Hidup tanpa teknologi, bagi manusia
berbudaya, mungkin agak mustahil. Teknologi diciptakan manusia untuk
memudahkannya melakoni berbagai bidang kehidupan. Awalnya, teknologi diciptakan
dan digunakan sebatas untuk membantu manusia mengolah dan merespon alam untuk
bertahan hidup. Kian kemari, kebutuhan manusia bertambah dan berkembang,
demikian pun teknologi, ia semakin berkembang menyusul kebutuhan manusia.
Teknologi bahkan kadang mendahului hadirnya kebutuhan itu sendiri. Telepon
Pintar adalah salah satu teknologi yang agaknya paling banyak dimiliki
orang-orang masa kini. Teknologi gawai ini adalah sebentuk teknologi yang
mungkin melampaui kebutuhan manusia. Hadirnya teknologi ini justru merangsang,
membangunkan hal-hal lain diluar kebutuhan mendasar manusia dalam hal
komunikasi.
Teknologi juga turut mempengaruhi dunia
seni pertunjukan. Ada yang hanya menggunakan teknologi sebatas komponen
pembantu saja, semisal seorang penata cahaya yang menggunakan teknologi
tertentu untuk menata cahaya dalam sebuah pertunjukan teater. Dikatakan
pendukung karena meski tanpa kehadiran teknologi itu, pertunjukan teater
tersebut tidak kehilangan esensinya. Dalam hal ini teknologi digunakan sebatas
membantu memudahkan suatu perkerjaan. Ada pula pertunjukan seni yang
menggunakan teknologi sebagai unsur utama. Semisal, sebuah pertunjukan tari
yang menggunakan teknologi video mapping
sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukannya, video mapping menjadi
“penari yang lain”, misalnya, dan ini merupakan konsep. Dalam kondisi ini,
teknologi betul-betul menjadi sumber daya utama dalam penciptaan karya seni. Ia
bukan hanya pendukung yang bisa tergantikan seperti pada contoh tata cahaya
dalam pertunjukan teater di atas.
Keberadaan teknologi bukan hanya
mempengaruhi karya seni dan proses kreatifnya, namun juga segi manajemen
produksi yang menjadi tenaga dibalik layar terciptanya suatu karya seni. Publikasi,
misalnya, tidak harus lagi mengandalkan poster-poster cetak, baliho, iklan di
radio atau koran tapi lebih mengandalkan dunia maya, khususnya media sosial,
untuk mempublikasikan suatu pertunjukan. Secara ekonomi strategi ini tentu jauh
lebih murah. Modalnya bisa hanya gawai dan jaringan internet, jauh lebih murah
ketimbang musti mencetak poster, baliho, dan lain-lain.
Setelah kreator dan manajemennya, ternyata
penonton dan caranya meonton pun tak luput dari pengaruh teknologi ini. Dulu,
sebelum gawai merajalela, menikmati pertunjukan seni ya dengan mata, telinga,
dan tubuh utuh dan seluruh akal pikiran dan perasaan. Dewasa ini, tren menonton
dengan bantuan gawai barangkali sedang digemari. Dalam sebuah pertunjukan tari,
dari seratus penonton, misalnya, mungkin ada tiga puluh atau mungkin lima puluh
orang yang menyorotkan kamera gawainya dan merekam pertunjukan itu. Ada yang
merekam, menyimpan, dan kelak melihatnya kembali sebagai bahan inspirasi atau
evaluasi. Ada yang merekam dan segera mengunggahnya ke media sosial. Ada juga
yang langsung mengunggahnya (live
streaming) dengan batuan aplikasi tertentu semisal fitur “siaran langsung”
pada media sosial Facebook. Ada juga yang merekam dan menyimpannya dan beberapa
saat kemudian si empunya gawai akan menghapusnya. Konyol sekali.
Menonton pertunjukan seni dengan bantuan
gawai ketika mata dan segenap tubuh dan jiwa kita masih mampu menikmati
pertunjukan secara langsung, agaknya mereduksi beberapa hal yang seharusnya
bisa dinikmati jika saja hasrat ber-gawai ria itu bisa agak dikendalikan.
Biarkan saja mata dan telinga kita menerima gambar-gambar dan suara dari
panggung tanpa harus memenjarakan peristiwa seni itu pada sebuah layar kecil. Dengan
mewakilkan mata dan telinga kita pada gawai, pengalaman mencercapi peristiwa
seni pertunjukan menjadi tidak alamiah, kurang manusiawi. Intimasinya akan
berbeda. Dan juga barangkali akan terjadi reduksi karya seni. Segala yang
ditangkap lensa kamera pasti mengalami modifikasi, penyesuaian dengan kemampuan
si lensa kamera mengolah citra yang ditangkap dan media penampilnya. Jika saja
lensanya bagus namun layar penampilnya buram, kan tetap saja buram. Jika pun
layarnya bening tapi lensanya kotor penuh debu atau retak, atau kurang peka,
misalnya, hasil tangkapan akan bermasalah. Mungkin yang paling rentan mengalami
reduksi adalah warna, ukuran, cahaya, dan suara.
Peristiwa panggung akan diperkecil sesuai
dengan ratio layar gawai. Ini tentu
akan memperkecil objek. Meski penonton bisa zoom
in atau zoom out melihat
keseluruhan panggung dan adegan, misalnya, tapi dengan demikian justru malah
jadi tidak manusiawi. Demikian pula warna-warna di panggung akan sedikit
berubah dalam tampilan layar gawai. Bisa lebih cerah atau sebaliknya. Hal yang
sama terjadi pada cahaya. Penerimaan mata dan lensa kamera atas intensitas
cahaya panggung cukup jauh berbeda. Dengan bantuan gawai ini penonton bisa saja
merasa sangat berkuasa atas peristiwa yang ada di hadapannya itu. Ia bisa
memperlakukannya sesuka hati dengan bantuan gawai. Bisa memperbesar gambar,
memperkecil, menaikan kontras, dan lain-lain.
Jika seni adalah representasi, penghadiran
kembali, dari realitas maka kegiatan apresiasi seni (menonton) berarti
menyaksikan representasi realitas. Bagaimana dengan menonton dengan bantuan
lensa gawai? Saya meyakini bahwa sehebat apapun lensa kamera gawai dan gawai
itu sendiri, menonton via gawai telah mereduksi beberapa hal yang seharusnya
bisa dinikmati jika menggunakan mata dan telinga sendiri. Pertunjukan teater
itu, pertunjukan tari itu, pertunjukan musik itu terkurung dalam layar mini,
tereduksi atau bahkan diperkosa. Atmosfer dan suasana yang sengaja dipersiapkan
kreator boleh jadi tidak akan mampu menembus batin sang penonton lantaran
terhalangi oleh gawai. Jika lensa gawai diposisikan sebagai representasi mata,
maka menonton pertunjukan seni via gawai berarti menyaksikan representasi
realitas melalui representasi mata. Dengan begitu maka peristiwa seni yang
ditonton di layar gawai itu adalah represntasi dari representasi realitas, itu
pun sudah tereduksi. Makin jauh saja dari realitas.
Menonton pertunjukan seni via gawai mungkin
menjadi sebentuk kepuasan tersendiri bagi yang mengimani. Ia bisa
mengunggahnya, dan kemudian mendulang banyak “suka” dan komentar. Mungkin ini
tren yang umum. Pergaulan antar manusia, bagi sebagian orang, lebih asik di
dunia maya ketimbang pada tataran realitas yang dilakoni secara total tanpa
avatar digital (lifeworld; lebenswelt).
Memang, tidak mutlak berdampak buruk. Mungkin panitia penyelenggara atau tim
produksi menjadi terbantu dalam hal dokumentasi sebab banyak orang yang
mendadak berfungsi sebagai seksi dokumentasi video. Dan semakin banyak yang
mengunggahnya, berarti pertunjukan seni ini semakin tenar, seidak-tidaknya di
jagat media sosial. Ketenaran ini bisa membawa banyak dampak, bisa positif atau
negatif. Intinya, tindakan menonton pertunjukan seni via gawai itu bisa dilihat
dan dinilai dari banyak sisi. Orang-orang bisa berdebat pro dan kontra. Saya
sendiri, seperti yang telah ditulis di atas, tergolong yang kontra dengan
tindakan itu. Menonton pertunjukan seni, ya nikmat saja dengan tubuh dan jiwa
yang utuh, tidak harus mewakilkan indra-indra kita pada teknologi yang justru
malah mereduksi karya seni itu dan jangan-jangan berpotensi mereduksi, mengerosi,
memperkosa, mencabik, memporak poranda, mengacaukan makna dan substansi.
Panjalu, 31 Juli
2018
foto : dokumentasi pribadi (happening art atau jeprut "Devil In Town" tahun 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar