Selasa, 31 Juli 2018

"Menonton" Jaman Now

Hidup tanpa teknologi, bagi manusia berbudaya, mungkin agak mustahil. Teknologi diciptakan manusia untuk memudahkannya melakoni berbagai bidang kehidupan. Awalnya, teknologi diciptakan dan digunakan sebatas untuk membantu manusia mengolah dan merespon alam untuk bertahan hidup. Kian kemari, kebutuhan manusia bertambah dan berkembang, demikian pun teknologi, ia semakin berkembang menyusul kebutuhan manusia. Teknologi bahkan kadang mendahului hadirnya kebutuhan itu sendiri. Telepon Pintar adalah salah satu teknologi yang agaknya paling banyak dimiliki orang-orang masa kini. Teknologi gawai ini adalah sebentuk teknologi yang mungkin melampaui kebutuhan manusia. Hadirnya teknologi ini justru merangsang, membangunkan hal-hal lain diluar kebutuhan mendasar manusia dalam hal komunikasi.
 
Teknologi juga turut mempengaruhi dunia seni pertunjukan. Ada yang hanya menggunakan teknologi sebatas komponen pembantu saja, semisal seorang penata cahaya yang menggunakan teknologi tertentu untuk menata cahaya dalam sebuah pertunjukan teater. Dikatakan pendukung karena meski tanpa kehadiran teknologi itu, pertunjukan teater tersebut tidak kehilangan esensinya. Dalam hal ini teknologi digunakan sebatas membantu memudahkan suatu perkerjaan. Ada pula pertunjukan seni yang menggunakan teknologi sebagai unsur utama. Semisal, sebuah pertunjukan tari yang menggunakan teknologi video mapping sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukannya, video mapping menjadi “penari yang lain”, misalnya, dan ini merupakan konsep. Dalam kondisi ini, teknologi betul-betul menjadi sumber daya utama dalam penciptaan karya seni. Ia bukan hanya pendukung yang bisa tergantikan seperti pada contoh tata cahaya dalam pertunjukan teater di atas.
 
Keberadaan teknologi bukan hanya mempengaruhi karya seni dan proses kreatifnya, namun juga segi manajemen produksi yang menjadi tenaga dibalik layar terciptanya suatu karya seni. Publikasi, misalnya, tidak harus lagi mengandalkan poster-poster cetak, baliho, iklan di radio atau koran tapi lebih mengandalkan dunia maya, khususnya media sosial, untuk mempublikasikan suatu pertunjukan. Secara ekonomi strategi ini tentu jauh lebih murah. Modalnya bisa hanya gawai dan jaringan internet, jauh lebih murah ketimbang musti mencetak poster, baliho, dan lain-lain.
 
Setelah kreator dan manajemennya, ternyata penonton dan caranya meonton pun tak luput dari pengaruh teknologi ini. Dulu, sebelum gawai merajalela, menikmati pertunjukan seni ya dengan mata, telinga, dan tubuh utuh dan seluruh akal pikiran dan perasaan. Dewasa ini, tren menonton dengan bantuan gawai barangkali sedang digemari. Dalam sebuah pertunjukan tari, dari seratus penonton, misalnya, mungkin ada tiga puluh atau mungkin lima puluh orang yang menyorotkan kamera gawainya dan merekam pertunjukan itu. Ada yang merekam, menyimpan, dan kelak melihatnya kembali sebagai bahan inspirasi atau evaluasi. Ada yang merekam dan segera mengunggahnya ke media sosial. Ada juga yang langsung mengunggahnya (live streaming) dengan batuan aplikasi tertentu semisal fitur “siaran langsung” pada media sosial Facebook. Ada juga yang merekam dan menyimpannya dan beberapa saat kemudian si empunya gawai akan menghapusnya. Konyol sekali.
 
Menonton pertunjukan seni dengan bantuan gawai ketika mata dan segenap tubuh dan jiwa kita masih mampu menikmati pertunjukan secara langsung, agaknya mereduksi beberapa hal yang seharusnya bisa dinikmati jika saja hasrat ber-gawai ria itu bisa agak dikendalikan. Biarkan saja mata dan telinga kita menerima gambar-gambar dan suara dari panggung tanpa harus memenjarakan peristiwa seni itu pada sebuah layar kecil. Dengan mewakilkan mata dan telinga kita pada gawai, pengalaman mencercapi peristiwa seni pertunjukan menjadi tidak alamiah, kurang manusiawi. Intimasinya akan berbeda. Dan juga barangkali akan terjadi reduksi karya seni. Segala yang ditangkap lensa kamera pasti mengalami modifikasi, penyesuaian dengan kemampuan si lensa kamera mengolah citra yang ditangkap dan media penampilnya. Jika saja lensanya bagus namun layar penampilnya buram, kan tetap saja buram. Jika pun layarnya bening tapi lensanya kotor penuh debu atau retak, atau kurang peka, misalnya, hasil tangkapan akan bermasalah. Mungkin yang paling rentan mengalami reduksi adalah warna, ukuran, cahaya, dan suara.
 
Peristiwa panggung akan diperkecil sesuai dengan ratio layar gawai. Ini tentu akan memperkecil objek. Meski penonton bisa zoom in atau zoom out melihat keseluruhan panggung dan adegan, misalnya, tapi dengan demikian justru malah jadi tidak manusiawi. Demikian pula warna-warna di panggung akan sedikit berubah dalam tampilan layar gawai. Bisa lebih cerah atau sebaliknya. Hal yang sama terjadi pada cahaya. Penerimaan mata dan lensa kamera atas intensitas cahaya panggung cukup jauh berbeda. Dengan bantuan gawai ini penonton bisa saja merasa sangat berkuasa atas peristiwa yang ada di hadapannya itu. Ia bisa memperlakukannya sesuka hati dengan bantuan gawai. Bisa memperbesar gambar, memperkecil, menaikan kontras, dan lain-lain.
 
Jika seni adalah representasi, penghadiran kembali, dari realitas maka kegiatan apresiasi seni (menonton) berarti menyaksikan representasi realitas. Bagaimana dengan menonton dengan bantuan lensa gawai? Saya meyakini bahwa sehebat apapun lensa kamera gawai dan gawai itu sendiri, menonton via gawai telah mereduksi beberapa hal yang seharusnya bisa dinikmati jika menggunakan mata dan telinga sendiri. Pertunjukan teater itu, pertunjukan tari itu, pertunjukan musik itu terkurung dalam layar mini, tereduksi atau bahkan diperkosa. Atmosfer dan suasana yang sengaja dipersiapkan kreator boleh jadi tidak akan mampu menembus batin sang penonton lantaran terhalangi oleh gawai. Jika lensa gawai diposisikan sebagai representasi mata, maka menonton pertunjukan seni via gawai berarti menyaksikan representasi realitas melalui representasi mata. Dengan begitu maka peristiwa seni yang ditonton di layar gawai itu adalah represntasi dari representasi realitas, itu pun sudah tereduksi. Makin jauh saja dari realitas.
 
Menonton pertunjukan seni via gawai mungkin menjadi sebentuk kepuasan tersendiri bagi yang mengimani. Ia bisa mengunggahnya, dan kemudian mendulang banyak “suka” dan komentar. Mungkin ini tren yang umum. Pergaulan antar manusia, bagi sebagian orang, lebih asik di dunia maya ketimbang pada tataran realitas yang dilakoni secara total tanpa avatar digital (lifeworld; lebenswelt). Memang, tidak mutlak berdampak buruk. Mungkin panitia penyelenggara atau tim produksi menjadi terbantu dalam hal dokumentasi sebab banyak orang yang mendadak berfungsi sebagai seksi dokumentasi video. Dan semakin banyak yang mengunggahnya, berarti pertunjukan seni ini semakin tenar, seidak-tidaknya di jagat media sosial. Ketenaran ini bisa membawa banyak dampak, bisa positif atau negatif. Intinya, tindakan menonton pertunjukan seni via gawai itu bisa dilihat dan dinilai dari banyak sisi. Orang-orang bisa berdebat pro dan kontra. Saya sendiri, seperti yang telah ditulis di atas, tergolong yang kontra dengan tindakan itu. Menonton pertunjukan seni, ya nikmat saja dengan tubuh dan jiwa yang utuh, tidak harus mewakilkan indra-indra kita pada teknologi yang justru malah mereduksi karya seni itu dan jangan-jangan berpotensi mereduksi, mengerosi, memperkosa, mencabik, memporak poranda, mengacaukan makna dan substansi.
 
Panjalu, 31 Juli 2018
 
foto : dokumentasi pribadi (happening art atau jeprut "Devil In Town" tahun 2010) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...