Urang Sunda umumnya suka guyon. Meski
demikian, The Secretary Of Hereen Zeventien yang telah diamankan Polda Jabar
itu bukan termasuk guyonan urang Sunda.
Saya sangka, ia orang dengan imajinasi tinggi yang menyalurkan kelebihannya di
saluran yang kurang tepat. Akhirnya bikin geger dan marah. Kan, jadinya
ditangkap polisi. Kalau saja imajinasi itu disalurkan jadi novel atau film,
pasti bakal laku keras.
Guyoan itu—atau
sebut saja komedi—banyak macamnya. Saya bukan ahli komedi, jadi kurang paham
macam ragam komedi yang ada di dunia. Di Sunda saja, ada macam-macam jenis dan
gaya yang bisa memantik tawa. Cawokah,
salah satunya.
Untuk memudahkan
pengistilahan, dalam tulisan ini mari bersepakat untuk menyebut cawokah sebagai
salah satu ragam komedi yang ada
dalam budaya Sunda.
Bagi yang pernah
tinggal di tengah masyarakat Sunda, tidak sukar menemukan sekelompok orang yang
asik bercanda ria membincangkan pengalamanan hubungan seksual, ukuran alat
kelamin, atau hal-hal “ngeres” lainnya. Oleh sebagian orang, hal demikian itu
sering dianggap tabu untuk diperbincangkan di depan umum. Tapi bagi sebagian
lain, percakapan “ngeres” itu bisa jadi guyonan ringan yang memancing tawa (bukan
libido).
Urang Sunda mungkin masuk kategori “sebagian
orang” yang kedua, yang menjadikan hal ihwal seksualitas sebagai salah satu
bahan guyonan. Bukan saja percakapan santai di warung kopi atau di sela-sela
kerja sawah dan ladang, ragam komedi ini pun umum diselipkan dalam pertunjukan
wayang golek, calung, réog, bahkan ceramah keagamaan. Bahkan tak jarang,
alih-alih diselipkan, bodor cawokah menguasai sebagian besar materi
pertunjukan.
Ketika mendengar
alat kelamin, status perkawinan, hubungan seksual, atau hal ihwal ketubuhan
lain diolok-olok, bukannya tersinggung atau risih, sebagian besar urang Sunda itu malah terkekeh-kekeh,
seolah menertawakan diri mereka sendiri.
“Yeuh, nagaya, ngabéjaan wé kuring mah.
Pangabisa sinden mah bisa ditempo tina carana nyekel mik. Lamun nyekel mikna
ukur ku curuk jeung jempol, jiga nu nyeumpal bala-bala panas, bari éta mik
anggang tina biwir, héjo kénéh. Kurang jam terbang. Sieun kénéh ku mik. Lamun mikna
dikeupeul bari jeung diatelkeun kana biwir, tah éta geus asak. Keur
meumeujeuhna. Biasana anyar kawin sinden nu kieu mah. Lamun dikeupeul bari
dikolomoh, cirining lila teuing teu manggih mik. Sinden teu payu nu kieu mah,
langka manggung. Matak sakalina manggih mik, bébéakan meupeuskeun kasono.”
(Nih, nayaga
(penabuh gamelan), aku cuma mau kasih tahu. Kemampuan Sinden itu bisa dilihat
dari caranya memegang mik. Kalau miknya dipegang cuma pakai telunjuk dan
jempol, seperti memegang bakwan panas, dan mik itu tak ditempelkannya ke bibir,
masih hijau dia. Kurang jam terbang. Masih takut sama mik. Kalau miknya
digenggam dan ditempelkan ke bibir, nah itu sudah matang. Lagi masa-masanya.
Biasanya sinden macam ini baru menikah. Kalau digenggam sambil dikulum,
tandanya terlalu lama dia ngga ketemu
mik. Sinden ngga laku, jarang pentas.
Makanya, sekalinya ketemu mik, habis-habisan dia memecah rindu.)
Kesampingkanlah
kemampuan berbahasa Sunda saya yang buruk, juga kemampuan penerjemahan saya
yang sangat memaksakan. Anggaplah itu contoh bodor cawokah yang umum ada dalam pertunjukan wayang golek. Kemampuan dalam konteks di atas bukan
perkara kemampuan menyanyi seorang sinden. Demikian pula mik bukan bermakna
pengeras suara (mikrofon). Pembaca usia dewasa barangkali paham arah guyonan
itu.
Meski demikian
cair, adab tetap ada. Tidak di tiap kesempatan guyon macam ini bisa dilakukan. Siapa
bicara pada siapa dan dalam kondisi apa, itu tentu jadi pertimbangan. Ketika seorang
Dedi Mulyadi bermaksud bercawokah ria
di atas panggung Spritual Bambu Festival di Purwakarta pada malam pergantian
tahun Desember lalu, bukannya mematik tawa, ia malah dibanjiri kecamaman justru
dari kalangan seniman Sunda. Dengan lawan main seorang komedian perempuan, alih-alih
cawokah, kata-kata yang meluncur dari
mulut mantan Bupati Purwakarta dua periode itu dinilai merendahkan perempuan.
Pada praktiknya,
antara cawokah, body shaming, dan porno memang acap kali ditukar-tukar. Seseorang dengan
niat menggoda atau merangsang birahi lawan bicaranya, sering kali bersembunyi
dibalik cawokah—sebagai kearifan
lokal dan ciri khas urang Sunda—tatkala
ia ditegur atau diperingatkan. Saya kira, ini yang keliru.
Cawokah, sebagai sebuah kearifan lokal,
punya keterbatasan. Batasnya bukan wilayah administratif atau teritorial, namun
batasan budaya yang tentu saja abstrak. Boleh jadi bobodoran cawokah bisa diterima dan dinikmati dengan baik oleh
orang non-Sunda yang ternyata punya kesamaan dalam hal selera humor dengan urang Sunda. Tetapi, urang
Sunda yang lain boleh jadi malah merasa risih mendengar kawan sebangsanya
berguyon “ngeres” macam itu sebab meski ia bangsa Sunda namun alam pikirnya
sudah sangat Eropa atau sangat Arab, umpamanya. Kan, jadi tak nyambung. Frekuensinya
beda.
Komedi memang
demikian relatif. Saya susah tertawa melihat Mpo Alpa di OVJ yang dihipnosis
agar bertingkah diluar kewajaran. Tetapi kawan saya yang lain merasa asik saja
dan terpingkal-pingkal dibuatnya. Sebaliknya, saya bisa tertawa lepas tatkala
menyaksikan Cepot dalam wayang golek, sedang teman di samping saya yang
sama-sama urang Sunda, bergeming saja
sebab menurutnya bodor itu tak lucu
dan menciderai sopan santun.
Otokritik
Sebenarnya, tulisan
ini saya maksudkan selain sebagai ungkapan “kepenasaranan” atas cawokah, juga sebagai semacam evaluasi
atau otokritik terhadap tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Menertawakan Mpo
Alfa OVJ, Absurdisme, Cawokah, Dan Lain-Lain” yang saya unggah pada 3 Januari
2020. Pada alinea ke delapan dan sembilan, saya menulis:
“Humor-humor
seksis acap kali menjadikan perempuan sebagai objek, tak terkecuali cawokah.
Namun, entah mengapa, ibu-ibu pengajian bisa terpingkal-pingkal mendengar tubuh
dan seksualitas mereka sendiri diolok-olok.
Kaum Adam
apalagi. Di balik keras tawa mereka, mungkin ada rasa puas yang lamat-lamat
sebab, sekali lagi, perempuan menjadi objek, subordinat terhadap laki-laki. Dan
itu artinya kemenangan patriarki. Ini barangkali tidak disadari sebab sudah
menjadi bagian dari kelaziman dan ke(tak)sadaran (?).”
Setelah saya berbincang
dengan seorang komika dan beberapa senior sastrawan Sunda, pandangan saya tentang
cawokah agaknya perlu dievaluasi. Salah
satu hal baru yang saya sadari adalah bahwa objek cawokah bukan hanya tubuh dan seksualitas perempuan, namun
laki-laki juga.
Jika ibu-ibu
jumpa di warung, salah satu yang berpotensi mereka bicarakan adalah hal ihwal
tubuh laki-laki. Itu menurut kesaksian salah seorang senior saya yang berjenis
kelamin perempuan. Rumah tempatnya tinggal dulu, juga adalah warung yang tiap
hari didatangi pembeli dari kaum ibu-ibu.
Saya juga jadi
teringat kawan-kawan saya semasa kuliah dulu. Saya pernah kuliah mengambil
kelas karyawan. Jadwal kuliahnya tiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Nah,
percakapan Jumat siang sembari menunggu dosen tiba, pasti menyangkut paut “sunnah
malam Jumat”. Maklum saja, sebagian besar kawan kuliah saya adalah ibu-ibu muda
dan bapak-bapak anak satu.
Yang sering (dan
berani) memulai percakapan “ngeres” itu adalah kawan-kawan saya kaum ibu-ibu.
Mereka yang acap kali memantik percakapan hingga yang lain menimpali dengan
kisah “ngeres” yang lain. Saya dan beberapa kawan lain yang waktu itu belum
menikah, asik saja menyimak “sex
edutainment” gratis.
Nah, disebabkan
hal-hal itu, saya merasa musti mengevaluasi dan mengoreksi pandangan saya
tentang (tubuh) perempuan sebagai objek cawokah.
Ternyata, ya, sama saja. Tidak ada yang lebih “diobjekkan” ketimbang yang lain.
Baik perempuan maupun laki-laki, sama-sama menjadi objek bagi lawan jenis
kelaminnya.
Jika ada anggapan
bahwa kaum laki-laki lebih cawokah
ketimbang perempuan, saya kira itu lebih dikarenakan laki-laki lebih “percaya
diri” menyampaikannya di ruang publik sebab ia memang mendominasi ruang itu. Nah,
kalau soal kepercayaan diri dan dominasi ruang publik ini, besar kemungkinan akarnya memang budaya patriarki.
Persepsi
Tubuh
Akhirya, rasa
penasaran saya pada cawokah mengantar
saya pada pertanyaan mendasar: bagaimana (masyarakat dan/atau budaya) Sunda mempersepsi
tubuh?
Tubuh dan seksualitas
dijadikan bahan guyonan. Baik penutur maupun penyimak merasa hal itu lumrah dan
bahkan jadi kebutuhan: jika tidak mengolok-olok tubuh dan seksualitas, rasanya
ada yang kurang. Hal ini muskil datang dari persepsi tubuh a la Barat abad pertengahan yang dominan dipengaruhi Kristianisme, misalnya.
Selera dan gaya humor
tidak muncul ujug-ujug. Apalagi humor dalam konteks kearifan lokal, ia pasti
lahir dari suatu sistem ide yang di dalamnya terdapat juga sistem nilai. Bagaimana
tubuh dinilai oleh suatu (pandangan) kebudayaan akan tercermin lewat
manisfestasinya yang lebih real.
Umpamanya saja
Hindustan Kuno. Teks Brhadaranyaka Upanishad dan Kama Sutra banyak memberi
informasi tentang bagaimana kebudayaan Hindu memandang tubuh dan seksulitas. Tubuh
dipandang bukan sebagai instrumen pelestari spesies semata, namun lebih dari
itu.
Kepuasan tubuh
dan kenikmatan seksual adalah tahap menuju moksa,
puncak tujuan hidup dalam filsafat Hindu. Seks adalah salah satu bentuk darma. Karenanya,
relief-relief posisi dan gaya berhubungan intim yang terpahat jelas di komplek
candi Khajuraho di India tidaklah dipandang sebagai pornografi. Ia justru
bernilai religius dan spiritual, selain tentu saja erotic art.
Jepang juga
punya kisahnya sendiri terikait seks dan tubuh. Setiap tahun pada hari Minggu
pertama bulan April, kuil Kanayama di kota Kawasaki rutin mengadakan Kanamara
Matsuri atau Hari Alat Kelamin Pria. Pada hari itu, banyak makanan dan
benda-benda yang sengaja dibuat berbentuk penis. Yang monumental, ada tiga
patung penis raksasa yang diarak keliling kota. Semua ini dilakukan sebagai
penghormatan terhadap alat kelamin dan kesuburan pria. Kegiatan ini bertaut
erat dengan mitos dan kepercayaan agama Shinto.
Selain dua yang
saya sebut di atas, masih banyak budaya lain, khususnya di Timur, yang
mempersepsikan tubuh dan seksulitas sedemikian rupa sehingga lebih “terbuka”
dan “berani” mengekspresikannya.
Lantas bagaimana
budaya Sunda mempersepsikan tubuh dan seksualitas sehingga cawokah dipandang sebagai suatu kelaziman? (Sebagian bahkan mengatakannya
sebagai ciri khas urang Sunda, suatu
kearifan lokal.)
Saya sendiri
masih belum tahu. Adakah kawan yang bisa kasih pencerahan?
Panjalu,
31 Januari 2020
sumber gambar: https://www.boombastis.com/candi-erotis-india/70092
Tidak ada komentar:
Posting Komentar