Jumat, 25 November 2016

The Expensive Bunisora; Esktraksi Marlam#12


Kelengangan disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian itu sendiri.” (dialog tokoh Kakek dalam RT NOL RW NOL-nya Iwan Simatupang).

Lengang adalah lengang. Kesepian adalah kesepian. Apapun penyebabnya, pada siapapun menimpa, dibumbui filosofi suci bagaimanapun, kesepian adalah kesepian. Pada titik tertentu, manusia mustahil mengelak darinya. Kesepian selalu hinggap kecuali pada ia yang telah tercerahkan, mungkin. Saya tidak tahu pasti sebab belum pernah mengalaminya.

Konon, orang yang sudah mengalami pencerahan adalah ia yang telah usai dengan dirinya sendiri, meski saya belum yakin benar adakah orang demikian di muka bumi ini, tapi anggaplah orang macam begitu memang ada, atau setidaknya pernah ada. Dari sudut pandang tertentu, Pangeran Siddharta Gautama barangkali satu dari sekian contoh yang mungkin bisa digolongkan demikian.

Selain Pangeran Siddharta Gautama dari India masa lampau, dalam sejarah kerajaan Sunda Galuh dikenal sosok Bunisora Suradipati, seorang raja yang menggantikan kakaknya, Prabu Linggabuana yang konon gugur di Palagan Bubat bersama istrinya Ratu Lara Lingsing, anaknya Dewi Citraresmi, dan puluhan prajurit Sunda Galuh. Mereka yang datang berniat menikahkan Dewi Citraresmi dan Hayam Wuruk malah gugur dibantai Gajah Mada dan pasukannya. Konon, karena peristiwa inilah tak ada nama jalan Gajah Mada atau Hayam Wuruk di Jawa Barat hingga saat ini. Juga dari sinilah mulainya bergulir mitos larangan pernikahan perempuan Sunda dan lelaki Jawa. Tapi entahlah, saya sendiri tidak pernah cukup bisa larut dalam sejarah itu, kalau hal tersebut memang fakta sejarah. Lepas dari faktualitasnya, peristiwa perang Bubat ini memang punya dampak  yang  besar, setidaknya di kalangan tertentu. Kisah ini juga telah banyak menginspirasi seniman-seniman melahirkan karya yang mungkin bisa bersaing dengan kisah perang Troy. Citraresmi yang dalam salah satu versi dikisahkan mati bunuh diri dengan menusukkan patremnya (konde) tepat di jantung menjadi sumber karya seni tak nyaris tak habis digali. Dengan tari, dengan teater, dengan musik, dengan rupa, dengan sastra, dan media ekspresi lainya kisah ini telah dihadirkan dengan sekian interpretasi dan sudut pandang yang beragam. Nyaris dalam banyak karya, Citraresmilah yang menjadi tokoh utama.

Dan pada 2014 (?), Toni Lesmana menghadirkan kisah ini dari sudut pandang, gaya, dan cita rasa khas melalui cerpennya, Sunyi Karinding Di Kawali. Dua tahun berselang, cerpen ini lantas diadaptasi, oleh penulisnya sendiri, menjadi sebuah naskah drama berbahasa Sunda berjudul Simpé Karinding Di Kawali. Tak cukup melahirkan teks drama, ia kemudian melanjutkan kehendak teks drama buatannya menjadi realitas panggung pada 19 November 2016 dalam acara Nyiar Lumar 2016 di Astana Gede Kawali. Ia menulis cerpennya, mengadaptasinya, lantas menyutradarai pertunjukannya. Paripurna sudah. Tapi bukan karya yang hidup, kiranya, jika tidak membuka ruang tafsir yang kaya. Dan pada marlam#12 (Rabu, 23 November 2016), majelis membongkar teks naskah sekaligus pertunjukannya. Dan seperti tradisi marlam sebelumnya, majelis menarik teks ke ruang-ruang lain, mendedah kata, membedah kalimat dengan beragam pisau sehingga melahirkan hidangan-hidangan yang bisa lezat bisa pula tidak.

Saya tidak ahli melabeli sesuatu, tapi kalaupun mau dikotakkan dalam genre tertentu, naskah ini mungkin tidak masuk kategori realis, setidaknya menurut standar realisme Eropa. Naskah ini terbagi kedalam 3 bagian. Bagian pertama dibuka oleh koor yang mengulang-ulang penggalan Amanat Prabu Darmasiksa atau lebih akrab dikenal sebagai Amanat Galunggung. Seorang petapa tua, Bunisora, masuk mengujarkan Amanat Galunggung dengan lebih lengkap namun seperti mengingat-ingat. Sejak awal muncul hingga menjelang akhir, Bunisora tak henti menatah batu, seperti sedang menulis sesuatu. Secara garis besar, bagian pertama berkisah tentang kesedihan Wastu. Ditengah pertapaannya ia lantas teringat ayah, ibu, dan kakaknya yang pulang tinggal abu. Ia mempertanyakan takdir. Kehadiran Citraresmi di bagian 2 yang meredam sedih, agaknya justru menjadikan kesedihan Wastu makin memuncak. Mereka berdua seperti magnet yang saling menarik namun tak kunjung berjumpa. Atau justru magnet yang saling bertolak namun akhirnya berkelindan juga.

Puncak pertarungan Wastu dengan “dirinya” mencapai klimaks di bagian 3, ketika Wastu, Citraresmi, dan Bunisora saling berbalas dialog. Wastu yang terus mempertanyakan masa lalu, Citraresmi yang meyakinkan bahwa ayah, ibu, dan kakaknya tetap bersamanya, dan Bunisora yang tak bosan mengingatkan hakikat serta filosofi kehidupan jadi satu persenyawaan yang membawa Wastu pada puncak kesadaran. Kemenangan Wastu atas “dirinya” divisualisasikan dengan  ritual lumpur. Wastu melumuri tubuh Citraresmi dengan lumpur. Ia membalur tubuh bagian bawah sedang Citraresmi sendiri melumuri bagian atas. Bagian 3 ditutup oleh epilog Bunisora berupa nasihat dan filosofi hidup. Kemudian Wastu melontarkan kata-kata Prasasti Kawali I disusul koor penggalan kata-kata prasasti itu yang mengantar ketiga tokoh bersujud menghadap penonton.

Ah, saya tidak pandai menceritakan drama ternyata. Saya sendiri merasa kurang puas dengan ringkasan yang saya tulis. Naskah ini ditulis begitu detil. Gambaran seting, panggung, petunjuk musik, petunjuk akting, dan keterangan lainnya dihadirkan dengan teliti dan lengkap. Ini bisa dipahami karena penulis naskah adalah sekaligus sutradara. Pertunjukan sudah dimulai sebelumnya dalam kepala penulis.

Tentang bahasa simbol, panggung  maupun teks ini memang penuh dengan simbol. Itupun jika penonton atau pembaca cukup khusuk mengapresiasi dan punya cukup referensi tentang kisah Palagan Bubat dan dampaknya, filosofi dan agama Sunda, sejarah, dan hal lain yang terkiat nilai-nilai dalam kebudayaan Sunda. Persoalan simiotik ini lebih asik jika didedah secara privat, agak lebih intim dan meresap.

Dari persenggamaan saya dengan teks dan pertunjukan ini, dua amanat penting ada pada Bunisora berbunyi “Nu mulang keun sina mulang, tingtrim dina asih nu miboga Asih. Nu mekar sing sadrah sangkan marakbrak ngebrak jadi caang nu gumiwang” dan “Nu teuneung ludeung saéstuna nu léah manah ngahampura”. Meski kedua ungkapan itu tertuju buat (tokoh) Wastu, namun saya kira kita semua adalah Wastu pada titik dan wujud tertentu.

Poé katukang saéstuna gambaran jang nangtungkeun adegan, ngawangun baranang poé ayeuna ngagebur ka poé isuk”, demikian ujar Bunisora. Kondisi Wastu di masa lampu agaknya masih bisa temukan hari ini. Wastu yang adalah seorang raja bergelar Resiguru kelak, menjelang pucak pencerahannya musti berhadapan dengan tantangan terbesar, dirinya sendiri. Ketika segala ilmu telah ditangan maka pengendalian diri adalah fase terakhir sebelum ia menjadi menjadi raja menggantikan pamannya Bunisora Suradipati. Dan persoalan pengendalian diri ini agaknya akan terus relevan hingga zaman kapanpun. Hari ini, para pengurus negara dan pemerintahan masih sering kesulitan mengendalikan diri dalam kapasitasnya sebagai pengemban amanat rakyat. Mereka masih terbata-bata membaca diri mereka sendiri sehingga pemahaman atas maqom menjadi kabur. Mereka masih sering menukar antara cangkul, pedang, dan keris dalam terminologi Cak Nun. Ketika manusia belum tuntas dengan dirinya sendiri, segala ilmu yang dimiliki malah akan menjadi kesia-siaan belaka. Dan gagal paham ini saya kira tak hanya pada aparatur negara dan pemerintah saja, secara umum persoalan ini melekat pada diri tiap individu, pun demikian saya. Jika saja Wastu gagal “melepas” Citraresmi mungkin catatan sejarah Kerajaan Sunda Galuh akan berubah sama sekali.

Kesadaran “léah manah” ini tidak datang sendiri. Ada proses panjang yang dilakoni Wastu untuk mencapai titik ini. Dan ia pun tak sendirian. Bunisora dengan segala kebijaksaannnya hadir sebagai pengasuh Wastu hingga ia matang dan siap mengenakan mahkota Binokasih Sanghyang Paké.

Menyoal Bunisora, ada posisi menarik yang nyaris sulit ditemukan hari ini, setidaknya di Indonesia. Setelah Prabu Linggabuana gugur di Bubat, Bunisora menggantikannya sebagai raja. Menurut sistem monarki, tahta mustinya jatuh pada Wastu Kancana. Namun karena usia Wastu Kancana yang masih terbilang anak-anak, sang pamanlah yang mengambil alih tahta sambil mempersiapkan Wastu Kancana kelak. Dan boleh dibilang ia berhasil. Pendidikan dan pengasuhan Bunisora berbuah hasil cemerlang. Prabu Niskala Wastu Kancana tercatat memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 103 tahun lamanya dengan prestasi-prestasi gemilang. Yang menjadi penting dan “mahal” ialah sikap Bunisora yang memahami maqom. Ketika Wastu dipandang siap menjabat raja pada usia 23 tahun, Bunisora dengan rela melepas statusnya sebagai raja. Ia tak silau dan serakah akan kekuasaan. Pilihannya untuk “mengasuh” adalah cerminan sikap batin yang sulit ditemukan dalam konteks politik dewasa ini. Meski undang-undang membatasi dua periode saja namun hasrat berkuasa masih terus menggebu dan dengan segala cara berusaha menciptakan kerajaan di tengah atmosfer demokrasi. Dan politisi akhirnya menjadi serupa gurita, yang dengan tentakelnya menggenapi ambisi keserakahan tak berujung.

Sebuah karya seni, pada akhirnya, bisa punya banyak wajah. Kesepian dan penjara masa lalu adalah hal yang dimiliki tiap manusia. Kegagalan mentransformasikan energi masa silam akan membuat manusia terus onani dan terjebak dalam labirin nostalgia. Pada akhirnya kehidupan adalah sungai, mengalir dan terus mengalir. Dan begitu pula cinta kasih.

Asih saéstuna walungan nu teu kendat ngamalir. Salawasna ngamalir.” (salah satu dialog Citraresmi)
         
Rengganis,

24 – 25 Nov. 2016

Senin, 07 November 2016

Sosialime Caronang; Ekstraksi Marlam#11


Sosialisme Caronang
Ekstraksi Marlam#11

Bagaimana reaksi kita jika anak kita, yang baru emat tahun umurnya, ditembak mati  di depan mata? Umumnya, barangkali bagi orang kebanyakan, akan segera menghajar si pembunuh tanpa ampun atau langsung membunuhnya sekalian seketika itu juga. Namun bagaimana jika pembunuhnya seekor binatang? Yang menenteng senapan laras panjang milik ayah si korban, membidik, lantas menembakkannya di depan mata si empunya senapan? Boleh jadi reaksinya akan lain. Terlebih jika binatang itu adalah Caronang.

Caronang adalah binatang dengan tingkat kecerdasan sangat tinggi yang kepalanya serupa betul dengan kepala anjing, meski di bagian-bagian tertentu lebih menginagtkanku pada kelelawar. Lonjong dan ramping seperti anjing jenis Borzoi, dengan bulu lebat putih berberbercak-bercak hitam. Ia juga menggonggong dan di malam hari kadang-kadang melolong..... Tubuhnya seukuran pudel. Ia nyaris tak pernah lagi merangkak, tapi berdiri tegak. Anatomi tubuhnya telah jauh berkembang yang memunginkannya berjalan dengan dua kaki.....dalam bahasa latin dikenal dengan nama Lupus Erectus.

Tulisan yang bercetak miring di atas adalah bahasa teks cerpen berjudul Caronang karya Eka Kurniawan yang kami bahas pada Marlam#11, malam Minggu kemarin. Caronang, mahluk yang berjalan dengan dua kaki. Saya dan Salim membayangkan Caronang ini mungkin sebangun dengan Meerkat yang memiliki habitat di Gurun Kalahari di Botswana dan Afrika Selatan.  Tapi, entahlah. Saya, dan kami semua yang hadir malam itu, tak punya bayangan persis tentang wujud Caronang. Jika mengetik kata Caronang di mesin pencari Google, kita akan disuguhi gambar seperti yang saya unggah di atas.

Dalam teks memang cukup detil disebutkan bahwa habitat Caronang adalah sekitar detla-delta Sagara Anakan, daerah Cilacap. Namun saya, dan lagi-lagi kami semua, tak punya cukup data dan informasi untuk verifikasi, apakah ini adalah fakta atau fiksi belaka. Lepas dari perdebatan faktualitas Caronang, majelis akhirnya mengalir menuju tafsir setelah sebelumnya sekilas menyoal tentang kepengarangan Eka Kurniawan (yang konon aktivis ’98) serta konstruksi cerpen yang kami santap itu.

Alur cerpen ini tidak linier kronolgis. Ditengah-tengah cerita, pembaca akan dibawa ke tahun-tahun masa kaburnya Don Jarot dari Nusa Kambangan yang agak mirip kisah  Joni Indo. Ada kalimat-kalimat yang kadang sedikit memalingkan dari waktu present. Detil profil Caronang mendapat porsi yang cukup dalam uraian di bagian awal termasuk gambaran tempat habitat Caronang dan ekosistemnya pada pertengahan cerpen. Hanya saja, dengan alur yang maju-mundur, pembaca berkemungkinan terjebak dalam kebingunangan waktu dan rantai peristiwa jika tak mencermati teks dengan seksama.

Mulai memasuki isi, Tito Wardani, dengan pisau postmodernisme, membedah cerpen ini dan mendapati beberapa “kejanggalan”. Pertama, hewan serupa anjing ini mampu berjalan dengan dua kaki, padahal lazimnya anjing berjalan dengan empat kaki. Kedua, anjing ini punya tingkat kecerdasan super tinggi melampaui anjing pada umumnya. Bayangkan saja, Caronang ini mampu menggunakan senapan laras panjang dan dengan sukses menembak mati anak usia 4 tahun. Ketiga, dengan kecerdasannya yang luar biasa, Caronang manjadi ancaman serius bagi keluarga si aku, bahkan membawa musibah. Ini cukup bertolak belakang dengan kesan anjing “normal” selama ini yang digelari sahabat terbaik manusia. Caronang adalah anomali, abnormal. Dengan demikian, tindakan keluarga aku dan Don Jarot menyembunyikan Caronang dari masyarakat, bahkan polisi dan pengadilan, adalah penyembunyian abnormalitas. Ketidaknormalan yang ditutup-tutupi. Meski Caronang sendiri lambat laun menyadari bahwa penyembunyiannya bertujuan menjaga kedamaian diri dan komunitasnya. Eka Kuriawan dengan segala kelihaiannya telah mengobrak-abrik tatanan kewajaran. Yang lebih menarik, senjata yang ia gunakan untuk menggedor normalitas itu adalah seekor hewan yang “datang dari masa lampau”. Hewan , yang menurut teks cerpen, pernah tercatat dalam buku Flora dan Fauna Jawa Masa Lalu. Dengan mahluk masa silam, Eka berupaya mengacak-acak kemapanan modernitas. Maka jadilah cerpen ini berbau postmodernisme, meski masih penuh tanda tanya, postmo atau realisme sosial gaya baru?

Berpijak dari paparan postmodernisme, Toni Lesmana menyeret cerpen ini ke dunia  simbol. Dalam banyak kisah, hewan-hewan seringlah dijadikan perlambang manusia. Anjing dan kucing, misalnya. Anjing sering dijadikan representasi karakter manusia, sedang kucing, dalam beberapa kisah, lebih menempati dimensi mistik. Ada pula monyet dan hewan lain yang kerap menghiasi dunia fabel. Bagi anak-anak, hewan-hewan ini barangkali bisa menjadi tokoh yang lucu, mendidik, dan menyenangkan. Tapi di tangan seorang sastrawan piawai, hewan-hewan ini bisa punya banyak arti dengan kedalaman makna yang berlainan. Dengan menggunakan kaca mata simbol, lantas apa yang hendak dimaksudkan penulis dengan Lupus Erectus ini?

Dari sinilah gerbang interpretasi terbuka lebar. Dunia simbol dalam fiksi memang tak pernah kehilangan daya tarik untuk terus dimamah biak, meski dengan atau tanpa simbol, toh fiksi mampu menyentuh lantai terdasar samudra batin manusia, seperti yang disampaikan Deni Wahyu prihal persenggamaannya dengan cerpen, novel, dan film. Dan baginya, Caronang ternyata mampu membawanya larut dalam realitas alam fiksi yang membentur kepala dan cukup untuk membuatnya berkata goblog sebagai komentar padat atas cerpen ini. 

Ada yang menawarkan tafsir bahwa Caronang adalah diri yang lain dari tokoh aku. Semacam alter ego mungkin. Atau serpihan diri yang tersudut di pojok alam bawah sadar. Caronang yang dikisahkan akrab dengan Baby, mungkin gambaran sisi kanak-kanak dari si aku. Peristiwa perebutan selimut dengan Baby makin menguatkan anggapan bahwa Caronang memang kanak-kanak meski Azmy punya pandangan bahwa perebutan selimut bukan simbol kanak-kanak namun adalah perebutan kehangatan. Tentu si aku di sini adalah simbol manusia secara umum. Tapi dengan segera, kenyataan bahwa esok paginya, setelah perebutan selimut itu, Caronang menembak mati Baby dengan dua tembakan menghancurkan kemungkinan pertama. Tak disebutkan apa alasan Caronang melakukan pembunuhan. Namun jika Caronang dimanusiaisasi, mungkin tindakan itu adalah wujud balas dendam karena malamnya si Baby menendang jatuh Caronang dari tempat tidur lantaran perebutan selimut. Gambaran manis Caronang musnah sudah saat peristiwa itu.

Yang makin mencengangkan ialah tatkala kedua orang tua Baby, tokoh aku dan istri, tak mengatakan fakta pada polisi bahwa Caronang lah yang membunuh. Ia, bersama istri dan polisi, malah menyepakati sebuah kronologi fiktif dengan simpulan si ayahlah yang menembak, si ayahlah yang membunuh, dan pada akhirnya si ayah pula yang musti dipenjara. Tak jelas mengapa mereka sepakat menyembunyikan fakta. Dan ketidakjelasan ini lantas mendorog kami menjadi seolah psikolog forensik. Apakah keluarga aku mengalami gangguang mental? Ataukah tindakan mereka adalah sisi gelap keserakahan, sebab mereka tak ingin Caronang diketahui publik? Atau ini merupakan wujud kesadaran konsekuensi dari kebohongan awal mereka karena menutup-nutupi keberadaan Caronang, dan pula mana mungkin polisi akan percaya bahwa pembunuhnya seekor binatang mungil? Atau mereka berdua mungkin menyadari peristiwa penembakan itu sebagai rangkaian kausalitas dan tokoh aku (ayah) adalah muasalnya? Jika saja si aku tak pernah tergiur oleh tawaran Don Jarot untuk menangkap Caronang, semua ini takkan terjadi. Begitulah, kemungkinan demi kemungkinan terlontar tanpa menemukan kata sepakat, karena bukan itu tujuannya. Kami tak hendak menyepakati sesuatu. Dalam ruang Marlam, kami justru, atau setidaknya saya, lebih asik berkelindan dalam perbedaan ketimbang harus terpaksa menyanyikan lagu setuju.

Sungai interpretasi pun makin deras mengalir. Meski tak disebut bermuara, namun sebuah tafsir yang bercelah dari Toni Lesmana, yang diperbesar kemudian oleh Wida Waridah, seperti mengingatkan majelis pada riwayat yang lain dari Eka Kurniawan sebagai aktivis ’98, dan pula mengapa ia banyak disandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer. Tafsir ini lantas akan membawa kita, atau setidaknya saya, ke dunia yang sama sekali berlainan dengan dunia hewan-hewan, Cilacap, Sagara Anakan, Nusa Kambangan, dan semua yang tersurat dalam teks. Dari sudut itu, cerpen ini lantas punya wajah yang agaknya menoleh ke arah kiri. Namun, sebelum lompat ke tafsir lain yang berbau ideologis, ada tawaran yang cukup menarik dari Zamzam dan Deri. Deri punya pandangan terbalik. Di ujung cerita, dikisahkan bahwa tokoh aku, istri, dan polisi menyepakati sebuah adegan fiktif terkait pembunuhan Baby :

Di ujung malam aku mendengar suara-suara mencurigakan dan segera berpikir ada seorang pencuri. Aku mengambil senapan berburuku dan mengira suara itu datang dari kamar Baby. Aku memanggil-manggil namanya, tapi Baby tak juga menjawab. Aku mendobrak pintu dan melihat sosok besar di hadapanku. Sebenarnya itu Baby yang berdiri di atas tempat tidur, tapi aku terlanjur menembaknya, dua kali dalam rasa terkejut.

Deri berpikir, boleh jadi paragraf inilah justru yang merupakan kebenaran, sedang semua cerita Caronang sedari awal perjumpaan, termasuk adegan Don Jarot yang “diselamatkan” oleh komunitas Caronang, adalah fiksi belaka demi menutupi kisah pembunuhan yang sebenarnya. Kalaupun demikian, sungguh luar biasa pemutarbalikan ini. Ini mungkin saja, demi kafirushshohih. Tapi jika benar demikian adanya, keterangan bahwa Caronang telah mati ditembak Don Jarot di akhir cerita agaknya malah menggugurkan tafiran Deri, atau setidaknya melemahkan.

Lain Deri, lain pula Zamzam. Ia berpandangan bahwa ketika seseorang dicerabut dari dunianya, habislah ia. Maksudnya, ketika Caronang diculik dari habitatnya, dari teman-temannya, habislah ke-Caronang-annya, pupuslah kegembiraannya, sirnalah kediriannya yang utuh. Caronang adalah korban keserakahan manusia sampai suatu ketika ia menjadi algojo untuk tindakan manusia itu sendiri. Persoalan utamanya adalah keserakahan dan kesewenangan. Jika dua hal ini kawin, maka Tirani (dengan T besar) adalah persenyawaan yang ideal dalam koteks nation.

Kalau hendak ditarik ke skala yang lebih besar, negara, cerpen ini serasa menyembunyikan sesuatu. Tito Wardani mengajukan kajian yang cukup detil tentang pola hidup Caronang berdasar teks yang ada. Kenyataan Caronang hidup berkelompok boleh jadi memang karena ia adalah hewan dengan tingkat kecerdasan tinggi, dan memang lazimnya demikian. Lumba-lumba, anjing, gorila, dan sekian hewan komunal lainnya terbukti memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Mereka mampu membangun kehidupan sosial yang tertata. Dalam dunia hewan, kebersamaan dan kerjasama antar sesama adalah salah satu ciri kecerdasan mereka. Namun kecerdasan Caronang ini tidak lantas membuat mereka mampu menciptakan peradaban layaknya manusia. Kalau mereka mampu mengawali sebuah penciptaan dengan gagasan, seperti kata Plato, mungkin sudah sejak lama mereka menciptakan perahu. Toh, hingga perjumpaannya dengan Don Jarot, para Caronang ini masih belum mampu berperadaban layaknya manusia. Tapi ketika mereka diajari melalui  pengamatan peristiwa, diajari dengan bersinggungan langsung dengan benda-benda, toh mereka mampu. Mereka bisa memulas-mulas pensil warna di buku gambar ketika melihat Baby melakukannya, mereka mampu melumuri tubuh dengan shampo ketika mereka mandi, dan mereka terbukti piawai menggunakan senapan dan membunuh. Mereka belajar dengan pijakan realitas kebendaan, materialisme.

....Aku melihat seekor ikan sebesar telapak tangan berjalan di lumpur, dengan sirip yang sungguh-sungguh telah menyerupai kaki. Kemudian di sebuah lubuk, aku menemukan ikan hiu kecil. sangat kecil, hanya sebesar pergelangan, dan hidup di air tawar. Dengan penuh sukacita Don Jarot merekam semuanya sambil berteriak-terika, eureka, iniah keajaiban evolusi, demi Dewa Darwin!....      

Habitat Caronang kental dengan aroma evolusi ala Darwin. Lantas kita boleh curiga, pada siapa Darwinisme ini berpengaruh kuat. Ya, pada Marx salah satunya. Komentar Marx tentang buku The Origin Of Species-nya Darwin tertera dalam sebuah suratnya pada Engels tertanggal 19 Desember 1860, “Ini adalah buku yang berisi dasar pijakan pada sejarah alam bagi pandangan kita”. “Dewa Darwin” jadi kata kunci yang cukup kuat untuk masuk ke ranah sosialisme (atau bahkan komunisme) Caronang.

Sebut saja Caronang adalah simbol isme yang “diculik” dari habitatnya untuk dipelihara di habtat baru. Siapa yang punya ide menculik? Don Jarot. Siapa Don Jarot? Dalam konstruksi ini Don Jarot mungkin bisa ditautkan dengan rezim. Sedang kelurga si aku, mungkin adalah rakyat. Isme ini luar biasa menggairahkan sehingga membuat rezim mengajak rakyat untuk memeliharanya di rumah rakyat. Isme ini beradaptasi dan mampu menjadi rakyat yang nyaris utuh, menubuh, manunggal. Tapi karena “berebut selimut”, isme ini sempat di tendang. Ia marah dan berontak. Ia berontak karena merasa diperlakukan tidak adil lewat kasus perebutan selimut. Ia kabur dan menangis di ketiak si istri. Esok hari, pagi-pagi sekali, ia sudah menenteng senapan dan menembak Baby, melukai rakyat yang lain. Maka setelah pemakaman yang juga dihadiri Don Jarot (ia mencoba menghiburku dengan sia-sia), polisi segera menahanku.

Dan setelah bebas, ketika si aku hendak membunuh Caronang lantaran dendam, nyatanya Don Jarot sudah membunuhnya lebih dulu. Bagaimanapun sangatlah berbahaya membiarkan mereka terus hidup, terutama membiarkan mereka semakin cerdas, hingga suatu ketika bisa memanggil diri mereka sendiri Lupus Sapien.

Menurut saya, jika demikian, ini justru kebalikan dari pandangan Zamzam. Yang jadi korban bukanlah Caronang, tapi keluarga si aku. Rakyatlah yang jadi korban eksperimen penguasa, keserakahan rezim. Memang, Don Jarot hanya membuka gerbang, selebihnya Caronang dan rakyat yang membentuk dialektikanya sendiri. Tapi ketika perjalanan dialektika itu mengalami turbulensi, yang boleh jadi akan berdampak buruk bagi Don Jarot (jika kasus pembunuhan diungkap dengan sebenarnya, akhirnya Don Jarot akan terseret pula karena ia yang kali pertama berinisiatif membawa Caronang), ia merasa perlu mengakhirinya.

Kalimat penutup cerpen yang digaris bawahi Toni Lesmana itu agaknya cukup membuat kami, atau setidaknya saya, bergidik dan terbangun.

Rengganis,
6 – 7 Nov. 2016



Kamis, 03 November 2016

Multiple Identity; sebuah gejala dehumanisasi


Multiple Identity
Sebuah Gejala Dehumanisasi

Suatu gerakan kebudayaan 250 tahun lalu yang berawal di Eropa sana, agaknya mampu mengubah wajah seluruh dunia dengan cukup drastis sampai hari ini. Revolusi indutri agaknya telah memberi banyak warisan penting bagi perkembangan kehidupan modern. Dan cybernet adalah salah satu warisan revolusi indutri yang paling akrab dengan manusia dalam kesehariannya. Berkatnya, komunikasi virtual agaknya menjadi media interaksi manusia yang paling mainstream di abad XXI ini. Untuk sekedar bercakap, mungkin hari ini orang-orang lebih nyaman chating ketimbang harus berjumpa langsung dengan lawan bicaranya. Cybernet memang belum ditemukan pada era revolusi industri, namun sejak saat itulah wajah dunia berubah total, umat manusia memasuki zaman baru. Industrialisasi serta penggunaan teknologi modern menjadi semacam syarat untuk hidup. Dampaknya menjalar ke seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan spiritualitas. Dan anak cucu lain dari revolusi industri ialah teknologi informasi.

Sejak penemuan pesawat telpon pada tahun 1800an oleh Antonio Meucci (yang kemudian “diambil alih” oleh Alexander Graham Bell), dunia teknologi komunikasi terus memperbarui dirinya dengan segudang temuan-temuan. Terlebih setelah Leonard Kleinrock “menciptakan” internet pada 1969, jarak nyaris tidak lagi jadi persoalan dalam dunia komunikasi. Ketakterbatasan akses komunikasi dan informasi ini  berpengaruh cukup besar pada paradigma manusia modern kini. Modernitas yang makin likuid menjadikan segalanya nyaris mencair dan bahkan luber tak tertahankan. Kini, pada waktu yang sama, seseorang mampu bercakap dengan banyak orang di berbagai tempat berbeda dengan jarak ratusan bahkan ribuan mil jauhnya. Saya yang di Ciamis ini bisa langsung bercakap dengan Presiden Republik Angola nan jauh di sana, jika diinginkan. Sembari itu pula, “diri saya yang lain” bisa dengan mudah menulis pesan pada kekasih di Paris sana, atau mengunduh anime episode teranyar, atau mengunggah foto diri saya yang sedang berlibur di Situ Lengkong Panjalu, sembari  mengunggah sebuah tulisan semcam ini, misalnya.  

Lebarnya akses pada dunia via dunia virtual, membuat seseorang mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu. Kemampuan ini pula barangkali yang menyebabkan manusia modern tertarik memiliki lebih dari satu “diri”. Banyaknya bidang yang mungkin dilakoni seseorang menyebabkan ia memilih “membelah” dirinya menjadi kepingan-kepingan diri. Kemudian, ia tinggal memilih kepingan mana  yang dipandang sesuai dengan bidang yang ia lakoni. Dengan cybernet, manusia mampu menjadi mahluk multidimensional dalam arti yang lain.

Sebagai mahluk akting, manusia punya kemampuan mengubah-ubah dirinya sesuai dengan ruang dan waktu yang sedang ia lakoni. Manusia mampu mengubah intonasi suara, eskpresi, gestur, sikap tubuh, serta perangkat akting lainnya sesuai dengan situasi yang menghendakinya. Beribu topeng tersedia di lemari kita masing-masing untuk berbagai kepentingan yang berbeda. Ada topeng keep smile yang biasa digunakan tatkala berjumpa dengan bos atau atasan. Ada topeng wajah batu tatkala kita berjumpa dengan anak buah, agar tampak dewasa dan berwibawa. Ada pula topeng sedih penuh derita yang biasanya gemar dipakai ketika sedang berdo’a. Dan berjuta topeng lain dengan kegunaannya sendiri-sendiri yang kesemua itu menubuh pada tubuh yang satu, nyawiji.

Pada manusia tanpa gangguan kejiwaan, topeng-topeng psikis itu adalah keutuhan identitas manusia. Artinya, sebanyak apapun topeng yang ia miliki, ia tetap utuh dalam kesatuan jiwa dan badan, berkelindan dan saling mengenal. Yang dinamakan identitas, ya adalah harmonitas antara topeng-topeng tersebut. Karena ada dalam tubuh dan jiwa yang satu, maka topeng-topeng itu tidaklah terpisah. Ia muncul secara adaptif setelah membaca alam luar dan alam dalam dari si empunya jiwa raga. Lantas, bagaimana jika topeng-topeng itu, wajah-wajah itu, terpisah-pisah? Terbelah jadi kepingingan-kepingan?  Pecah? Kisah Sybil dan Billy Milligan yang melegenda itu boleh jadi gambaran yang cukup jelas tentang identitas yang terpecah belah. Lantas, apakah kepemilikan “multiple identity” dalam dunia virtual macam hari ini adalah wujud lain gangguang jiwa serupa yang diidap Sybil dan Billy? Multiple Personality Disorder itu?

Dalam dunia komunikasi berbasis teknologi modern, representasi diri sudah beralih dari nama diri (kata) menjadi nomor (angka), alamat virtual, bahkan identitas diri sudah bertransformasi menjadi kode-kode yang hanya mampu dibaca oleh mesin pemindai dengan sistem tertentu, mata telanjang manusia tak mampu membaca barcode BBM, sebagai contoh. Barcode kemudian itu mewakili diri dalam ranah sosial virtual.

Memiliki lebih dari dua “identitas” di zaman sekarang bukanlah hal aneh. Sudah sangat lazim ada dua atau tiga nomor telepon selular yang dimiliki satu orang. Ada dua atau tiga alamat surat elektronik, sekian account Facebook, sekian pin BBM, id Line, dan sekian identitas lain untuk masing-masing media komunikasi yang dimiliki oleh satu tubuh manusia. Jika mau ditelusur, efisiensi adalah alasan yang akan sering dilontar ketika ditanya alasan memiliki representasi identitas yang multi itu, mungkin.

Awalnya, mungkin pemecahan identitas itu jadi semacam segmentasi untuk mempermudah seseorang dalam memainkan perannya di lakon yang berbeda dalam waktu yang nyaris bersamaan. Satu nomor ponsel untuk urusan keluarga, satu lagi untuk urusan pekerjaan, satu lagi untuk urusan hobi, dan lainnya. Satu nama Fb untuk berhubungan dengan kawan-kawan SMA, satu untuk urusan bisnis, satu untuk propaganda, satu untuk kekasih, satu untuk narsis, dan sekian wajah lainnya. Segmentasi yang barangkali akhirnya dapat pula menjadi segregasi. Manusia menjaga ketat topeng virtual satu dan topeng lainnya agak tak saling jumpa. Atau bahkan, dalam jejaring sosial, adapula yang sengaja dipertemukan seolah mereka adalah avatar dari orang yang berlainan. Nama-nama Fb itu saling berkomentar padahal ia dikendalikan oleh satu tangan yang sama. Apakah ini iseng belaka? Suatu strategi jebakan? Ataukah gejala gangguan mental?

Apakah hal seperti ini merupakan modernisasi dari topeng-topeng psikis itu? Wajah-wajah itu? Wajah yang dulu, betapapun banyanya, masihlah melekat pada tubuh yang satu. Lain dengan wajah virtual yang hanyalah avatar, tak melekat pada tubuh. Wajah-wajah itu seolah adalah satu diri utuh yang berlainan. Satu orang dengan wajah yang berlainan sama sekali, yang terpisah dari tubuh, tersekat satu sama lain, atau sengaja disekat. Mungkin ada beberapa orang yang dengan ketat menyekat masing-masing “diri”. Keluarga sebaiknya tak menghubungi nomor bisnis, kawan SMA dianjurkan untuk tidak berkunjung ke alamat virtual tempat bernarsis ria, kekasih dilarang keras mengetuk pintu avatar urusan hobi.

Sah saja, saya kira, jika ada sekian tuduhan terkait gejala multiple identity. Barangkali fenomena ini merupakan wujud profesionalisme dan proporsionalitas dalam era modern. Namun, satu sisi boleh jadi ini adalah sikap ketidakpercayaan diri. Ia tak percaya pada kediriannya yang utuh. Bahwa dirinya punya segala wajah begitu rupa, ia seakan menolaknya. Ia menolak dirinya sendiri. Avatar-avatar virtul telah memantik alter ego seseorang untuk bangkit dan eksis.

Manusia yang pada dasarnya adalah mahluk campur aduk, chaos, berkelindan antara rasionalitas, hasrat, emosi, dan segala hal kediriannya, luar dalam. Dibawah panji modernitas, kedirian yang gado-gado ini lantas ditertibkan dengan segmentasi-segmentasi yang nyaris rigid. Melalui avatar yang  berlain-lainan itu, seseorang seakan ingin menampilkan citra dirinya yang hanya satu wajah saja, yang sempurna. Rekanan bisnisnya tak boleh tahu bahwa ia kerap menumpahkan kesedihannya ditinggal kekasih lewat status-status Fb-nya. Ia ingin selalu terlihat tanpa cacat dari satu sudut. Ia ingin tampil religius, pintar, dewasa, dan rendah hati di satu sisi, dan tanpa diketahui sisi satunya, ia ingin pula menumpahkan hasrat narsistiknya yang menggelora, atau mengumbar kehendak hedonistiknya yang menggebu-gebu. Dalam skala parah, multiple identity boleh jadi adalah gejala robotisasi, sebuah proses dehumanisasi.

Sementara manusia merendah kepercayaan dirinya, saat itu pula ia terjebak pada pola pikir robotik yang terkotak-kotak. Lambat laun, ia akan mengalami kemiskinan identitas. Identitas kemanusiaannya yang kaya, kompleks, dan utuh akan tercerai berai jadi serpihan kecil. Manusia mengalami krisis identitas, hilang kecampur adukan khas manusianya. Perlahan, manusia akan dijadikan mesin oleh mesin buatannya sendiri.

Ataukah fenomena ini merupakan reaksi hiruk pikuk sosial yang makin menekan? Manusia tertekan hingga dirinya terpaksa pecah sebagai usaha penyelamatan diri, pecah kedalam avatar-avatar virtual. Alih-alih memenuhi kebutuhan, identitas yang beragam itu lebih merupakan tempat pelarian.

Ah, ini semua hanya sangkaan saja. Sebuah kegelisahan.

Rengganis,

2 – 3 Nov. 2016

Selasa, 01 November 2016

Yudas


Yudas

Akhirnya, membunuhmu adalah ungkapan cinta yang harus kulakukan.

Kau tahu, cinta itu sesuatu yang aneh. Misteri. Membuatmu nyaman sekaligus tersiksa. Banyak kisah tentang orang yang mencintai dan dicintai. Kau pasti sudah lebih akrab dengan yang seperti itu ketimbang aku. Kau yang mengajariku asmara lewat kisahmu atau lewat lakuanmu. Kau yang mengajariku memeluk. Kau yang mengajariku mengecup dan mengucup. Semua kubaca sebagai bahasa asmaramu. Ah, maaf aku mengatakan asmara. Tak usah kujelaskan mengapa aku lebih memilih kata asmara ketimbang cinta ketika membahas hal beginian, kau sudah paham, barangkali. Sudah sekian panjang ucapan dan tulisanku tentang hal  ini.

Tentang bahasa asmaramu, aku mencoba mengerti. Tak sulit memang, bahkan aku sempat menjadi pengguna bahasamu itu. Bahasa itu sempat jadi bahasa kita berdua. Kita tenggelam dalam simbol-simbol yang sama. Entah siapa yang menjebak atau siapa yang terjebak. Yang pasti, kita sempat tenggelam dan berkelindan bersama kuda hitam yang sama-sama kita kenal. Kuda hitam yang pekat hitamnya. Barangkali kau ingat, kita pernah menungganginya sampai hampir mampus. Atau barangkali kau, atau aku, lupa sama sekali sebab terlalu sering kita hampir mampus karenanya.

Aku, atau mungkin kita, lambat laun merasa ngeri juga dengan kuda hitam itu. Yang kian lama makin menggila ringkiknya. Yang kian lama makin menghentak derapnya. Yang kian lama makin kencang larinya. Yang kian lama semakin sering membuat kita nyaris mampus. Bukan kuda hitam itu yang salah, kurasa. Mungkin aku yang tak pandai menungganginya hingga kadang sebenarnya aku yang menuruti langkahnya berlari. Alih-alih mengendalikannya dengan tali kekang, ia membawaku, membawa kita, ke suatu tempat yang asing sama sekali : oase fatamorgana.

Ah, bahasa asmara memang mantra. Sihir. Membuat merasa ngapung padahal tak sejengkal pun kaki mengangkang. Dan kau, atau mungkin kita, sering merasakan yang demikian itu. Peluk dan kucup serasa sayap yang membawa kita menembus cakrawala. Lagi-lagi, bukan salah peluk dan kucup, kurasa. Barangkali aku yang keliru menggunakan kata. Atau mungkin kata-kata ini punya banyak makna, seperti melihat kubus. Kita tak pernah mampu melihat enam sisi kubus secara bersamaan dan utuh.  Apa yang salah dengan memeluk? Apa salah dengan mencium? Apa yang salah dengan asmara?

Bagiku, yang salah ialah ketika asmara justru jadi penjara. Asmara justru jadi sangkar besi yang salah kita kunjungi. Pada akhirnya, asmara memang adalah sangkar beli, selalu. Sangkar besi yang seharusnya membuat kita menjadi nyaman dan terjaga. Membuat kita menjadi merdeka dan menemukan kedirian kita yang sungguh. Selain bagi yang melakoninya, sangkar besi itu akan selalu terlihat penjara yang jijik dan memuakkan. Menjadi kerangkeng yang irasonal. Namun bagi para pelakonnya, sangkar besi itu adalah rumah terbaik, mungkin.

Dan aku melihatmu salah berkunjung. Sebenarnya ini sudah kukatakan berkali-kali, lewat ucapan dan tulisan, dan kau mendengarnya, kau membacanya. Betapa pun merajuk, bahkan dengan tubuhmu, meski tubuh kita berkelindan, aku bergeming saja.  Sudah kukatakan, aku tak begitu padai menunggangi kuda hitam itu. Dan kau pun agaknya demikian, sampai akhirnya kita sama-sama mampus, seperti sekarang.

Kau mampus dengan sekian luka. Telapak tanganmu, kanan dan kiri, berlubang, tak henti mengalirkan darah. Kakimu, kanan dan kiri, yang sudah tak berdaya itu, dihantam paku, dan pasti berdarah pula. Dan perut kanan mu pun, berlubang, berdarah. Sedang kepalamu musti bermahkota duri. Sudah kupaku tangan dan kakimu, kubiarkan kau bertelanjang menantang matahari. Kubiarkan kau bermandi hujan, kubiarkan kau dihantam angin. Ya, aku yang melakukannya. Aku yang menghujam kau di kayu salib.

Kini kau mampus, akhirnya. Kau mampus dengan sekian luka, dan aku pun. Aku akhirnya harus mampus juga dengan luka ditambah cacian sumpah serapah. Kau tahu, kau  yang jadi pahlwannya. Kau yang jadi jagoannya. Kau yang menang. Dan aku yang menyalibmu ini harus pasrah berperan sebagai Yudas. Kau yang lemah dan irasional selalu jadi yang baik dan benar. Demikianlah dunia, jagoan itu haruslah lugu atau bahkan bodoh, dan harus berhati peka, sepertimu, mungkin. Jagoan itu harus lemah dan tertindas. Sebaliknya, penjahat mustilah gagah berani, kuat dan berkuasa. Yang tertindas, yang lemah, selalu jadi yang benar dan berdiri di sudut kebaikan. Dan aku yang kataya kebalikan dari kau itu, harus jadi penjahat. Aku mampus sebagai penjahat.

Aku mampus dengan iringan sumpah serapah dan caci maki, bahkan oleh diriku sendiri, bahkan setelah tubuhku tinggal benulang. Aku mencaci diriku sendiri, biar utuh caci maki ini, biar aku teguh dan kukuh sebagai penjahat, biar aku yakin.

Bencilah aku sebagaimana orang-orang membenci. Cacilah aku sebagaimana orang lain mencaci. Akulah Yudas yang menyalibmu. Akulah Yudas yang melukaimu. Akulah Yudas yang membunuhmu.

Kalaupun kukatakan bahwa perbuatanku itu buat kemerdekaanmu, demi kau yang harus terus mencari, demi kau yang musti tinggal di sangkar besi yang tepat, demi kepulanganmu dari oase fatamorgana, demi kau, demi cintaku padamu, mungkin kau dan semua orang lain akan mengatakan itu hanya tahayul belaka. Biarlah.

Buatmu yang harus pulang.

Terbanglah.
Maaf, tangan dan kakimu musti terluka. Perutmu juga,
dan kepalamu musti bermahkota duri pula.

Kini, kita sama-sama mampus.
Kau, dengan luka-luka itu.
Aku, dengan luka dan kutukan sumpah serapah.

Aku yang mencintamu,
Yudas.   

Rengganis,

1 Nov. 2016

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...