Selasa, 31 Juli 2018

"Menonton" Jaman Now

Hidup tanpa teknologi, bagi manusia berbudaya, mungkin agak mustahil. Teknologi diciptakan manusia untuk memudahkannya melakoni berbagai bidang kehidupan. Awalnya, teknologi diciptakan dan digunakan sebatas untuk membantu manusia mengolah dan merespon alam untuk bertahan hidup. Kian kemari, kebutuhan manusia bertambah dan berkembang, demikian pun teknologi, ia semakin berkembang menyusul kebutuhan manusia. Teknologi bahkan kadang mendahului hadirnya kebutuhan itu sendiri. Telepon Pintar adalah salah satu teknologi yang agaknya paling banyak dimiliki orang-orang masa kini. Teknologi gawai ini adalah sebentuk teknologi yang mungkin melampaui kebutuhan manusia. Hadirnya teknologi ini justru merangsang, membangunkan hal-hal lain diluar kebutuhan mendasar manusia dalam hal komunikasi.
 
Teknologi juga turut mempengaruhi dunia seni pertunjukan. Ada yang hanya menggunakan teknologi sebatas komponen pembantu saja, semisal seorang penata cahaya yang menggunakan teknologi tertentu untuk menata cahaya dalam sebuah pertunjukan teater. Dikatakan pendukung karena meski tanpa kehadiran teknologi itu, pertunjukan teater tersebut tidak kehilangan esensinya. Dalam hal ini teknologi digunakan sebatas membantu memudahkan suatu perkerjaan. Ada pula pertunjukan seni yang menggunakan teknologi sebagai unsur utama. Semisal, sebuah pertunjukan tari yang menggunakan teknologi video mapping sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukannya, video mapping menjadi “penari yang lain”, misalnya, dan ini merupakan konsep. Dalam kondisi ini, teknologi betul-betul menjadi sumber daya utama dalam penciptaan karya seni. Ia bukan hanya pendukung yang bisa tergantikan seperti pada contoh tata cahaya dalam pertunjukan teater di atas.
 
Keberadaan teknologi bukan hanya mempengaruhi karya seni dan proses kreatifnya, namun juga segi manajemen produksi yang menjadi tenaga dibalik layar terciptanya suatu karya seni. Publikasi, misalnya, tidak harus lagi mengandalkan poster-poster cetak, baliho, iklan di radio atau koran tapi lebih mengandalkan dunia maya, khususnya media sosial, untuk mempublikasikan suatu pertunjukan. Secara ekonomi strategi ini tentu jauh lebih murah. Modalnya bisa hanya gawai dan jaringan internet, jauh lebih murah ketimbang musti mencetak poster, baliho, dan lain-lain.
 
Setelah kreator dan manajemennya, ternyata penonton dan caranya meonton pun tak luput dari pengaruh teknologi ini. Dulu, sebelum gawai merajalela, menikmati pertunjukan seni ya dengan mata, telinga, dan tubuh utuh dan seluruh akal pikiran dan perasaan. Dewasa ini, tren menonton dengan bantuan gawai barangkali sedang digemari. Dalam sebuah pertunjukan tari, dari seratus penonton, misalnya, mungkin ada tiga puluh atau mungkin lima puluh orang yang menyorotkan kamera gawainya dan merekam pertunjukan itu. Ada yang merekam, menyimpan, dan kelak melihatnya kembali sebagai bahan inspirasi atau evaluasi. Ada yang merekam dan segera mengunggahnya ke media sosial. Ada juga yang langsung mengunggahnya (live streaming) dengan batuan aplikasi tertentu semisal fitur “siaran langsung” pada media sosial Facebook. Ada juga yang merekam dan menyimpannya dan beberapa saat kemudian si empunya gawai akan menghapusnya. Konyol sekali.
 
Menonton pertunjukan seni dengan bantuan gawai ketika mata dan segenap tubuh dan jiwa kita masih mampu menikmati pertunjukan secara langsung, agaknya mereduksi beberapa hal yang seharusnya bisa dinikmati jika saja hasrat ber-gawai ria itu bisa agak dikendalikan. Biarkan saja mata dan telinga kita menerima gambar-gambar dan suara dari panggung tanpa harus memenjarakan peristiwa seni itu pada sebuah layar kecil. Dengan mewakilkan mata dan telinga kita pada gawai, pengalaman mencercapi peristiwa seni pertunjukan menjadi tidak alamiah, kurang manusiawi. Intimasinya akan berbeda. Dan juga barangkali akan terjadi reduksi karya seni. Segala yang ditangkap lensa kamera pasti mengalami modifikasi, penyesuaian dengan kemampuan si lensa kamera mengolah citra yang ditangkap dan media penampilnya. Jika saja lensanya bagus namun layar penampilnya buram, kan tetap saja buram. Jika pun layarnya bening tapi lensanya kotor penuh debu atau retak, atau kurang peka, misalnya, hasil tangkapan akan bermasalah. Mungkin yang paling rentan mengalami reduksi adalah warna, ukuran, cahaya, dan suara.
 
Peristiwa panggung akan diperkecil sesuai dengan ratio layar gawai. Ini tentu akan memperkecil objek. Meski penonton bisa zoom in atau zoom out melihat keseluruhan panggung dan adegan, misalnya, tapi dengan demikian justru malah jadi tidak manusiawi. Demikian pula warna-warna di panggung akan sedikit berubah dalam tampilan layar gawai. Bisa lebih cerah atau sebaliknya. Hal yang sama terjadi pada cahaya. Penerimaan mata dan lensa kamera atas intensitas cahaya panggung cukup jauh berbeda. Dengan bantuan gawai ini penonton bisa saja merasa sangat berkuasa atas peristiwa yang ada di hadapannya itu. Ia bisa memperlakukannya sesuka hati dengan bantuan gawai. Bisa memperbesar gambar, memperkecil, menaikan kontras, dan lain-lain.
 
Jika seni adalah representasi, penghadiran kembali, dari realitas maka kegiatan apresiasi seni (menonton) berarti menyaksikan representasi realitas. Bagaimana dengan menonton dengan bantuan lensa gawai? Saya meyakini bahwa sehebat apapun lensa kamera gawai dan gawai itu sendiri, menonton via gawai telah mereduksi beberapa hal yang seharusnya bisa dinikmati jika menggunakan mata dan telinga sendiri. Pertunjukan teater itu, pertunjukan tari itu, pertunjukan musik itu terkurung dalam layar mini, tereduksi atau bahkan diperkosa. Atmosfer dan suasana yang sengaja dipersiapkan kreator boleh jadi tidak akan mampu menembus batin sang penonton lantaran terhalangi oleh gawai. Jika lensa gawai diposisikan sebagai representasi mata, maka menonton pertunjukan seni via gawai berarti menyaksikan representasi realitas melalui representasi mata. Dengan begitu maka peristiwa seni yang ditonton di layar gawai itu adalah represntasi dari representasi realitas, itu pun sudah tereduksi. Makin jauh saja dari realitas.
 
Menonton pertunjukan seni via gawai mungkin menjadi sebentuk kepuasan tersendiri bagi yang mengimani. Ia bisa mengunggahnya, dan kemudian mendulang banyak “suka” dan komentar. Mungkin ini tren yang umum. Pergaulan antar manusia, bagi sebagian orang, lebih asik di dunia maya ketimbang pada tataran realitas yang dilakoni secara total tanpa avatar digital (lifeworld; lebenswelt). Memang, tidak mutlak berdampak buruk. Mungkin panitia penyelenggara atau tim produksi menjadi terbantu dalam hal dokumentasi sebab banyak orang yang mendadak berfungsi sebagai seksi dokumentasi video. Dan semakin banyak yang mengunggahnya, berarti pertunjukan seni ini semakin tenar, seidak-tidaknya di jagat media sosial. Ketenaran ini bisa membawa banyak dampak, bisa positif atau negatif. Intinya, tindakan menonton pertunjukan seni via gawai itu bisa dilihat dan dinilai dari banyak sisi. Orang-orang bisa berdebat pro dan kontra. Saya sendiri, seperti yang telah ditulis di atas, tergolong yang kontra dengan tindakan itu. Menonton pertunjukan seni, ya nikmat saja dengan tubuh dan jiwa yang utuh, tidak harus mewakilkan indra-indra kita pada teknologi yang justru malah mereduksi karya seni itu dan jangan-jangan berpotensi mereduksi, mengerosi, memperkosa, mencabik, memporak poranda, mengacaukan makna dan substansi.
 
Panjalu, 31 Juli 2018
 
foto : dokumentasi pribadi (happening art atau jeprut "Devil In Town" tahun 2010) 

Selasa, 24 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (IV) : Honorarium

 
Tentang honorarium dalam sebuah produksi seni pertunjukan merupakan fenomena unik, seksi, dan kadang kontroversial. Menurut KBBI daring, honorarium diartikan “upah sebagai imbalan jasa; upah di luar gaji”. Jadi yang diupahi atau yang ditukar uang adalah jasa. Dalam analogi sederhana, mungkin seniman yang menerima honor tidak beda dengan guru honorer atau pegawai honorer pada sebuah instansi atau lembaga. Yang namanya pegawai honorer biasanya bukan pegawai tetap. Mungkin ketidaktetapan seniman terletak pada masa kerja yang sangat terbatas dan cenderung temporer. Misalnya, seorang pemain alat musik rebab mendapat honor sebagai imbalan jasa bermain rebab pada sebuah proyek tertentu. Ketidaktetapan ini tidak hanya pada masa kerja tetapi juga pada nominal rupiah yang diterima. Honor seniman sangat variatif dan nyaris tidak punya standar jelas.
 
Seorang deklamator puisi bisa dihonor 2 sampai 5 juta untuk membaca 3 puisi, misalnya. Dan seorang deklamator lain bisa saja mendapat honor 100 ribu rupiah untuk membaca 3 puisi yang sama. Kabarnya, seorang aktor terater di Teater Koma bisa mendapat honor sampai 10 juta rupiah dalam sebuah produksi teater mereka. Dan disaat yang sama, aktor lainnya di kelompok Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC), misalnya, tidak pernah mendapat honor sepeserpun. Perbandingan ini memang agak berlebihan atau bahkan cendrung tidak adil, tidak apple to apple. Meski sama-sama kelompok teater, namun terlalu banyak perbedaan diantara keduanya. Membandingkan keduanya agaknya malah konyol. Pada kondisi lain, seorang seniman bisa saja dibayar dengan honor yang berbeda untuk dua produksi yang berbeda. Dan perbedaan ini bisa sangat tajam.
 
Gaji seorang pegawai di sektor usaha lain pun memang bisa variatif. Seorang teller di bank A belum tentu digaji dengan nominal yang sama dengan kawannya teller di bank B. Disparitas ini bisa disebabkan banyak hal dan ini hal yang lazim-lazim saja. Tetapi setidaknya perusahaan-perusahaan itu punya standar minimun yang ditetapkan pemerintah yang dinamakan Upah Minimun Regional (UMR). UMR ini bisa ditaati atau tidak, tapi setidaknya menjadi pertimbangan dalam menetapkan bayaran seseorang pegawai. Memang, beberapa sektor tidak mengindahkan hal ini, salah satunya sektor kerja kesenian.
 
Beberapa hal yang menyebabkan berbedanya honor seorang seniman dengan seniman lain dalam sebuah produksi seni pertunjukan bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang lazim menjadi pembeda upah atau gaji seseorang di sektor usaha lain semisal, jabatan, fungsi, tugas, tingkat keahlian, atau bisa juga usia, dan lain-lain. Besaran honor seniman murni ditentukan oleh si pembayar atau otoritas keuangan dalam sebuah produksi. Atau bisa juga harga umum seniman bersangkutan. Misal, seorang pemain kendang di Ciamis biasa dihonor 250 sampai 400 ribu. Ini menjadi kelaziman tanpa diketahui bagaimana perumusan besaran honor tersebut. Tapi kadang pula sang pemain kendang tidak dibayar dengan semestinya dalam arti kurang atau lebih dari kelaziman. Dunia musik masih lebih jelas dalam penetapan besaran honor. Biasanya yang jadi landasannya adalah kelaziman atau honor musisi lain dengan spesifikasi yang sama. Misalnya, seorang gitaris pada grup band indie atau lokal bisa mendapat honor 150 ribu sekali manggung. Suatu ketika ia mendapat job manggung pada sebuah acara besar dengan pengisi acara para musisi papan atas. Penetapan honor sang gitaris mungkin bisa berpatokan pada gitaris lain dengan “level” berbeda. Pada panggungan besar itu, honor sang gitaris indie itu bisa lebih besar ketimbang biasanya tapi tidak akan lebih besar dari gitaris band profesional meski skill sang gitaris indie jauh lebih baik. Pada kasus ini, berarti yang menentukan besar honor adalah nama besar seniman bersangkutan. Dari banyak faktor yang menentukan besaran honor seorang seniman, beberapa diantara mungkin :
 
Pertama, kemampuan (kualitas)
Hal kemampuan ini biasanya jadi pertimbangan utama yang mentukan besaran honor seorang seniman. Honor seorang maestro tari tentu akan berbeda dengan penari yang baru lulus sekolah seni. Hal keahlian ini agak lebih mudah dijadikan sandaran karena lebih mudah diketahui. Hal ihwal kemampuan menyangkut penguasaan seniman atas suatu atau beberapa kemampuan dan teknik tertentu pada sebuah atau beberapa bidang seni yang jelas bisa diobservasi. Seorang aktor teater yang menguasai teknik pemeranan macam teknik memberi isi, teknik pengembangan, teknik membina klimak, teknik timing, dan improvisasi dengan baik, misalnya, wajar bila mendapat honor yang lebih besar dari pada kawannya yang penguasaan teknik-teknik itu masih belum optimal atau bahkan tidak sama sekali.
 
Kemampuan seorang seniman dalam menghasilkan karya berkualitas kadang ditempa pula oleh jam terbang atau pengalaman. Banyak seniman alam (non-akademis) yang sangat luar biasa lantaran pengalamannya berkecimpung di dunia seni. Tentu bukan hanya itu, namun juga pengalaman dan perjalanan hidup secara luas, lahir batin, yang pasti turut menyumbang besar pada kualitas karya seorang seniman. Meski belum tentu juga seniman berpengalaman pasti membuat karya yang berkualitas.
 
Kedua, fungsi dan jabatan
Bisa juga honor seorang seniman ditentukan fungsi atau jabatannya dalam produksi pertunjukan. Fungsi dan jabatan kadang kala sesuai kadang kala tidak. Maksudnya, kadang kala seorang seniman hanya menjabat saja sebagai penata tari, misalnya, tapi ia tidak menjalankan fungsinya sebagai penata tari. Fungsi kepenataan tarinya dilakukan oleh orang lain. Ini biasanya terjadi ketika sebuah jabatan diberikan pada seorang seniman hanya karena menghormatinya sebagai sesepuh atau senior, atau alasan lain. Jadi antara fungsi dan jabatan itu dua hal yang berbeda. Ada juga ketika fungsi dan jabatan itu sesuai sebagaimana mestinya. Semisal, seorang seniman menjabat komposer dalam sebuah produksi opera dan ia benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya.
 
Ada kalanya otoritas keuangan dalam sebuah produksi menghonor seorang seniman berdasar jabatannya saja tanpa melihat apakah ia berfungsi atau tidak. Ada pula yang mempertimbangkan kesesuaian antara jabatan dan fungsi. Jika sang seniman yang menjabat ini tidak menjalankan fungsi jabatannya dan orang lain terpaksa menjalankan fungsinya itu, ada kalanya otoritas keuangan ini memberi tambahan honor pada di penjalan fungsi. Namun ada kalanya juga tidak.
 
Barangkali jika menilai honor berdasar fungsi akan lebih enak diterima ketimbang jabatan saja karena banyak kasus ketika seorang seniman yang secara tertulis hanya menjabat satu jabatan tapi pada pratiknya ia menjalankan banyak fungsi karena kekurangan SDM atau karena penjabat bersangutan mall function.  
 
Ketiga, popuaritas
Popularitas acap kali mempengaruhi besaran honor seorang seniman. Seniman yang tenar mungkin akan dihonor lebih besar ketimbang yang tidak tenar. Ketenaran ini bisa disebabkan banyak hal. Idealnya barangkali popularitas seniman disebabkan oleh kualitas karyanya atau pengaruh positif karyanya dan aktivitasnya pada kehidupan luas. Tetapi seniman yang kualitas karyanya bagus mungkin belum tentu tenar sebab ketenaran tidak hanya bertumpu pada kualitas karya atau kemahiran sang seniman namun juga, misalnya, publikasi. Maksdunya, bisa saja ada seorang seniman yang hebat namun kurang tenar karena kurang dipublikasikan baik karya maupun profil dirinya. Atau sebaliknya, sebenarnya ia tidak hebat-hebat amat tapi karena media mempublisirnya secara massif, ia akan tenar dan bayarannya biasanya akan mahal juga. Atau bisa seorang seniman menjadi tenar karena produktifitasnya berkarya terlepas dari kualitas karyanya. Bisa juga popularitas seorang seniman terbangun karena tindakan, pernyataan, sikap, atau gayanya yang eksentrik, nyeleneh atau kontroversial padahal karyanya biasanya-biasa saja atau bahkan kurang bagus atau bahkan ia tak punya karya sama sekali. Titel senimannya lebih karena ia sering hadir pada acara-acara kesenian atau berteman dengan banyak seniman tanpa punya satu karya seni pun. Kedekatan seorang seniman dengan pihak penguasa pun bisa membuatnya jadi tenar. Mungkin karena dekat dengan penguasa ia jadi sering mendapat proyek-proyek, sering manggung, sering kerja komersil by government order sehingga jadilah ia terkenal padahal karyanya biasa-biasa saja, misalnya. Tapi musabab popularitas juga mentukan besar tidaknya honorarium seniman. Kalau di dunia industri televisi atau indrustri hiburan, yang tenar pasti mahal, apapun musabab ketenarannya. Asal viral pasti tenar. Jika sudah tenar, jalan menuju kekayaan materi lebih mudah tercapai.
 
Keempat, loyalitas dan senioritas
Loyalitas atau dengan kata lain kesetiaan pada sebuah kelompok seni kadang kala menjadi pertimbangan otoritas keuangan dalam menentukan besaran honor. Atau bisa saja loyalitas dimaknai bukan sebatas loyalnya sang seniman pada sebuah kelompok seni tertentu tapi loyalnya seniman pada jalan kesenian yang ia lakoni, dengan bahasa lain mungkin bisa disebut dedikasi. Tentang hierarki senioritas kadang juga menentukan honorarium seseorang. Sang senior meski kamampuan menarinya biasa-biasa saja, misalnya, akan mendapat honor lebih besar ketimbang junior yang kemampuannya lebih baik. Seniman yang loyal biasanya lebih dihargai dari aspek keteguhannya setia pada jalan kesenian. Jika loyalitas berjumpa dengan kualitas, tentu bayarannya bisa jauh berbeda dengan yang lain. Banyak pula kondisi seseorang yang punya bakat dan kemampuan seni luar biasa namun tidak setia pada jalan seni, ia barangkali sebatas dikenang saja dan kemudian tenggelam. Mungkin karena dunia kesenian dianggap kurang menguntungkan secara materi akhirnya ia lebih memilih menjadi pengusaha, ASN, atau politisi, atau profesi lain yang lebih menjanjikan ketimbang kesenian.
 
Kelima, ide
Hal lain yang barangkali menjadi penentu besar kecilnya honor seorang seniman adalah ide. Sang seniman bisa saja kurang memiliki kemampuan dalam arti skill teknis tari, teater, atau musik namun ia memiliki gagasan yang luar biasa. Dalam sebuah kerja kolektif seni pertunjukan, agaknya ide atau gagasan tidak harus muncul dari sutradara saja atau dari satu orang saja. Ide bisa muncul dari siapa saja, dari personel tim produksi atau bukan. Kadang kala ada otoritas keuangan yang memperhatikan itu dan mengapresiasinya dengan wujud bayaran tertentu. Tapi barangkali hal ini agak jarang terjadi khususnya di Ciamis. Ide atau gagasan yang lahir dari seorang atau beberapa personel tim atau bukan, akhirnya melebur dan dianggap sebagai ide bersama.
 
Kasus seniman yang menduduki jabatan konsultan (atau dramaturg, misalnya) itu lain persoalan. Jikapun mendapat honor, ia memang dibayar untuk itu. Kerjanya ya sebagai pihak tempat berkonsultasi, ia memberi nasihat atau bahkan ide dan itu sudah tentu dihitung sebagai kerja yang wajar bila mendapat bayaran honor.
 
Kelima faktor tersebut sebenarnya tidak terpisah tegas. Semuanya berkelindan, campur aduk. Ada pula kelompok seni atau seniman atau otoritas keuangan yang membagi honor dengan sama rata, tidak pandang kemampuan, tugas dan fungsi, loyalitas, ide, popularitas dan lain sebagainya. Kondisi ini bisa terjadi permanen atau temporer saja untuk kerja kreatif tertentu. Dan selain kelima faktor tadi, banyak hal lain yang menentukan besar honor seorang seniman dalam sebuah kerja kreatif seni pertunjukan. Misalnya, yang paling mempengaruhi tentu saja besarnya biaya produksi. Dalam kerja kreatif komersil, jika nominal job yang diterima itu besar, ya mungkin honornya pun besar, demikian pula sebaliknya.
 
Ada otoritas keuangan yang sudah menganggarkan sejumlah uang untuk honorarium jauh-jauh hari. Ia mencantumkannya dalam rancangan anggaran biaya dengan terang-terangan dan jujur. Ada pula yang malu-malu mencantumkannya pada lembar anggaran biaya tapi ketika uang diterima, buru-buru ia menyisihkan untuk honor. Ada lagi yang tidak mencantumkan dan tidak menyisihkan, ia hanya berharap banyak uang sisa yang kelak akan dibagikan sebagai honor. Jika toh tidak tersisa, ya wassalam. Biasanya yang memang tidak mencantumkan pos honor pada rancangan anggaran biaya akan mencari uang lebih dengan me-mark up anggaran biaya yang dibutuhkan, sisa uang hasil pelambungan itu akan dijadikannya honor, itu pun bila sumber dananya dari pihak lain dan sang seniman memperoleh dana melalui mekanisme pengajuan proposal. Dan macam-macam cara lainnya. Ada suatu kondisi ketika besaran honor sudah ditentukan melalui kontrak baik tertulis maupun tidak. Sang seniman sudah dijanjikan nominal tertentu sebelum ia bekerja. Ada pula seniman atau otoritas keuangan dalam sebuah produksi seni pertunjukan yang menentukan honor berdasarkan rasa suka dan tidak sukanya pada seseorang, like or dislike. Ini tentu sangat subjektif dan berpotensi tidak adil. Namun meski demikian, hal ini adalah fenomena yang ada di dunia seni pertunjukan.
 
Hal lain yang membingungkan adalah sifat kesenian yang kualitatif. Dan kualitas itu pun sering kali sulit dirumuskan lantaran sedikit banyak melibatkan hal ihwal rasa atau selera yang boleh jadi sangat berlainan antara satu orang dan yang lain. Jadi jikapun honor seorang seniman dinilai dari kualitasnya, standarisasi kualitasnya pun kadang kala tidak baku. Ini membuat disparitas honor sukar dielakan.
 
Jika pun berharap pada negara untuk hadir pada ranah honorarium seniman, sebagaimana negara (katanya) sudah hadir pada ranah honorarium tenaga honorer bidang non-seni dan dunia buruh, mungkin langkah yang bisa dibuat negara melalui pemerintah ialah jika pemerintah ini memesan sebuah karya seni pertunjukan janganlah menyamakannya dengan mereka menyuruh kuli bangunan memperbaiki atap atau tembok kantor dinas mereka. Bukannya seniman minta diistimewakan, tapi pemerintah juga harus ngarti, setidak-tidaknya, beda antara kuli bangunan dan pekerja artistik. Mendudukan sesuatu pada maqomnya mungkin bisa juga merupakan  manifestasi sila ke lima dalam pancasila.  

 

Tamat.

foto : dokumentasi pribadi. pertunjukan Heart Of Almond Jelly (Wishing Cong), sutradara Rika R. Johara. Poduksi Women In The Zero Project, 2017
 

Panjalu, 24 Juli 2018

 

 

Minggu, 22 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (III) : Ngurus Duit

 
Sebenarnya saya bingung menemukan istilah yang sesuai buat bab ini. Intinya saya ingin berbagi pengalaman dan hasil penalaran tentang bagaimana seniman atau sebuah kelompok seni mengelola keuangan dalam sebuah produksi seni pertunjukan. Pengaturan ini erat kaitannya dengan tipe manajemen yang diimani dan dilakukan sang seniman, atau karakter pribadi sang seniman sendiri. Atau juga tergantung situasi dan kondisi keuangan dan produksi seni pertunjukan itu sendiri. Ini sependek pengalaman dan penalaran saya saja. Tentu banyak yang tidak saya ketahui atau boleh jadi banyak kekeliruan dalam tulisan ini, ya mohon dimaafkan.
 
Dalam sebuah produksi seni pertunjukan, apapun orientasiya, ada hal kewenangan kebijakan keuangan dan pengelolaan keuangan. Kewenangan dan pengelolaan ini bisa terpusat ataupun terdistribusi.
 
Pertama, kewenangan terpusat
Yang dimaksud terpusat adalah semua kebijakan keuangan diputuskan oleh satu orang saja. Dari kebijakan besar semacam menentukan biaya pembuatan benda-benda artistik, konsumsi makan besar, sewa gedung, honorarium sampai hal sepele semacam biaya foto copy, print dokumen, membeli gorengan atau kopi semua diputuskan oleh seorang saja. Biasanya dia sendiri yang memegang uang dan mencatat pengeluaran. Sang pembuat kebijakan bisa transparan bisa pula tidak terkait kondisi keuangan. Atau ada juga yang berstandar ganda, biasanya ini terjadi dalam oreintasi kerja kreatif komersil. Jika ternyata merugi karena satu dan berbagai hal, ia akan terbuka dan memohon pengertian pada seluruh personel lantaran honornya kecil atau tidak dibayar sama sekali, misalnya. Atau bisa juga ketika untung besar, sang pemegang kebijakan itu malah anti-transparansi sama sekali karena ia meraup keuntungan besar sedang yang lain dibayar alakadarnya saja tapi ia tidak ingin dicitrakan seniman materialistik. Kondisi pengelolaan keuangan macam ini bisa terjadi tidak hanya pada kerja kretaif komersil namun juga pada kerja kreatif idealis. Ada pula kondisi ketika pengelolaan keuangan terdistribusi pada beberapa unit kerja namun unit itu tidak diberi kewenangan untuk membuat kebijakan keuangan, unit hanya berfungsi sebagai pekerja saja. Mereka hanya melaksanakan perintah otoritas keuangan. Jika pun difungsikan lebih, unit biasanya hanya akan diwajibkan mencatat semua pengeluaran keuangan saja. Jadi pengelolaannya saja yang terdistribusi, kewenangannya tidak.
 
Kewenangan terpusat biasa terjadi pada kelompok seni tanpa keanggotaan yang jelas. Seseorang bisa saja membuat kelompok seni berbadan hukum perkumpulan atau bahkan yayasan. Atau hanya bermodal surat keterangan dari dinas terkait. Atau tanpa dokumen legal formal sama sekali. Meski pada catatan dokumen ada nama-nama yang tertera sebagai pengurus, namun ada kalanya itu cuma omong kosong belaka. Nama-nama itu tidak pernah bekerja sama sekali atau yang lebih parah sang pemilik nama tidak tahu jika ia dicantumkan. Dalam bahasa Sunda diistilahkan dengan tulis tonggong. Pencantuman itu lebih untuk kepentingan pemenuhan syarat legal formal saja. Praktiknya, semua kebijakan keuangan diputuskan oleh seorang saja.
 
Kondisi ini bisa pula terjadi terpada kelompok seni dengan keanggotaan jelas namun terjadi distansi usia, kemampuan, keilmuan, dan pengalaman yang jauh sekali antara anggota dan pengurus atau ketua. Anggota hanya dibekali kemampuan kesenian tanpa harus tahu dapur kelompok bersangkutan. Mungkin tujuannya baik, maksudnya agar tidak turut pusing memikirkan keuangan. Atau bisa juga tujuannya jahat, yakni untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari keringat dan kerja keras bersama tanpa pemerataan kesejahteraan. Hal terakhir ini agaknya kurang terpuji, semacam exploitation de l’homme par I’homme.
 
Yang unik pada kondisi ini, ada istilah one man show, yang bisa diartikan satu orang mengerjakan segala hal sendirian saja, termasuk mengelola keuangan. Selain sebagai pengelola tunggal, ia juga bisa merangkap sebagai konseptor, sutradara, perancang anggaran biaya produksi, penata dan pekerja artistik, dan lain-lain. Ia juga yang mengurusi konsumsi, publikasi, akomodasi, dan ia juga yang menetukan dan membagikan honor jika ada. One man show biasanya menganut anti-transparansi keuangan.
 
Kedua, kewenangan terdistribusi
Pada kondisi ini, biasanya tim produksi terbagi menjadi unit kerja atau divisi yang khusus menangani bidang tertentu. Unit tersebut diberi sejumlah dana yang bisa ia kelola dan ia berhak membuat keputusan tekait penggunaannya tanpa harus meminta persetujuan pihak lain. Misalnya, sebuah tim produski teater terbagi menjadi dua bagian besar yakni pentas dan non-pentas. Depatemen pentas dikepalai oleh sutradara dan untuk mengurusi keuangan pentas, ia didampingi oleh seorang administrator, atau bisa saja sang sutradara sendiri merangkap sebagai admin. Admin ini akan mengelola dan mendistribusikan lagi dana yang ia terima kepada unit yang lebih kecil semisal divisi kostum, tata rias, tata cahaya, dan lain-lain. Masing-masing unit diberi kewenangan mengelola keuangnnya sendiri. Biasanya unit-unit ini akan mencatat pengeluaran keuangan dan melaporkannya pada sang administrator pentas. Demikian pula dengan departemen non-pentas yang dipimpin oleh seorang pimpian produksi atau kadang diseut manajer saja, akan terbagi-bagi menjadi seksi konsumsi, publikasi, dokumentasi, akomodasi, dan lain-lain yang kesemuanya diberi kewenangan kebijakan dan pengelolaan keuangan. Model pembagian ini lebih mirip pengelolaan keuangan di perusahaan atau pemerintahan.
 
Pembagian unit kerja bisa berbeda-beda antara satu poduksi dengan produksi lain baik dalam satu kelompok yang sama maupun kelompok yang berlainan. Hal ini biasanya disesuaikan dengan kebutuhan pementasan dan kesepakatan bersama. Paling sederhana, pembagian ini terbagi menjadi dua yakni kewenangan keuangan pentas dan non-pentas. Pola hubungan antara sutradara dan pimpinan produksi (pimpro) atau manajer bisa punya beberapa tipe. Ada kondisi ketika sutradara merupakan panglima tertinggi dalam segala hal. Artinya, sutradara berwenang juga menentukan hal ihwal kebijakan keuangan. Pimpro lebih berfungsi sebagai pelaksana atau administrator dengan kewenangan terbatas. Bisa juga sebaliknya, sutradara adalah “bawahan” pimpro dalam bidang artistik-estetika. Kebijakan menyangkut hal artistik-estetik sangat bisa diintervensi oleh pimpro. Mungkin pola kerja dalam industri perfilman bisa dikategorikan demikian di mana produser (sebagai pemilik modal) adalah penguasa tertinggi. Ada pula kondisi ketika sutradara dan pimpro berstatus sejajar. Sutradara akan mengurusi perkara artistik-estetik saja dan pimpro mengurusi hal selain itu. Dalam praktiknya, keduanya akan saling berinteraksi dan tak jarang berselisih paham. Perselisihan ini bisa terjadi lantaran beberapa hal. Yang paling lazim ialah ketika idealisme sutradara tidak sebanding dengan kondisi keuangan yang ada. Atau perbedaan orientasi. Sutradara mengejar idealisme sedang pimpro mengejar keuntungan materi. Jika dana yang ada bisa mengcover idealisme sutradara dengan tidak merugikan secara materi, tidak masalah bahkan mungkin hal inilah kejaran utama semua seniman dan kelompok seni. Namun jika dana yang ada tidak mencukupi, dengan pola kesejajaran antara sutradara dan pimpro dan keduanya keukeuh pada pendirian dan orientasi masing-masing, percekcokan akan sulit dihindari.   
 
Bersambung….
 
foto : "Nagara Angar" (Dadan Sutisna); Sutradara Ridwan Hasyimi, TTMC 2013
 
Panjalu, 22 Juli 2018

Kamis, 19 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (II) : Kapital



Dalam praktiknya, ketiga model oreintasi yang dipaparkan pada bagian I tulisan ini tidaklah terpisah secara rigid. Dalam kerja kreatif idealisme, boleh jadi ada orientasi komersil atau sosial. Atau dalam kerja kreatif sosial kerap kali terselip juga orientasi idealis dan orientasi komersil. Ketiga orientasi itu bisa hadir bersamaan, atau hanya dua saja. Yang membedakan adalah prosentasenya, prioritasnya. Jika dalam kerja kreatif idealis, meski ada keinginan untuk mendapat keuntungan materi namun itu tidak menjadi pertimbangan penting, tidak jadi yang utama. Demikian pun dalam kerja komersil, sang seniman sedikit banyaknya ingin idealismenya muncul dan terasa, namun hal itu harus berhadapan dengan kenyataan kondisi anggaran yang ada. Jika kebutuhan untuk mewujudkan gagasan sang seniman terlampau mahal atau tidak sesuai dengan pos anggaran, dengan kecenderungan orientasi komersil, idealisme itu pastilah kalah atau setidak-tidaknya negosiatif. Singkatnya, mereka bertiga berkelindan dalam suatu proses kerja kreatif, kadang saling tumpang tindih.
 
Sebuah kerja kreatif, apapun orientasinya sedikit banyaknya membutuhkan biaya dalam praktiknya. Membutuhkan kapital dalam arti modal. Biaya bisa didapatkan dari berbagai sumber dana. Persoalan keuangan ini bisa menyangkut banyak hal. Saya menulis secara sederhana saja, diantaranya, sumber dana (kapital), mekanisme pengelolaan keuangan yang erat kaitannya dengan sistem dan bentuk manajemen sang seniman atau kelompok seni, dan honorarium. Persoalan honorarium sebenarnya bisa digolongkan pada mekanisme pengelolaan keuangan, namun karena persoalan-persoalanya yang kompleks, maka mungkin lebih baik jika dibicarakan tersendiri.
 
Dalam bagian II ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman ihwal sumber dana produksi seni pertunjukan. Hal ini sebatas berdasar pengalaman dan pengetahuan saya yang dangkal. Mungkin sekali banyak hal yang terlewatkan atau bahkan keliru dalam tulisan ini. Mohon dimaafkan.
 
Ditinjau dari segi sumber dana (kapital) sebuah produksi seni pertunjukan, setidak-tidaknya ada bisa dibuat dua kategori besar.
 
Pertama, sumber dana pribadi (internal).
Sesuai dengan istilahnya, sumber dana produksi adalah berasal dari kocek sang seniman atau kelompok seni sendiri. Sumber dana macam ini biasanya lazim terjadi pada kerja kreatif idealis. Sang seniman membiayai sendiri karya seninya tanpa harus berhitung untung rugi. Jika saja ternyata biaya produksi bisa terbayar dari penjualan tiket, ya syukur. Jika tidak, seharusnya tidak jadi masalah bila memang orientasi utamanya adalah mengejar kepuasan batin. Dengan kata lain, sang seniman membeli kepuasannya sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa sama saja ketika seseorang membeli beras untuk makan atau seseorang mengeluarkan sejumlah uang untuk berlibur. Mereka sama-sama membeli kebutuhan dan kepuasan pribadinya. Bagi sebagian orang, mengeluarkan biaya sendiri untuk keperluan karya seni guna memenuhi idealisme (kepuasan batin) mungkin sukar dimengerti. Tapi bila dianalogikan dengan seseorang yang mengeluarkan biaya untuk berlibur atau membeli hadiah untuk seorang kekasih (kepuasan batin), mungkin bisa membantu untuk memahami alam batin dan pikiran sang seniman. Ia rela menghabiskan hartanya untuk sebuah pertunjukan seni. Hakikatnya, ia menukar sesuatu untuk sesuatu yang lain yang lebih ia cintai.
 
Ada pula kasus atau situasi dalam model kerja kreatif sosial atau komersil ketika seniman merogok kocek sendiri untuk pembiayaan produksi. Hal ini biasanya terjadi karena biaya pewujudan ide lebih besar ketimbang anggaran yang disediakan sedangkan orientasi idealis lebih mendominasi, maka pembengkakan biaya pasti terjadi. Biaya tambahan itu kadang kala dirogoh dari kocek seniman sendiri demi terwujudnya capaian artistik dan estetik yang dikehendaki. Atau jika si penyandang dana bersedia untuk menyetujui tambahan anggaran, ya syukur saja, sang seniman tidak merugi secara materi. Jika tidak, demi sebuah kepuasan, habis berapa pun kadang tak diperhitungkan.
 
Atau ada kala dalam kerja kreatif sosial atau komersil, sang seniman harus merogoh kocek sendiri sebagai dana talangan karena pencairan dana dari sang pemilik modal terlambat atau tidak tepat ada waktu yang dibutuhkan. Ini lazim terjadi, apalagi jika sumber dana berasal dari pemerintah. Prosedur pencairan dana pemerintah yang cenderung lama dan rumit sering kali membuat seniman harus siap sedia dana talang. Jika bukti pengeluaran dana talang terdokumentasi dengan baik, sang seniman bisa lebih mudah minta segera diganti, jika tidak, persoalan akan menjadi semakin runyam.
 
Kedua, sumber dana pihal lain (eksternal).
Kebalikan dari yang pertama, sumber dana ini berasal dari pihak luar, artinya bukan sang seniman yang mendanai produksi karyanya sendiri. Sumber dana eksternal ini bisa dari perorangan, iuaran masyarakat, lembaga swasta maupun pemerintah. Tidak hanya pada kerja kreatif sosial dan komersil, pada kerja kreatif idealis pun sering kali, bahkan sangat sering melibatkan pihak lain sebagai penyandang dana.
 
Banyak cara seniman mendapatkan bantuan dana dari pihak lain. Ada kalanya seniman mendapat pesanan (order) dari pihak tertentu untuk membuat atau menampilkan suatu karya seni. Sang pemilik modal boleh jadi sudah punya embrio gagasan tentang karya tersebut. Dia mungkin memesan pertunjukan teater dengan tema atau bentuk tertentu. Contoh lain, misalnya sebuah partai politik memesan sebuah pertunjukan drama tari yang mengisahkan perjuangan, semangat, atau sejarah pendirian partainya atau kisah salah satu tokoh pendiri partainya. Atau contoh yang lebih sederhana misalnya, seorang mengundang sebuah grup musik untuk tampil pada resepsi pernikahan anaknya dan memintanya memainkan lagu-lagu tertentu. Atau sang seniman diminta untuk membuat karya dan melatihkannya pada anak-anak SD untuk sebuah lomba tari atau paduan suara dengan bayaran tertentu. Contoh-contoh demikian biasanya tejadi pada orientasi kerja kreatif komersil. Pada kerja kreatif sosial, pesanan-pesanan seperti ini mungkin saja terjadi. Mekanisme by order macam itu mungkin juga terjadi pada kerja kreatif idealis. Hal ini bisa terjadi bila ada kesamaan idealisme atau visi yang sangat presisi antara (pesanan) sang pemilik modal dan sang seniman. Sayangnya, kondisi terakhir ini jarang sekali terjadi.
 
Atau kadang kala pemilik modal tidak memesan konten atau bentuk tertentu sama sekali. Dia hanya memesan seni pertunjukan, apa pun bentuk dan kontennya, ia bisa saja tidak peduli. Kondisi demikian bisa terjadi biasanya bila sang pemilik modal sudah cukup mengenal sang seniman sehingga sudah ada rasa saling percaya dan saling memahami selera seni masing-masing. Atau bisa juga sang pemilik modal memesan seni pertunjukan pada kelompok atau seniman yang sudah punya nama besar. Sang pemilik modal tidak punya konten atau bentuk pesanan khusus. Yang ia “beli” ialah nama besar sang seniman dan dampaknya di kemudian hari. Dengan kehadiran sang seniman pun sudah merupakan keuntungan atau kepuasan baginya. Dalam kondisi tertentu, kehadiran seniman besar ini bisa dinilai sebagai dukungan atau simpatinya pada sang pemilik modal. Misal saja, teatreawan A yang sudah punya nama besar hadir untuk membacakan puisi pada sebuah acara yang dihelat sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang sedang ramai dibincangkan karena usahnya dianggap merugikan petani sawit dalam negeri. Mungkin saja seniman dengan ideologi tertentu akan menilainya sebagai sebuah tindakan yang kurang pantas atau bahkan diledek sebagai pelacuran sama sekali.
 
Untuk sebagian seniman, ketundukan pada pesanan terkadang dinilai kurang pantas. Seni tunduk bersimpuh di kaki pemilik modal dianggap menghinakan idealisme dan harga diri seniman sebagai mahluk yang dianggap merdeka. Apalagi bila sang pemilik modal punya tujuan tertentu dengan karya seni atau seniman itu yang dipandang bertentangan dengan norma, moralitas, filosofi hidup atau ideologi yang dianut sebagian seniman lain. Apalagi bila sang pemesan punya tujuan jahat semacam pendistorsian sejarah, pengkaburan fakta, atau tujuan lain demi keuntungan pribadinya.
 
Namun bagi sebagian seniman lain, itu tidak jadi soal. mengerjakan karya seni by order demi mencukupi kebutuhan hidup bukan suatu hal hina dan dianggap wajar saja, Itu bukan sebentuk pelacuran atau penggadaian idealisme, apapun pesanan yang diminta. Itu kerja sebuah profesional. Mungkin seperti kerja pengacara dalam dunia hukum.
 
Selain mekanisme by order yang dalam beberapa kasus berpotensi menimbulkan kontroversi, seniman juga kadang mencari sendiri pihak yang bersedia memberikan modal produksi. Dalam situasi ini sang seniman biasanya sudah mempunyai konsep untuk karya seninya. Konsep tersebut dituangkan dalam bentuk proposal dan diajukan pada satu atau beberapa pihak yang dinilai siap dan sanggup membiayai. Pembiayaan bisa dalam bentuk uang atau hal lain. Pola kerja samanya bisa sponsorship atau donasi. Dalam hal sponsorship, ada timbal balik yang diharapkan penyandang dana. Dalam seni pertunjukan, timbal balik itu biasanya berupa kesediaan sang seniman untuk mencantumkan logo atau nama penyandang dana pada media publikasi yang ada semisal baliho, poster, booklet pertunjukan, kaos produksi, dan lain-lain. Pola kerja sama ini sangat lazim terjadi. Ketentuan-ketentuan sponsorship biasanya sudah dipersiapkan sang seniman dan dicantumkan jelas dalam proposal. Sedang pada hal donasi, sang donatur biasanya tidak menuntut timbal balik apa-apa. Ia hanya memberi bantuan dana atau bantuan dalam bentuk lain secara sukarela. Jika pun ada timbal balik, sang seniman mungkin hanya mencantumkan namanya pada lembar ucapan terima kasih.
 
Mekanisme lain yang dilakukan seniman untuk mencari sumber dana misalnya dengan menyasar program dana hibah atau program lain dari suatu lembaga tertentu yang berkaitan dengan seni. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang biasa memiliki program terkait pembiayaan produksi karya seni, semisal Djarum Foundation, Yayasan Kelola, Hivos, Ford Foundation, Japan Foundation, Gothe Institute, Institut Francis d’Indonesie, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai program-program yang menyediakan sejumlah dana untuk seniman yang karyanya memenuhi syarat dan kriteria program tersebut. Nominal dana biasanya sudah ditentukan berikut syarat dan ketentuan. Sang seniman bisa mendaftar dan bila lolos kurasi, ia bisa terlibat dalam program tersebut dan mendapat sejumlah dana atau fasilitas lain. Selain lembaga-lembaga tersebut, pemerintah juga biasanya punya program serupa. Misalnya saja program-program dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif, atau pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten. 
 
Tentu banyak pola dan mekanisme lain yang digunakan seniman untuk memperoleh dana untuk memproduksi sebuah karya seni pertunjukan baik dalam konteks idealis, sosial, maupun komersil yang belum tertulis di sini. Hal itu semata karena keterbatasan saya.
 
Bersambung…
foto : dokumentasi pribadi 
Panjalu, 19 Juli 2018

Rabu, 18 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (I)

 


Pertama sekali, tulisan ini bukan sebuah hipotesis ilmiah. Ini sekedar menumpahkan pengalaman dan hasil pengamatan sederhana saja.
 
Bila menyaksikan sebuah pertunjukan seni, baik tari, musik, maupun teater, atau menghadiri pameran seni rupa atau membaca karya sastra, sebagai apresiator, saya atau mungkin Anda juga, kerap kali terkagum-kagum, terkesan dengan karya seni itu. Apakah karena karya itu dipahami dan menyentuh perasaan, atau karena tawaran gagasannya yang keren dan menarik, atau lantaran kemampuan, kedalaman serta kecerdasan senimannya yang dikagumi. Banyak alasan mengapa saya mengagumi sebuah karya seni. Sebagian penonton mungkin tidak tahu mendalam ihwal hal-hal dibalik penciptaan karya seni. Dan hal itu bisa penting dan tidak penting. Penonton memang tidak wajib tahu apa kisah dibalik sebuah pertunjukan tari yang memukau misalnya. Juga penonton tidak wajib tahu berapa honor yang diterima seorang penulis naskah drama yang karyanya edun luar biasa. Itu persoalan dapur, soal rumah tangga seniman atau kelompok seni yang menggarap.
 
Sebuah kerja kreatif kesenian bisa punya banyak orientasi atau tujuan. Dorogan yang mendasari pun bisa datang dari mana saja. Sependek saya berkesenian, khususnya di daerah macam kabupaten Ciamis tempat saya berdomisili, setidaknya ada tiga macam kecenderungan orientasi kerja kreatif kesenian. 
 
Pertama, kerja kreatif idealis. Kerja kretif ini lebih berorientasi mewujudkan apa yang ada di benak kreatornya secara maksimal tanpa pertimbangan untung rugi secara ekonomi atau pertimbangan lain. Yang terutama sekali adalah apa yang diinginkan sang seniman tercapai tanpa kurang dan cacat. Kepuasannya tercapai bila seluruh gagasan dan konsep bisa terwujud, berapa pun sumber daya yang diperlukan. Dalam kerja kreatif ini, dorongan muncul dari diri seniman sendiri. Ia ingin melakukan sesuatu dengan diri dan kemampuannya. Ia ingin menyampaikan kegelisahannya, atau menawarkan sebentuk gagasan atau ide tentang suatu hal, atau menawarkan solusi dari sebuah persoalan yang disampaikan dalam bentuk karya seni. Persoalan pembiayaan, sang seniman atau kelompok seni bisa mencari sponsor atau meminta bantuan dana dari siapa pun atau rogoh kocek sendiri tanpa harus berhitung untung rugi. Pendapatan berupa kekayaan materi bukan tujuan utama atau bahkan bukan tujuan sama sekali. Orientasinya ialah tercapainya kepuasan batin bila mana segala yang diinginkan (idealisme) tercapai. Kerja kreatif macam ini memberi ruang seluas-luasnya bagi seniman untuk berkarya.
Kedua, kerja kreatif sosial. Dalam kerja kreatif ini, dorongan berkarya muncul dari masyarakat. Orientasinya untuk kegiatan masyarakat dan atas dasar permintaan masyarakat. Dalam hal ini, seniman lebih menempatkan atau ditempatkan sebagai anggota masyarakat pada suatu tatanan sosial tertentu dan menjalankan peran sosialnya dengan prinsip gotong royong. Persoalan pembiayaan, biasanya bersumber dari iuran masyarakat, atau bantuan dana dari pihak luar, atau donasi dari satu atau beberapa tokoh masyarakat. Atau bahkan nyaris tanpa dana dalam arti semua sumber daya yang digunakan dalam kerja kreatif ini berasal dari masyarakat berupa barang, tenaga, pikiran, atau keahlian tertentu tanpa musti mendapat upah. Jika pun sang seniman mendapat upah, biasanya alakadarnya saja. Atau bahkan tidak mendapat upah sama sekali. Kerja kreatif model ini biasanya masih kental di budaya rural pada kegiatan yang bersifat adat semisal Hajat Bumi, Ruwatan, Nadran (Hajat Laut, Syukuran Nelayan), atau ritual-ritual adat lainnya. Atau kegiatan perayaan ulang tahun desa atau kampung, 17 Agustusan, atau perayaan hari besar keagamaan. Di kampung-kampung, acara pernikahan atau sunatan pun masih ada yang mendasarkan pada model kerja macam begini. Seniman berpartisipasi, menari, bermain musik atau lainnya secara cuma-cuma atau dengan bayaran alakadarnya. Dalam bahasa Sunda, ada yang mengistilahkan ini dengan kata kaul. Kerja sang seniman lebih diposisikan sebagai hadiah bagi si empunya hajat. Kepuasan sang seniman tercapai bila mana masyarakat secara umum merasa puas.
Ketiga, kerja kreatif komersil. Pada model kerja kreatif ini, seniman lebih memposisikan diri atau diposisikan sebagai individu yang berprofesi sebagai seniman atau dengan kata lain, menghidupi diri secara materi dari hasil karya seninya. Seniman mendapat bayaran atau keuntungan materi lainnya dari hasil kerja kreatifnya. Dalam konteks ini, mungkin seniman lebih memainkan peran sebagai pedagang. Karya seninya dapat dipadang sebagai komoditas bernilai ekonomis. Dorongan yang mendasari adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan sang seniman sebagai manusia pada umumnya. Seniman butuh membeli bahan makanan, membayar cicilan rumah, bayar listrik, cicilan kendaraan, iuran sekolah anak, membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan memanjakan diri dan keluarga dengan berlibur atau makan di restoran. Pada model kerja ini, setidak-tidaknya ada dua model turunan jika ditinjau dari posisi seniman dalam rantai ekonomi.
Pertama, seniman sebagai pekerja atau tenaga ahli. Dalam posisi ini sang seniman biasanya mendapat pesanan (order) dari pihak lain (pemilik modal) untuk menghasilkan karya seni dengan muatan (content) atau bentuk tertentu. Tugas sang seniman hanya mengerjakan sesuai pesanan saja, menginterpretasi keinginan pemesan dan menerjemahkannya dalam bentuk karya seni. Dalam hal ini, bisa terjadi tawar menawar harga atau tidak, seperti perdagangan pada umumnya. Contoh yang lazim semisal, prosesi seni pembukaan suatu acara, pesanan desain, pesanan cinderamata, prosesi seni penyambutan pengantin, mengisi acara hiburan pada kegiatan selebrasi, aktor/aktris industri perfilman, dan lain-lain.
Kedua, seniman sebagai produsen. Seniman memproduksi karya seni dan menjualnya pada konsumen. Pada kondisi ini seniman harus pandai membaca kehendak pasar agar komoditinya diminati. Seorang musisi membuat musik, merekam, dan menjualnya; atau seorang sutradara teater membuat sebuah pertunjukan, manajemen memasarkan dan menjual tiket; atau seorang perupa membuat lukisan, kalung atau gelang unik lantas menjualnya; seorang sastrawan membuat novel untuk dijual, kesemua itu bisa menjadi contoh untuk model turunan kedua dari kerja kreatif komersil. Dalam model kerja komersil, orientasi utama adalah keuntungan materi. Prinsip dan hukum ekonomi jelas berlaku di sini. Pemerintah mengkategorikan model kerja ini ke dalam industri kreatif. Pemerintah bahkan membuat sebuah badan khusus untuk menangani sektor ekonomi ini yaitu Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf atau B-Kraf).

Bersambung…..

foto : Hajat Laut 2014, Pantai Barat Pangandaran
 
Panjalu, 18 Juli 2018

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...