Pertama sekali, tulisan ini bukan sebuah
hipotesis ilmiah. Ini sekedar menumpahkan pengalaman dan hasil pengamatan
sederhana saja.
Bila menyaksikan sebuah pertunjukan seni,
baik tari, musik, maupun teater, atau menghadiri pameran seni rupa atau membaca
karya sastra, sebagai apresiator, saya atau mungkin Anda juga, kerap kali
terkagum-kagum, terkesan dengan karya seni itu. Apakah karena karya itu
dipahami dan menyentuh perasaan, atau karena tawaran gagasannya yang keren dan menarik,
atau lantaran kemampuan, kedalaman serta kecerdasan senimannya yang dikagumi.
Banyak alasan mengapa saya mengagumi sebuah karya seni. Sebagian penonton
mungkin tidak tahu mendalam ihwal hal-hal dibalik penciptaan karya seni. Dan
hal itu bisa penting dan tidak penting. Penonton memang tidak wajib tahu apa
kisah dibalik sebuah pertunjukan tari yang memukau misalnya. Juga penonton
tidak wajib tahu berapa honor yang diterima seorang penulis naskah drama yang
karyanya edun luar biasa. Itu persoalan dapur, soal rumah tangga seniman atau
kelompok seni yang menggarap.
Sebuah kerja kreatif kesenian bisa punya
banyak orientasi atau tujuan. Dorogan yang mendasari pun bisa datang dari mana
saja. Sependek saya berkesenian, khususnya di daerah macam kabupaten Ciamis
tempat saya berdomisili, setidaknya ada tiga macam kecenderungan orientasi
kerja kreatif kesenian.
Pertama, kerja kreatif
idealis. Kerja kretif ini lebih berorientasi mewujudkan apa yang ada di benak
kreatornya secara maksimal tanpa pertimbangan untung rugi secara ekonomi atau
pertimbangan lain. Yang terutama sekali adalah apa yang diinginkan sang seniman
tercapai tanpa kurang dan cacat. Kepuasannya tercapai bila seluruh gagasan dan
konsep bisa terwujud, berapa pun sumber daya yang diperlukan. Dalam kerja
kreatif ini, dorongan muncul dari diri seniman sendiri. Ia ingin melakukan
sesuatu dengan diri dan kemampuannya. Ia ingin menyampaikan kegelisahannya,
atau menawarkan sebentuk gagasan atau ide tentang suatu hal, atau menawarkan
solusi dari sebuah persoalan yang disampaikan dalam bentuk karya seni.
Persoalan pembiayaan, sang seniman atau kelompok seni bisa mencari sponsor atau
meminta bantuan dana dari siapa pun atau rogoh kocek sendiri tanpa harus
berhitung untung rugi. Pendapatan berupa kekayaan materi bukan tujuan utama
atau bahkan bukan tujuan sama sekali. Orientasinya ialah tercapainya kepuasan
batin bila mana segala yang diinginkan (idealisme) tercapai. Kerja kreatif
macam ini memberi ruang seluas-luasnya bagi seniman untuk berkarya.
Kedua, kerja kreatif
sosial. Dalam kerja kreatif ini, dorongan berkarya muncul dari masyarakat.
Orientasinya untuk kegiatan masyarakat dan atas dasar permintaan masyarakat.
Dalam hal ini, seniman lebih menempatkan atau ditempatkan sebagai anggota masyarakat
pada suatu tatanan sosial tertentu dan menjalankan peran sosialnya dengan
prinsip gotong royong. Persoalan pembiayaan, biasanya bersumber dari iuran
masyarakat, atau bantuan dana dari pihak luar, atau donasi dari satu atau
beberapa tokoh masyarakat. Atau bahkan nyaris tanpa dana dalam arti semua
sumber daya yang digunakan dalam kerja kreatif ini berasal dari masyarakat
berupa barang, tenaga, pikiran, atau keahlian tertentu tanpa musti mendapat
upah. Jika pun sang seniman mendapat upah, biasanya alakadarnya saja. Atau
bahkan tidak mendapat upah sama sekali. Kerja kreatif model ini biasanya masih
kental di budaya rural pada kegiatan yang bersifat adat semisal Hajat Bumi,
Ruwatan, Nadran (Hajat Laut, Syukuran Nelayan), atau ritual-ritual adat
lainnya. Atau kegiatan perayaan ulang tahun desa atau kampung, 17 Agustusan,
atau perayaan hari besar keagamaan. Di kampung-kampung, acara pernikahan atau
sunatan pun masih ada yang mendasarkan pada model kerja macam begini. Seniman
berpartisipasi, menari, bermain musik atau lainnya secara cuma-cuma atau dengan
bayaran alakadarnya. Dalam bahasa Sunda, ada yang mengistilahkan ini dengan
kata kaul. Kerja sang seniman lebih
diposisikan sebagai hadiah bagi si empunya hajat. Kepuasan sang seniman
tercapai bila mana masyarakat secara umum merasa puas.
Ketiga, kerja kreatif
komersil. Pada model kerja kreatif ini, seniman lebih memposisikan diri atau
diposisikan sebagai individu yang berprofesi sebagai seniman atau dengan kata
lain, menghidupi diri secara materi dari hasil karya seninya. Seniman mendapat
bayaran atau keuntungan materi lainnya dari hasil kerja kreatifnya. Dalam
konteks ini, mungkin seniman lebih memainkan peran sebagai pedagang. Karya
seninya dapat dipadang sebagai komoditas bernilai ekonomis. Dorongan yang
mendasari adalah dorongan untuk memenuhi kebutuhan sang seniman sebagai manusia
pada umumnya. Seniman butuh membeli bahan makanan, membayar cicilan rumah,
bayar listrik, cicilan kendaraan, iuran sekolah anak, membeli barang-barang
kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan memanjakan diri dan keluarga dengan
berlibur atau makan di restoran. Pada model kerja ini, setidak-tidaknya ada dua
model turunan jika ditinjau dari posisi seniman dalam rantai ekonomi.
Pertama, seniman sebagai
pekerja atau tenaga ahli. Dalam posisi ini sang seniman biasanya mendapat
pesanan (order) dari pihak lain
(pemilik modal) untuk menghasilkan karya seni dengan muatan (content) atau bentuk tertentu. Tugas
sang seniman hanya mengerjakan sesuai pesanan saja, menginterpretasi keinginan
pemesan dan menerjemahkannya dalam bentuk karya seni. Dalam hal ini, bisa
terjadi tawar menawar harga atau tidak, seperti perdagangan pada umumnya.
Contoh yang lazim semisal, prosesi seni pembukaan suatu acara, pesanan desain,
pesanan cinderamata, prosesi seni penyambutan pengantin, mengisi acara hiburan
pada kegiatan selebrasi, aktor/aktris industri perfilman, dan lain-lain.
Kedua, seniman sebagai
produsen. Seniman memproduksi karya seni dan menjualnya pada konsumen. Pada
kondisi ini seniman harus pandai membaca kehendak pasar agar komoditinya
diminati. Seorang musisi membuat musik, merekam, dan menjualnya; atau seorang
sutradara teater membuat sebuah pertunjukan, manajemen memasarkan dan menjual
tiket; atau seorang perupa membuat lukisan, kalung atau gelang unik lantas menjualnya;
seorang sastrawan membuat novel untuk dijual, kesemua itu bisa menjadi contoh
untuk model turunan kedua dari kerja kreatif komersil. Dalam model kerja
komersil, orientasi utama adalah keuntungan materi. Prinsip dan hukum ekonomi
jelas berlaku di sini. Pemerintah mengkategorikan model kerja ini ke dalam
industri kreatif. Pemerintah bahkan membuat sebuah badan khusus untuk menangani
sektor ekonomi ini yaitu Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf atau B-Kraf).
Bersambung…..
foto : Hajat Laut 2014, Pantai Barat Pangandaran
Panjalu,
18 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar