Saya
tidak tahu dari mana asal kata samen berasal. Apakah benar samen merupakan
istilah bahasa Sunda untuk memaknai perayaan kelulusan dan kenaikan kelas siswa
sekolah? Sejak kapan dan di mana istilah itu muncul untuk pertama kali, pun saya
tidak bisa menemukan penjelasannya. Namun yang pasti, di sebagian daerah di
Jawa Barat istilah samen memang lazim digunakan untuk menyebut peristiwa
perayaan kelulusan dan kenaikan kelas siswa sekolah.
Selain
serangkaian agenda acara formal, pidato, dan pentas-pentas seni kreasi siswa,
samen juga lazimnya diisi dengan pengalungan medali dan pemberian ijazah pada
siswa yang akan lulus. Kedatangan siswa-siswa calon alumni ini biasanya
disambut dengan semacam prosesi seni. Di beberapa sekolah di Jawa Barat, setidaknya
yang pernah saya sambangi, prosesi seni penyambutan siswa ini sering kali
disebut upacara adat dan diserupakan dengan prosesi penjemputan calon pengantin
pria ada sebuah acara pernikahan.
Penyerupaan
ini tentu punya konsekuensi logisnya yakni siswa yang akan “diwisuda” itu
dianggap sebagai pengantin. Karena dianggap pengantin, maka busana dan riasan
yang dikenakan pun diupayakan mirip pengantin sungguhan. Yang perempuan dirias
atau merias diri sedemikian rupa, mengenakan gaun atau pakaian khusus, dan lain
sebagainya. Yang laki-laki biasanya tampil biasa saja meski pernah saya temukan
beberapa samen yang siswa “pengantin” laki-lakinya didandai persis pengantin
pria dalam sebuah pernikahan.
Siswa-siswa
yang sudah didandani ini, setibanya dipanggung akan melakukan sungkem pada guru
atau kepala sekolah. Adegan sungkem ini pun, karena gagasan dasarnya adalah
pengantin, maka dibuat semirip mungkin dengan sungkem dalam rangkaian upacara
pernikahan dengan beberapa gubahan kalimat pengantar sungkem tentunya.
Tentang
menganggap siswa-siswa calon alumni itu pengantin sebagaimana pengantin
pernikahan saya tidak berkata bahwa itu salah, hanya saja saya rasa kurang
tepat. Barangkali ada kesamaan antara pengantin pernikahan dengan siswa yang
hendak lulus. Keduanya sama-sama akan memasuki fase hidup yang baru. Segala
prosesi yang dilakukan saat “upacara” merupakan bagian akhir di fase lama
sekaligus pula bagian awal di fase yang baru. Keduanya sama-sama pindah,
bergeser, atau hijrah. Namun selain kesamaan hijrah itu, saya tidak terpikir
ada lagi kesamaan yang lain.
Dalam
pernikahan, selain unsur kebaruan fase hidup yang juga berarti kebaruan status,
ada pula unsur penyatuan dua pihak yang dalam hal ini tentu pengantin pria di
satu pihak dan pengantin wanita di pihak lain. Keduanya sama-sama meninggalkan
fase hidup yang lalu untuk kemudian bersatu dalam fase hidup yang baru. Ini merupakan
salah satu hal yang membedakan antara pengantin nikah dengan siswa-siswa yang
hendak lulus itu atau sebut saja pengantin samen. Pengantin samen tidak akan
mengalami penyatuan dengan pihak lain. Jangankan menyatu, pihak lain diluar
dirinya saja tidak ada. Pengantin samen itu tidak berpasangan selayaknya
pengantin nikah. Kelulusannya tidak bergantung pada pihak lain diluar dirinya
selain sistem pendidikan. Jika hasil evaluasi belajar mengatakan ia layak
lulus, maka luluslah ia. Jika tidak,ya seharusnya tidak.
Hal
lain yang bedakan adalah bahwa pengantin nikah bukan merupakan prodak tes
berstandar. Dua orang yang hendak menikah tidak harus melewati serangkain tes
berstadar terlebih dahulu. Sedangkan siswa yang lulus itu, untuk memperoleh
kelulusannya ia haruslah mengikuti serangkaian proses pendidikan yang diakhiri
evaluasi belajar berupa tes atau ujian berstandar. Ini berarti status baru
sebagai suami istri yang diperoleh dua orang pengantin nikah bukan merupakan
hasil dari ujian terstandar seperti Ujian Nasional. Terlebih jika pernikahannya
adalah hasil perjodohan. Sedang status baru seorang siswa yang akan lulus
sebagai lulusan atau alumni merupakan hasil dari suatu tes berstandar. Secara esensi,
seorang siswa yang hendak mengubah statusnya menjadi alumni harus mengalami
satu fase pengujian diri. Sedang tidak demikian dengan pengantin nikah.
Memang
mungkin gagasan awal prosesi penyambutan pengantin samen itu sebagai penyemarak
saja atau bertujuan memuliakan siswa yang hendak lulus sebab pada peristiwa
pelulusan itu memang siswa-siswa itulah yang jadi bintangnya. Karena mereka
lulus maka diadakan acara tersebut. Sebab utama ada acara kelulusan yang
biasanya dimeriahkan dengan samen itu adalah adanya siswa yang hendak
diluluskan. Namun menyemarakan kelulusan dengan prosesi seni mirip penyambutan
pengantin agaknya kurang tepat sebab ada beberapa perbedaan substantif antar
keduanya seperti yang telah saya tulis di atas.
Mempengantinkan
siswa-siswa calon alumni ini agaknya terlalu memaksakan. Barangkali tujuan
awalnya agar prosesi pelulusan peserta didik itu memiliki pijakan atau tautan
yang bersifat adat istiadat dan tradisi. Kalau boleh saya berandai-andai secara
lebay, barangkali semacam proses menentukan hukum fiqih dengan metode qiyaas. Jadi
dasar hukum prosesi penjemputan siswa yang akan dikalungi medali itu
diqiyaaskan kepada proses penjemputan calon pengantin pria. Padahal jika
ditelusuri lebih jauh, prosesi penjemputan calon pengantin pria yang lazim
hadir dalam suatu pesta penikahan di Jawa Barat itu masih dalam perdebatan
prihal statusnya sebagai sebentuk tradisi. Ada yang mengatakan bahwa kegiatan
itu lebih merupakan kreasi seniman Sunda setelah tahun 60an dan sifatnya lebih
cair dalam hal tata aturan atau pakem, dimungkinkan mengakomodasi unsur atau
bentuk baru sesuai kondisi zaman, tidak seperti seni tradisi lain yang memiliki
pakem yang rigid.
Kalaupun
mau mengakomodir unsur atau idiom tradisi dalam sebuah prosesi pelulusan siswa
sekolah, barangkali menautkannya dengan prosesi pelantikan raja-raja zaman
lampau akan lebih mendekati ketimbang pernikahan. Kalau tidak salah dalam
bahasa Sunda dikenal kata istrén
(lantik) yang dengan tambahan imbuhan bisa menjadi ngistrénan (melantik) dan diistrénan
(dilantik). Kata ini bisa pula jadi pijakan awal bilamana hendak membuat
prosesi pelulusan siswa sekolah.
Siswa
yang hendak lulus dilantik menjadi lulusan dan otomatis menjadi alumni. Demikian
pula calon raja. Ia dilantik menjadi raja. Sedang dalam pernikahan tidak ada
hal pelantikan ini. Pengucapan ikrar pernikahan bukanlah dan tidak sama dengan
pelantikan. Pelantikan mensyaratkan pelantik atau yang melantik. Dan agaknya
tidak ada unsur kesepakatan antara yang pelantik dan terlantik. Terlantik dilantik
oleh karena sistem mengharuskan demikian. Sedang pengucapan ikrar pernikahan
lebih seperti kesepakatan, perjanjian, atau mungkin pula “jual beli”. Ada kesejajaran
antara dua pihak sebab keduanya bersepakat. Sedang dalam pelantikan, pelantik baasanya
berposisi lebih tinggi dalam konteks tertentu dari terlantik. Kepala sekolah
sebagai pelantik berstatus lebih tinggi dari peserta didik dalam hal struktur satuan
tingkat pendidikan.
Meskipun
saya tidak terlalu yakin sebab banyak juga perbedaan antara raja dan alumni secara
substansi, namun setidaknya tidak ada unsur penyatuan dua pihak pada keduanya,
unsur yang saya kira membuat peristiwa pernikahan dan pelulusan terlalu jauh
tautannya.
Persoalannya,
seperti apa pelantikan raja-raja zaman lampau, khususnya di Jawa Barat?
Ciamis,
23 Juni 2019