Pengantar
(boleh tidak dibaca)
Lain
dulu lain sekarang. Dulu, di era Soekarno, seniman dan sastrawan turut serta
dalam nafas polarisasi ideologi dunia. Zeitgeist
masa itu memang begitu. Seniman-seniman saling serang, saling kritik, bahkan
saling ledek secara terbuka di media cetak. Masing-masing kubu punya majalahnya
sendiri. Dahulu, majalah dipandang sebagai corong suatu idealisme. Sebut saja
Lekra dan Manifesto Kebudayaan, dua kubu seniman dan sastrawan yang berseteru
hebat sampai-sampai perair doktor honoris causa bidang sastra, Taufik Ismail,
terpantik menyusun “Prahara Budaya”. Akhirnya kedua perkumpulan seniman-sastrawan
itu dibubarkan penguasa. Manifesto Kebudayaan dilarang lantaran dianggap menyaingi
Manipol/USDEK dan kontra revolusi. Sedang rivalnya Lekra, dilarang seiring
dilarangnya komunisme di Indonesia.
Demikialah
era Orde Lama. Betapa seniman dan sastrawan mengguncang politik dan kekuasaan.
Pada masa itu memang pertentangan blok kanan dan blok kiri terjadi di banyak
bidang, seni dan sastra salah satunya. Seniman kadang dengan agak sembrono
dinamai seniman kiri atau seniman kanan, seniman pro revolusi atau seniman
kontra revolusi, seniman “seni untuk seni” atau seniman “seni untuk rakyat”.
Dan kegaduhan itu agaknya membuat Paduka Tuan Presiden khawatir.
Kekhawatiran
penguasa terhadap gejolak dunia kesenian dan sastra agaknya dirasakan pula oleh
Sang Bapak Pembangunan. 32 tahun berkuasa, tak sedikit seniman yang keluar
masuk penjara pada era itu. Mereka dijebloskan penjara lantaran dianggap
terlalu keras mengkritik rezim, mengkritik pembangunan, mengkritik penguasa,
dan dengan sendiriya, pada masa itu, mudah sekali terjerat Undang-Undang
Subversif. Mungkin seperti mudahnya warganet jaman now terjerat UU ITE.
Sikap
represif dengan senjata andalan Undang-Undang Subversif itu menjadikan sebagian
seniman justru malah tampil gahar. Mereka mementasan pertunjukan-pertunjukan
teater yang berisi kritik atau olok-olokan pada rezim. Mereka membuat lagu, membuat
tarian, membuat lukisan, membuat patung, membuat puisi, cerpen, novel, drama,
esai, dan lain sebaginya yang jelas-jelas menembak penguasa yang dianggap
dzalim dengan tetap teguh pada kaidah-kaidah seni dan estetika. Atas
sikap-sikap kritisnya semasa Orba, tak sedikit seniman dan sastrawan yang
dicekal, dipenjara, atau malah hilang sama sekali tak diketahui rimbanya macam
penyair Widji Thukul.
Seperti
halnya politik, hubungan para punggawa kesenian dan penguasa pun penuh dinamika.
Pasca reformasi, ketika rezim tirani dianggap tumbang, bagaimana hubungan
seniman dan penguasa kini?
Reformasi
membuka banyak keran kebebasan. Selain pers yang makin leluasa, ekspresi
seniman pun kini semakin bebas. Para konseptor dan art performer tidak perlu khawatir diciduk aparat. Setidaknya
demikialah kondisi sebelum pilpres 2014. Pasca pilpres yang fenomenal itu, sebagian
besar masyarakat di lapisan tertentu seolah terbagi – atau sengaja dibagi – ke
dalam dua kotak besar. Belakangan, ada pengamat yang mengatakan kotak itu
bertambah menjadi tiga : kota pro, kotak kontra, dan kotak oportunis. Unjuk
rasa berjilid-jilid yang terjadi di Ibu Kota turut pula memperjelas polaritas
yang ada.
Di
zaman keterbukaan ini, dukungan politik sudah bukan masanya lagi dilakukan
dengan malu-malu. Pilpres 2014 memang sulit terlupakan. Selain kehebohan perang
isu yang serius dimainkan oleh tim kampanye kedua kubu, sebagian seniman pun
secara terbuka menyatakan dukungannya pada kontestan tertentu. Beragam cara seniman
dalam menyampaikan dukungan, mulai dari membuat pernyataan di media cetak dan
elektronik, membuat lagu kemudian mengunggahnya ke media sosial, hingga membuat
konser akbar untuk sang pemenang. Konon, beberapa dari itu dilakukan atas dasar
sukarela, bukan permintaan dari kontestan dan tanpa bayaran. Sikap dan dukungan
seniman-seniman itu mungkin bisa dibaca sebagai wujud kerinduan akan hadirnya
sosok pemimpin yang dianggap merakyat dan ideal. Tapi benarkah demikian adanya?
Seniman
dan Pilkada Jawa Barat
27
Juni 2018 tinggal menghitung bulan. Sekitar dua pekan usai lebaran 1440
Hijriah, 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten akan menggelar pemilihan
kepala daerah. Meski bukan pemilihan presiden namun Pilkada Serentak ini
agaknya dijadikan acuan partai politik dalam menatap Pileg dan Pilpres 2019.
Pilkada kali ini sebenarnya adalah juga pertarungan para kontestan Pilpres 2019.
Para calon dari masing-masing kubu akan bertarung di daerah-daerah. Berapapun
jumlah pasangan cabup-cawabup, cawalkot-cawawalkot, atau cagub-cawagub yang
bertarung, muaranya hanya akan pada setidak-tidaknya 2 nama, Joko Widodo dan
Prabowo Subianto.
Salah
satu provinsi yang menggelar pemilihan kapala daerahnya ialah Jawa Barat. Sebagai
provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, dengan jumlah pemilih
hingga 33 juta pemilih atau 18% pemilih nasional, pilkada Jawa Barat bisa
dikata cukup menyita perhatian setelah pilkada DKI yang fenomenal itu.
Setelah
melewati drama panjang kawin cerai pasangan, cabut alihkan dukungan dan
rekomendasi, akhirnya empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur akan
bertarung memperebutkan kursi penguasa di Tatar Sunda. Ada wajah-wajah lama,
ada pula nama-nama yang masih butuh usaha keras buat sekedar mendongkrak
popularitas.
Melihat
sekilas, khususnya di media sosial, beberapa seniman yang cukup di kenal di
Jawa Barat sudah mulai memberikan dukungannya pada salah satu pasangan calon.
Di zaman serba terbuka macam hari ini, dukung-mendukung dalam politik sudah
dilakukan seniman dengan cara terbuka pula. Yang tidak suka dan menghujani
kritik pun tidak sedikit.
Di
antara Ridwan Kamil – Uu Ruzhanul Ulum, Deddy Mizwar – Dedi Mulyadi, Sudrajat – Ahmad Syaikhu, dan TB Hasanudin –
Anton Charliyan, barangkali ada beberapa nama yang dipandang punya
kecenderungan pro kesenian. Kecuali Sudrajat, TB Hasanudin, dan Anton
Charliyan, 5 nama yang lain adalah kepala dan wakil kepala daerah.
Bicara
Deddy Mizwar, kebanyakan masyarakat pasti sudah sangat hafal. Beliau yang
Nagabonar, beliau yang peraih 7 Piala Citra, beliau yang bintang iklan, beliau
yang sering jadi tokoh ustadz di serial buatannya, beliau yang tenar sebab
dianggap salah satu tokoh film yang cerdas nan kritis dan sebagian besar
filmnya laku keras di pasaran.
Singkatnya beliau sebagai entertainer, atau sebagian menyebutnya
seniman. Dan sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat sejak 2013, apakah prestasi dan
kualitasnya sejalan dengan prestasi dan kualitasnya sebagai seniman?
Sebagai
petahana, pria yang pernah menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini
tentu paling mudah dipeunteun dalam
konteks pemimpin Jawa Barat. Rekam jejaknya selama sekitar 4 tahun mendampingi
Ahmad Heryawan memimpin Jabar bisa dengan mudah dilacak di media, baik cetak
maupun daring. Salah satu program kesenian, yang konon digagas Demiz, ialah
Pasanggiri Tari, Musik, dan Teater. Bekerjasama dengan Instritus Seni Budaya
Indonesia (ISBI) Bandung, kompetisi kesenian ini digelar pertama kali pada 2014
dalam 2 tahap, dan begitu seterusnya hingga terakhir digelar pada 2016. Tiga
kali dilaksanakan, kegiatan ini selalu menyisakan koreksi-koreksi. Begitulah
barangkali, niat baik tak selalu berjalan baik lantaran banyak hal yang musti
disiapkan selain dari sekedar niat. Selain daripada itu, janji kampanyenya pada
2013 untuk membangun sarana seni dan kebudayaan Jawa Barat di kota/kabupaten
masih bisa dengan jelas ditengok realisasinya.
Berbekal
pengalaman dua periode memimpin Kota Bandung, Ridwan Kamil mantap maju sebagai
calon gubernur Jawa Barat bersama Bupati Tasimalaya dua periode, UU Ruzhanul
Ulum. Sebagai pemimpin daerah, rekam jejak lulusan Intritut Teknologi Bandung
(ITB) dan University of California ini juga cukup mudah dilacak, terlebih
beliau adalah pengguna media sosial aktif. Tiap kegiatan dan program-programnya
tak pernah absen diunggah diberbagai media sosial. Terkait kesenian, caranya
menghias Kota Bandung dengan taman-taman tematik, mural dan grafiti di
tembok-tembok nganggur dan kolong
jembatan, misalnya, mungkin bisa jadi
daya tarik tersendiri bagi sebagian pecinta dan penggiat seni. Yang teranyar
tentu tentang perhelatan Seni Bandung#1. Seni Bandung#1 adalah festival seni
pertama di Indonesia yang digelar sebulan penuh dan melibatkan ribuan seniman
dari berbagai disiplin seni. Kegiatan yang menelan anggaran 5 miliar rupiah ini
dihelat dalam rangka Ulang Tahun Kota Bandung ke 207. Hajat kesenian yang
direncanakan akan jadi agenda tahunan Pemkot Bandung ini diisi dengan 688
kegiatan berupa pementasan-pementasan seni, diskusi, lokakarya, pameran, dan
lain sebagainya. Melibatkan sekitar 2.745 seniman, kegiatan ini digelar di 44
lokasi baik fasilitas kesenian milik pemerintah atau ruang-ruang publik. Hajat
kesenian luar biasa itu, apakah memuaskan semua pihak? Tentu saja selalu ada
nada minor sebuah harmoni : memandang kegiatan itu sebagai pemborosan anggaran
ditengah tumpukan persoalan Kota Bandung yang lebih urgen. Demikianlah, tak
pernah ada yang bisa memuaskan semua orang dalam waktu yang sama.
Dua
nama lain, Sudrajat dan Tubagus Hasanuddin, meski bukan kepala daerah namun
keduanya punya jam terbang dalam dunia politik dan birokrasi. Mayjen TNI (Purn)
Sudrajat, misalnya, pensiunan TNI AD ini pernah menjadi Duta Besar Indonesia
untuk Tiongkok pada 2005 – 2009. Namanya mulai dikenal secara luas sejak
menjabat Kepala Pusat Penerangan TNI pada 1999 – 2000. Sedang Mayjen TNI (Purn)
TB Hasanuddin yang ialah Ketua DPD PDI-Perjuangan Jawa Barat ini dikenal publik
sebagai Anggota Komisi 1 DPR-RI. Putra Majalengka ini penah menjabat Ajudan
untuk Wakil Presiden Tri Sutrisno, Presiden B. J. Habiebie, Gusdur, Megawati,
dan SBY. Ihwal kebijakan kesenian,, hingga saat ini agaknya belum ada kabar
prihal kesenian yang cukup dikenal publik lantaran dua pensiunan jenderal
bintang dua itu memang bukan pejabat publik yang punya kuasa kebijakan.
Lantas
bagaimana dengan para pasangan mereka? Dari keempat calon Wakil Gubernur,
barangkali Dedi Mulyadi (Demul) yang paling banyak dikenal luas sebagai sosok
yang akrab dengan kesenian, khususnya kesenian bernafas kearifan lokal Sunda. Mungkin
beliau juga satu-satunya kepala daerah yang paling rajin berkunjung ke daerah
lain. Kunjungan ini tentu bukan sekedar berpakansi semata melainkan memang
sebagai strategi pendongkrak popularitas dan elektabilitas. Sejak bertahun lalu
mantan Ketua HMI Cabang Purwakarta ini aktif berkeliling di Jawa Barat dengan
kemasan Safari Budaya Kang Dedi. Mengusung tema Dangiang Ki Sunda, Demul
agaknya berniat meneguhkan kembali identitas budaya masyarakat Jawa Barat.
Safari Budaya ini memang strategi yang cukup jitu buat menarik hari para
pemilih. Kepeduliannya pada kearifan lokal jadi poin yang banyak dibincangkan
masyarakat, baik yang pro maupun pihak yang kontra.
Dari
dua cagub dan satu cawagub yang dikenal luas memiliki rekam jejak terkait
keberpihakannya pada kesenian, tentu tak lepas dari kekurangan-kekurangan.
Mencari pemimpin di Indonesia barangkali bukan perkara mencari manusia
paripurna, sebab tentu itu muskil. Mencari sosok yang punya rapor merah paling
minim, itu barangkali gagasan rasional yang sebaiknya jadi pijakan.
Dan
keempat pasangan calon yang akan bertarung itu tentu sudah menyiapkan
strategi-strategi jitu demi berkantor di Gedung Sate. Tak sedikit pula seniman
yang jadi bagian dari strategi tersebut, seniman yang jadi bagian integral dari
sebuah tim sukses, tim kampanye, atau sebatas simpatisan. Dan demikialah
seniman jaman now, tak malu-malu lagi
menuliskan atau meneriakan nama jagoan politiknya lantang-lantang. Bila wajar
dan tidak menggadaikan idelisme, sah-sah saja berpolitik macam begitu. Mau jadi
oportunis atau pelacur politik pun, sebenarnya tak ada yang melarang. Menggadaikan
iman kesenian dan hati nurani demi proyek-proyek, juga tak masalah sebab
kesenian akan memberikan kembali apa yang telah ia diterima. Siapa memberi
penghianatan, itu pula yang kelak diterimanya.
Panjalu,
19 Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar