Saya cukup terinspirasi dengan film 300
besutan Zack Snyder. Berkisah tentang 300 prajurit Sparta yang berperang
melawan serangan bangsa Persia. Pasukan Sparta yang dipimpin langsung oleh sang
raja Leonidas melawan 300.000 lebih pasukan Persia. Orang-orang Sparta hanya
bersenjatakan pedang dan tombak. Mereka membawa pula perisai dan helm logam
sebagai pelindung. Sisanya, mereka hanya mengenakan jubah merah dan menutupi
alat vital. Tidak ada baju zirah, kereta kuda apalagi tentara gajah macam
pasukan Xarxes. Meski akhirnya Leonidas dan 298 pasukannya gugur namun peristiwa
itu justru jadi kebanggaan tersendiri bagi Sparta. Dillios, salah seorang
pasukan, sengaja dikirim pulang untuk menceritakan apa yang terjadi di “gerbang
neraka”, tentang bagaiman mereka berperang dan untuk apa.
Kisah heroik macam begini tentu tidak hanya
terjadi di Yunani sana saja. Tiap bangsa punya pahlawan dan kisah heroiknya
sendiri-sendiri, baik terjadi di masa sangat lampau (klasik) maupun baru-baru
(modern). Tentang heroisme di masa silam, ini sering kali menjadi kebanggaan
yang diabadikan lewat cerita rakyat atau mitologi. Ada yang lisan saja atau ada
pula yang didokumentasikan apik dalam sebuah atau beberapa naskah kuno. Pengabadian
ini tentu punya makna dan fungsi penting bagi bangsa bersangkutan. Selain menyampaikan
sejarah leluhur, pengabadian ini juga pada akhirnya akan memberi rasa bangga
tersendiri, glorifikasi kenangan, dan akhirnya dapat juga membentuk karakter
dan kepribadian.
Bangsa Sunda juga punya kisah heroik yang
terekam dalam beberapa naskah kuno. Kisah perang Bubat adalah salah satu kisah
heroik yang dimiliki bangsa Sunda. Meski, mungkin, kisah ini tidak sepopuler
perang Troy di Barat sana, namun heroisme dramatiknya barangkali masih bisa
disandingkan. Terkisahkan pada masa itu kerjaan Sunda dipimpin oleh seorang
raja bernama Linggabuana. Dari permaisurinya, Dewi Laralingsing, beliau
mempunyai dua anak. Yang cikal, seorang perempuan bernama Citraresmi. Yang bungsu,
seorang laki-laki bernama Niskala Wastu Kancana. Saat sang cikal berusia
sekitar 14 tahun, ia dihendak dipinang oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk. Pernikahan
direncanakan diadakan di Trowulan, Majapahit. Berangkatlah rombongan kerajaan
Sunda tanpa si bungsu yang saat itu baru 9 tahun dan Bunisora Soradipati, sang
paman yang ditugaskan menjalankan roda pemerintahan selama raja pergi. Sebelum
menuju lokasi hajat, rombongan calon pengantin perempuan berkemah di tegalan
Bubat, dekat Trowulan. Kabar Prabu Hayam Wuruk akan menyambut ternyata tak
benar. Yang ada, Gajah Mada datang dengan bala tentara ribuan. Sang Mahapatih
ternyata memanfaatkan kedatangan rombongan kerajaan Sunda ini sebagai momen
penaklukan kerajaan Sunda. Ini konsekuensi dari sumpah Amukti Palapa yang ia
buat. Putri Citraresmi diposisikannya sebagai upeti tanda takluk pada
Majapahit. Linggabuana yang mungkin dipikirnya akan menerima saja ternyata
berontak melawan. Seluruh rombongan kerajaan, termasuk para perempuan,
bertempur mati-matian. Pasukan Sunda kalah jumlah dan persenjataan, akhirnya
semua gugur kecuali satu orang saja. Putri Cintraresmi sendiri memilih bunuh
diri menggunakan tusuk konde pemberian pamannya, Bunisora.
Demikian kisah singkatnya menurut salah
satu versi. Banyak sekali versi yang beredar dan masing-masing punya
pengimannya. Bahkan ada pula yang mengatakan kisah perang Bubat adalah rekayasa
penjajah Belanda sebagai bagian dari politik devide et impera yang mereka jalankan. Terlepas dari semua
kontroversi itu, kisah Bubat dengan judul Sida Mokta Ning Bubat yang teks
dramatiknya dikerjakan sastrawan Sunda Hadi Aks ini sejak 1998 dipentaskan dua
tahun sekali dalam bentuk pertunjukan teater di Astana Gede, Kawali, pada acara
Nyiar Lumar. Pembahasan ihwal Nyiar Lumar dan Astana Gede saya kira sudah
bertebaran internet, buku-buku, atau tulisan di koran-koran cetak, jadi tidak
perlu dibahas lagi di sini. Pada Nyiar Lumar 2018, ada sesuatu yang lain dari
biasanya. Tentang pertunjukan dan konten acara yang digelar tentu saja berbeda
tiap tahunnya. Kecuali itu, pada 2018 ini ada pula rombongan dari Bali, Tengger
(Bromo), dan Mojokerto yang baru kali pertama ini turut berpartisipasi. Kedatangan
mereka bukan sekedar untuk pentas atau mengapresiasi acara. Mereka datang
sebagai representasi kerajaan Majapahit dan bermaksud melakukan rekonsiliasi kerajaan
Majapahit dan kerajaan Sunda. Saya tidak tahu pasti apa dan bagaimana gagasan
rekonsiliasi ini berawal. Secara sederhana saya menyimplkan : mungkin pihak
Majapahit hendak mengajak bangsa Sunda untuk berdamai dengan masa lalu yang
melibatkan dua kerajaan besar ini. Berdamai dengan kisah berdarah di tegalan
Bubat. Berdamai dengan pahitnya kenyataan. Berdamai dengan diri sendiri.
Sepintas, mungkin hal ini bisa dipandang
biasa-biasa saja atau bahkan mungkin hal yang tidak penting sama sekali, toh
banyak juga orang Sunda yang tidak tahu kisah ini dan tidak punya “sakit hati” macam
apapun pada bangsa (kerajaan) Majapahit. Jangankan tahu dan memahami peristiwa
peperangan berdarah itu, kebenaran tentang ada tidaknya perang Bubat pun hingga
kini masih banyak diperdebatkan. Tapi bagi sebagian orang yang memahami
kisahnya, menghayati, dan mengimaninya, peristiwa rekonsiliasi ini tentu punya
nilai dan kesan tersendiri.
Ada yang beranggapan bahwa digelarnya
pertunjukan perang Bubat tiap dua tahun sekali pada Nyiar Lumar itu justru
melanggengkan dendam masa silam antara kerajaan Sunda dan kerajaan Majapahit (ada yang
meluaskannya menjadi dendam antara bangsa Sunda dan bangsa Jawa), bahwa pertunjukan
itu hanya akan makin menebalkan kerak benci dan rasa sakit hati. Opini itu
sah-sah saja, namanya juga opini. Namun sependek pembicaraan saya dengan Didon
Nurdani yang adalah sutradara pertunjukan Perang Bubat 2018 sekaligus pula
panitia Nyiar Lumar, pertunjukan itu sama sekali bukan bermaksud mengabadikan
dendam sejarah. Spirit yang diusungnya bukan dendam atau kebencian. Yang
diharapkan menempel pada ingatan dan batin penonton (dan juga pemain) adalah
spirit bangsa Sunda saat itu yang berani melawan meski dalam situasi tidak
memungkinan untuk menang secara logika militer. Hal lain yang diharapkan terbawa
pulang oleh apresiator dan pemain adalah kebijaksanaan Bunisora dan Niskala Wastu
Kancana yang enggan untuk balas menyerang dikemudian hari. Spirit keberaian dan
kebijaksanaan ini yang lantas menjadi kebanggaan bangsa Sunda dan semustinya
menjadi jati diri bangsa Sunda. Demikian papar Didon Nurdani.
Saya pun sempat berbincang dengan penyair
dan cerpenis Toni Lesmana yang beberapa karyanya banyak terinspirasi dari Astana
Gede dan kisah-kisah tentangnya, termasuk peristiwa perang Bubat. Kami bercakap
tentang nasib pertunjukan Perang Bubat pasca rekonsiliasi Majapahit dan Sunda. Hampir
senada dengan sang sutradara, ia berpandangan bahwa spirit yang mustinya
melandasi adalah spirit perlawan minoritas melawan hegemoni mayoritas. Sunda,
pada saat peristiwa Bubat, berposisi sebagai minoritas baik dalam segi jumlah
pasukan maupun persenjataan. Kecuali itu, Majapahit memang superior jika
dilihat dari luas kawasan dan jumlah wilayah taklukan. Si kecil melawan si
besar, inferior versus superior, minoritas kontra mayoritas. Dalam kondisi lain,
mungkin bisa juga dianalogikan proletariat versus kapitalis dalam paradigma
Marxisme. Keberanian kaum tertindas melawan hegemoni. Semangat ini yang harus
digaris bawahi dan dicetak tebal menurut Toni Lesmana, dan mungkin harus juga
diejawantahkan dalam semua bidang kehidupan.
Kondisi mayor minor macam ini masih ada
hingga sekarang, tentu dengan pelbagai manifestasi. Pasca pilpres 2014, situasi
mayor minor terasa makin menguat dalam denyut politik nasional. Keterlibatan unsur
agama dan pemukan agama dalam kontestasi politik nasional menjadikan isu mayor
minor ini terasa makin kuat bahkan hingga ke daerah-daerah dan terdifusi keluar
ranah politik. Singkatnya, kondisi oposisi biner macam begini, di berbagai
bidang kehidupan, agaknya akan bertahan cukup lama. Entah karena hal ini adalah
pola alamiah dalam kehidupan atau artificial
condition demi tujuan-tujuan tertentu, namun yang jelas spirit ketahanan,
keberanian, dan perlawanan ini yang idealnya harus terus ada jika kita (saya
dan/atau Anda) berposisi sebagai minoritas dalam kondisi tertindas. Semangat perlawanan
ini tentu tidak serta merta harus selalu membara dalam semua situasi. Ada waktu
dan kondisi tertentu yang memang menuntut demikian, ada pula kalanya kita
woles-woles aja.
Tentang pertunjukan perang Bubat, jika
titik fokusnya pada keberanian dan kebijaksanaan bangsa Sunda dan bukan pada
dendam dan kebencian, barangkali perlu ada sedikit peracikan ulang teks dan
interpretasinya agar lebih menajamkan fokus pada spirit yang dimaksud. Mungkin perlu
juga dikisahkan tentang kebijaksanaan dan kecerdasan Bunisora Soradipati yang
mampu menjaga stabilitas mental Niskala Wastu Kancana dan rakyat kerajaan Sunda
secara umum pasca tragedi Bubat. Ia juga dianggap berhasil menjaga stabilitas
negeri Sunda dalam konteks negara dan pemerintahan. Dengan sigap dan bijak ia
tidak membiarkan kerajaan Sunda dalam posisi vacuum of power. Atau mungkin mengisahkan tentang keberhasilan
Niskala Wastu Kancana membangun dan mengembangkan kerajaan Sunda menjadi lebih
baik. Kejayaan ini justru terjadi pasca kehancuran jika peristiwa Bubat
dimaknai sebagai kehancuran. Atau kisah-kisah yang lain yang masih erat
kaitannya dengan persitiwa Bubat. Itu menurut saya. Pendapat orang lain tentu
boleh saja berbeda. Sah-sah saja, namanya juga opini. Yang penting tetap damai,
menjaga daulat nurani, dan akal sehat.
Panjalu, 6 Agustus
2018
foto : cover novel bPerang Bubat karya Yoseph Iskandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar