Senin, 06 Agustus 2018

Glorifikasi Kenangan


Saya cukup terinspirasi dengan film 300 besutan Zack Snyder. Berkisah tentang 300 prajurit Sparta yang berperang melawan serangan bangsa Persia. Pasukan Sparta yang dipimpin langsung oleh sang raja Leonidas melawan 300.000 lebih pasukan Persia. Orang-orang Sparta hanya bersenjatakan pedang dan tombak. Mereka membawa pula perisai dan helm logam sebagai pelindung. Sisanya, mereka hanya mengenakan jubah merah dan menutupi alat vital. Tidak ada baju zirah, kereta kuda apalagi tentara gajah macam pasukan Xarxes. Meski akhirnya Leonidas dan 298 pasukannya gugur namun peristiwa itu justru jadi kebanggaan tersendiri bagi Sparta. Dillios, salah seorang pasukan, sengaja dikirim pulang untuk menceritakan apa yang terjadi di “gerbang neraka”, tentang bagaiman mereka berperang dan untuk apa.
 
Kisah heroik macam begini tentu tidak hanya terjadi di Yunani sana saja. Tiap bangsa punya pahlawan dan kisah heroiknya sendiri-sendiri, baik terjadi di masa sangat lampau (klasik) maupun baru-baru (modern). Tentang heroisme di masa silam, ini sering kali menjadi kebanggaan yang diabadikan lewat cerita rakyat atau mitologi. Ada yang lisan saja atau ada pula yang didokumentasikan apik dalam sebuah atau beberapa naskah kuno. Pengabadian ini tentu punya makna dan fungsi penting bagi bangsa bersangkutan. Selain menyampaikan sejarah leluhur, pengabadian ini juga pada akhirnya akan memberi rasa bangga tersendiri, glorifikasi kenangan, dan akhirnya dapat juga membentuk karakter dan kepribadian.
 
Bangsa Sunda juga punya kisah heroik yang terekam dalam beberapa naskah kuno. Kisah perang Bubat adalah salah satu kisah heroik yang dimiliki bangsa Sunda. Meski, mungkin, kisah ini tidak sepopuler perang Troy di Barat sana, namun heroisme dramatiknya barangkali masih bisa disandingkan. Terkisahkan pada masa itu kerjaan Sunda dipimpin oleh seorang raja bernama Linggabuana. Dari permaisurinya, Dewi Laralingsing, beliau mempunyai dua anak. Yang cikal, seorang perempuan bernama Citraresmi. Yang bungsu, seorang laki-laki bernama Niskala Wastu Kancana. Saat sang cikal berusia sekitar 14 tahun, ia dihendak dipinang oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk. Pernikahan direncanakan diadakan di Trowulan, Majapahit. Berangkatlah rombongan kerajaan Sunda tanpa si bungsu yang saat itu baru 9 tahun dan Bunisora Soradipati, sang paman yang ditugaskan menjalankan roda pemerintahan selama raja pergi. Sebelum menuju lokasi hajat, rombongan calon pengantin perempuan berkemah di tegalan Bubat, dekat Trowulan. Kabar Prabu Hayam Wuruk akan menyambut ternyata tak benar. Yang ada, Gajah Mada datang dengan bala tentara ribuan. Sang Mahapatih ternyata memanfaatkan kedatangan rombongan kerajaan Sunda ini sebagai momen penaklukan kerajaan Sunda. Ini konsekuensi dari sumpah Amukti Palapa yang ia buat. Putri Citraresmi diposisikannya sebagai upeti tanda takluk pada Majapahit. Linggabuana yang mungkin dipikirnya akan menerima saja ternyata berontak melawan. Seluruh rombongan kerajaan, termasuk para perempuan, bertempur mati-matian. Pasukan Sunda kalah jumlah dan persenjataan, akhirnya semua gugur kecuali satu orang saja. Putri Cintraresmi sendiri memilih bunuh diri menggunakan tusuk konde pemberian pamannya, Bunisora.
 
Demikian kisah singkatnya menurut salah satu versi. Banyak sekali versi yang beredar dan masing-masing punya pengimannya. Bahkan ada pula yang mengatakan kisah perang Bubat adalah rekayasa penjajah Belanda sebagai bagian dari politik devide et impera yang mereka jalankan. Terlepas dari semua kontroversi itu, kisah Bubat dengan judul Sida Mokta Ning Bubat yang teks dramatiknya dikerjakan sastrawan Sunda Hadi Aks ini sejak 1998 dipentaskan dua tahun sekali dalam bentuk pertunjukan teater di Astana Gede, Kawali, pada acara Nyiar Lumar. Pembahasan ihwal Nyiar Lumar dan Astana Gede saya kira sudah bertebaran internet, buku-buku, atau tulisan di koran-koran cetak, jadi tidak perlu dibahas lagi di sini. Pada Nyiar Lumar 2018, ada sesuatu yang lain dari biasanya. Tentang pertunjukan dan konten acara yang digelar tentu saja berbeda tiap tahunnya. Kecuali itu, pada 2018 ini ada pula rombongan dari Bali, Tengger (Bromo), dan Mojokerto yang baru kali pertama ini turut berpartisipasi. Kedatangan mereka bukan sekedar untuk pentas atau mengapresiasi acara. Mereka datang sebagai representasi kerajaan Majapahit dan bermaksud melakukan rekonsiliasi kerajaan Majapahit dan kerajaan Sunda. Saya tidak tahu pasti apa dan bagaimana gagasan rekonsiliasi ini berawal. Secara sederhana saya menyimplkan : mungkin pihak Majapahit hendak mengajak bangsa Sunda untuk berdamai dengan masa lalu yang melibatkan dua kerajaan besar ini. Berdamai dengan kisah berdarah di tegalan Bubat. Berdamai dengan pahitnya kenyataan. Berdamai dengan diri sendiri.  
 
Sepintas, mungkin hal ini bisa dipandang biasa-biasa saja atau bahkan mungkin hal yang tidak penting sama sekali, toh banyak juga orang Sunda yang tidak tahu kisah ini dan tidak punya “sakit hati” macam apapun pada bangsa (kerajaan) Majapahit. Jangankan tahu dan memahami peristiwa peperangan berdarah itu, kebenaran tentang ada tidaknya perang Bubat pun hingga kini masih banyak diperdebatkan. Tapi bagi sebagian orang yang memahami kisahnya, menghayati, dan mengimaninya, peristiwa rekonsiliasi ini tentu punya nilai dan kesan tersendiri.
 
Ada yang beranggapan bahwa digelarnya pertunjukan perang Bubat tiap dua tahun sekali pada Nyiar Lumar itu justru melanggengkan dendam masa silam antara kerajaan  Sunda dan kerajaan Majapahit (ada yang meluaskannya menjadi dendam antara bangsa Sunda dan bangsa Jawa), bahwa pertunjukan itu hanya akan makin menebalkan kerak benci dan rasa sakit hati. Opini itu sah-sah saja, namanya juga opini. Namun sependek pembicaraan saya dengan Didon Nurdani yang adalah sutradara pertunjukan Perang Bubat 2018 sekaligus pula panitia Nyiar Lumar, pertunjukan itu sama sekali bukan bermaksud mengabadikan dendam sejarah. Spirit yang diusungnya bukan dendam atau kebencian. Yang diharapkan menempel pada ingatan dan batin penonton (dan juga pemain) adalah spirit bangsa Sunda saat itu yang berani melawan meski dalam situasi tidak memungkinan untuk menang secara logika militer. Hal lain yang diharapkan terbawa pulang oleh apresiator dan pemain adalah kebijaksanaan Bunisora dan Niskala Wastu Kancana yang enggan untuk balas menyerang dikemudian hari. Spirit keberaian dan kebijaksanaan ini yang lantas menjadi kebanggaan bangsa Sunda dan semustinya menjadi jati diri bangsa Sunda. Demikian papar Didon Nurdani.
 
Saya pun sempat berbincang dengan penyair dan cerpenis Toni Lesmana yang beberapa karyanya banyak terinspirasi dari Astana Gede dan kisah-kisah tentangnya, termasuk peristiwa perang Bubat. Kami bercakap tentang nasib pertunjukan Perang Bubat pasca rekonsiliasi Majapahit dan Sunda. Hampir senada dengan sang sutradara, ia berpandangan bahwa spirit yang mustinya melandasi adalah spirit perlawan minoritas melawan hegemoni mayoritas. Sunda, pada saat peristiwa Bubat, berposisi sebagai minoritas baik dalam segi jumlah pasukan maupun persenjataan. Kecuali itu, Majapahit memang superior jika dilihat dari luas kawasan dan jumlah wilayah taklukan. Si kecil melawan si besar, inferior versus superior, minoritas kontra mayoritas. Dalam kondisi lain, mungkin bisa juga dianalogikan proletariat versus kapitalis dalam paradigma Marxisme. Keberanian kaum tertindas melawan hegemoni. Semangat ini yang harus digaris bawahi dan dicetak tebal menurut Toni Lesmana, dan mungkin harus juga diejawantahkan dalam semua bidang kehidupan.
 
Kondisi mayor minor macam ini masih ada hingga sekarang, tentu dengan pelbagai manifestasi. Pasca pilpres 2014, situasi mayor minor terasa makin menguat dalam denyut politik nasional. Keterlibatan unsur agama dan pemukan agama dalam kontestasi politik nasional menjadikan isu mayor minor ini terasa makin kuat bahkan hingga ke daerah-daerah dan terdifusi keluar ranah politik. Singkatnya, kondisi oposisi biner macam begini, di berbagai bidang kehidupan, agaknya akan bertahan cukup lama. Entah karena hal ini adalah pola alamiah dalam kehidupan atau artificial condition demi tujuan-tujuan tertentu, namun yang jelas spirit ketahanan, keberanian, dan perlawanan ini yang idealnya harus terus ada jika kita (saya dan/atau Anda) berposisi sebagai minoritas dalam kondisi tertindas. Semangat perlawanan ini tentu tidak serta merta harus selalu membara dalam semua situasi. Ada waktu dan kondisi tertentu yang memang menuntut demikian, ada pula kalanya kita woles-woles aja.
 
Tentang pertunjukan perang Bubat, jika titik fokusnya pada keberanian dan kebijaksanaan bangsa Sunda dan bukan pada dendam dan kebencian, barangkali perlu ada sedikit peracikan ulang teks dan interpretasinya agar lebih menajamkan fokus pada spirit yang dimaksud. Mungkin perlu juga dikisahkan tentang kebijaksanaan dan kecerdasan Bunisora Soradipati yang mampu menjaga stabilitas mental Niskala Wastu Kancana dan rakyat kerajaan Sunda secara umum pasca tragedi Bubat. Ia juga dianggap berhasil menjaga stabilitas negeri Sunda dalam konteks negara dan pemerintahan. Dengan sigap dan bijak ia tidak membiarkan kerajaan Sunda dalam posisi vacuum of power. Atau mungkin mengisahkan tentang keberhasilan Niskala Wastu Kancana membangun dan mengembangkan kerajaan Sunda menjadi lebih baik. Kejayaan ini justru terjadi pasca kehancuran jika peristiwa Bubat dimaknai sebagai kehancuran. Atau kisah-kisah yang lain yang masih erat kaitannya dengan persitiwa Bubat. Itu menurut saya. Pendapat orang lain tentu boleh saja berbeda. Sah-sah saja, namanya juga opini. Yang penting tetap damai, menjaga daulat nurani, dan akal sehat.

 

Panjalu, 6 Agustus 2018
 
foto : cover novel bPerang Bubat karya Yoseph Iskandar
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...