Minggu, 23 Juni 2019

Pengantin Samen

Saya tidak tahu dari mana asal kata samen berasal. Apakah benar samen merupakan istilah bahasa Sunda untuk memaknai perayaan kelulusan dan kenaikan kelas siswa sekolah? Sejak kapan dan di mana istilah itu muncul untuk pertama kali, pun saya tidak bisa menemukan penjelasannya. Namun yang pasti, di sebagian daerah di Jawa Barat istilah samen memang lazim digunakan untuk menyebut peristiwa perayaan kelulusan dan kenaikan kelas siswa sekolah.
Selain serangkaian agenda acara formal, pidato, dan pentas-pentas seni kreasi siswa, samen juga lazimnya diisi dengan pengalungan medali dan pemberian ijazah pada siswa yang akan lulus. Kedatangan siswa-siswa calon alumni ini biasanya disambut dengan semacam prosesi seni. Di beberapa sekolah di Jawa Barat, setidaknya yang pernah saya sambangi, prosesi seni penyambutan siswa ini sering kali disebut upacara adat dan diserupakan dengan prosesi penjemputan calon pengantin pria ada sebuah acara pernikahan.
Penyerupaan ini tentu punya konsekuensi logisnya yakni siswa yang akan “diwisuda” itu dianggap sebagai pengantin. Karena dianggap pengantin, maka busana dan riasan yang dikenakan pun diupayakan mirip pengantin sungguhan. Yang perempuan dirias atau merias diri sedemikian rupa, mengenakan gaun atau pakaian khusus, dan lain sebagainya. Yang laki-laki biasanya tampil biasa saja meski pernah saya temukan beberapa samen yang siswa “pengantin” laki-lakinya didandai persis pengantin pria dalam sebuah pernikahan.
Siswa-siswa yang sudah didandani ini, setibanya dipanggung akan melakukan sungkem pada guru atau kepala sekolah. Adegan sungkem ini pun, karena gagasan dasarnya adalah pengantin, maka dibuat semirip mungkin dengan sungkem dalam rangkaian upacara pernikahan dengan beberapa gubahan kalimat pengantar sungkem tentunya.
Tentang menganggap siswa-siswa calon alumni itu pengantin sebagaimana pengantin pernikahan saya tidak berkata bahwa itu salah, hanya saja saya rasa kurang tepat. Barangkali ada kesamaan antara pengantin pernikahan dengan siswa yang hendak lulus. Keduanya sama-sama akan memasuki fase hidup yang baru. Segala prosesi yang dilakukan saat “upacara” merupakan bagian akhir di fase lama sekaligus pula bagian awal di fase yang baru. Keduanya sama-sama pindah, bergeser, atau hijrah. Namun selain kesamaan hijrah itu, saya tidak terpikir ada lagi kesamaan yang lain.
Dalam pernikahan, selain unsur kebaruan fase hidup yang juga berarti kebaruan status, ada pula unsur penyatuan dua pihak yang dalam hal ini tentu pengantin pria di satu pihak dan pengantin wanita di pihak lain. Keduanya sama-sama meninggalkan fase hidup yang lalu untuk kemudian bersatu dalam fase hidup yang baru. Ini merupakan salah satu hal yang membedakan antara pengantin nikah dengan siswa-siswa yang hendak lulus itu atau sebut saja pengantin samen. Pengantin samen tidak akan mengalami penyatuan dengan pihak lain. Jangankan menyatu, pihak lain diluar dirinya saja tidak ada. Pengantin samen itu tidak berpasangan selayaknya pengantin nikah. Kelulusannya tidak bergantung pada pihak lain diluar dirinya selain sistem pendidikan. Jika hasil evaluasi belajar mengatakan ia layak lulus, maka luluslah ia. Jika tidak,ya seharusnya tidak.
Hal lain yang bedakan adalah bahwa pengantin nikah bukan merupakan prodak tes berstandar. Dua orang yang hendak menikah tidak harus melewati serangkain tes berstadar terlebih dahulu. Sedangkan siswa yang lulus itu, untuk memperoleh kelulusannya ia haruslah mengikuti serangkaian proses pendidikan yang diakhiri evaluasi belajar berupa tes atau ujian berstandar. Ini berarti status baru sebagai suami istri yang diperoleh dua orang pengantin nikah bukan merupakan hasil dari ujian terstandar seperti Ujian Nasional. Terlebih jika pernikahannya adalah hasil perjodohan. Sedang status baru seorang siswa yang akan lulus sebagai lulusan atau alumni merupakan hasil dari suatu tes berstandar. Secara esensi, seorang siswa yang hendak mengubah statusnya menjadi alumni harus mengalami satu fase pengujian diri. Sedang tidak demikian dengan pengantin nikah.
Memang mungkin gagasan awal prosesi penyambutan pengantin samen itu sebagai penyemarak saja atau bertujuan memuliakan siswa yang hendak lulus sebab pada peristiwa pelulusan itu memang siswa-siswa itulah yang jadi bintangnya. Karena mereka lulus maka diadakan acara tersebut. Sebab utama ada acara kelulusan yang biasanya dimeriahkan dengan samen itu adalah adanya siswa yang hendak diluluskan. Namun menyemarakan kelulusan dengan prosesi seni mirip penyambutan pengantin agaknya kurang tepat sebab ada beberapa perbedaan substantif antar keduanya seperti yang telah saya tulis di atas.
Mempengantinkan siswa-siswa calon alumni ini agaknya terlalu memaksakan. Barangkali tujuan awalnya agar prosesi pelulusan peserta didik itu memiliki pijakan atau tautan yang bersifat adat istiadat dan tradisi. Kalau boleh saya berandai-andai secara lebay, barangkali semacam proses menentukan hukum fiqih dengan metode qiyaas. Jadi dasar hukum prosesi penjemputan siswa yang akan dikalungi medali itu diqiyaaskan kepada proses penjemputan calon pengantin pria. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, prosesi penjemputan calon pengantin pria yang lazim hadir dalam suatu pesta penikahan di Jawa Barat itu masih dalam perdebatan prihal statusnya sebagai sebentuk tradisi. Ada yang mengatakan bahwa kegiatan itu lebih merupakan kreasi seniman Sunda setelah tahun 60an dan sifatnya lebih cair dalam hal tata aturan atau pakem, dimungkinkan mengakomodasi unsur atau bentuk baru sesuai kondisi zaman, tidak seperti seni tradisi lain yang memiliki pakem yang rigid.
Kalaupun mau mengakomodir unsur atau idiom tradisi dalam sebuah prosesi pelulusan siswa sekolah, barangkali menautkannya dengan prosesi pelantikan raja-raja zaman lampau akan lebih mendekati ketimbang pernikahan. Kalau tidak salah dalam bahasa Sunda dikenal kata istrén (lantik) yang dengan tambahan imbuhan bisa menjadi ngistrénan (melantik) dan diistrénan (dilantik). Kata ini bisa pula jadi pijakan awal bilamana hendak membuat prosesi pelulusan siswa sekolah.
Siswa yang hendak lulus dilantik menjadi lulusan dan otomatis menjadi alumni. Demikian pula calon raja. Ia dilantik menjadi raja. Sedang dalam pernikahan tidak ada hal pelantikan ini. Pengucapan ikrar pernikahan bukanlah dan tidak sama dengan pelantikan. Pelantikan mensyaratkan pelantik atau yang melantik. Dan agaknya tidak ada unsur kesepakatan antara yang pelantik dan terlantik. Terlantik dilantik oleh karena sistem mengharuskan demikian. Sedang pengucapan ikrar pernikahan lebih seperti kesepakatan, perjanjian, atau mungkin pula “jual beli”. Ada kesejajaran antara dua pihak sebab keduanya bersepakat. Sedang dalam pelantikan, pelantik baasanya berposisi lebih tinggi dalam konteks tertentu dari terlantik. Kepala sekolah sebagai pelantik berstatus lebih tinggi dari peserta didik dalam hal struktur satuan tingkat pendidikan.
Meskipun saya tidak terlalu yakin sebab banyak juga perbedaan antara raja dan alumni secara substansi, namun setidaknya tidak ada unsur penyatuan dua pihak pada keduanya, unsur yang saya kira membuat peristiwa pernikahan dan pelulusan terlalu jauh tautannya.
Persoalannya, seperti apa pelantikan raja-raja zaman lampau, khususnya di Jawa Barat?
 
Ciamis, 23 Juni 2019

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...