Judul kegiatan
“Seranjang Dua Kepala” datang belakangan. Mulanya pentas keliling ini akan
membawa satu monolog saja. Rika akan mementaskan “Kenang-Kenangan Seorang
Wanita Pemalu”, sebuah lakon yang diadaptasi dari cerpen W. S. Rendra.
Kami sudah
memformat pentas keliling kali ini hanya akan melibatkan tiga orang saja: saya,
Rika, dan Salim. Sebabnya adalah hanya tinggal kami bertiga yang tersisa.
Kecuali itu, tentu saja alasan biaya menjadi pendorong yang cukup kuat mengapa
kali ini kami memilih monolog.
Di tengah
proses, Rika melontar ide agar saya turut juga bermonolog. Karena ia tahu saya
telah selesai menulis sebuah monolog, maka ia menyarankan agar saya membawakan
monolog itu namun dalam versi bahasa Sunda.
Supaya “pasar”
bisa memilih, itu alasannya mengapa monolog saya dialihbahasakan. Untuk kerja
itu, untuk menerjemahkan monolog itu, saya tidak sanggup. Bisa saja saya
terjemahkan sendiri, namun pasti hasilnya buruk. Akhirnya saya mohon bantuan
seorang kawan sastrawan asal Garut yang baik hati. Deri Hudaya, namanya.
Olehnya, “Kafan” yang saya tulis dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi
“Boéh” dalam bahasa Sunda.
Karena sejak
awal merancang serba minimalis, maka perkara set pertunjukan pun tunduk
padanya. Monolog saya akhirnya merespon set ranjang tua yang telah Rika siapkan
untuk pertunjukannya. Dari sini muncul gagasan “Seranjang Dua Kepala” sebagai
nama kegiatan pentas keliling ini.
Set (benda) yang
sama coba kami dekati dengan dua pendekatan yang berlainan. Sebenarnya tidak
benar-benar berbeda dalam arti bertolak belakang. Toh, baik saya maupun Rika, masih sama-sama mempersepsikan ranjang
itu sebagai ranjang (dalam arti tempat berbaring). Dan pada bagian-bagian
tertentu kami sama-sama mengubah persepsi benda itu, bukan lagi sebagai
ranjang.
Pada adegan
ketika Karnaen menemui si tokoh di bawah pohon kemuning, ranjang itu menjadi
semacam kursi taman tempat si tokoh dan lelaki pujaannya itu bercakap-cakap. Kala
Karnaen menyatakan cintanya seraya mencium tangan si tokoh, ai lari ke bagian
belakang ranjang sembari berkata: “Saya berlari ke dalam rumah sambil mengunci
pintunya”. Pada saat itu ruang di bagian belakang ranjang dipersepsikan menjadi
“dalam rumah” dan dengan demikian ranjang menjadi semacam pintu atau dinding
rumah.
Saya sendiri
memperlakukan ranjang itu menjadi macam-macam benda dan ruang. Ada kalanya saya
anggap salah satu bagian ranjang itu adalah jok motor. Ada pula kalanya saya
persepsikan ranjang itu menjadi jalanan menuju rumah sakit.
Yang membedakan,
Rika merancang pertunjukan dengan pendekatan realis, sedang saya tidak
demikian. Lakon saya memang tidak realis jika realis (dalam teater) dimaknai
sebagai peniruan kehidupan nyata. Apakah upaya pendekatan kami berhasil? Belum!
Dari dua pertunjukan ini, masih lebih banyak yang rumpang ketimbang yang apik
dan cemerlang.
Saya akui itu.
Tata bunyi, umpamanya. Tata bunyi dalam “Boéh” saya lakukan sendiri. Dan
hasilnya saya nilai kurang bagus. Banyak sekali bagian-bagian hal ihwal bunyi
yang saya rasa kurang pas namun saya bingung bagaimana memperbaikinya.
Kebingungan itu, selain karena kebodohan, kecerobohan, dan kebuntuan ide, juga
disebabkan saya tidak menguasai teknologi perekaman dan penyuntingan bunyi
dengan baik.
Kegiatan pentas
keliling ini sebenarnya menargetkan sekolah-sekolah di kabupaten Ciamis sebagai
mitra apresiatornya. Untuk tahun ini kami juga menawarkan lokakarya akting ke
sekolah-sekolah tersebut. Jadi, paket yang kami tawarkan adalah lokakarya
akting dan apresiasi monolog. Dua kegiatan itu kami bandrol 15 ribu rupiah per
orang.
Harga itu saya
anggap murah sekali, setara atau bahkan lebih murah dari semangkuk baso. Dengan
15 ribu siswa bisa mendapat pelatihan akting singkat, sertifikat, dan apresiasi
monolog. Murah! Murah sekali! Sebenarnya saya tidak tega. Terkesan merendahkan.
Tapi apa mau dikata. Situasinya belum berimbang.
Masyarakat
sekolahan di Ciamis memang masih memandang murah kesenian, apalagi teater.
Jangankan siswanya, guru, kepala sekolah, bahkan pejabat Dinas Pendidikan pun
memperlakukan kesenian bahkan lebih murah dari semangkuk baso.
Pada
perkembangannya, kami tidak hanya pentas di sekolah-sekolah. Berikut ini tempat
dan waktu pentas yang pernah kami lakoni:
5 November
2019
|
SMAN 1
Lumbung, Ciamis
|
9 November 2019
|
Halaman “Rumah
Gardu”, Cidahu, Ciomas, Panjalu, Ciamis
|
11 November
2019
|
SMAN 1
Baregbeg, Ciamis
|
13 November
2019
|
SMAN 1
Pamarican, Ciamis
|
20 November
2019
|
MA PUI
Cijantung, Ciamis
|
30 November
2019
|
Lab. Bahasa,
FKIP UNIGAL, Ciamis
|
15 Desember
2019
|
Lembur
Kaulinan Cibunar, Sadanya, Ciamis
|
18 Januari
2020
|
Gedung NU Kota
Tasikmalaya
|
Hanya di SMAN 1
Pamarican, MA PUI Cijantung, dan Lembur Kaulinan Cibunar kami berhasil mengadakan lokakarya akting. Itu pun dengan
bandrol yang variatif hasil negosiasi.
Bagi saya, tiap
tempat dan waktu kami pentas itu istimewa. Tiap-tiap mereka punya cerita
sendiri yang selalu bisa saya kenang.
Lumbung
Karena SMAN 1
Lumbung adalah tempat kali pertama kami pentas, banyak hal yang bisa saya
ingat. Misal saja prihal penonton dan estimasi pendapatan. Awalnya, yang
diproyeksikan menonton hanya kelas XII saja sejumlah 50 orang. Setelah dicek
ulang ternyata jumlah seluruh kelas XII hanya 48 orang. Dan yang membayar tiket
hanya 39 orang.
Di sana kami
menjual tiket 10 ribu dengan potongan 20% (bagi hasil buat guru yang
mengkoordinir). 39 kali 8 ribu sama dengan 312 ribu rupiah. Nah, ketika kami
memasang banner di depan kelas yang
akan kami gunakan pentas, nampak murid kelas X dan XI mengerumuni. Melihat itu,
saya mengajukan pada guru mitra kami agar mengajak pula kelas X dan XI
menonton, meski tidak diwajibkan macam kelas XII.
Singkat cerita,
mereka semua menonton namun tidak membayar tiket. Sebagai gantinya tiap kelas
menyumbang 50 ribu. Dari sumbangan kelas itu terkumpul 300 ribu. Selain itu,
guru-guru berinisiatif membuat kencléng
buat sumbangan sukarela para penonton. Dari sana terkumpul 40 ribu 5 ratus.
Setelah dihitung-hitung, pulang dari SMAN 1 Lumbung kami membawa pulang uang
660 ribu 5 ratus.
Subhanallah.
Awalnya kami berasumsi mendapat 400 ribu dari 50 penonton, namun ternyata Tuhan
punya hitung-hitungan sendiri. Saya terharu, malu, sekaligus merasa lucu.
Halaman
“Rumah Gardu”
Rumah Gardu
adalah nama yang Rika berikan untuk sekretariat Gardu Teater yang juga adalah
rumah tempat saya dan istri saya tinggal. Pentas di halaman rumah itu
sebenarnya ide dadakan, sangat dadakan. Rika yang punya ide. “Mungpung set dan
perlengkapan lainnya masih ada di rumah, kenapa tidak kita pentas dulu di
sini?” kira-kira begitu kata Rika pada saya sehari sebelum tanggal 9 November
2019.
Kami memang
berniat pentas di sini, tapi saya pikir itu nanti saja, sebagai penutup pentas
keliling. Sejujurnya, bagi saya pribadi, pentas di kampung sendiri itu berat
bukan main. Maksudnya berat secara mental. Ini adalah kali pertama.
Di kampung ini,
kampung ayah saya, saya tumbuh besar. Ada sekian beban masa lalu yang musti
saya hadapi. Pentas malam itu, bagi saya seperti membunuh diri saya yang lain,
yang darah tumpahnya sampai bahkan ke kuburan ayah dan ibu saya.
Saya pesimis
kegiatan ini akan direspon baik oleh para tetangga, apalagi halaman Rumah Gardu
tempat kami pentas adalah halaman mesjid juga. Namun, seperti di SMAN 1 Lumbung
itu, Tuhan rupanya hitung-hitungan-Nya sendiri. Kegiatan ini sampai diumumkan via
toa mesjid di RT tetangga (mesjid di RT
saya menolak mengumumkan).
Ba’da Isya,
warga sudah berdatangan. Mereka duduk tertib beralas baliho bekas dan tikar
yang kami sediakan. Beberapa tetangga malah membawa tikar sendiri. Yang membuat
saya terharu—sekaligus merasa lucu—adalah respon mereka yang nampaknya cukup
gembira, terhibur, bahkan larut dalam pertunjukan. Beberapa diantaranya meminta
berfoto usai pertunjukan berakhir sembari mengucap selamat. Ada salah seorang
tetangga yang sampai-sampai memberi amplop berisi uang. Subhanallah.
Untuk itu semua,
secara khusus saya harus berterimakasih pada istri saya (ailopyupul, muuuuaaaccchhh). Dia yang menggagas ide itu. Dia juga
yang meyakinkan saya untuk terus bertahan dan maju. Memang, dia tak sepenuhnya
memahami apa yang saya rasakan, tapi yang pasti dia meyakinkan saya bahwa dia
akan selalu menemani dan mendukung saya. Untuk yang kesekian kalinya,
subhanallah, “nikmat mana lagi yang kau dustakan?”
Baregbeg
Di jadwal pentas
keliling kami, tempat ini tidak masuk hitungan sebab belum ada konfirmasi
kepastian. Malah kami berasumsi batal sebab sebelumnya guru mitra kami di sana
berkali-kali mengeluhkan harga tiket. Awalnya, ia minta bandrol 5 ribu per
siswa.
Wah, berat di
ongkos, dong!
Sebagai pemimpin
produksi saya ingin serba pasti. Bukan hanya tentang untung rugi, namun banyak
hal lain yang lebih berguna yang bisa kami lakukan ketimbang menunggu dalam
ketidak pastian. Setelah hampir saya batalkan, guru mitra kami memberi kabar
kepastian tentang tempat dan waktu. Tentang asumsi jumlah penonton, ia baru
mengabarkan beberapa saat menjelang hari H.
Untuk titik ke
tiga ini, sebab kurang koordinasi, ada beberapa hal diluar asumsi awal yang
agak memberatkan kami. Ya, karena sudah terjadi, menjadikannya sebagai pelajaran
adalah langkah paling masuk akal ketimbang menggerutu ini itu.
Pamarican
Ini kali kedua
kami pentas di Pamarican. Sebelumnya pada 2018, “Sangkuriang Dayang Sumbi”
pernah pula ditonton siswa-siswi SMAN 1 Pamarican. Kali itu juga kami memberi
lokakarya, namun dadakan dan cenderung tidak sistematis.
Pada 2019
kemarin, kami lebih siap memberi lokakarya sebab telah kami rencanakan jauh
hari sebelumnya. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tempat. Sekolah itu
belum mempunyai ruangan yang cukup besar yang bisa menampung 300-an penonton.
Guru mitra kami
di sana mengabarkan bahwa yang diwajibkan menonton dan mengikuti lokakarya
adalah kelas X dan XI. Kepala sekolah tidak memberi izin kelas XII sebab mereka
difokuskan menghadapi UN. Padahal, menurut guru mitra kami itu, justru kelas
XII yang sangat membutuhkan kegiatan ini sebab relevan dengan materi yang
sedang ia sampaikan.
Di sana kami
pentas di aula sekolah. Luasnya 2 kali ruang kelas. Penonton yang diproyeksikan
menonton lebih kurang 250 orang. Karena diyakini tidak akan muat, maka
pertunjukan digelar dua kali. Rika yang main waktu itu.
Pagi hari kami
mulai dengan lokakarya di lapang terbuka depan aula. Cuacanya lumayan terik
sedang mereka tidak terlalu terbiasa berkegiatan beratap awan. Jadinya,
lokakarya itu terasa kurang efektif dan tidak sesuai dengan yang kami rancang.
Akhirnya kami banyak improvisasi, bahkan memangkas waktu kegiatan sebab
matahari makin ganas menuju jam dua belas.
Pertunjukannya
sendiri saya kira sukses dalam arti penonton mengalami dengan cukup khidmat
teater yang sedang melakon. Rika juga bermain bagus saya kira. Saya bahkan
berkaca-kaca dibuatnya. Waktu itu saya mengoperatori lampu dan musik sekaligus.
Saya menghadapi dimmer dan laptop
sendirian sebab Salim bertugas memastikan Maryam, anak batita saya, tenang tak
membuat gaduh.
Aktivitas saya
itu, yang secara langsung menyangkut pertunjukan itu, membuat saya harus super
fokus menonton. Mata saya berkaca-kaca ketika tangan kiri menggeser fader dan tangan tangan men-scroll mouse menaikan volume musik
sementara wanita pemalu dari Klaten itu terisak mengingat Karnaen yang telah
menjadi abu.
Mungkin
terdengar lebay atau berlebihan. Tapi demikian adanya. Saya kerap terharu oleh
kisah kesetiaan dan penantian.
Cijantung
Sore itu, 19
November 2019, saya dan Salim berangkat ke MA PUI Cijantung dari persinggahan
kami, rumah Kang Toni dan Teh Wida. Di sana kami menitipkan set dan semua
perlengkapan pertunjukan.
Karena saya yang
kebagian main, maka dengan berkendara motor pun sudah cukup buat mengangkut
semua keperluan pentas. Awalnya kami diarahkan ke basement sebuah gedung di seberang sekolah itu. Rencannya, tempat
itu yang akan digunakan pentas dan lokakarya. Saya tak sempat jumpa dengan guru
mitra kami dan hanya bercakap via udara saja.
Sesampainya di
lokasi, saya dan Salim mengambil bangku dari sekolah yang telah disediakan buat
set “ranjang” saya. Semua berjalan lancar sebelum listrik tiba-tiba mati. Ketika
kami mencari tahu musababnya, tetiba saja seorang lelaki 40 tahunan turun dari
motor dan mendekati kami. Saya jelaskan baik-baik siapa saya dan maksud
kedatangan kami. Tapi, dia nampak tidak gembira mendengar itu. Rautnya terlihat
jengkel. Kami malah terlibat adu mulut dengan emosi tinggi. Gerbang basement itu ditutupnya (tak dikunci)
tanpa permisi dan ia langsung ngeloyor
pergi.
Saya berburuk
sangka: jangan-jangan listrik ini mati disabotase oleh si bapa itu. Namun, usut
punya usut, ternyata listrik mati disebabkan pulsanya habis. Waduh, saya belum
pernah sekali pun berurusan dengan token listrik sebab saya pelanggan listrik
pasca bayar tulen. Saya tidak tahu cara mengisi pulsanya. Setelah cari tahu ke
mbah Google, saya beranikan diri membeli ke Indomart. Sepulang saya dan Salim
dari sana, gerbang basement itu
ternyata sudah dikunci. Cilaka! Pasti
ulah si bapa itu.
Motor Salim dan
semua perlengkapan pentas kami tertahan di basement.
Kami serasa jadi dua prajurit yang berada di behind enemy line, terombang-ambing tak karuan, tanpa
kepastian. Akhirnya, setelah panjang
lebar berbirokrasi dan negosiasi, gerbang itu kembali dibuka dan kami disilakan
pindah. Kami tidak diizinkan pentas di sana sebab basement itu sedang dalam renovasi yang dikejar tengat.
Tidak ada masalah
tanpa solusi. Kami akhirnya diberikan ruang tempat pentas yang malah lebih
bagus dari basement tadi. Kami pentas
di ruang aula, lengkap dengan panggung permanennya.
Setelah kami
jumpa guru mitra kami, persoalan menjadi agak terang. Intinya, koodinasi yang
terjalin kurang baik antara dia dan pihak lain di sekolah itu. Dan sebab kami
yang ada di sana saat itu, maka kami yang jadi samsak.
Lagi-lagi, tidak
ada sikap yang lebih masuk akan kecuali menjadikan pelajaran. Dan lagi-lagi,
subhanallah. Meski melalui situasi tegang nan emosional, namun akhirnya happy ending juga.
UNIGAL
Sudah sejak lama
kami mengajukan proposal pertunjukan ke UNIGAL, tepatnya prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNIGAL. Mitra kami adalah asisten dosen yang
juga senior saya di teater. Selain mengampu mata kuliah Sanggar Sastra, ia juga
penanggungjawab Laboratorium Sastra. Rencananya kami akan pentas di sana tapi
waktu yang tepat belum juga didapat.
Setelah lama
menuggu, akhirnya tanggal 30 November 2019 disepakati sebagai tanggal pentas. Karena prodi Diksatrasia, Rika lebih relevan
untuk pentas ketimbang saya. Pertunjukan ini dijadikan bahan tugas buat
mahasiswa yang mengontrak mata kuliah Sanggar Sastra.
Dari semua
tempat yang kamu kunjugi, Lab. Sastra UNIGAL adalah yang paling mudah kami
kondisikan. Maksudnya, kami bisa dengan mudah memasang lampu dan kelengkapan
lainnya. Dinding dan jendelanya sudah serba gelap dan kain backdrop sudah permanen di sana. Kami tidak perlu banyak menguras
tenaga untuk menghalangi cahaya matahari masuk.
Pentas pun
terbilang khidmat. Seperti biasa, Salim bertugas menjaga Maryam agar tetap
kondusif sedang saya mengendalikan lampu dan musik. Yang membuatnya lain adalah
percakapan-percakapan usai pertunjukan.
Kedatangan kami
yang cuma bertiga itu menimbulkan pertanyaan kawan-kawan mahasiswa penggiat
teater di sana. Kami menjelaskan bahwa jangankan bertiga, sendirian pun
sebenarnya bisa saja menggelar pertunjukan teater, tentu dengan bantuan dari
sana-sini sebab kodrat teater adalah kolektif. Yang penting kuatnya kemauan.
Semoga saja
kedatangan kami ke sana bisa turut menyumbang energi buat mereka berkarya.
Cibunar
Yang paling
berkesan di sana, tentu saja berhubungan dengan hujan. Desember adalah bulan hujan.
Demikian pula saat saya dan Salim tiba di sana sehari sebelumnya, hujan lebat
mengguyur Jawa Barat secara umum. Kami khawatir sebab kami akan pentas di sana
beratap awan dan bintang-bintang saja. Saya tidak mengakhawatirkan pementasan,
namun penonton dan hal ihwal kelistrikan.
Acara di mulai
pagi hari. Kami memang tidak pentas tunggal. Nama acaranya Gelar Warga Mandiri
dan Gotong Royong. Konten acaranya banyak dan beragam. Kami hanya salah satu
dari sekian banyak pengisi acara. Siang menjelang sore tanggal 15 Desember 2019
kami dijadwalkan memberi lokakarya dasar-dasar seni peran. Waktu itu cuaca
masih cerah meski dilangit gumpalan Cumulonimbus mulai nampakan diri.
Menjelang
Maghrib, langit penuh dikuasai awan hujan. Ia telah siap menunaikan tugasnya.
Dan benar saja. Sebelum adzan berkumandang, hujan angin lengkap dengan petirnya
dengan perkasa membungkam kami, memojokkan, dan memaksa kami berteduh di teras
rumah. Sebelum itu, lampu, dan segala yang berhubungan dengan listrik—yang telah
kami tata sejak dini hari—kami tutupi dengan baliho bekas.
Kami menunggu
dan terus menunggu. Saya bicara pada Salim dan istri saya tentang berbagai
kemungkinan yang bakal terjadi. Pentas bisa saja diundur esok hari, atau
dibatalkan sama sekali. Atau kita membuat panggung darurat yang tahan air.
Kalau acara
malam itu batal, bukan hanya saya yang gagal pentas. Anak-anak dan ibu-ibu
warga sekitar yang telah berlatih jaipongan dan kosidah cukup lama pun, tidak
akan jadi manggung. Setelah berdiskusi cukup alot, Deni Weje sebagai empunya
acara memutuskan untuk mengundur pentas saya ke esok hari. Sedang anak-anak dan
ibu-ibu, diundur entah sampai kapan.
Saya tidak puas.
Bukan karena pentas saya diundur, namun karena pengisi acara yang lain tidak
jelas nasibnya. Ketika semua dilanda kecewa dan kebuntuan, tetiba saja Deni
Weje mendapat foto anak-anak yang telah berdandan, siap menari jaipongan.
Suasana lesu itu
berubah seketika menjadi haru, tapi kami masih diliputi bingung: di mana mereka
akan menari? Kecuali itu, lampu dan pengeras suara juga jadi persoalan sebab
beberapa diantaranya terancam basah kena hujan. Satu lampu yang saya bawa
positif basah kuyup karena tidak sempurna ditutupi.
Saya melontar
ide agar kita memanfaatkan tenda kerucut yang terpajang di sana sejak pagi
untuk kepentingan pameran kuliner. Semua setuju sebab tidak ada yang punya ide
lain. Lampu kami alihkan, demikian juga tenda-tenda itu. Kami akan pentas dalam
tenda, tadinya. Namun, selama bekerja dalam hujan yang mulai mereda itu, ide
berkembang.
Deni Weje
memutuskan untuk menggunakan teras rumah sebagai panggung, dan tenda-tenda itu
sebagai tempat penoton, lampu, speaker, berikut para operatornya.
Kain hitam
dibentangkan sebagai backdrop. Semua
bekerja serba cepat sebab jam sudah menunjuk angka sembilan. Anak-anak yang
telah sejak lama berdatangan, sengaja dihibur oleh salah seorang penggiat. Ia
bernyanyi sembari sesekali mendongeng agar anak-anak lupa akan penantiannya.
Lampu-lampu yang
basah saya putuskan absen menerangi panggung. Beresiko. Nyaris setengah
sepuluh, Deni Weje yang menjadi pemandu acara membuka dengan basmalah.
Anak-anak menari bergantian. Sedang ibu bapak mereka menonoton entah dengan
perasaan apa. Ibu-ibu tak jadi main kosidah entah karena apa. Saya bersiap di
dalam rumah. Set ranjang saya basah 100%.
Dan ketika tiba
giliran saya main sebagai pamungkas acara, satu per satu penonton mulai pergi.
Mugkin karena terlampau malam, hampir jam 11 waktu itu. Beberapa yang bertahan
pun akhirnya pergi setelah tahu saya berkostum menyerupai pocong. Mereka takut
dan memutuskan pulang. Yang bertahan menonton hanya panitia dan beberapa
kawan-kawan saja.
Meski tubuh terasa
lelah, saya berupaya main dengan maksimal, sisa tenaga tak tidur di malam
sebelumnya. Saya dan Salim ngeset lampu sejak hujan reda, sekitar jam 1 dini
hari sampai pagi. Dan semua yang kami lakukan itu, harus dibongkar sebelum
digunakan sebab alam tidak mengizinkan demikian.
Meski dengan
segala kedaruratan itu, saya cukup puas sebab kami bisa berbagi energi melalui
lokakarya dasar-dasar seni peran. Dan saya teringatkan kembali lewat peristiwa
hujan hari itu bahwa domain manusia adalah berusaha, bukan menentukan.
Tasik
Di Tasik, saya
benar-benar terharu sekaligus malu. Sependek saya berteater, baru kali itu saya
merasa dibantu dengan amat sangat oleh kawan teater yang notabene belum lama
saya kenal. Saya sering dibantu, tapi biasanya yang membantu itu kawan-kawan yang sudah lama saya kenal.
Yang membuat
saya malu sekaligus terharu, saya merasa belum pantas diperlakukan sedemikian luar
biasanya oleh kawan-kawan di sana, wa bil
khusus kawan dari Yayasan Ngaos Art. Mereka menyiapkan tempat pentas dan
menginap, lampu-lampu, menanggung makan, memberi amplop berisi uang, mengantar
pulang set, dan membedah dua pertunjukan kami dengan detil, blak-blakan, namun
santun dan penuh penghormatan. Subhanllah.
Mereka bahkan keukeuh menawarkan untuk menyiapkan
segala keperluan set pertunjukan kami, termasuk menyediakan ranjang tua. Ah,
malu banget saya kalau sampai mereka
sedemikian repot oleh kami. Saya tetap keukeuh
untuk membawa ranjang sendiri sebab sungkan merepotkan.
Awalnya saya
sempat ragu. Saya nilai pertunjukan saya belum layak untuk dipertontonkan di
Kota Tasikmalaya, kota dengan sejarah dan geliat teater yang sedemikian hidup
dan dinamis. Di sana banyak teaterawan yang mutu karyanya sudah diakui banyak
pihak. Terlebih, saya dibantu oleh Ngaos Art, sebuah kelompok teater yang meski
belum lama lahir namun digawangi oleh mujahid-mujahid teater pilih tanding.
Aduh, tambah malu saya.
Namun, malu dan
ragu itu, akhirnya kalah juga oleh kebutuhan saya “meng-ada”, bereksistensi.
Ya, pentas di Tasik ini sama sekali bukan kami tujukan untuk cari untung.
Buntung pun tak apa. Saya pribadi punya kebutuhan eksistensi. Dan untungnya,
Rika dan Salim bisa memahami itu dan setuju untuk pentas. Meski saya pemimpin
produksi dan ketua Gardu Teater, namun keputusan-keputusan vital kami ambil
secara kolektif kolegial.
Malam itu, saya
tidak sempat menonton Rika bermain sebab Maryam menangis karena ngantuk. Saya
membawa Maryam keluar menjauh agar tangisannya tak mengganggu kekhidmatan. Usai
Rika bermain, Maryam saya serahkan padanya dan saya pun siap-siap pentas.
Untuk pentas di
Tasik, saya mempersiapkan diri secara lebih khusus. Saya teringat ajaran guru
saya, Gusjur Mahesa, juga Toni Lesmana, tentang berpuasa untuk sebuah tujuan.
Ya, Mas Gusjur pernah mengajarkan untuk berpuasa selama tiga hari sebelum
pertunjukan. Kang Toni pun demikian. Saya murid yang buruk, tak patuh ajaran
guru. Namun, menjelang pentas di Tasik, saya niatkan peristiwa pertunjukan itu sebagai sebuah upacara sakral,
ritus. Tentu harus kudus, setidaknya buat saya sendiri. Makanya saya tirakat, puasa,
sekaligus sebagai upaya detoksifikasi tubuh.
Dan, lagi-lagi,
subhanallah. Walau banyak kendala teknis diluar yang saya sangka, namun saya menikamti
permainan saya dengan kenikmatan yang lain dari pernah saya rasakan sebelumnya.
Semua itu: tangis Maryam, air termos yang dingin, samping yang terlempar ke
penonton, dan segala hal diluar sangkaan saya itu, saya anggap bagian dari
ritus yang memang harus begitu adanya.
Terimakasih
Atas nama
pribadi, saya menghaturkan terimakasih pada Rika R. Johara, seniman teater yang
juga istri saya yang luar biasa, yang telah banyak membantu saya agar jadi
lebih baik dalam banyak hal. Juga Dadan Sudrajat alias Salim, padanya saya
belajar ketekunan, totalitas, dan kerelaan. Terimakasih.
Saya
menghaturkan terimakasih pula pada Kang Deri Hudaya yang telah menerjemahkan
naskah saya. Mas Ebel (Dani Djamaluddin) yang telah menata musik untuk pertunjukan
Rika, atas nama kelompok saya haturkan terimakasih. Pada Fikar yang telah
banyak sekali membantu, khususnya di Baregbeg dan Tasik.
Atas nama
pribadi dan kelompok, kepada Hari Jauhari, pemilik percetakan Eldesign
Cihaurbeuti, saya ngutang
kaos, sertifikat, banner, dan tiket,
terimakasih atas kepercayaannya. Juga pada kakak saya, Amelia Mustaqima dan
suaminya Mas Imam, terimakasih banyak telah meminjamkan modal awal buat
pertunjukan kami.
Pada keluarga
besar Bi Utin, kami ucapkan hatur nuhun.
Mereka yang telah meminjamkan ranjang tua itu. Pada Kang Godi Suwarna dan Teh Neng,
hatur nuhun. Dari mereka kami
meminjam lampu dan kain hitam. Kiki Baehaqi, terimakasih telah meminjamkan mobil
untuk mengangkut barang-barang kami dari Panjalu ke Ciamis.
Selama pentas
keliling ini, set dan semua perlengkapan kami disimpan di kediaman Kang Toni
dan Teh Wida di Kedungpanjang, Ciamis. Untuk semua kebaikan dan dukungan mereka
selama ini, kami haturkan terimakasih.
Dan terimakasih
yang luar biasa pada seluruh warga dusun Cidahu desa Ciomas kecamatan Panjalu,
Ciamis yang telah mengapresiasi pertunjukan kami. Juga kepada Teh Tini dan Bi
Didih yang membantu mempersiapkan pertunjukan kami di Rumah Gardu. Pada Pak
Kepada Dusun yang telah mengumumkan kabar kegiatan kami di mesji RT 18,
terimakasih kami haturkan.
Kepada mitra-mitra
kami: Pak Daday (SMAN 1 Lumbung), Bu IIs Wiga (SMAN 1 Baregbeg), Teh Yuli (MA
PUI Cijantung), A Anggie (SMAN 1 Pamarican), Kang Deni Weje, Bobi, Umay, Iing,
Inuy, dan kawan-kawan lain dari Sakola Motekar (Lembur Kaulinan Cibunar), Kang
Jaro X Yus (UNIGAL) yang juga telah meminjamkan kain hitamnya, pada mereka
semua, dan nama-nama lain yang akan sangat panjang jika saya sebut satu per
satu, kami haturkan terimakasih sebesar-besarnya.
Pada kawan-kawan
di Tasikmalaya: Guru Ab Asmarandana, untuk semua kebaikan dan ilmunya, kami
ucapkan terimakasih. Juga Mas Citul, Mas Fahrul, A Teguh, Dodoy, Epul, Kang Dwi
dari Yayasan Ngaos Art, kami haturkan terimakasih banyak. Pada Kang Aan LESBUMI Kota Tasikmalaya, terimakasih telah menyilakan Gedung NU kami gunakan sebagai ruang ritus.
Dan pada seluruh
penonton yang telah mengapresiasi monolog kami, terimakasih sebanyak-banyaknya
kami ucapkan. Semoga perjumpaan kita menjadi jalan turunnya berkah.
Secara khusus,
saya pribadi hendak mengahaturkan terimakasih teriring do’a pada orang-orang
yang telah lebih dulu meninggalkan alam fana ini yang menginspirasi saya,
khususnya dalam penciptaan naskah “Boéh”: Ayah dan Ibu saya, Kang Apuy, Arya,
Ruri, Lela, Teh Omih, Mang Wiwin, Mang Iding, semoga bahagia di alam baka. Alfaatihah.
Semoga segala
yang telah kami lakukan dapat menjadi kebaikan bagi kami sendiri, orang lain,
dan semesta.
keterangan gambar: potret di SMAN 1 Pamarican (oleh Anggie Agustiana Kabie, M. Pd.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar