Kamis, 13 Februari 2020

Agama Yang Menggelisahkan: Catatan Dua Monolog Arisan Teater Tasikmalaya

Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri, dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa. Tetapi berapa banyaknya dosa yang diperbuat orang atas nama agama itu.

(Habis Gelap Terbitlah Terang—surat R. A. Kartini pada Stella Zeehandelar tanggal 6 November 1899)

Bicara agama selalu seksi, ngeri-ngeri sedap. Agama sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Makanya, isu agama pasti dijadikan amunisi menjelang pemilu sebab cukup ampuh mendulang suara.
                                                                                                                                   
Dua pertunjukan monolog yang dipentaskan dalam kegiatan Arisan Teater pada Rabu, 5 Februari 2020 bertempat di SMA/SMK Pasundan 2 Tasikmalaya konon tidak bersepakat untuk mengangkat atau setidaknya menyingung-nyinggung hal ihwal agama. Namun, baik Tatang Pahat yang membawakan “Sepotong Kayu” karya Nazarudin Azhar maupun Kiki Ihsan Pauji yang membawakan “Sang Mualaf” karya Yusef Muldiyana sama-sama menyinggung agama dalam pertunjukannya.

Tatang Pahat dapat giliran pertama. Monolog yang dimainkannya berkisah tentang perjalanan seseorang yang dianggap gila, tepatnya ringkasan cerita perjalanan sedari ia lahir hingga saat itu ia bercerita.

Setnya sebuah penjara, disimbolkan dengan 4 bilah bambu yang menjulang hingga ke langit-langit. Di kiri-belakang, bingkai merah tergantung miring. Tepat di tengah-belakang, sebuah level tergeletak, menanjak ke arah belakang.

Seseorang berpeci hitam berbaju kusam bersenandung tentang kesepian. Kakinya pincang. Wajahnya pucat. Entah sudah berapa lama ia di sana. Yang jelas, ia ditangkap pada suatu malam atas tuduhan penganiayaan seorang tokoh agama, tindakan yang sebenarnya tak pernah ia lakukan.

Sebagaimana kebanyakan monolog, pertunjukan berdurasi 30 menitan ini beralur mundur: dari sekarang (present) melompat ke masa lalu (past) dan maju mengalir ke masa sekarang (present). Alurnya kronologis namun fragmentatif.

Orang gila ini bercerita bahwa ia dilahirkan di sebuah lokalisasi prostitusi dari rahim seorang PSK. Nasib membawanya akrab dengan jalanan. Ibunya meninggal sementara ia tak tahu siapa ayahnya. Tiap kali berjumpa seorang lelaki, dipanggilnya lelaki itu ayah. Aduh. Ini jelas sebuah kritik yang jenaka namun menusuk. Mau tak mau, terima atau tak terima, kondisi ini nyata dan merupakan “anak kandung masyarakat”.

Nahas. Tempat kelahiran orang gila itu digeruduk massa “bersorban putih”. Ya, tentu. Kita sama-sama tahu apa maksud istilah dalam tanda petik itu. Yang paradoks adalah ucapan tokoh itu yang menyatakan bahwa di “tempat bejat” itu, yang digeruduk massa “bersorban putih” itu, masih ada seorang yang mulia, yakni ibunya. Yang bejat dan yang mulia berkelindan. Ibu bagi si gila dan PSK dari kaca mata yang lain adalah tubuh yang satu, sang  perempuan yang itu-itu juga. Betapa realitas itu penuh warna, tak sesederhana hitam dan putih belaka.

Pengalamannaya “tabrakan” dengan “agama” bukan sekali itu saja. Sekali waktu ia pernah diusir dari sebuah mesjid karena tubuh dan pakaiannya dekil lagi bau padahal ia hendak wudhu dan sembahyang. Ironis. Akhirnya ia “menemui” Tuhan di jalanan, bukan di “rumah-Nya” yang serba megah namun tak ramah itu.

Bukan cuma itu. Suatu malam ia menolong seorang tua yang roboh di depan sebuah mesjid. Kepala bapak tua itu bocor, darah mengalir. Orang-orang berhamburan dari dalam mesjid: menyerbu dan memukuli si gila seraya menghardik “PKI! PKI!” Tanpa pernah diberi kesempatan menjelaskan, ia diamankan aparat: mendekam di penjara. Ia dituduh menganiaya seorang tokoh agama.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada fenomena orang gila di Jawa Barat pada 2018. Ketika itu ramai diberitakan orang gila yang menyerang dan menganiaya tokoh-tokoh agama tanpa sebab. Sebagian orang mengaitkannya dengan isu kebangkitan PKI yang memang sedang hangat menjelang Pilpres 2019.

Kisah pembantaian tokoh-tokoh agama oleh PKI memang telah menjadi memori kolektif sebagian besar masyarakat di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Hal ini diabadikan—dan dipropagandakan—oleh film produksi Orde Baru berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai salah seorang maestro teater Indonesia, Arifin C. Noer.

“Sepotong Kayu” memang tidak banyak mengupas PKI. Ia hanya menukil bagian kecil dari akibat sejarah yang tak pernah tuntas digali. Yang kentara jelas justru hal-hal paradoks: yang bejat dan yang mulia; rumah Tuhan yang tak ramah; pemeluk agama yang gemar main hakim sendiri; orang gila yang “menjumpai Tuhan” di jalanan, tidakkah itu cukup sebagai contoh paradoks yang bertaburan sepanjang petunjukan?  

Paradoks-paradoks itu membenam dengan halus, nyaris tak terbaca kecuali dalam kalimat-kalimat sang tokoh. Visual pertunjukan sama sekali tak memberi celah pembacaan itu. Permainan Tatang Pahat pun tak mengarah pada hal-hal paradoksal. Yang nampak justru akting yang “lepas” pada beberapa bagian akibat hapalan teks yang belum tuntas.

Meski minim unsur musik, pertunjukan ini tak bisa dibilang sederhana. Set dan tata cahaya memiliki porsi yang cukup berperan sebagai pembentuk ruang imaji meski masih terbuka kemungkinan untuk dieksplorasi lebih jauh. Minimnya unsur bunyi berupa musik jadi poin yang cukup menarik. Hal ini dapat mengurangi keutuhan pertunjukan namun dapat pula menjadi nilai lebih sebagai bagian dari konsep utuh sang sutradara.

Musik dalam sebuah pertunjukan teater memungkinkan untuk dikembalikan ke bentuknya yang paling purba: bunyi. Nyanyian yang dilantunkan sang tokoh di awal dan di akhir pertunjukan tanpa iringan musik berpotensi menjadi “musik yang berisi”. Selain karena lirik dan pilihan nada, yang menjadi senjata utama tentu saja kedalaman penghayatan aktor dalam membawakan lagu ini. Terlebih si tokoh mengatakan bahwa tiap kali ia sholat, ia bernyanyi. Baginya, bernyanyi adalah sembahyang, adalah ibadah. Oleh karenanya musti khusyuk dan mendalam.

Akan mengagumkan bila bagian nyanyian di awal dan di akhir pertunjukan itu dioptimalkan dengan segala instrumen keaktoran, meski tanpa bantuan bunyi-bunyi lain diluar bunyi tubuh dan jiwanya. 

Berbeda dengan “Sepotong Kayu” yang cenderung padat, lurus, berupaya puitik, dan berusaha setia pada gagasan realis, “Sang Mualaf” yang tampil kedua cenderung longgar, prosais, dan condong pada bentuk non-realis. Sebagaimana judulnya, lakon ini mengisahkan luka-liku perjalanan seorang lelaki menjadi mualaf.

Gustofa Ahmadun Dirham, namanya. Ia lahir sebagai seorang Hindu Bali. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah dengan lelaki Buddhis. Ia pindah agama turut suami dan hijrah ke Jawa, demikian pula Gustofa. Ketika berusia 12, ibu Gustofa meninggal. Ia dimakamkan secara Hindu sebab anak sulungnya menghendaki itu. Ayah tiri Gustofa kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan Katholik dan pindah agama menuruti istrinya. Gustofa turut serta.

Perjalanan agama Gustofa tak henti di sana. Ia pindah menjadi Protestan lantaran kekasih calon istrinya seorang Protestan. Agama non-mayoritas itu ternyata tidak banyak menguntungkan dalam dunia kerja. Gustofa terpaksa keluar kerja lantaran perusahaan tempatnya bekerja membuat aturan   seluruh karyawan musti memeluk agama mayoritas.

Atas dasar mimpi yang didapatkannya di tengah kebimbangan antara memilih menjadi mualaf atau di-PHK, ia mantap menjadi mualaf meski harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Meski telah mualaf, ia tetap memilih keluar kerja dan pergi ke luar negeri. Di Teheran, ia mengelola sebuah hotel mewah. Kesempatan itu ia manfaatkan juga untuk mendalami agama lebih serius.

Setelah sekian lama, akhirnya ia pulang ke Indonesia dan menjadi pemimpin kelompok teroris. Sekian aksi bom bunuh diri ia rancang dan perintahkan. Ujungnya, ia sendiri memutuskan menjadi “pengantin”. Bom tak meledak dan ia diciduk: mendekam di penjara.

Dengan mengesampingkan logika cerita yang melompat-lompat dan beberapa data yang janggal, pertunjukan yang dikemas dalam bentuk non-relias ini justru sangat realis. Maksudnya, kisah ini sangat mungkin terjadi di alam nyata.

Sepanjang cerita perpindahan agama itu, yang absen justru aspek spiritual-transendental, hal yang  sangat penting dalam agama. Tokoh dengan mudah pindah-pindah agama disebabkan hal yang pragmatis, yang duniawi. Meski pindahnya Gustofa menjadi muslim berdasar mimpi bertemu Yesus Kristus, namun alasan awalnya lantaran pekerjaan. Pada bagian ini, sedikit saja ia menyinggug tentang imannya pada Sang Juru Selamat. Selebihnya adalah alasan-alasan pragmatis: turut serta orang  tua, alasan pernikahan, dan pekerjaan.

Ketika spiritualitas absen dari para pemeluk agama, banalitas dan dehumanisasi atas nama agama mudah sekali terjadi. Puncak banalitas Gustofa, yakni tatkala ia melakukan bom bunuh diri, “digagalkan” dengan mudah oleh “dirinya sendiri”.

Tepat ketika ia hendak meledakkan diri, Gustofa tetiba berubah menjadi tokoh yang lain. Ini adalah alienasi kedua. Sebelumnya, alienasi pertama “menginterupsi” tatkala Gustofa memutuskan menjadi mualaf.

Sebagai tokoh “entah siapa”, pada alienasi kedua, ia menyampaikan “amanat pertunjukan” secara verbal. Sayangnya, adegan ini terlalu berdempetan dengan bagian ending: visual penjara dengan Gustofa yang tertidur di atas kubus. Kejutan terakhir itu kehilangan momentum. Membingungkan.

Sama seperti lakon yang pertama, lakon berdurasi hampir 1 jam ini berseting penjara. Seluruh visual pertunjukan dihadirkan melalui proyektor, termasuk jeruji penjara. Di panggung hanya ada kubus tiga sisi berdimensi sekira 150 x 30 x 60 cm. Kubus itu multifungsi dengan fungsi dominannya sebagai screen, medium penampil visual multimedia.

Mengawali pertunjukan, musik nuansa Bali mengantar kemunculan sang tokoh yang dikisahkan berasal dari sana. Ini diperkuat dengan aksen Bali yang digunakan Kido, sapaan akrab Kiki. Sayangnya, konsistensi aksen ini agak terganggu, khususnya ketika menghadapi adegan-adegan emosional.

Penegasan non-realis dari pertunjukan ini nampak dari hadirnya upaya alienasi: melompat keluar dari cerita dan karakter tokoh. Tujuannya untuk memecah kekhusyukan penonton agar tak larut secara emosional. Bentuk pertunjukan macam ini justru menghendaki penonton untuk dapat melihat dan menilai laku di panggung secara lebih objektif.

Dengan demikian, berbeda dengan drama realis yang menghendaki keterlibatan emosional penonton dan bertujuan katarsis, dalam drama non-realis macam ini penonton diharap dapat berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan yang diangkat di atas pentas alih-alih tersedot secara emosional.

Jika saja upaya alienasi tidak hanya mengadalkan perbedaan bahasa dan gaya tutur, boleh jadi tujuan alienasi ini bisa lebih tepat tercapai.

Dari dua pertunjukan yang disajikan malam itu, ada beberapa kesamaan. Yang jelas sekali adalah perkara latar tempat. Keduanya sama-sama berseting penjara. Selain itu, banyak bagian dari dua  pertunjukan ini yang memainkan tempo yang terlalu lambat. Beberapa adegan “Sang Mualaf”  berisi aktor yang bergeming seperti disorientasi. Sedang “Sepotong Kayu”, beberapa adegannya terkesan kosong atau “lepas”. Apakah ini gambaran umum kondisi dalam penjara? Atau sesuatu yang lain?

Di luar semua catatan-catatan itu, kedua aktor ini menampilkan permainan peran yang cukup meyakinkan. Tatang Pahat memainkan improvisasi yang apik dan cerdas untuk mengatasi hapalan teks. Sedangkan Kido, business acting-nya demikian diperhatikan. Kemampuannya berubah-ubah karakter dalam waktu sekejap patutlah juga diacungi jempol. Jam terbang dan kekayaan batin memang selalu jujur, menampakkan hasilnya di atas pentas.

Sebagaimana kejujuran para aktor di atas panggung, barangkali kita juga perlu jujur mengakui bahwa agama masih sering kali membuat gelisah, sesering ia membuat tenang dan tenteram. Menyaksikan dua monolog itu, dan membaca tulisan Kartini 121 tahun yang lalu, apakah agama sudah sedemikian menggelisahkan?

Panjalu, 13 Februari 2020 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...