Sabtu, 01 Februari 2020

Cawokah Dan Persepsi Tubuh


Urang Sunda umumnya suka guyon. Meski demikian, The Secretary Of Hereen Zeventien yang telah diamankan Polda Jabar itu bukan termasuk guyonan urang Sunda. Saya sangka, ia orang dengan imajinasi tinggi yang menyalurkan kelebihannya di saluran yang kurang tepat. Akhirnya bikin geger dan marah. Kan, jadinya ditangkap polisi. Kalau saja imajinasi itu disalurkan jadi novel atau film, pasti bakal laku keras.  

Guyoan itu—atau sebut saja komedi—banyak macamnya. Saya bukan ahli komedi, jadi kurang paham macam ragam komedi yang ada di dunia. Di Sunda saja, ada macam-macam jenis dan gaya yang bisa memantik tawa. Cawokah, salah satunya.

Untuk memudahkan pengistilahan, dalam tulisan ini mari bersepakat untuk menyebut cawokah sebagai salah satu ragam komedi yang ada dalam budaya Sunda.  

Bagi yang pernah tinggal di tengah masyarakat Sunda, tidak sukar menemukan sekelompok orang yang asik bercanda ria membincangkan pengalamanan hubungan seksual, ukuran alat kelamin, atau hal-hal “ngeres” lainnya. Oleh sebagian orang, hal demikian itu sering dianggap tabu untuk diperbincangkan di depan umum. Tapi bagi sebagian lain, percakapan “ngeres” itu bisa jadi guyonan ringan yang memancing tawa (bukan libido).

Urang Sunda mungkin masuk kategori “sebagian orang” yang kedua, yang menjadikan hal ihwal seksualitas sebagai salah satu bahan guyonan. Bukan saja percakapan santai di warung kopi atau di sela-sela kerja sawah dan ladang, ragam komedi ini pun umum diselipkan dalam pertunjukan wayang golek, calung, réog, bahkan ceramah keagamaan. Bahkan tak jarang, alih-alih diselipkan, bodor cawokah menguasai sebagian besar materi pertunjukan.

Ketika mendengar alat kelamin, status perkawinan, hubungan seksual, atau hal ihwal ketubuhan lain diolok-olok, bukannya tersinggung atau risih, sebagian besar urang Sunda itu malah terkekeh-kekeh, seolah menertawakan diri mereka sendiri.
  
Yeuh, nagaya, ngabéjaan wé kuring mah. Pangabisa sinden mah bisa ditempo tina carana nyekel mik. Lamun nyekel mikna ukur ku curuk jeung jempol, jiga nu nyeumpal bala-bala panas, bari éta mik anggang tina biwir, héjo kénéh. Kurang jam terbang. Sieun kénéh ku mik. Lamun mikna dikeupeul bari jeung diatelkeun kana biwir, tah éta geus asak. Keur meumeujeuhna. Biasana anyar kawin sinden nu kieu mah. Lamun dikeupeul bari dikolomoh, cirining lila teuing teu manggih mik. Sinden teu payu nu kieu mah, langka manggung. Matak sakalina manggih mik, bébéakan meupeuskeun kasono.

(Nih, nayaga (penabuh gamelan), aku cuma mau kasih tahu. Kemampuan Sinden itu bisa dilihat dari caranya memegang mik. Kalau miknya dipegang cuma pakai telunjuk dan jempol, seperti memegang bakwan panas, dan mik itu tak ditempelkannya ke bibir, masih hijau dia. Kurang jam terbang. Masih takut sama mik. Kalau miknya digenggam dan ditempelkan ke bibir, nah itu sudah matang. Lagi masa-masanya. Biasanya sinden macam ini baru menikah. Kalau digenggam sambil dikulum, tandanya terlalu lama dia ngga ketemu mik. Sinden ngga laku, jarang pentas. Makanya, sekalinya ketemu mik, habis-habisan dia memecah rindu.)   

Kesampingkanlah kemampuan berbahasa Sunda saya yang buruk, juga kemampuan penerjemahan saya yang sangat memaksakan. Anggaplah itu contoh bodor cawokah yang umum ada dalam pertunjukan wayang golek. Kemampuan dalam konteks di atas bukan perkara kemampuan menyanyi seorang sinden. Demikian pula mik bukan bermakna pengeras suara (mikrofon). Pembaca usia dewasa barangkali paham arah guyonan itu.

Meski demikian cair, adab tetap ada. Tidak di tiap kesempatan guyon macam ini bisa dilakukan. Siapa bicara pada siapa dan dalam kondisi apa, itu tentu jadi pertimbangan. Ketika seorang Dedi Mulyadi bermaksud bercawokah ria di atas panggung Spritual Bambu Festival di Purwakarta pada malam pergantian tahun Desember lalu, bukannya mematik tawa, ia malah dibanjiri kecamaman justru dari kalangan seniman Sunda. Dengan lawan main seorang komedian perempuan, alih-alih cawokah, kata-kata yang meluncur dari mulut mantan Bupati Purwakarta dua periode itu dinilai merendahkan perempuan.

Pada praktiknya, antara cawokah, body shaming, dan porno memang acap kali ditukar-tukar. Seseorang dengan niat menggoda atau merangsang birahi lawan bicaranya, sering kali bersembunyi dibalik cawokah—sebagai kearifan lokal dan ciri khas urang Sunda—tatkala ia ditegur atau diperingatkan. Saya kira, ini yang keliru.

Cawokah, sebagai sebuah kearifan lokal, punya keterbatasan. Batasnya bukan wilayah administratif atau teritorial, namun batasan budaya yang tentu saja abstrak. Boleh jadi bobodoran cawokah bisa diterima dan dinikmati dengan baik oleh orang non-Sunda yang ternyata punya kesamaan dalam hal  selera humor dengan urang Sunda. Tetapi, urang Sunda yang lain boleh jadi malah merasa risih mendengar kawan sebangsanya berguyon “ngeres” macam itu sebab meski ia bangsa Sunda namun alam pikirnya sudah sangat Eropa atau sangat Arab, umpamanya. Kan, jadi tak nyambung. Frekuensinya beda.

Komedi memang demikian relatif. Saya susah tertawa melihat Mpo Alpa di OVJ yang dihipnosis agar bertingkah diluar kewajaran. Tetapi kawan saya yang lain merasa asik saja dan terpingkal-pingkal dibuatnya. Sebaliknya, saya bisa tertawa lepas tatkala menyaksikan Cepot dalam wayang golek, sedang teman di samping saya yang sama-sama urang Sunda, bergeming saja sebab menurutnya bodor itu tak lucu dan menciderai sopan santun.

Otokritik
Sebenarnya, tulisan ini saya maksudkan selain sebagai ungkapan “kepenasaranan” atas cawokah, juga sebagai semacam evaluasi atau otokritik terhadap tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Menertawakan Mpo Alfa OVJ, Absurdisme, Cawokah, Dan Lain-Lain” yang saya unggah pada 3 Januari 2020. Pada alinea ke delapan dan sembilan, saya menulis:

“Humor-humor seksis acap kali menjadikan perempuan sebagai objek, tak terkecuali cawokah. Namun, entah mengapa, ibu-ibu pengajian bisa terpingkal-pingkal mendengar tubuh dan seksualitas mereka sendiri diolok-olok.

Kaum Adam apalagi. Di balik keras tawa mereka, mungkin ada rasa puas yang lamat-lamat sebab, sekali lagi, perempuan menjadi objek, subordinat terhadap laki-laki. Dan itu artinya kemenangan patriarki. Ini barangkali tidak disadari sebab sudah menjadi bagian dari kelaziman dan ke(tak)sadaran (?).”

Setelah saya berbincang dengan seorang komika dan beberapa senior sastrawan Sunda, pandangan saya tentang cawokah agaknya perlu dievaluasi. Salah satu hal baru yang saya sadari adalah bahwa objek cawokah bukan hanya tubuh dan seksualitas perempuan, namun laki-laki juga.

Jika ibu-ibu jumpa di warung, salah satu yang berpotensi mereka bicarakan adalah hal ihwal tubuh laki-laki. Itu menurut kesaksian salah seorang senior saya yang berjenis kelamin perempuan. Rumah tempatnya tinggal dulu, juga adalah warung yang tiap hari didatangi pembeli dari kaum ibu-ibu.

Saya juga jadi teringat kawan-kawan saya semasa kuliah dulu. Saya pernah kuliah mengambil kelas karyawan. Jadwal kuliahnya tiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Nah, percakapan Jumat siang sembari menunggu dosen tiba, pasti menyangkut paut “sunnah malam Jumat”. Maklum saja, sebagian besar kawan kuliah saya adalah ibu-ibu muda dan bapak-bapak anak satu.

Yang sering (dan berani) memulai percakapan “ngeres” itu adalah kawan-kawan saya kaum ibu-ibu. Mereka yang acap kali memantik percakapan hingga yang lain menimpali dengan kisah “ngeres” yang lain. Saya dan beberapa kawan lain yang waktu itu belum menikah, asik saja menyimak “sex edutainment” gratis.

Nah, disebabkan hal-hal itu, saya merasa musti mengevaluasi dan mengoreksi pandangan saya tentang (tubuh) perempuan sebagai objek cawokah. Ternyata, ya, sama saja. Tidak ada yang lebih “diobjekkan” ketimbang yang lain. Baik perempuan maupun laki-laki, sama-sama menjadi objek bagi lawan jenis kelaminnya.

Jika ada anggapan bahwa kaum laki-laki lebih cawokah ketimbang perempuan, saya kira itu lebih dikarenakan laki-laki lebih “percaya diri” menyampaikannya di ruang publik sebab ia memang mendominasi ruang itu. Nah, kalau soal kepercayaan diri dan dominasi ruang publik ini, besar  kemungkinan akarnya memang budaya patriarki.

Persepsi Tubuh
Akhirya, rasa penasaran saya pada cawokah mengantar saya pada pertanyaan mendasar: bagaimana (masyarakat dan/atau budaya) Sunda mempersepsi tubuh?

Tubuh dan seksualitas dijadikan bahan guyonan. Baik penutur maupun penyimak merasa hal itu lumrah dan bahkan jadi kebutuhan: jika tidak mengolok-olok tubuh dan seksualitas, rasanya ada yang kurang. Hal ini muskil datang dari persepsi tubuh a la Barat abad pertengahan yang dominan  dipengaruhi Kristianisme, misalnya.

Selera dan gaya humor tidak muncul ujug-ujug. Apalagi humor dalam konteks kearifan lokal, ia pasti lahir dari suatu sistem ide yang di dalamnya terdapat juga sistem nilai. Bagaimana tubuh dinilai oleh suatu (pandangan) kebudayaan akan tercermin lewat manisfestasinya yang lebih real.

Umpamanya saja Hindustan Kuno. Teks Brhadaranyaka Upanishad dan Kama Sutra banyak memberi informasi tentang bagaimana kebudayaan Hindu memandang tubuh dan seksulitas. Tubuh dipandang bukan sebagai instrumen pelestari spesies semata, namun lebih dari itu.

Kepuasan tubuh dan kenikmatan seksual adalah tahap menuju moksa, puncak tujuan hidup dalam filsafat Hindu. Seks adalah salah satu bentuk darma. Karenanya, relief-relief posisi dan gaya berhubungan intim yang terpahat jelas di komplek candi Khajuraho di India tidaklah dipandang sebagai pornografi. Ia justru bernilai religius dan spiritual, selain tentu saja erotic art.

Jepang juga punya kisahnya sendiri terikait seks dan tubuh. Setiap tahun pada hari Minggu pertama bulan April, kuil Kanayama di kota Kawasaki rutin mengadakan Kanamara Matsuri atau Hari Alat Kelamin Pria. Pada hari itu, banyak makanan dan benda-benda yang sengaja dibuat berbentuk penis. Yang monumental, ada tiga patung penis raksasa yang diarak keliling kota. Semua ini dilakukan sebagai penghormatan terhadap alat kelamin dan kesuburan pria. Kegiatan ini bertaut erat dengan mitos dan kepercayaan agama Shinto.

Selain dua yang saya sebut di atas, masih banyak budaya lain, khususnya di Timur, yang mempersepsikan tubuh dan seksulitas sedemikian rupa sehingga lebih “terbuka” dan “berani” mengekspresikannya.

Lantas bagaimana budaya Sunda mempersepsikan tubuh dan seksualitas sehingga cawokah dipandang sebagai suatu kelaziman? (Sebagian bahkan mengatakannya sebagai ciri khas urang Sunda, suatu kearifan lokal.)

Saya sendiri masih belum tahu. Adakah kawan yang bisa kasih pencerahan?

Panjalu, 31 Januari 2020
 
keterangan gambar: relief di kompek candi Khajuraho, India
sumber gambar: https://www.boombastis.com/candi-erotis-india/70092

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...