunia menentukan  bagaimana mereka memperolok-oloknya.

Anton Pahlovich Chekhov (1860—1904), seorang sastrawan Rusia, menulis drama “The Proposal” (Pinangan). Ceritanya tentang seorang lelaki kaya yang hendak melamar seorang gadis kaya juga. Di rumah si gadis, bukannya bermesraan, mereka malah ribut soal perbedaan di antara mereka. Mulai dari yang remeh macam perbedaan kucing piaraan sampai tanah yang menjadi sengketa. Banyak kalangan mengkategorikan drama ini sebagai komedi.

Jauh sebelum Chekhov, Aristophanes (446—386 SM) sudah lebih dulu menulis drama komedi meski tentu beda cita rasanya. “Lysistrata” adalah drama komedi yang ditulisnya pada era Yunani Kuno sekira tahun 411 SM. Ceritanya tentang perjuangan kaum perempuan Athena yang dipimpin Lysistrata untuk mencegah perang antara Athena dan Sparta. Caranya, kaum perempuan mogok aktvitas seksual. Mereka enggan meladeni hasrat seksual suami atau kekasih mereka sebelum kaum Adam itu sepakat membatalkan perang.

Minggu lalu saya menonton sebuah pertunjukan teater berjudul “Terdampar” karya Slawomir Mrozek, seorang penulis Polandia. Ceritanya tentang tiga orang yang terdampar di suatu tempat. Mereka kehabisan makanan. Untuk mempertahankan hidup, salah seorang di antara mereka musti rela dikorbankan sebagai makanan bagi dua yang lain.

Lakon ini digolongkan drama absurd oleh sebagian besar ahli. Absurditas lahir untuk mengobrak-abrik kemapanan realisme yang patuh secara ketat terhadap konvensi dan hukum logika. Tragedi dan komedi dipisah secara rigid. Kita harus tertawa sebagaimana orang lain tertawa dan bersedih sebagaimana orang lain bersedih.

Dalam absurdisme, ada logika yang dijungkirbalikan sehingga kelaparan dan kematian justru jadi bahan tertawaan. Absurd!

OVJ juga menjungkirbalikkan logika. Tetapi, dengan menertawakan Mpo Alfa yang terhipnosis itu, apakah lantas OVJ adalah komedi absurd? Peristiwa tertawanya penonton menonton Mpo Alfa adalah absurd. Ketakberdayaan (akibat ketaksadaran) kok ditertawakan? Kan absurd. Tetapi menggolongkan OVJ ke dalam komedi absurd adalah suatu yang gegabah (seperti menyejajarkan longser Sunda dengan gaya teater Bertolt Brecht yang meski memiliki beberapa kesamaan, namun akar sejarah, dasar filsafat, serta tujuannya jauh berbeda).

Absurdisme Barat merupakan reaksi dari kondisi Eropa yang luluh lantak ketika dan pasca PD I dan II. Ia juga merupakan “terusan” dari filsafat eksistensialisme yang mulai digagas sejak zaman Soren Aabye Kierkegaard (1813—1855). 

Drama absurd (Barat)—sebagaimana aliran seni dan sastra lainnya—berpondasikan filsafat Barat. Karya seni dan sastra aliran ini, meski bisa membuat tertawa, namun tidak ditujukan untuk “menghibur”, untuk “lucu-lucuan” semata.

OVJ, dengan jargonnya: “Di sana gunung, di sini gunung, ditengah-tengahnya pohon kelapa. Wayang bingung, dalangnya juga bingung, yang penting bisa ketawa”, jelas memaksudkan segala yang dipertontonkan sebatas untuk hiburan, untuk “lucu-lucuan” untuk seru-seruan aja (walau pasti ada hal serius yang bisa dipetik).

Cawokah, sebagai sebuah produk kebudayaan, tentu berakar dari suatu filsafat juga. Sub-akarnya adalah: bagaimana orang Sunda memandang tubuh dan seksualitas. Ini kemudian juga akan merembet pada gagasan dan praktik etika yang dianut dan berlaku pada kebudayaan bersangkutan. Akhirnya, semua itu akan bermuara pada satu dasar (akar), yakni bagaimana orang Sunda mempersepsi dunia dan memperlakukannya.

Baik (drama komedi) absurdisme, cawokah dalam bobodoran Sunda, Stand Up Comedy, OVJ, maupun bentuk dan genre komedi lainnya merupakan produk kebudayaan (yang dasarnya adalah cara dunia dipersepsi dan diperlakukan). Demikian pula Mpo Alfa yang ditertawakan ketakberdayaan dalam ketaksadarannya. Penonton yang menertawakannya juga adalah cerminan. 

Di zaman post-modern ini kita tinggal pilih mau tertawa lantaran apa. Kita tidak harus tertawa sama persis dengan orang lain tetawa, tidak harus bersedih sama persis seperti orang lain bersedih sebab hidup adalah pilihan.  

Untuk menutup tulisan tak lucu ini, saya ingin mengutip anjuran Warkop DKI: “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!”

Panjalu, 3 Januari 2020

keterangan gambar: foto diri yang terpaksa tertawa (dokumentasi pribadi)

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...