Rabu, 18 Juli 2018

Model Kerja Kreatif (I)

 


Pertama sekali, tulisan ini bukan sebuah hipotesis ilmiah. Ini sekedar menumpahkan pengalaman dan hasil pengamatan sederhana saja.
 
Bila menyaksikan sebuah pertunjukan seni, baik tari, musik, maupun teater, atau menghadiri pameran seni rupa atau membaca karya sastra, sebagai apresiator, saya atau mungkin Anda juga, kerap kali terkagum-kagum, terkesan dengan karya seni itu. Apakah karena karya itu dipahami dan menyentuh perasaan, atau karena tawaran gagasannya yang keren dan menarik, atau lantaran kemampuan, kedalaman serta kecerdasan senimannya yang dikagumi. Banyak alasan mengapa saya mengagumi sebuah karya seni. Sebagian penonton mungkin tidak tahu mendalam ihwal hal-hal dibalik penciptaan karya seni. Dan hal itu bisa penting dan tidak penting. Penonton memang tidak wajib tahu apa kisah dibalik sebuah pertunjukan tari yang memukau misalnya. Juga penonton tidak wajib tahu berapa honor yang diterima seorang penulis naskah drama yang karyanya edun luar biasa. Itu persoalan dapur, soal rumah tangga seniman atau kelompok seni yang menggarap.
 
Sebuah kerja kreatif kesenian bisa punya banyak orientasi atau tujuan. Dorogan yang mendasari pun bisa datang dari mana saja. Sependek saya berkesenian, khususnya di daerah macam kabupaten Ciamis tempat saya berdomisili, setidaknya ada tiga macam kecenderungan orientasi kerja kreatif kesenian. 
 
Pertama, kerja kreatif idealis. Kerja kretif ini lebih berorientasi mewujudkan apa yang ada di benak kreatornya secara maksimal tanpa pertimbangan untung rugi secara ekonomi atau pertimbangan lain. Yang terutama sekali adalah apa yang diinginkan sang seniman tercapai tanpa kurang dan cacat. Kepuasannya tercapai bila seluruh gagasan dan konsep bisa terwujud, berapa pun sumber daya yang diperlukan. Dalam kerja kreatif ini, dorongan muncul dari diri seniman sendiri. Ia ingin melakukan sesuatu dengan diri dan kemampuannya. Ia ingin menyampaikan kegelisahannya, atau menawarkan sebentuk gagasan atau ide tentang suatu hal, atau menawarkan solusi dari sebuah persoalan yang disampaikan dalam bentuk karya seni. Persoalan pembiayaan, sang seniman atau kelompok seni bisa mencari sponsor atau meminta bantuan dana dari siapa pun atau rogoh kocek sendiri tanpa harus berhitung untung rugi. Pendapatan berupa kekayaan materi bukan tujuan utama atau bahkan bukan tujuan sama sekali. Orientasinya ialah tercapainya kepuasan batin bila mana segala yang diinginkan (idealisme) tercapai. Kerja kreatif macam ini memberi ruang seluas-luasnya bagi seniman untuk berkarya.
Kedua, kerja kreatif sosial. Dalam kerja kreatif ini, dorongan berkarya muncul dari masyarakat. Orientasinya untuk kegiatan masyarakat dan atas dasar permintaan masyarakat. Dalam hal ini, seniman lebih menempatkan atau ditempatkan sebagai anggota masyarakat pada suatu tatanan sosial tertentu dan menjalankan peran sosialnya dengan prinsip gotong royong. Persoalan pembiayaan, biasanya bersumber dari iuran masyarakat, atau bantuan dana dari pihak luar, atau donasi dari satu atau beberapa tokoh masyarakat. Atau bahkan nyaris tanpa dana dalam arti semua sumber daya yang digunakan dalam kerja kreatif ini berasal dari masyarakat berupa barang, tenaga, pikiran, atau keahlian tertentu tanpa musti mendapat upah. Jika pun sang seniman mendapat upah, biasanya alakadarnya saja. Atau bahkan tidak mendapat upah sama sekali. Kerja kreatif model ini biasanya masih kental di budaya rural pada kegiatan yang bersifat adat semisal Hajat Bumi, Ruwatan, Nadran (Hajat Laut, Syukuran Nelayan), atau ritual-ritual adat lainnya. Atau kegiatan perayaan ulang tahun desa atau kampung, 17 Agustusan, atau perayaan hari besar keagamaan. Di kampung-kampung, acara pernikahan atau sunatan pun masih ada yang mendasarkan pada model kerja macam begini. Seniman berpartisipasi, menari, bermain musik atau lainnya secara cuma-cuma atau dengan bayaran alakadarnya. Dalam bahasa Sunda, ada yang mengistilahkan ini dengan kata kaul. Kerja sang seniman lebih diposisikan sebagai hadiah bagi si empunya hajat. Kepuasan sang seniman tercapai bila mana masyarakat secara umum merasa puas.
Ketiga, kerja kreatif komersil. Pada model kerja kreatif ini, seniman lebih memposisikan diri atau diposisikan sebagai individu yang berprofesi sebagai seniman atau dengan kata lain, menghidupi diri secara materi dari hasil karya seninya. Seniman mendapat bayaran atau keuntungan materi lainnya dari hasil kerja kreatifnya. Dalam konteks ini, mungkin seniman lebih memainkan peran sebagai pedagang. Karya seninya dapat dipadang sebagai komoditas bernilai ekonomis. Dorongan yang mendasari adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan sang seniman sebagai manusia pada umumnya. Seniman butuh membeli bahan makanan, membayar cicilan rumah, bayar listrik, cicilan kendaraan, iuran sekolah anak, membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan memanjakan diri dan keluarga dengan berlibur atau makan di restoran. Pada model kerja ini, setidak-tidaknya ada dua model turunan jika ditinjau dari posisi seniman dalam rantai ekonomi.
Pertama, seniman sebagai pekerja atau tenaga ahli. Dalam posisi ini sang seniman biasanya mendapat pesanan (order) dari pihak lain (pemilik modal) untuk menghasilkan karya seni dengan muatan (content) atau bentuk tertentu. Tugas sang seniman hanya mengerjakan sesuai pesanan saja, menginterpretasi keinginan pemesan dan menerjemahkannya dalam bentuk karya seni. Dalam hal ini, bisa terjadi tawar menawar harga atau tidak, seperti perdagangan pada umumnya. Contoh yang lazim semisal, prosesi seni pembukaan suatu acara, pesanan desain, pesanan cinderamata, prosesi seni penyambutan pengantin, mengisi acara hiburan pada kegiatan selebrasi, aktor/aktris industri perfilman, dan lain-lain.
Kedua, seniman sebagai produsen. Seniman memproduksi karya seni dan menjualnya pada konsumen. Pada kondisi ini seniman harus pandai membaca kehendak pasar agar komoditinya diminati. Seorang musisi membuat musik, merekam, dan menjualnya; atau seorang sutradara teater membuat sebuah pertunjukan, manajemen memasarkan dan menjual tiket; atau seorang perupa membuat lukisan, kalung atau gelang unik lantas menjualnya; seorang sastrawan membuat novel untuk dijual, kesemua itu bisa menjadi contoh untuk model turunan kedua dari kerja kreatif komersil. Dalam model kerja komersil, orientasi utama adalah keuntungan materi. Prinsip dan hukum ekonomi jelas berlaku di sini. Pemerintah mengkategorikan model kerja ini ke dalam industri kreatif. Pemerintah bahkan membuat sebuah badan khusus untuk menangani sektor ekonomi ini yaitu Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf atau B-Kraf).

Bersambung…..

foto : Hajat Laut 2014, Pantai Barat Pangandaran
 
Panjalu, 18 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...