Sabtu, 20 Januari 2018

Politik (dan) Seniman Jaman Now

Pengantar (boleh tidak dibaca)
Lain dulu lain sekarang. Dulu, di era Soekarno, seniman dan sastrawan turut serta dalam nafas polarisasi ideologi dunia. Zeitgeist masa itu memang begitu. Seniman-seniman saling serang, saling kritik, bahkan saling ledek secara terbuka di media cetak. Masing-masing kubu punya majalahnya sendiri. Dahulu, majalah dipandang sebagai corong suatu idealisme. Sebut saja Lekra dan Manifesto Kebudayaan, dua kubu seniman dan sastrawan yang berseteru hebat sampai-sampai perair doktor honoris causa bidang sastra, Taufik Ismail, terpantik menyusun “Prahara Budaya”. Akhirnya kedua perkumpulan seniman-sastrawan itu dibubarkan penguasa. Manifesto Kebudayaan dilarang lantaran dianggap menyaingi Manipol/USDEK dan kontra revolusi. Sedang rivalnya Lekra, dilarang seiring dilarangnya komunisme di Indonesia. 
Demikialah era Orde Lama. Betapa seniman dan sastrawan mengguncang politik dan kekuasaan. Pada masa itu memang pertentangan blok kanan dan blok kiri terjadi di banyak bidang, seni dan sastra salah satunya. Seniman kadang dengan agak sembrono dinamai seniman kiri atau seniman kanan, seniman pro revolusi atau seniman kontra revolusi, seniman “seni untuk seni” atau seniman “seni untuk rakyat”. Dan kegaduhan itu agaknya membuat Paduka Tuan Presiden khawatir.
Kekhawatiran penguasa terhadap gejolak dunia kesenian dan sastra agaknya dirasakan pula oleh Sang Bapak Pembangunan. 32 tahun berkuasa, tak sedikit seniman yang keluar masuk penjara pada era itu. Mereka dijebloskan penjara lantaran dianggap terlalu keras mengkritik rezim, mengkritik pembangunan, mengkritik penguasa, dan dengan sendiriya, pada masa itu, mudah sekali terjerat Undang-Undang Subversif. Mungkin seperti mudahnya warganet jaman now terjerat UU ITE.
Sikap represif dengan senjata andalan Undang-Undang Subversif itu menjadikan sebagian seniman justru malah tampil gahar. Mereka mementasan pertunjukan-pertunjukan teater yang berisi kritik atau olok-olokan pada rezim. Mereka membuat lagu, membuat tarian, membuat lukisan, membuat patung, membuat puisi, cerpen, novel, drama, esai, dan lain sebaginya yang jelas-jelas menembak penguasa yang dianggap dzalim dengan tetap teguh pada kaidah-kaidah seni dan estetika. Atas sikap-sikap kritisnya semasa Orba, tak sedikit seniman dan sastrawan yang dicekal, dipenjara, atau malah hilang sama sekali tak diketahui rimbanya macam penyair Widji Thukul.
Seperti halnya politik, hubungan para punggawa kesenian dan penguasa pun penuh dinamika. Pasca reformasi, ketika rezim tirani dianggap tumbang, bagaimana hubungan seniman dan penguasa kini?
Reformasi membuka banyak keran kebebasan. Selain pers yang makin leluasa, ekspresi seniman pun kini semakin bebas. Para konseptor dan art performer tidak perlu khawatir diciduk aparat. Setidaknya demikialah kondisi sebelum pilpres 2014. Pasca pilpres yang fenomenal itu, sebagian besar masyarakat di lapisan tertentu seolah terbagi – atau sengaja dibagi – ke dalam dua kotak besar. Belakangan, ada pengamat yang mengatakan kotak itu bertambah menjadi tiga : kota pro, kotak kontra, dan kotak oportunis. Unjuk rasa berjilid-jilid yang terjadi di Ibu Kota turut pula memperjelas polaritas yang ada.
Di zaman keterbukaan ini, dukungan politik sudah bukan masanya lagi dilakukan dengan malu-malu. Pilpres 2014 memang sulit terlupakan. Selain kehebohan perang isu yang serius dimainkan oleh tim kampanye kedua kubu, sebagian seniman pun secara terbuka menyatakan dukungannya pada kontestan tertentu. Beragam cara seniman dalam menyampaikan dukungan, mulai dari membuat pernyataan di media cetak dan elektronik, membuat lagu kemudian mengunggahnya ke media sosial, hingga membuat konser akbar untuk sang pemenang. Konon, beberapa dari itu dilakukan atas dasar sukarela, bukan permintaan dari kontestan dan tanpa bayaran. Sikap dan dukungan seniman-seniman itu mungkin bisa dibaca sebagai wujud kerinduan akan hadirnya sosok pemimpin yang dianggap merakyat dan ideal. Tapi benarkah demikian adanya?
Seniman dan Pilkada Jawa Barat
27 Juni 2018 tinggal menghitung bulan. Sekitar dua pekan usai lebaran 1440 Hijriah, 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten akan menggelar pemilihan kepala daerah. Meski bukan pemilihan presiden namun Pilkada Serentak ini agaknya dijadikan acuan partai politik dalam menatap Pileg dan Pilpres 2019. Pilkada kali ini sebenarnya adalah juga pertarungan para kontestan Pilpres 2019. Para calon dari masing-masing kubu akan bertarung di daerah-daerah. Berapapun jumlah pasangan cabup-cawabup, cawalkot-cawawalkot, atau cagub-cawagub yang bertarung, muaranya hanya akan pada setidak-tidaknya 2 nama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Salah satu provinsi yang menggelar pemilihan kapala daerahnya ialah Jawa Barat. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, dengan jumlah pemilih hingga 33 juta pemilih atau 18% pemilih nasional, pilkada Jawa Barat bisa dikata cukup menyita perhatian setelah pilkada DKI yang fenomenal itu.
Setelah melewati drama panjang kawin cerai pasangan, cabut alihkan dukungan dan rekomendasi, akhirnya empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur akan bertarung memperebutkan kursi penguasa di Tatar Sunda. Ada wajah-wajah lama, ada pula nama-nama yang masih butuh usaha keras buat sekedar mendongkrak popularitas.
Melihat sekilas, khususnya di media sosial, beberapa seniman yang cukup di kenal di Jawa Barat sudah mulai memberikan dukungannya pada salah satu pasangan calon. Di zaman serba terbuka macam hari ini, dukung-mendukung dalam politik sudah dilakukan seniman dengan cara terbuka pula. Yang tidak suka dan menghujani kritik pun tidak sedikit.
Di antara Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum, Deddy Mizwar – Dedi Mulyadi,  Sudrajat – Ahmad Syaikhu, dan TB Hasanudin – Anton Charliyan, barangkali ada beberapa nama yang dipandang punya kecenderungan pro kesenian. Kecuali Sudrajat, TB Hasanudin, dan Anton Charliyan, 5 nama yang lain adalah kepala dan wakil kepala daerah.
Bicara Deddy Mizwar, kebanyakan masyarakat pasti sudah sangat hafal. Beliau yang Nagabonar, beliau yang peraih 7 Piala Citra, beliau yang bintang iklan, beliau yang sering jadi tokoh ustadz di serial buatannya, beliau yang tenar sebab dianggap salah satu tokoh film yang cerdas nan kritis dan sebagian besar filmnya laku keras di pasaran.  Singkatnya beliau sebagai entertainer, atau sebagian menyebutnya seniman. Dan sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat sejak 2013, apakah prestasi dan kualitasnya sejalan dengan prestasi dan kualitasnya sebagai seniman?
Sebagai petahana, pria yang pernah menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini tentu paling mudah dipeunteun dalam konteks pemimpin Jawa Barat. Rekam jejaknya selama sekitar 4 tahun mendampingi Ahmad Heryawan memimpin Jabar bisa dengan mudah dilacak di media, baik cetak maupun daring. Salah satu program kesenian, yang konon digagas Demiz, ialah Pasanggiri Tari, Musik, dan Teater. Bekerjasama dengan Instritus Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, kompetisi kesenian ini digelar pertama kali pada 2014 dalam 2 tahap, dan begitu seterusnya hingga terakhir digelar pada 2016. Tiga kali dilaksanakan, kegiatan ini selalu menyisakan koreksi-koreksi. Begitulah barangkali, niat baik tak selalu berjalan baik lantaran banyak hal yang musti disiapkan selain dari sekedar niat. Selain daripada itu, janji kampanyenya pada 2013 untuk membangun sarana seni dan kebudayaan Jawa Barat di kota/kabupaten masih bisa dengan jelas ditengok realisasinya.
Berbekal pengalaman dua periode memimpin Kota Bandung, Ridwan Kamil mantap maju sebagai calon gubernur Jawa Barat bersama Bupati Tasimalaya dua periode, UU Ruzhanul Ulum. Sebagai pemimpin daerah, rekam jejak lulusan Intritut Teknologi Bandung (ITB) dan University of California ini juga cukup mudah dilacak, terlebih beliau adalah pengguna media sosial aktif. Tiap kegiatan dan program-programnya tak pernah absen diunggah diberbagai media sosial. Terkait kesenian, caranya menghias Kota Bandung dengan taman-taman tematik, mural dan grafiti di tembok-tembok nganggur dan kolong jembatan, misalnya,  mungkin bisa jadi daya tarik tersendiri bagi sebagian pecinta dan penggiat seni. Yang teranyar tentu tentang perhelatan Seni Bandung#1. Seni Bandung#1 adalah festival seni pertama di Indonesia yang digelar sebulan penuh dan melibatkan ribuan seniman dari berbagai disiplin seni. Kegiatan yang menelan anggaran 5 miliar rupiah ini dihelat dalam rangka Ulang Tahun Kota Bandung ke 207. Hajat kesenian yang direncanakan akan jadi agenda tahunan Pemkot Bandung ini diisi dengan 688 kegiatan berupa pementasan-pementasan seni, diskusi, lokakarya, pameran, dan lain sebagainya. Melibatkan sekitar 2.745 seniman, kegiatan ini digelar di 44 lokasi baik fasilitas kesenian milik pemerintah atau ruang-ruang publik. Hajat kesenian luar biasa itu, apakah memuaskan semua pihak? Tentu saja selalu ada nada minor sebuah harmoni : memandang kegiatan itu sebagai pemborosan anggaran ditengah tumpukan persoalan Kota Bandung yang lebih urgen. Demikianlah, tak pernah ada yang bisa memuaskan semua orang dalam waktu yang sama.
Dua nama lain, Sudrajat dan Tubagus Hasanuddin, meski bukan kepala daerah namun keduanya punya jam terbang dalam dunia politik dan birokrasi. Mayjen TNI (Purn) Sudrajat, misalnya, pensiunan TNI AD ini pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok pada 2005 – 2009. Namanya mulai dikenal secara luas sejak menjabat Kepala Pusat Penerangan TNI pada 1999 – 2000. Sedang Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin yang ialah Ketua DPD PDI-Perjuangan Jawa Barat ini dikenal publik sebagai Anggota Komisi 1 DPR-RI. Putra Majalengka ini penah menjabat Ajudan untuk Wakil Presiden Tri Sutrisno, Presiden B. J. Habiebie, Gusdur, Megawati, dan SBY. Ihwal kebijakan kesenian,, hingga saat ini agaknya belum ada kabar prihal kesenian yang cukup dikenal publik lantaran dua pensiunan jenderal bintang dua itu memang bukan pejabat publik yang punya kuasa kebijakan.
Lantas bagaimana dengan para pasangan mereka? Dari keempat calon Wakil Gubernur, barangkali Dedi Mulyadi (Demul) yang paling banyak dikenal luas sebagai sosok yang akrab dengan kesenian, khususnya kesenian bernafas kearifan lokal Sunda. Mungkin beliau juga satu-satunya kepala daerah yang paling rajin berkunjung ke daerah lain. Kunjungan ini tentu bukan sekedar berpakansi semata melainkan memang sebagai strategi pendongkrak popularitas dan elektabilitas. Sejak bertahun lalu mantan Ketua HMI Cabang Purwakarta ini aktif berkeliling di Jawa Barat dengan kemasan Safari Budaya Kang Dedi. Mengusung tema Dangiang Ki Sunda, Demul agaknya berniat meneguhkan kembali identitas budaya masyarakat Jawa Barat. Safari Budaya ini memang strategi yang cukup jitu buat menarik hari para pemilih. Kepeduliannya pada kearifan lokal jadi poin yang banyak dibincangkan masyarakat, baik yang pro maupun pihak yang kontra.
Dari dua cagub dan satu cawagub yang dikenal luas memiliki rekam jejak terkait keberpihakannya pada kesenian, tentu tak lepas dari kekurangan-kekurangan. Mencari pemimpin di Indonesia barangkali bukan perkara mencari manusia paripurna, sebab tentu itu muskil. Mencari sosok yang punya rapor merah paling minim, itu barangkali gagasan rasional yang sebaiknya jadi pijakan.
Dan keempat pasangan calon yang akan bertarung itu tentu sudah menyiapkan strategi-strategi jitu demi berkantor di Gedung Sate. Tak sedikit pula seniman yang jadi bagian dari strategi tersebut, seniman yang jadi bagian integral dari sebuah tim sukses, tim kampanye, atau sebatas simpatisan. Dan demikialah seniman jaman now, tak malu-malu lagi menuliskan atau meneriakan nama jagoan politiknya lantang-lantang. Bila wajar dan tidak menggadaikan idelisme, sah-sah saja berpolitik macam begitu. Mau jadi oportunis atau pelacur politik pun, sebenarnya tak ada yang melarang. Menggadaikan iman kesenian dan hati nurani demi proyek-proyek, juga tak masalah sebab kesenian akan memberikan kembali apa yang telah ia diterima. Siapa memberi penghianatan, itu pula yang kelak diterimanya.


Panjalu, 19 Januari 2018





















Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...