Senin, 07 November 2016

Sosialime Caronang; Ekstraksi Marlam#11


Sosialisme Caronang
Ekstraksi Marlam#11

Bagaimana reaksi kita jika anak kita, yang baru emat tahun umurnya, ditembak mati  di depan mata? Umumnya, barangkali bagi orang kebanyakan, akan segera menghajar si pembunuh tanpa ampun atau langsung membunuhnya sekalian seketika itu juga. Namun bagaimana jika pembunuhnya seekor binatang? Yang menenteng senapan laras panjang milik ayah si korban, membidik, lantas menembakkannya di depan mata si empunya senapan? Boleh jadi reaksinya akan lain. Terlebih jika binatang itu adalah Caronang.

Caronang adalah binatang dengan tingkat kecerdasan sangat tinggi yang kepalanya serupa betul dengan kepala anjing, meski di bagian-bagian tertentu lebih menginagtkanku pada kelelawar. Lonjong dan ramping seperti anjing jenis Borzoi, dengan bulu lebat putih berberbercak-bercak hitam. Ia juga menggonggong dan di malam hari kadang-kadang melolong..... Tubuhnya seukuran pudel. Ia nyaris tak pernah lagi merangkak, tapi berdiri tegak. Anatomi tubuhnya telah jauh berkembang yang memunginkannya berjalan dengan dua kaki.....dalam bahasa latin dikenal dengan nama Lupus Erectus.

Tulisan yang bercetak miring di atas adalah bahasa teks cerpen berjudul Caronang karya Eka Kurniawan yang kami bahas pada Marlam#11, malam Minggu kemarin. Caronang, mahluk yang berjalan dengan dua kaki. Saya dan Salim membayangkan Caronang ini mungkin sebangun dengan Meerkat yang memiliki habitat di Gurun Kalahari di Botswana dan Afrika Selatan.  Tapi, entahlah. Saya, dan kami semua yang hadir malam itu, tak punya bayangan persis tentang wujud Caronang. Jika mengetik kata Caronang di mesin pencari Google, kita akan disuguhi gambar seperti yang saya unggah di atas.

Dalam teks memang cukup detil disebutkan bahwa habitat Caronang adalah sekitar detla-delta Sagara Anakan, daerah Cilacap. Namun saya, dan lagi-lagi kami semua, tak punya cukup data dan informasi untuk verifikasi, apakah ini adalah fakta atau fiksi belaka. Lepas dari perdebatan faktualitas Caronang, majelis akhirnya mengalir menuju tafsir setelah sebelumnya sekilas menyoal tentang kepengarangan Eka Kurniawan (yang konon aktivis ’98) serta konstruksi cerpen yang kami santap itu.

Alur cerpen ini tidak linier kronolgis. Ditengah-tengah cerita, pembaca akan dibawa ke tahun-tahun masa kaburnya Don Jarot dari Nusa Kambangan yang agak mirip kisah  Joni Indo. Ada kalimat-kalimat yang kadang sedikit memalingkan dari waktu present. Detil profil Caronang mendapat porsi yang cukup dalam uraian di bagian awal termasuk gambaran tempat habitat Caronang dan ekosistemnya pada pertengahan cerpen. Hanya saja, dengan alur yang maju-mundur, pembaca berkemungkinan terjebak dalam kebingunangan waktu dan rantai peristiwa jika tak mencermati teks dengan seksama.

Mulai memasuki isi, Tito Wardani, dengan pisau postmodernisme, membedah cerpen ini dan mendapati beberapa “kejanggalan”. Pertama, hewan serupa anjing ini mampu berjalan dengan dua kaki, padahal lazimnya anjing berjalan dengan empat kaki. Kedua, anjing ini punya tingkat kecerdasan super tinggi melampaui anjing pada umumnya. Bayangkan saja, Caronang ini mampu menggunakan senapan laras panjang dan dengan sukses menembak mati anak usia 4 tahun. Ketiga, dengan kecerdasannya yang luar biasa, Caronang manjadi ancaman serius bagi keluarga si aku, bahkan membawa musibah. Ini cukup bertolak belakang dengan kesan anjing “normal” selama ini yang digelari sahabat terbaik manusia. Caronang adalah anomali, abnormal. Dengan demikian, tindakan keluarga aku dan Don Jarot menyembunyikan Caronang dari masyarakat, bahkan polisi dan pengadilan, adalah penyembunyian abnormalitas. Ketidaknormalan yang ditutup-tutupi. Meski Caronang sendiri lambat laun menyadari bahwa penyembunyiannya bertujuan menjaga kedamaian diri dan komunitasnya. Eka Kuriawan dengan segala kelihaiannya telah mengobrak-abrik tatanan kewajaran. Yang lebih menarik, senjata yang ia gunakan untuk menggedor normalitas itu adalah seekor hewan yang “datang dari masa lampau”. Hewan , yang menurut teks cerpen, pernah tercatat dalam buku Flora dan Fauna Jawa Masa Lalu. Dengan mahluk masa silam, Eka berupaya mengacak-acak kemapanan modernitas. Maka jadilah cerpen ini berbau postmodernisme, meski masih penuh tanda tanya, postmo atau realisme sosial gaya baru?

Berpijak dari paparan postmodernisme, Toni Lesmana menyeret cerpen ini ke dunia  simbol. Dalam banyak kisah, hewan-hewan seringlah dijadikan perlambang manusia. Anjing dan kucing, misalnya. Anjing sering dijadikan representasi karakter manusia, sedang kucing, dalam beberapa kisah, lebih menempati dimensi mistik. Ada pula monyet dan hewan lain yang kerap menghiasi dunia fabel. Bagi anak-anak, hewan-hewan ini barangkali bisa menjadi tokoh yang lucu, mendidik, dan menyenangkan. Tapi di tangan seorang sastrawan piawai, hewan-hewan ini bisa punya banyak arti dengan kedalaman makna yang berlainan. Dengan menggunakan kaca mata simbol, lantas apa yang hendak dimaksudkan penulis dengan Lupus Erectus ini?

Dari sinilah gerbang interpretasi terbuka lebar. Dunia simbol dalam fiksi memang tak pernah kehilangan daya tarik untuk terus dimamah biak, meski dengan atau tanpa simbol, toh fiksi mampu menyentuh lantai terdasar samudra batin manusia, seperti yang disampaikan Deni Wahyu prihal persenggamaannya dengan cerpen, novel, dan film. Dan baginya, Caronang ternyata mampu membawanya larut dalam realitas alam fiksi yang membentur kepala dan cukup untuk membuatnya berkata goblog sebagai komentar padat atas cerpen ini. 

Ada yang menawarkan tafsir bahwa Caronang adalah diri yang lain dari tokoh aku. Semacam alter ego mungkin. Atau serpihan diri yang tersudut di pojok alam bawah sadar. Caronang yang dikisahkan akrab dengan Baby, mungkin gambaran sisi kanak-kanak dari si aku. Peristiwa perebutan selimut dengan Baby makin menguatkan anggapan bahwa Caronang memang kanak-kanak meski Azmy punya pandangan bahwa perebutan selimut bukan simbol kanak-kanak namun adalah perebutan kehangatan. Tentu si aku di sini adalah simbol manusia secara umum. Tapi dengan segera, kenyataan bahwa esok paginya, setelah perebutan selimut itu, Caronang menembak mati Baby dengan dua tembakan menghancurkan kemungkinan pertama. Tak disebutkan apa alasan Caronang melakukan pembunuhan. Namun jika Caronang dimanusiaisasi, mungkin tindakan itu adalah wujud balas dendam karena malamnya si Baby menendang jatuh Caronang dari tempat tidur lantaran perebutan selimut. Gambaran manis Caronang musnah sudah saat peristiwa itu.

Yang makin mencengangkan ialah tatkala kedua orang tua Baby, tokoh aku dan istri, tak mengatakan fakta pada polisi bahwa Caronang lah yang membunuh. Ia, bersama istri dan polisi, malah menyepakati sebuah kronologi fiktif dengan simpulan si ayahlah yang menembak, si ayahlah yang membunuh, dan pada akhirnya si ayah pula yang musti dipenjara. Tak jelas mengapa mereka sepakat menyembunyikan fakta. Dan ketidakjelasan ini lantas mendorog kami menjadi seolah psikolog forensik. Apakah keluarga aku mengalami gangguang mental? Ataukah tindakan mereka adalah sisi gelap keserakahan, sebab mereka tak ingin Caronang diketahui publik? Atau ini merupakan wujud kesadaran konsekuensi dari kebohongan awal mereka karena menutup-nutupi keberadaan Caronang, dan pula mana mungkin polisi akan percaya bahwa pembunuhnya seekor binatang mungil? Atau mereka berdua mungkin menyadari peristiwa penembakan itu sebagai rangkaian kausalitas dan tokoh aku (ayah) adalah muasalnya? Jika saja si aku tak pernah tergiur oleh tawaran Don Jarot untuk menangkap Caronang, semua ini takkan terjadi. Begitulah, kemungkinan demi kemungkinan terlontar tanpa menemukan kata sepakat, karena bukan itu tujuannya. Kami tak hendak menyepakati sesuatu. Dalam ruang Marlam, kami justru, atau setidaknya saya, lebih asik berkelindan dalam perbedaan ketimbang harus terpaksa menyanyikan lagu setuju.

Sungai interpretasi pun makin deras mengalir. Meski tak disebut bermuara, namun sebuah tafsir yang bercelah dari Toni Lesmana, yang diperbesar kemudian oleh Wida Waridah, seperti mengingatkan majelis pada riwayat yang lain dari Eka Kurniawan sebagai aktivis ’98, dan pula mengapa ia banyak disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer. Tafsir ini lantas akan membawa kita, atau setidaknya saya, ke dunia yang sama sekali berlainan dengan dunia hewan-hewan, Cilacap, Sagara Anakan, Nusa Kambangan, dan semua yang tersurat dalam teks. Dari sudut itu, cerpen ini lantas punya wajah yang agaknya menoleh ke arah kiri. Namun, sebelum lompat ke tafsir lain yang berbau ideologis, ada tawaran yang cukup menarik dari Zamzam dan Deri. Deri punya pandangan terbalik. Di ujung cerita, dikisahkan bahwa tokoh aku, istri, dan polisi menyepakati sebuah adegan fiktif terkait pembunuhan Baby :

Di ujung malam aku mendengar suara-suara mencurigakan dan segera berpikir ada seorang pencuri. Aku mengambil senapan berburuku dan mengira suara itu datang dari kamar Baby. Aku memanggil-manggil namanya, tapi Baby tak juga menjawab. Aku mendobrak pintu dan melihat sosok besar di hadapanku. Sebenarnya itu Baby yang berdiri di atas tempat tidur, tapi aku terlanjur menembaknya, dua kali dalam rasa terkejut.

Deri berpikir, boleh jadi paragraf inilah justru yang merupakan kebenaran, sedang semua cerita Caronang sedari awal perjumpaan, termasuk adegan Don Jarot yang “diselamatkan” oleh komunitas Caronang, adalah fiksi belaka demi menutupi kisah pembunuhan yang sebenarnya. Kalaupun demikian, sungguh luar biasa pemutarbalikan ini. Ini mungkin saja, demi kafirushshohih. Tapi jika benar demikian adanya, keterangan bahwa Caronang telah mati ditembak Don Jarot di akhir cerita agaknya malah menggugurkan tafiran Deri, atau setidaknya melemahkan.

Lain Deri, lain pula Zamzam. Ia berpandangan bahwa ketika seseorang dicerabut dari dunianya, habislah ia. Maksudnya, ketika Caronang diculik dari habitatnya, dari teman-temannya, habislah ke-Caronang-annya, pupuslah kegembiraannya, sirnalah kediriannya yang utuh. Caronang adalah korban keserakahan manusia sampai suatu ketika ia menjadi algojo untuk tindakan manusia itu sendiri. Persoalan utamanya adalah keserakahan dan kesewenangan. Jika dua hal ini kawin, maka Tirani (dengan T besar) adalah persenyawaan yang ideal dalam koteks nation.

Kalau hendak ditarik ke skala yang lebih besar, negara, cerpen ini serasa menyembunyikan sesuatu. Tito Wardani mengajukan kajian yang cukup detil tentang pola hidup Caronang berdasar teks yang ada. Kenyataan Caronang hidup berkelompok boleh jadi memang karena ia adalah hewan dengan tingkat kecerdasan tinggi, dan memang lazimnya demikian. Lumba-lumba, anjing, gorila, dan sekian hewan komunal lainnya terbukti memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Mereka mampu membangun kehidupan sosial yang tertata. Dalam dunia hewan, kebersamaan dan kerjasama antar sesama adalah salah satu ciri kecerdasan mereka. Namun kecerdasan Caronang ini tidak lantas membuat mereka mampu menciptakan peradaban layaknya manusia. Kalau mereka mampu mengawali sebuah penciptaan dengan gagasan, seperti kata Plato, mungkin sudah sejak lama mereka menciptakan perahu. Toh, hingga perjumpaannya dengan Don Jarot, para Caronang ini masih belum mampu berperadaban layaknya manusia. Tapi ketika mereka diajari melalui  pengamatan peristiwa, diajari dengan bersinggungan langsung dengan benda-benda, toh mereka mampu. Mereka bisa memulas-mulas pensil warna di buku gambar ketika melihat Baby melakukannya, mereka mampu melumuri tubuh dengan shampo ketika mereka mandi, dan mereka terbukti piawai menggunakan senapan dan membunuh. Mereka belajar dengan pijakan realitas kebendaan, materialisme.

....Aku melihat seekor ikan sebesar telapak tangan berjalan di lumpur, dengan sirip yang sungguh-sungguh telah menyerupai kaki. Kemudian di sebuah lubuk, aku menemukan ikan hiu kecil. sangat kecil, hanya sebesar pergelangan, dan hidup di air tawar. Dengan penuh sukacita Don Jarot merekam semuanya sambil berteriak-terika, eureka, iniah keajaiban evolusi, demi Dewa Darwin!....      

Habitat Caronang kental dengan aroma evolusi ala Darwin. Lantas kita boleh curiga, pada siapa Darwinisme ini berpengaruh kuat. Ya, pada Marx salah satunya. Komentar Marx tentang buku The Origin Of Species-nya Darwin tertera dalam sebuah suratnya pada Engels tertanggal 19 Desember 1860, “Ini adalah buku yang berisi dasar pijakan pada sejarah alam bagi pandangan kita”. “Dewa Darwin” jadi kata kunci yang cukup kuat untuk masuk ke ranah sosialisme (atau bahkan komunisme) Caronang.

Sebut saja Caronang adalah simbol isme yang “diculik” dari habitatnya untuk dipelihara di habtat baru. Siapa yang punya ide menculik? Don Jarot. Siapa Don Jarot? Dalam konstruksi ini Don Jarot mungkin bisa ditautkan dengan rezim. Sedang kelurga si aku, mungkin adalah rakyat. Isme ini luar biasa menggairahkan sehingga membuat rezim mengajak rakyat untuk memeliharanya di rumah rakyat. Isme ini beradaptasi dan mampu menjadi rakyat yang nyaris utuh, menubuh, manunggal. Tapi karena “berebut selimut”, isme ini sempat di tendang. Ia marah dan berontak. Ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil lewat kasus perebutan selimut. Ia kabur dan menangis di ketiak si istri. Esok hari, pagi-pagi sekali, ia sudah menenteng senapan dan menembak Baby, melukai rakyat yang lain. Maka setelah pemakaman yang juga dihadiri Don Jarot (ia mencoba menghiburku dengan sia-sia), polisi segera menahanku.

Dan setelah bebas, ketika si aku hendak membunuh Caronang lantaran dendam, nyatanya Don Jarot sudah membunuhnya lebih dulu. Bagaimanapun sangatlah berbahaya membiarkan mereka terus hidup, terutama membiarkan mereka semakin cerdas, hingga suatu ketika bisa memanggil diri mereka sendiri Lupus Sapien.

Menurut saya, jika demikian, ini justru kebalikan dari pandangan Zamzam. Yang jadi korban bukanlah Caronang, tapi keluarga si aku. Rakyatlah yang jadi korban eksperimen penguasa, keserakahan rezim. Memang, Don Jarot hanya membuka gerbang, selebihnya Caronang dan rakyat yang membentuk dialektikanya sendiri. Tapi ketika perjalanan dialektika itu mengalami turbulensi, yang boleh jadi akan berdampak buruk bagi Don Jarot (jika kasus pembunuhan diungkap dengan sebenarnya, akhirnya Don Jarot akan terseret pula karena ia yang kali pertama berinisiatif membawa Caronang), ia merasa perlu mengakhirinya.

Kalimat penutup cerpen yang digaris bawahi Toni Lesmana itu agaknya cukup membuat kami, atau setidaknya saya, bergidik dan terbangun.

Rengganis,
6 – 7 Nov. 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...