Senin, 24 Februari 2020

Gaduh Galuh


Ridwan Saidi bikin geger. Pernyataan dalam sebuah video yang diunggah di Youtube menuai reaksi keras dan panas dari masyarakat Ciamis. Dalam pernyataannya, ia menyatakan bahwa di Ciamis tidak ada kerajaan, Galuh adalah kerajaa fiktif, dan prasasti yang ada di Ciamis adalah palsu. Yang membuat sangat marah tentu saja pernyataannya tentang arti Galuh. Ia mengatakan bahwa kata Galuh berasal dari bahasa Armenia yang berarti brutal. Keyakinan itu ia asalkan dari kamus Armenia – English yang terbit akhir abad 19.

Belakangan ia mengklarifikasi penyatannnya. Katanya, brutal yang ia maksud bermakna mengaum. Brutal berasal dari bahasa Belanda, artinya mengaum. Kata aslinya berbunyi “brital”, namun diucapkan brutal oleh orang Indonesia dan mengalami pergeseran makna.

Apapun klarifikasinya, sebagian masyarakat Ciamis marah, geram, dan kesal. Merasa harga dirinya diinjak-injak. Saya katakan sebagian masyarakat, sebab memang tidak semua. Masyarakat di kampung saya, yang sehari-hari ke sawah, berkebun, atau jadi kuli bangunan, sama sekali tidak merespon hal itu.

Apakah karena mereka tidak tahu sebab tidak mengakses berita? Atau mereka tahu namun tak mau ambil pusing sebab banyak hal lain yang lebih utama untuk dipusingkan? Entahlah. Nyatanya, kehidupan berjalan normal dan baik-baik saja di sini.

Sebagai reaksi dari pernyataan Babe Ridwan tersebut, diadakan berbagai diskusi di Ciamis dengan tema hal ihwal Galuh. Pemda Ciamis menggelar diskusi bertajuk Gelar Usik Galuh yang dilaksanakan di Aula Adipati Kusumahdiningrat, Setda Ciamis pada Kamis, 20 Februari 2020. Meski yang hadir berasal dari beragam latar belakang, ini adalah panggung para sejarahwan akademis dan pemerhati budaya.

Muara dari riungan tersebut adalah simpulan harus disusun, dipatenkan, dan dicetaknya buku sejarah Galuh. Nantinya, sejarah Galuh ini akan jadi semacam muatan lokal yang akan dipelajari di sekolah-sekolah di Ciamis. Bupati Ciamis mengawali patungan dana penyusunan buku tersebut yang konon membutuhkan dana Rp195 juta. Beliau menyumbang Rp20 juta. Selanjutnya semua yang hadir disilakan turut menyumbang hingga terkumpullah Rp44,7 juta.

Ridwan Saidi, sang pemantik kegaduhan terkait Galuh ini, sama sekali tidak pernah datang ke Ciamis, baik atas inisiatifnya maupun undangan dari masyarakat/pemerintah Ciamis. Padanyalah sepatutnya ucapan terimakasih disampaikan. Lantaran pernyataannya itulah, diskusi ke-Galuh-an ramai kembali. Bahkan sampai memantik “aksi sangat nyata”: patungan duit untuk penyusunan buku sejarah Galuh.

Pada pemilik akun Macan Idealis, Vasco Ruseimy, padanya pula patut disampaikan terimakasih. Ia jadi cukang lantaran dan musabab awal dari semua kegaduhan ini. Apakah ini bermotif ekonomi politik, atau benar-benar rekonstruksi sejarah seperti pengakuan pria jebolan Teknik Kimia UI itu, boleh jadi cuma Tuhan, Rokib, Atid, jin qorin, kawan-kawannya, dan Ketua DPP Partai Berkarya itu sendiri yang tahu.

Semuanya bermula di Youtube. Siapa yang mau sangkal kekuatan media sosial? Kegaduhan ini makin berkembang karena persebaran di media sosial begitu luas. Ia jadi viral, jadi berita nasional. TvOne, Kompas TV, dan beberapa media nasional lainnya menyorotkan kameranya ke Ciamis, menerjunkan jurnalisnya ke Tatar Galuh. Ciamis makin tenar. Sebelumnya, Ciamis memang sudah tenar di nasional. Yang teranyar sebelum gaduh Galuh, tentu saja, aksi jalan kaki Ciamis – Jakarta yang dilakukan para santri dan tokoh agama dalam rangka mengikuti aksi 212 di Monas, Jakarta.

Marahnya sebagian warga Ciamis adalah wajar. Pernyataan Ridwa Saidi tentang Galuh yang berarti brutal memang tidak disampaikan dalam kerangka forum ilmiah. Bisa saja itu merupakan asumsi. Kalau berasumsi, beropini, ya bebas saja. tidak musti berlandaskan suatu teori atau pendapat ilmiah. Opini boleh sangat subjektif. Reaksi dari asumsi itu juga tentu boleh sangat subjektif.

Namun, ketika ia menyatakan merujuk pada kamus, ini yang kiranya perlu ditelusuri secara ilmiah-akademis. Titel yang kadung disematkan media padanya sebagai budayawan dan sejarahwan  sepatutnya diuji lewat suatu forum ilmiah: debat. Mari adu data, mari adu argumen yang jelas pondasinya. Bukan asumsi berbasis prasangka, pseudo-science, atau sentimen irasional.

Tugas ini baik kiranya diemban atau diamanahkan pada para sejarahwan atau akademisi. Perdebatan ilmiah dalam ranah ilmu pengetahuan adalah biasa, hal yang niscaya, bahkan keharusan. Ia merupakan syarat perkembangan ilmu pengetahuan. Argumen ilmiah yang tak lolos falsifikasi, gugur dengan sendirinya. Namun, argumen usang itu tidak serta merta menjadikannya berita bohong, hoaks. Kan repot kalau dissenting opinion yang gugur lantaran falsifikasi kemudian dikasuskan menjadi hoaks. Ilmu pengetahuan akan mandeg untuk kemudian mundur.

Agaknya, forum debat ilmiah ini yang absen dalam kasus Ridwan Saidi. Perdebatan Ridwan dan Yat Rospia Brata, rektor Universitas Galuh cum Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis, yang terjadi pada acara Apa Kabar Indonesia Malam di tvOne pada Minggu, 16 Februari 2020 padahal sudah cukup baik. Ridwan yang banyak mengutip buku karya Fernao Mendes Pinto dikritik oleh Yat. Sumber itu tidak valid, katanya. Yat menyampaikan juga temuannya terkait Mendes Pinto dalam sebuah artikel yang ditulis Stuart Schwartz yang muat di New York Times, 4 Maret 1990. Penjelajah Portugal itu disebutnya The Greatest Liar, Sang Pembohong Besar.

Pada kesempatan itu, mantan Dekan FKIP UNIGAL ini pun menunggu kehadiran Ridwan Saidi di Ciamis pada Kamis, 20 Februari 2020 pukul 08.00. Ridwan siap datang jika ada yang menanggung ongkos. Yat, katanya, siap mengongkosi. Namun, pertemuan itu tak kunjung terjadi. Sekretariat Daerah Ciamis sebagai penyelenggara acara Gelar Usik Galuh tidak pernah menyampaikan undagan tertulis pada tokoh Betawi tersebut.

Kalau saja perdebatan ilmiah itu terjadi, saya kira Ciamis justru akan makin naik pamor, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora. Sikap ini sudah sukar sekali ditemukan. Politisi dan para pesohor yang sering diberitakan media malah lebih suka jalur hukum ketimbang debat sehat.

Namun, kalaupun debat itu terjadi, ia tidak akan berdampak dan mempengaruhi apapun jika berurusan dengan sense of belonging, ownership, rasa memiliki. Mau dikatakan Galuh itu brutal, Galuh adalah kerajaan fiktif, dan lain secamacamnya, hal itu tidak akan mengubah keyakinan sebagian warga Ciamis prihal ke-Galuh-an. Seperti kecintaan dan rasa memiliki sebagian warga Jawa Barat pada Persib Bandung. Meski ia kalah dan bermain buruk, para Bobotoh tidak lantas mengoreksi dukungannya dan berpaling ke lain hati. Demikian logika keyakinan dan rasa memiliki. Kalau sudah yakin, ya, sudah.

Namun, karena sifatnya subjektif, ia cenderung sensitif. Mirip agama, mirip asmara. Rentan sekali memantik emosi. Demikian yang terjadi pada kasus Galuh belakangan ini. Yang jadi soal bukan saja tentang fakta sejarahnya, namun juga perasaan yang terciderai. Selama ini, sebagian masyarakat Ciamis begitu memuliakan dan meyakini Galuh, tidak hanya sebagai fakta sejarah, namun juga sebagai identitas, jati diri, dan nilai warisan leluhur. Ketika hal tersebut, yang selama ini dimuliakan, diagungkan, dipupusti, dan dimumulé dikatakan bermakna leksikal brutal dan fiktif secara historis, wajar kalau marah.

Momen gaduh Galuh ini baik digunakan sebagai introspeksi dan otokritik. Selama ini ke-Galuh-an  dikaji masih sebatas nilai dan kearifan lokal. Secara luas, ia masih sebatas informasi. Dimensinya masih terbatas pada moral-etik, kesenian, mistisme, bahasa, sejarah, arkeologi, dan semacam itu. Sangat jarang sekali—untuk tidak mengatakan sama sekali tak ada—diskusi atau kajian yang fokus pada implementasi nilai-nilai ke-Galuh-an dalam tataran pemerintahan, umpamanya.

Rumusan pertanyaan sederhananya: apakah regulasi di lingkungan Pemerintah Daerah Ciamis yang selama ini diproduksi telah sesuai dengan nilai-nilai ke-Galuh-an atau tidak? Ataukah aturan-aturan tersebut justu lekat dengan nilai-nilai dan sistem ekonomi liberal a la Adam Smith?

Tak hanya politik dan pemerintahan, kajian ke-Galuh-an juga bisa dperluas ke dunia pertanian, umpamanya. Bagaimana masyarakat Galuh zamam dulu mengolah sawah?

Tentang pertanian a la Galuh, ada hal yang cukup menarik. Konon, sistem pertanian yang dilakukan masyarakat Osing di Banyuwangi saat ini merupakan warisan dari Galuh. Dan terkait hal ini, seorang warga suku Osing yang pernah berkunjung ke Karang Kamulyan berpendapat bahwa situs yang selama ini diyakini sebagai bekas ibu kota kejaraan Galuh Purba itu, justru merupakan laboratorium pertanian pada masanya. Nah, dissenting opinion macam ini akan menarik bila dikaji lebih jauh.

Segala macam reaksi dan komentar masyarakat yang merasa tersinggung dengan pernyataan Ridwan Saidi patut dihormati. Hal demikian itu lahir dari kecintaan. Ukuran kebablasan atau tidaknya ungkapan rasa cinta itu, ya, itu persoalan adab dan kebijaksanaan.

Wacana dekonstruksi sejarah memang menarik sajauh ia dilakukan dengan cara yang arif. Sesuatu yang dirasa sudah ajeg, kemudian digoyang, disentil-sentil, diobrak-abrik, pasti gaduh. Yang jadi penting justru pengelolaan kegaduhan itu, bagaimana ia tak kemudian kontra produktif dengan tujuan akhir dekontruksi itu sendiri (dalam hal ini, dekonstruksi adalah metode, bukan tujuan). Terlebih bila ada pihak yang memanfaatkan situasi gaduh demi mendulang untuk materi, citra, dan popularitas, wah, ini namanya lauk buruk milu mijah.

Panjalu, 24 Februari 2020

keterangan gambar:
foto pertunjukan teater "Sang Manarah" produksi TTMC 2016
naskah karya Nur JM sutradara Ridwan Hasyimi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...