Sosialisme
Caronang
Ekstraksi
Marlam#11
Bagaimana
reaksi kita jika anak kita, yang baru emat tahun umurnya, ditembak mati di depan mata? Umumnya, barangkali bagi orang
kebanyakan, akan segera menghajar si pembunuh tanpa ampun atau langsung
membunuhnya sekalian seketika itu juga. Namun bagaimana jika pembunuhnya seekor
binatang? Yang menenteng senapan laras panjang milik ayah si korban, membidik,
lantas menembakkannya di depan mata si empunya senapan? Boleh jadi reaksinya
akan lain. Terlebih jika binatang itu adalah Caronang.
Caronang adalah
binatang dengan tingkat kecerdasan sangat tinggi yang kepalanya serupa betul
dengan kepala anjing, meski di bagian-bagian tertentu lebih menginagtkanku pada
kelelawar. Lonjong dan ramping seperti anjing jenis Borzoi, dengan bulu lebat
putih berberbercak-bercak hitam. Ia juga menggonggong dan di malam hari kadang-kadang
melolong..... Tubuhnya seukuran pudel. Ia nyaris tak pernah lagi merangkak,
tapi berdiri tegak. Anatomi tubuhnya telah jauh berkembang yang memunginkannya
berjalan dengan dua kaki.....dalam bahasa latin dikenal dengan nama Lupus
Erectus.
Tulisan yang
bercetak miring di atas adalah bahasa teks
cerpen berjudul Caronang karya Eka Kurniawan yang kami bahas pada Marlam#11,
malam Minggu kemarin. Caronang, mahluk
yang berjalan dengan dua kaki. Saya dan Salim membayangkan Caronang ini mungkin sebangun
dengan Meerkat yang memiliki habitat di Gurun Kalahari di Botswana dan Afrika
Selatan. Tapi, entahlah. Saya, dan kami
semua yang hadir malam itu, tak punya bayangan persis tentang wujud Caronang.
Jika mengetik kata Caronang di mesin pencari Google, kita akan disuguhi gambar
seperti yang saya unggah di atas.
Dalam teks
memang cukup detil disebutkan bahwa habitat Caronang adalah sekitar detla-delta
Sagara Anakan, daerah Cilacap. Namun saya, dan lagi-lagi kami semua, tak punya cukup
data dan informasi untuk verifikasi, apakah ini adalah fakta atau fiksi belaka.
Lepas dari perdebatan faktualitas Caronang, majelis akhirnya mengalir menuju
tafsir setelah sebelumnya sekilas menyoal tentang kepengarangan Eka Kurniawan (yang konon aktivis ’98) serta
konstruksi cerpen yang kami santap itu.
Alur cerpen ini tidak linier kronolgis. Ditengah-tengah
cerita, pembaca akan dibawa ke tahun-tahun masa kaburnya Don Jarot dari Nusa
Kambangan yang agak mirip kisah Joni Indo.
Ada kalimat-kalimat yang kadang sedikit memalingkan dari waktu present. Detil profil Caronang mendapat porsi yang cukup
dalam uraian di bagian awal termasuk gambaran tempat habitat Caronang dan
ekosistemnya pada pertengahan cerpen. Hanya saja, dengan alur yang maju-mundur,
pembaca berkemungkinan terjebak dalam kebingunangan waktu dan rantai peristiwa
jika tak mencermati teks dengan seksama.
Mulai memasuki isi, Tito Wardani, dengan pisau postmodernisme, membedah cerpen ini dan mendapati beberapa
“kejanggalan”. Pertama, hewan serupa anjing ini mampu berjalan dengan dua kaki,
padahal lazimnya anjing berjalan dengan empat kaki. Kedua, anjing ini punya tingkat
kecerdasan super tinggi melampaui anjing pada umumnya. Bayangkan saja, Caronang
ini mampu menggunakan senapan laras panjang dan dengan sukses menembak mati anak usia 4 tahun. Ketiga, dengan
kecerdasannya yang luar biasa, Caronang manjadi ancaman serius bagi keluarga si
aku, bahkan membawa musibah. Ini cukup bertolak belakang dengan kesan anjing
“normal” selama ini yang digelari sahabat terbaik manusia. Caronang adalah
anomali, abnormal. Dengan demikian, tindakan keluarga aku dan Don Jarot
menyembunyikan Caronang dari masyarakat, bahkan polisi dan pengadilan, adalah
penyembunyian abnormalitas. Ketidaknormalan yang ditutup-tutupi. Meski Caronang sendiri lambat laun menyadari bahwa
penyembunyiannya bertujuan menjaga kedamaian diri dan komunitasnya. Eka Kuriawan dengan
segala kelihaiannya telah mengobrak-abrik tatanan kewajaran. Yang lebih
menarik, senjata yang ia gunakan untuk menggedor normalitas itu adalah seekor
hewan yang “datang dari masa lampau”. Hewan , yang menurut teks cerpen, pernah
tercatat dalam buku Flora dan Fauna Jawa Masa Lalu. Dengan mahluk masa silam, Eka berupaya mengacak-acak
kemapanan modernitas. Maka jadilah
cerpen ini berbau postmodernisme,
meski masih penuh tanda tanya, postmo atau realisme sosial gaya baru?
Berpijak dari
paparan postmodernisme, Toni Lesmana menyeret cerpen ini ke dunia simbol. Dalam banyak kisah, hewan-hewan
seringlah dijadikan perlambang manusia. Anjing dan kucing, misalnya. Anjing
sering dijadikan representasi karakter manusia, sedang kucing, dalam beberapa kisah,
lebih menempati dimensi mistik. Ada pula monyet dan hewan lain yang kerap
menghiasi dunia fabel. Bagi anak-anak, hewan-hewan ini barangkali bisa menjadi
tokoh yang lucu, mendidik, dan menyenangkan. Tapi di tangan seorang sastrawan
piawai, hewan-hewan ini bisa punya banyak arti dengan kedalaman makna yang
berlainan. Dengan menggunakan
kaca mata simbol, lantas apa yang hendak dimaksudkan penulis dengan Lupus
Erectus ini?
Dari sinilah gerbang interpretasi terbuka lebar. Dunia
simbol dalam fiksi memang tak pernah kehilangan daya tarik untuk terus dimamah
biak, meski dengan atau tanpa simbol, toh fiksi mampu menyentuh lantai terdasar
samudra batin manusia, seperti yang disampaikan Deni Wahyu prihal
persenggamaannya dengan cerpen, novel, dan film. Dan baginya, Caronang ternyata
mampu membawanya larut dalam realitas alam fiksi yang membentur kepala dan cukup
untuk membuatnya berkata goblog sebagai
komentar padat atas cerpen ini.
Ada yang menawarkan tafsir bahwa Caronang adalah
diri yang lain dari tokoh aku. Semacam alter ego mungkin. Atau serpihan diri
yang tersudut di pojok alam bawah sadar. Caronang yang dikisahkan akrab dengan
Baby, mungkin gambaran sisi kanak-kanak dari si aku. Peristiwa perebutan
selimut dengan Baby makin menguatkan anggapan bahwa Caronang memang kanak-kanak
meski Azmy punya pandangan bahwa perebutan selimut bukan simbol kanak-kanak
namun adalah perebutan kehangatan. Tentu si aku di sini adalah simbol manusia
secara umum. Tapi dengan segera, kenyataan bahwa esok paginya, setelah
perebutan selimut itu, Caronang menembak mati Baby dengan dua tembakan
menghancurkan kemungkinan pertama. Tak disebutkan apa alasan Caronang melakukan
pembunuhan. Namun jika Caronang dimanusiaisasi, mungkin tindakan itu adalah
wujud balas dendam karena malamnya si Baby menendang jatuh Caronang dari tempat
tidur lantaran perebutan selimut. Gambaran manis Caronang musnah sudah saat
peristiwa itu.
Yang makin mencengangkan ialah tatkala kedua orang
tua Baby, tokoh aku dan istri, tak mengatakan fakta pada polisi bahwa Caronang lah
yang membunuh. Ia, bersama istri dan polisi, malah menyepakati sebuah kronologi
fiktif dengan simpulan si ayahlah yang menembak, si ayahlah yang membunuh, dan
pada akhirnya si ayah pula yang musti dipenjara. Tak jelas mengapa mereka
sepakat menyembunyikan fakta. Dan ketidakjelasan ini lantas mendorog kami
menjadi seolah psikolog forensik. Apakah keluarga aku mengalami gangguang
mental? Ataukah tindakan mereka adalah sisi gelap keserakahan, sebab mereka tak
ingin Caronang diketahui publik? Atau ini merupakan wujud kesadaran konsekuensi
dari kebohongan awal mereka karena menutup-nutupi keberadaan Caronang, dan pula
mana mungkin polisi akan percaya bahwa pembunuhnya seekor binatang mungil? Atau
mereka berdua mungkin menyadari peristiwa penembakan itu sebagai rangkaian
kausalitas dan tokoh aku (ayah) adalah muasalnya? Jika saja si aku tak pernah tergiur
oleh tawaran Don Jarot untuk menangkap Caronang, semua ini takkan terjadi. Begitulah,
kemungkinan demi kemungkinan terlontar tanpa menemukan kata sepakat, karena
bukan itu tujuannya. Kami tak hendak menyepakati sesuatu. Dalam ruang Marlam, kami
justru, atau setidaknya saya, lebih asik berkelindan dalam perbedaan ketimbang
harus terpaksa menyanyikan lagu setuju.
Sungai interpretasi pun makin deras mengalir. Meski
tak disebut bermuara, namun sebuah tafsir yang bercelah dari Toni Lesmana, yang
diperbesar kemudian oleh Wida Waridah, seperti mengingatkan majelis pada
riwayat yang lain dari Eka Kurniawan sebagai aktivis ’98, dan pula mengapa ia
banyak disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer. Tafsir ini lantas akan
membawa kita, atau setidaknya saya, ke dunia yang sama sekali berlainan dengan
dunia hewan-hewan, Cilacap, Sagara Anakan, Nusa Kambangan, dan semua yang
tersurat dalam teks. Dari sudut itu, cerpen ini lantas punya wajah yang agaknya
menoleh ke arah kiri. Namun, sebelum lompat ke tafsir lain yang berbau
ideologis, ada tawaran yang cukup menarik dari Zamzam dan Deri. Deri punya
pandangan terbalik. Di ujung cerita, dikisahkan bahwa tokoh aku, istri, dan
polisi menyepakati sebuah adegan fiktif terkait pembunuhan Baby :
Di ujung malam
aku mendengar suara-suara mencurigakan dan segera berpikir ada seorang pencuri.
Aku mengambil senapan berburuku dan mengira suara itu datang dari kamar Baby. Aku
memanggil-manggil namanya, tapi Baby tak juga menjawab. Aku mendobrak pintu dan
melihat sosok besar di hadapanku. Sebenarnya itu Baby yang berdiri di atas
tempat tidur, tapi aku terlanjur menembaknya, dua kali dalam rasa terkejut.
Deri berpikir, boleh jadi paragraf inilah justru
yang merupakan kebenaran, sedang semua cerita Caronang sedari awal perjumpaan,
termasuk adegan Don Jarot yang “diselamatkan” oleh komunitas Caronang, adalah
fiksi belaka demi menutupi kisah pembunuhan yang sebenarnya. Kalaupun demikian,
sungguh luar biasa pemutarbalikan ini. Ini mungkin saja, demi kafirushshohih. Tapi jika benar demikian adanya, keterangan bahwa
Caronang telah mati ditembak Don Jarot di akhir cerita agaknya malah menggugurkan
tafiran Deri, atau setidaknya melemahkan.
Lain Deri, lain pula Zamzam. Ia berpandangan bahwa ketika
seseorang dicerabut dari dunianya, habislah ia. Maksudnya, ketika Caronang
diculik dari habitatnya, dari teman-temannya, habislah ke-Caronang-annya,
pupuslah kegembiraannya, sirnalah kediriannya yang utuh. Caronang adalah korban
keserakahan manusia sampai suatu ketika ia menjadi algojo untuk tindakan
manusia itu sendiri. Persoalan utamanya adalah keserakahan dan kesewenangan. Jika
dua hal ini kawin, maka Tirani (dengan T besar) adalah persenyawaan yang ideal dalam
koteks nation.
Kalau hendak ditarik ke skala yang lebih besar,
negara, cerpen ini serasa menyembunyikan sesuatu. Tito Wardani mengajukan
kajian yang cukup detil tentang pola hidup Caronang berdasar teks yang ada. Kenyataan
Caronang hidup berkelompok boleh jadi memang karena ia adalah hewan dengan
tingkat kecerdasan tinggi, dan memang lazimnya demikian. Lumba-lumba, anjing, gorila,
dan sekian hewan komunal lainnya terbukti memiliki tingkat intelektual yang
tinggi. Mereka mampu membangun kehidupan sosial yang tertata. Dalam dunia
hewan, kebersamaan dan kerjasama antar sesama adalah salah satu ciri kecerdasan
mereka. Namun kecerdasan Caronang ini tidak lantas membuat mereka mampu menciptakan
peradaban layaknya manusia. Kalau mereka mampu mengawali sebuah penciptaan
dengan gagasan, seperti kata Plato, mungkin sudah sejak lama mereka menciptakan
perahu. Toh, hingga perjumpaannya dengan Don Jarot, para Caronang ini masih
belum mampu berperadaban layaknya manusia. Tapi ketika mereka diajari melalui pengamatan peristiwa, diajari dengan
bersinggungan langsung dengan benda-benda, toh mereka mampu. Mereka bisa
memulas-mulas pensil warna di buku gambar ketika melihat Baby melakukannya,
mereka mampu melumuri tubuh dengan shampo ketika mereka mandi, dan mereka
terbukti piawai menggunakan senapan dan membunuh. Mereka belajar dengan pijakan
realitas kebendaan, materialisme.
....Aku melihat
seekor ikan sebesar telapak tangan berjalan di lumpur, dengan sirip yang
sungguh-sungguh telah menyerupai kaki. Kemudian di sebuah lubuk, aku menemukan
ikan hiu kecil. sangat kecil, hanya sebesar pergelangan, dan hidup di air
tawar. Dengan penuh sukacita Don Jarot merekam semuanya sambil
berteriak-terika, eureka, iniah keajaiban evolusi, demi Dewa Darwin!....
Habitat Caronang kental dengan aroma evolusi ala
Darwin. Lantas kita boleh curiga, pada siapa Darwinisme ini berpengaruh kuat. Ya,
pada Marx salah satunya. Komentar Marx tentang buku The Origin Of Species-nya
Darwin tertera dalam sebuah suratnya pada Engels tertanggal 19 Desember 1860, “Ini
adalah buku yang berisi dasar pijakan pada sejarah alam bagi pandangan kita”. “Dewa
Darwin” jadi kata kunci yang cukup kuat untuk masuk ke ranah sosialisme (atau
bahkan komunisme) Caronang.
Sebut saja Caronang adalah simbol isme yang “diculik”
dari habitatnya untuk dipelihara di habtat baru. Siapa yang punya ide menculik?
Don Jarot. Siapa Don Jarot? Dalam konstruksi ini Don Jarot mungkin bisa
ditautkan dengan rezim. Sedang kelurga si aku, mungkin adalah rakyat. Isme ini luar
biasa menggairahkan sehingga membuat rezim mengajak rakyat untuk memeliharanya
di rumah rakyat. Isme ini beradaptasi dan mampu menjadi rakyat yang nyaris utuh,
menubuh, manunggal. Tapi karena “berebut selimut”, isme ini sempat di tendang. Ia
marah dan berontak. Ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil lewat
kasus perebutan selimut. Ia kabur dan menangis di ketiak si istri. Esok hari,
pagi-pagi sekali, ia sudah menenteng senapan dan menembak Baby, melukai rakyat
yang lain. Maka setelah pemakaman yang juga dihadiri Don Jarot (ia
mencoba menghiburku dengan sia-sia), polisi segera menahanku.
Dan setelah bebas, ketika si aku hendak membunuh
Caronang lantaran dendam, nyatanya Don Jarot sudah membunuhnya lebih dulu. Bagaimanapun sangatlah
berbahaya membiarkan mereka terus hidup, terutama membiarkan mereka semakin
cerdas, hingga suatu ketika bisa memanggil diri mereka sendiri Lupus Sapien.
Menurut saya, jika demikian, ini justru kebalikan
dari pandangan Zamzam. Yang jadi korban bukanlah Caronang, tapi keluarga si
aku. Rakyatlah yang jadi korban eksperimen penguasa, keserakahan rezim. Memang,
Don Jarot hanya membuka gerbang, selebihnya Caronang dan rakyat yang membentuk
dialektikanya sendiri. Tapi ketika perjalanan dialektika itu mengalami turbulensi,
yang boleh jadi akan berdampak buruk bagi Don Jarot (jika kasus pembunuhan
diungkap dengan sebenarnya, akhirnya Don Jarot akan terseret pula karena ia
yang kali pertama berinisiatif membawa Caronang), ia merasa perlu
mengakhirinya.
Kalimat penutup cerpen yang digaris bawahi Toni
Lesmana itu agaknya cukup membuat kami, atau setidaknya saya, bergidik dan
terbangun.
Rengganis,
6 – 7 Nov. 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar