Ridwan Saidi
bikin geger. Pernyataan dalam sebuah video yang diunggah di Youtube menuai
reaksi keras dan panas dari masyarakat Ciamis. Dalam pernyataannya, ia menyatakan
bahwa di Ciamis tidak ada kerajaan, Galuh adalah kerajaa fiktif, dan prasasti
yang ada di Ciamis adalah palsu. Yang membuat sangat marah tentu saja
pernyataannya tentang arti Galuh. Ia mengatakan bahwa kata Galuh berasal dari
bahasa Armenia yang berarti brutal. Keyakinan itu ia asalkan dari kamus Armenia
– English yang terbit akhir abad 19.
Belakangan ia
mengklarifikasi penyatannnya. Katanya, brutal yang ia maksud bermakna mengaum. Brutal
berasal dari bahasa Belanda, artinya mengaum. Kata aslinya berbunyi “brital”,
namun diucapkan brutal oleh orang Indonesia dan mengalami pergeseran makna.
Apapun klarifikasinya,
sebagian masyarakat Ciamis marah, geram, dan kesal. Merasa harga dirinya diinjak-injak.
Saya katakan sebagian masyarakat, sebab memang tidak semua. Masyarakat di
kampung saya, yang sehari-hari ke sawah, berkebun, atau jadi kuli bangunan,
sama sekali tidak merespon hal itu.
Apakah karena
mereka tidak tahu sebab tidak mengakses berita? Atau mereka tahu namun tak mau
ambil pusing sebab banyak hal lain yang lebih utama untuk dipusingkan? Entahlah.
Nyatanya, kehidupan berjalan normal dan baik-baik saja di sini.
Sebagai reaksi
dari pernyataan Babe Ridwan tersebut, diadakan berbagai diskusi di Ciamis dengan
tema hal ihwal Galuh. Pemda Ciamis menggelar diskusi bertajuk Gelar Usik Galuh
yang dilaksanakan di Aula Adipati Kusumahdiningrat, Setda Ciamis pada Kamis, 20
Februari 2020. Meski yang hadir berasal dari beragam latar belakang, ini adalah
panggung para sejarahwan akademis dan pemerhati budaya.
Muara dari
riungan tersebut adalah simpulan harus disusun, dipatenkan, dan dicetaknya buku
sejarah Galuh. Nantinya, sejarah Galuh ini akan jadi semacam muatan lokal yang
akan dipelajari di sekolah-sekolah di Ciamis. Bupati Ciamis mengawali patungan
dana penyusunan buku tersebut yang konon membutuhkan dana Rp195 juta. Beliau menyumbang
Rp20 juta. Selanjutnya semua yang hadir disilakan turut menyumbang hingga
terkumpullah Rp44,7 juta.
Ridwan Saidi,
sang pemantik kegaduhan terkait Galuh ini, sama sekali tidak pernah datang ke
Ciamis, baik atas inisiatifnya maupun undangan dari masyarakat/pemerintah
Ciamis. Padanyalah sepatutnya ucapan terimakasih disampaikan. Lantaran
pernyataannya itulah, diskusi ke-Galuh-an ramai kembali. Bahkan sampai memantik
“aksi sangat nyata”: patungan duit
untuk penyusunan buku sejarah Galuh.
Pada pemilik
akun Macan Idealis, Vasco Ruseimy, padanya pula patut disampaikan terimakasih. Ia
jadi cukang lantaran dan musabab awal
dari semua kegaduhan ini. Apakah ini bermotif ekonomi politik, atau benar-benar
rekonstruksi sejarah seperti pengakuan pria jebolan Teknik Kimia UI itu, boleh
jadi cuma Tuhan, Rokib, Atid, jin qorin, kawan-kawannya, dan Ketua DPP Partai
Berkarya itu sendiri yang tahu.
Semuanya bermula
di Youtube. Siapa yang mau sangkal kekuatan media sosial? Kegaduhan ini makin
berkembang karena persebaran di media sosial begitu luas. Ia jadi viral, jadi
berita nasional. TvOne, Kompas TV, dan beberapa media nasional lainnya
menyorotkan kameranya ke Ciamis, menerjunkan jurnalisnya ke Tatar Galuh. Ciamis
makin tenar. Sebelumnya, Ciamis memang sudah tenar di nasional. Yang teranyar
sebelum gaduh Galuh, tentu saja, aksi jalan kaki Ciamis – Jakarta yang
dilakukan para santri dan tokoh agama dalam rangka mengikuti aksi 212 di Monas,
Jakarta.
Marahnya sebagian
warga Ciamis adalah wajar. Pernyataan Ridwa Saidi tentang Galuh yang berarti
brutal memang tidak disampaikan dalam kerangka forum ilmiah. Bisa saja itu merupakan
asumsi. Kalau berasumsi, beropini, ya bebas saja. tidak musti berlandaskan
suatu teori atau pendapat ilmiah. Opini boleh sangat subjektif. Reaksi dari
asumsi itu juga tentu boleh sangat subjektif.
Namun, ketika ia
menyatakan merujuk pada kamus, ini yang kiranya perlu ditelusuri secara ilmiah-akademis.
Titel yang kadung disematkan media padanya sebagai budayawan dan sejarahwan sepatutnya diuji lewat suatu forum ilmiah:
debat. Mari adu data, mari adu argumen yang jelas pondasinya. Bukan asumsi
berbasis prasangka, pseudo-science,
atau sentimen irasional.
Tugas ini baik
kiranya diemban atau diamanahkan pada para sejarahwan atau akademisi. Perdebatan
ilmiah dalam ranah ilmu pengetahuan adalah biasa, hal yang niscaya, bahkan
keharusan. Ia merupakan syarat perkembangan ilmu pengetahuan. Argumen ilmiah
yang tak lolos falsifikasi, gugur dengan sendirinya. Namun, argumen usang itu tidak
serta merta menjadikannya berita bohong, hoaks. Kan repot kalau dissenting opinion yang gugur lantaran
falsifikasi kemudian dikasuskan menjadi hoaks. Ilmu pengetahuan akan mandeg
untuk kemudian mundur.
Agaknya, forum
debat ilmiah ini yang absen dalam kasus Ridwan Saidi. Perdebatan Ridwan dan Yat
Rospia Brata, rektor Universitas Galuh cum
Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, yang terjadi pada acara Apa Kabar Indonesia
Malam di tvOne pada Minggu, 16 Februari 2020 padahal sudah cukup baik. Ridwan yang
banyak mengutip buku karya Fernao Mendes Pinto dikritik oleh Yat. Sumber itu
tidak valid, katanya. Yat menyampaikan juga temuannya terkait Mendes Pinto dalam
sebuah artikel yang ditulis Stuart Schwartz yang muat di New York Times, 4
Maret 1990. Penjelajah Portugal itu disebutnya The Greatest Liar, Sang
Pembohong Besar.
Pada kesempatan
itu, mantan Dekan FKIP UNIGAL ini pun menunggu kehadiran Ridwan Saidi di Ciamis
pada Kamis, 20 Februari 2020 pukul 08.00. Ridwan siap datang jika ada yang
menanggung ongkos. Yat, katanya, siap mengongkosi. Namun, pertemuan itu tak
kunjung terjadi. Sekretariat Daerah Ciamis sebagai penyelenggara acara Gelar
Usik Galuh tidak pernah menyampaikan undagan tertulis pada tokoh Betawi
tersebut.
Kalau saja
perdebatan ilmiah itu terjadi, saya kira Ciamis justru akan makin naik pamor,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora. Sikap ini sudah sukar sekali
ditemukan. Politisi dan para pesohor yang sering diberitakan media malah lebih
suka jalur hukum ketimbang debat sehat.
Namun, kalaupun
debat itu terjadi, ia tidak akan berdampak dan mempengaruhi apapun jika berurusan
dengan sense of belonging, ownership, rasa memiliki. Mau dikatakan
Galuh itu brutal, Galuh adalah kerajaan fiktif, dan lain secamacamnya, hal itu
tidak akan mengubah keyakinan sebagian warga Ciamis prihal ke-Galuh-an. Seperti
kecintaan dan rasa memiliki sebagian warga Jawa Barat pada Persib Bandung. Meski
ia kalah dan bermain buruk, para Bobotoh tidak lantas mengoreksi dukungannya
dan berpaling ke lain hati. Demikian logika keyakinan dan rasa memiliki. Kalau sudah
yakin, ya, sudah.
Namun, karena
sifatnya subjektif, ia cenderung sensitif. Mirip agama, mirip asmara. Rentan sekali
memantik emosi. Demikian yang terjadi pada kasus Galuh belakangan ini. Yang
jadi soal bukan saja tentang fakta sejarahnya, namun juga perasaan yang
terciderai. Selama ini, sebagian masyarakat Ciamis begitu memuliakan dan
meyakini Galuh, tidak hanya sebagai fakta sejarah, namun juga sebagai identitas,
jati diri, dan nilai warisan leluhur. Ketika hal tersebut, yang selama ini
dimuliakan, diagungkan, dipupusti, dan
dimumulé dikatakan bermakna leksikal
brutal dan fiktif secara historis, wajar kalau marah.
Momen gaduh
Galuh ini baik digunakan sebagai introspeksi dan otokritik. Selama ini ke-Galuh-an
dikaji masih sebatas nilai dan kearifan
lokal. Secara luas, ia masih sebatas informasi. Dimensinya masih terbatas pada
moral-etik, kesenian, mistisme, bahasa, sejarah, arkeologi, dan semacam itu.
Sangat jarang sekali—untuk tidak mengatakan sama sekali tak ada—diskusi atau
kajian yang fokus pada implementasi nilai-nilai ke-Galuh-an dalam tataran
pemerintahan, umpamanya.
Rumusan pertanyaan
sederhananya: apakah regulasi di lingkungan Pemerintah Daerah Ciamis yang
selama ini diproduksi telah sesuai dengan nilai-nilai ke-Galuh-an atau tidak? Ataukah
aturan-aturan tersebut justu lekat dengan nilai-nilai dan sistem ekonomi
liberal a la Adam Smith?
Tak hanya
politik dan pemerintahan, kajian ke-Galuh-an juga bisa dperluas ke dunia
pertanian, umpamanya. Bagaimana masyarakat Galuh zamam dulu mengolah sawah?
Tentang
pertanian a la Galuh, ada hal yang cukup menarik. Konon, sistem pertanian yang
dilakukan masyarakat Osing di Banyuwangi saat ini merupakan warisan dari Galuh.
Dan terkait hal ini, seorang warga suku Osing yang pernah berkunjung ke Karang
Kamulyan berpendapat bahwa situs yang selama ini diyakini sebagai bekas ibu
kota kejaraan Galuh Purba itu, justru merupakan laboratorium pertanian pada
masanya. Nah, dissenting opinion
macam ini akan menarik bila dikaji lebih jauh.
Segala macam
reaksi dan komentar masyarakat yang merasa tersinggung dengan pernyataan Ridwan
Saidi patut dihormati. Hal demikian itu lahir dari kecintaan. Ukuran kebablasan
atau tidaknya ungkapan rasa cinta itu, ya, itu persoalan adab dan
kebijaksanaan.
Wacana dekonstruksi
sejarah memang menarik sajauh ia dilakukan dengan cara yang arif. Sesuatu yang
dirasa sudah ajeg, kemudian digoyang, disentil-sentil, diobrak-abrik, pasti
gaduh. Yang jadi penting justru pengelolaan kegaduhan itu, bagaimana ia tak
kemudian kontra produktif dengan tujuan akhir dekontruksi itu sendiri (dalam
hal ini, dekonstruksi adalah metode, bukan tujuan). Terlebih bila ada pihak
yang memanfaatkan situasi gaduh demi mendulang untuk materi, citra, dan popularitas,
wah, ini namanya lauk buruk milu mijah.
Panjalu,
24 Februari 2020
keterangan gambar:
foto pertunjukan teater "Sang Manarah" produksi TTMC 2016
naskah karya Nur JM sutradara Ridwan Hasyimi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar