“Benarkah agama itu restu bagi manusia?
Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri, dengan bimbang hati. Agama harus
menjaga kita daripada berbuat dosa. Tetapi berapa banyaknya dosa yang diperbuat
orang atas nama agama itu.”
(Habis Gelap Terbitlah Terang—surat R. A.
Kartini pada Stella Zeehandelar tanggal 6 November 1899)
Bicara agama
selalu seksi, ngeri-ngeri sedap. Agama sangat lekat dengan kehidupan masyarakat
Indonesia. Makanya, isu agama pasti dijadikan amunisi menjelang pemilu sebab cukup
ampuh mendulang suara.
Dua pertunjukan
monolog yang dipentaskan dalam kegiatan Arisan Teater pada Rabu, 5 Februari
2020 bertempat di SMA/SMK Pasundan 2 Tasikmalaya konon tidak bersepakat untuk
mengangkat atau setidaknya menyingung-nyinggung hal ihwal agama. Namun, baik
Tatang Pahat yang membawakan “Sepotong Kayu” karya Nazarudin Azhar maupun Kiki
Ihsan Pauji yang membawakan “Sang Mualaf” karya Yusef Muldiyana sama-sama
menyinggung agama dalam pertunjukannya.
Tatang Pahat dapat
giliran pertama. Monolog yang dimainkannya berkisah tentang perjalanan seseorang
yang dianggap gila, tepatnya ringkasan cerita perjalanan sedari ia lahir hingga
saat itu ia bercerita.
Setnya sebuah
penjara, disimbolkan dengan 4 bilah bambu yang menjulang hingga ke langit-langit.
Di kiri-belakang, bingkai merah tergantung miring. Tepat di tengah-belakang,
sebuah level tergeletak, menanjak ke arah belakang.
Seseorang
berpeci hitam berbaju kusam bersenandung tentang kesepian. Kakinya pincang.
Wajahnya pucat. Entah sudah berapa lama ia di sana. Yang jelas, ia ditangkap
pada suatu malam atas tuduhan penganiayaan seorang tokoh agama, tindakan yang
sebenarnya tak pernah ia lakukan.
Sebagaimana kebanyakan
monolog, pertunjukan berdurasi 30 menitan ini beralur mundur: dari sekarang (present) melompat ke masa lalu (past) dan maju mengalir ke masa sekarang
(present). Alurnya kronologis namun
fragmentatif.
Orang gila ini
bercerita bahwa ia dilahirkan di sebuah lokalisasi prostitusi dari rahim
seorang PSK. Nasib membawanya akrab dengan jalanan. Ibunya meninggal sementara
ia tak tahu siapa ayahnya. Tiap kali berjumpa seorang lelaki, dipanggilnya
lelaki itu ayah. Aduh. Ini jelas sebuah kritik yang jenaka namun menusuk. Mau tak
mau, terima atau tak terima, kondisi ini nyata dan merupakan “anak kandung
masyarakat”.
Nahas. Tempat kelahiran
orang gila itu digeruduk massa “bersorban putih”. Ya, tentu. Kita sama-sama
tahu apa maksud istilah dalam tanda petik itu. Yang paradoks adalah ucapan
tokoh itu yang menyatakan bahwa di “tempat bejat” itu, yang digeruduk massa “bersorban
putih” itu, masih ada seorang yang mulia, yakni ibunya. Yang bejat dan yang
mulia berkelindan. Ibu bagi si gila dan PSK dari kaca mata yang lain adalah
tubuh yang satu, sang perempuan yang
itu-itu juga. Betapa realitas itu penuh warna, tak sesederhana hitam dan putih
belaka.
Pengalamannaya “tabrakan”
dengan “agama” bukan sekali itu saja. Sekali waktu ia pernah diusir dari sebuah
mesjid karena tubuh dan pakaiannya dekil lagi bau padahal ia hendak wudhu dan
sembahyang. Ironis. Akhirnya ia “menemui” Tuhan di jalanan, bukan di
“rumah-Nya” yang serba megah namun tak ramah itu.
Bukan cuma itu. Suatu
malam ia menolong seorang tua yang roboh di depan sebuah mesjid. Kepala bapak
tua itu bocor, darah mengalir. Orang-orang berhamburan dari dalam mesjid:
menyerbu dan memukuli si gila seraya menghardik “PKI! PKI!” Tanpa pernah diberi
kesempatan menjelaskan, ia diamankan aparat: mendekam di penjara. Ia dituduh
menganiaya seorang tokoh agama.
Peristiwa ini
mengingatkan kita pada fenomena orang gila di Jawa Barat pada 2018. Ketika itu ramai
diberitakan orang gila yang menyerang dan menganiaya tokoh-tokoh agama tanpa
sebab. Sebagian orang mengaitkannya dengan isu kebangkitan PKI yang memang sedang
hangat menjelang Pilpres 2019.
Kisah pembantaian
tokoh-tokoh agama oleh PKI memang telah menjadi memori kolektif sebagian besar
masyarakat di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Hal ini diabadikan—dan dipropagandakan—oleh
film produksi Orde Baru berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang
disutradarai salah seorang maestro teater Indonesia, Arifin C. Noer.
“Sepotong Kayu”
memang tidak banyak mengupas PKI. Ia hanya menukil bagian kecil dari akibat
sejarah yang tak pernah tuntas digali. Yang kentara jelas justru hal-hal paradoks: yang
bejat dan yang mulia; rumah Tuhan yang tak ramah; pemeluk agama yang gemar main
hakim sendiri; orang gila yang “menjumpai Tuhan” di jalanan, tidakkah itu
cukup sebagai contoh paradoks yang bertaburan sepanjang petunjukan?
Paradoks-paradoks
itu membenam dengan halus, nyaris tak terbaca kecuali dalam kalimat-kalimat
sang tokoh. Visual pertunjukan sama sekali tak memberi celah pembacaan itu. Permainan
Tatang Pahat pun tak mengarah pada hal-hal paradoksal. Yang nampak justru akting
yang “lepas” pada beberapa bagian akibat hapalan teks yang belum tuntas.
Meski minim
unsur musik, pertunjukan ini tak bisa dibilang sederhana. Set dan tata cahaya
memiliki porsi yang cukup berperan sebagai pembentuk ruang imaji meski masih
terbuka kemungkinan untuk dieksplorasi lebih jauh. Minimnya unsur bunyi berupa
musik jadi poin yang cukup menarik. Hal ini dapat mengurangi keutuhan
pertunjukan namun dapat pula menjadi nilai lebih sebagai bagian dari konsep
utuh sang sutradara.
Musik dalam sebuah
pertunjukan teater memungkinkan untuk dikembalikan ke bentuknya yang paling
purba: bunyi. Nyanyian yang dilantunkan sang tokoh di awal dan di akhir pertunjukan
tanpa iringan musik berpotensi menjadi “musik yang berisi”. Selain karena lirik
dan pilihan nada, yang menjadi senjata utama tentu saja kedalaman penghayatan
aktor dalam membawakan lagu ini. Terlebih si tokoh mengatakan bahwa tiap kali
ia sholat, ia bernyanyi. Baginya, bernyanyi adalah sembahyang, adalah ibadah.
Oleh karenanya musti khusyuk dan mendalam.
Akan mengagumkan bila bagian nyanyian di awal dan di
akhir pertunjukan itu dioptimalkan dengan segala instrumen keaktoran, meski
tanpa bantuan bunyi-bunyi lain diluar bunyi tubuh dan jiwanya.
Berbeda dengan “Sepotong
Kayu” yang cenderung padat, lurus, berupaya puitik, dan berusaha setia pada
gagasan realis, “Sang Mualaf” yang tampil kedua cenderung longgar, prosais, dan
condong pada bentuk non-realis. Sebagaimana judulnya, lakon ini mengisahkan
luka-liku perjalanan seorang lelaki menjadi mualaf.
Gustofa Ahmadun
Dirham, namanya. Ia lahir sebagai seorang Hindu Bali. Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah dengan lelaki Buddhis. Ia pindah agama turut suami
dan hijrah ke Jawa, demikian pula Gustofa. Ketika berusia 12, ibu Gustofa
meninggal. Ia dimakamkan secara Hindu sebab anak sulungnya menghendaki itu.
Ayah tiri Gustofa kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan Katholik dan
pindah agama menuruti istrinya. Gustofa turut serta.
Perjalanan agama
Gustofa tak henti di sana. Ia pindah menjadi Protestan lantaran kekasih calon
istrinya seorang Protestan. Agama non-mayoritas itu ternyata tidak banyak
menguntungkan dalam dunia kerja. Gustofa terpaksa keluar kerja lantaran
perusahaan tempatnya bekerja membuat aturan seluruh karyawan musti memeluk agama
mayoritas.
Atas dasar mimpi
yang didapatkannya di tengah kebimbangan antara memilih menjadi mualaf atau di-PHK,
ia mantap menjadi mualaf meski harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Meski
telah mualaf, ia tetap memilih keluar kerja dan pergi ke luar negeri. Di
Teheran, ia mengelola sebuah hotel mewah. Kesempatan itu ia manfaatkan juga
untuk mendalami agama lebih serius.
Setelah sekian
lama, akhirnya ia pulang ke Indonesia dan menjadi pemimpin kelompok teroris.
Sekian aksi bom bunuh diri ia rancang dan perintahkan. Ujungnya, ia sendiri
memutuskan menjadi “pengantin”. Bom tak meledak dan ia diciduk: mendekam di
penjara.
Dengan mengesampingkan
logika cerita yang melompat-lompat dan beberapa data yang janggal, pertunjukan
yang dikemas dalam bentuk non-relias ini justru sangat realis. Maksudnya, kisah
ini sangat mungkin terjadi di alam nyata.
Sepanjang cerita
perpindahan agama itu, yang absen justru aspek spiritual-transendental, hal
yang sangat penting dalam agama. Tokoh dengan
mudah pindah-pindah agama disebabkan hal yang pragmatis, yang duniawi. Meski pindahnya
Gustofa menjadi muslim berdasar mimpi bertemu Yesus Kristus, namun alasan
awalnya lantaran pekerjaan. Pada bagian ini, sedikit saja ia menyinggug tentang
imannya pada Sang Juru Selamat. Selebihnya adalah alasan-alasan pragmatis:
turut serta orang tua, alasan
pernikahan, dan pekerjaan.
Ketika spiritualitas
absen dari para pemeluk agama, banalitas dan dehumanisasi atas nama agama mudah
sekali terjadi. Puncak banalitas Gustofa, yakni tatkala ia melakukan bom bunuh
diri, “digagalkan” dengan mudah oleh “dirinya sendiri”.
Tepat ketika ia
hendak meledakkan diri, Gustofa tetiba berubah menjadi tokoh yang lain. Ini adalah
alienasi kedua. Sebelumnya, alienasi pertama “menginterupsi” tatkala Gustofa
memutuskan menjadi mualaf.
Sebagai tokoh “entah
siapa”, pada alienasi kedua, ia menyampaikan “amanat pertunjukan” secara verbal.
Sayangnya, adegan ini terlalu berdempetan dengan bagian ending: visual penjara dengan Gustofa yang tertidur di atas kubus. Kejutan
terakhir itu kehilangan momentum. Membingungkan.
Sama seperti
lakon yang pertama, lakon berdurasi hampir 1 jam ini berseting penjara. Seluruh
visual pertunjukan dihadirkan melalui proyektor, termasuk jeruji penjara. Di panggung
hanya ada kubus tiga sisi berdimensi sekira 150 x 30 x 60 cm. Kubus itu multifungsi
dengan fungsi dominannya sebagai screen,
medium penampil visual multimedia.
Mengawali pertunjukan,
musik nuansa Bali mengantar kemunculan sang tokoh yang dikisahkan berasal dari
sana. Ini diperkuat dengan aksen Bali yang digunakan Kido, sapaan akrab Kiki. Sayangnya,
konsistensi aksen ini agak terganggu, khususnya ketika menghadapi adegan-adegan
emosional.
Penegasan non-realis
dari pertunjukan ini nampak dari hadirnya upaya alienasi: melompat keluar dari
cerita dan karakter tokoh. Tujuannya untuk memecah kekhusyukan penonton agar
tak larut secara emosional. Bentuk pertunjukan macam ini justru menghendaki
penonton untuk dapat melihat dan menilai laku di panggung secara lebih
objektif.
Dengan demikian,
berbeda dengan drama realis yang menghendaki keterlibatan emosional penonton
dan bertujuan katarsis, dalam drama non-realis macam ini penonton diharap dapat
berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang diangkat di atas pentas
alih-alih tersedot secara emosional.
Jika saja upaya
alienasi tidak hanya mengadalkan perbedaan bahasa dan gaya tutur, boleh jadi
tujuan alienasi ini bisa lebih tepat tercapai.
Dari dua
pertunjukan yang disajikan malam itu, ada beberapa kesamaan. Yang jelas sekali
adalah perkara latar tempat. Keduanya sama-sama berseting penjara. Selain itu,
banyak bagian dari dua pertunjukan ini
yang memainkan tempo yang terlalu lambat. Beberapa adegan “Sang Mualaf” berisi aktor yang bergeming seperti
disorientasi. Sedang “Sepotong Kayu”, beberapa adegannya terkesan kosong atau “lepas”.
Apakah ini gambaran umum kondisi dalam penjara? Atau sesuatu yang lain?
Di luar semua
catatan-catatan itu, kedua aktor ini menampilkan permainan peran yang cukup
meyakinkan. Tatang Pahat memainkan improvisasi yang apik dan cerdas untuk
mengatasi hapalan teks. Sedangkan Kido, business
acting-nya demikian diperhatikan. Kemampuannya berubah-ubah karakter dalam
waktu sekejap patutlah juga diacungi jempol. Jam terbang dan kekayaan batin memang
selalu jujur, menampakkan hasilnya di atas pentas.
Sebagaimana kejujuran
para aktor di atas panggung, barangkali kita juga perlu jujur mengakui bahwa agama masih sering kali membuat gelisah,
sesering ia membuat tenang dan tenteram. Menyaksikan dua monolog itu, dan membaca
tulisan Kartini 121 tahun yang lalu, apakah agama sudah sedemikian
menggelisahkan?
Panjalu, 13 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar