Jumat, 26 Juli 2019

GWS: tubuh-tubuh yang berharap; catatan kecil pertunjukan GWS produksi Yayasan Lanjong Indonesia

Sudah sejak lama kata-kata menjadi sarana manusia mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Dengan kata-kata manusia menjalin komunikasi, bertukar pemikiran, saling mencurahkan perasaan dan lain sebagainya. Namun sebelum itu, sebelum kata-kata menjadi wakil realitas, tubuh sebenarnya, mungkin, bisa lebih fasih membicarakan realitas sebab ia lebih dulu mencerap realitas dan merupakan realitas itu sendiri. Tubuh mampu lebih jujur merasa dan merespon “sakit” sebab ia mencerap secara utuh sakit itu ketimbang kata sakit yang hanya “mewakili” pengalaman sakit belaka. Ungkapan “auw” atau “aduh” tatkala jari terjepit pintu tidak bisa benar-benar dan utuh menggambarkan pengalaman sakitnya jari (tubuh) terjepit pintu.
Namun kejujuran tubuh ini barangkali lambat laun terkubur lantaran kata-kata,  dengan segala kehebatannya, telah menahbiskan diri sebagai wakil realitas paling otoritatif. Manusia terlalu mempercayakan segala sesuatunya pada kata-kata sampai-sampai lupa pada potensi tubuhnya sendiri. Akibatnya tubuh tereduksi menjadi sebatas objek, kandang jiwa, atau sangkar pemikiran belaka. Belum lagi ditambah dengan keyakinan-keyakinan dogmatis yang mengatakan bahwa tubuh adalah kotor sedang jiwa adalah bersih, tubuh adalah jahat sedang jiwa adalah baik, yang makin membenamkan saja tubuh sebagai eksistensi manusia paling purba.
Persoalan-persoalan tubuh dan kebertubuhan ini sudah sejak lama diperbincangkan oleh para pemikir. Gaungnya kemudian sampai ke pelbagai bidang kehidupan, tak terkecuali teater. Tubuh dipertanyakan kembali, dipersoalkan kembali, dimaknai kembali, dan diperlakukan dengan cara-cara yang berbeda dengan yang telah dikenal sebelumnya dalam teater konvensional. Ketika tubuh menjadi representasi pengalaman paling utama, kalau tidak satu-satunya, di atas panggung, para ahli lantas menyebutnya teater tubuh.
Meski istilah teater tubuh masih memantik riak perdebatan khususnya ihwal batasan-batasan dan perbedaannya dengan tari namun kiranya ini tidak harus menjadi persoalan dalam berkarya. Setidaknya Ab Asmarandana sudah melakukan itu melalui karya teater terbarunya berjudul “GWS”.  Pertunjukan produksi Yayasan Lanjong Indonesia yang tercatat sebagai salah satu penampil pada Festival Teater Tubuh Payung Hitam 2019 ini sukses membuat puluhan penonton bertahan hingga pungkas pada Senin malam, 22 Juli 2019 di Lapangan Parkir FKIP UNSIL, Kota Tasikmalaya.
Kapan “cerita” GWS ini dimulai sebenarnya agak membingungkan juga. Pertunjukan ini seolah terdiri dari tiga bagian. Bagian awal dimulai sejak lampu menyala dan nampak beberapa orang berkaos putih, bercelana hot pants, serta mengenakan masker bergambar bibir, gigi, dan lidah membentuk komposisi tertentu di atas alas berbentuk lingkaran yang penuh dengan gambar dan tulisan sampai mereka semua menghilang. Alas yang mungkin dimaksudkan sebagai simbol visual itu barangkali akan lebih mudah dipahami bila dilihat dari jarak dan sudur tertentu. Jarak pandang yang terlalu dekat antara penonton dan gambar itu–dan  dengan sendirinya membatasi sudut pandang–sepertinya justu menghambat penonton menangkap makna dan gambar itu secara lebih utuh dan  menyeluruh.
Bagian kedua dimulai sejak kemunculan tokoh berkemeja biru membawa serta meja dan kusi yang mengkilap seperti terbuat dari alumunium. Ia tidak mengenakan masker. Awalanya ia duduk dan nampak gelisah. Beberapa kali menggaruk-garuk  kepala seperti kebingungan. Kemudian melakukan gerakan-gerakan yang mengesankan keragu-raguan dan bingung. Tokoh ini nampak seperti sedang berpantomim. Ada juga bagian ia seperti kesulitan mengucapkan kata-kata, seperti orang bisu yang memaksakan diri bicara. Beberapa ungkapannya seperti bermaksud menggugat kata-kata atau lebih tepatnya definisi verbal tentang sesuatu. Hal ini seperti menggugah ingatan atas Nietzsche yang sempat mengingatkan tentang penjara makna melalui konsep dan kata. Menjelang akhir kehadirannya, tubuh yang beberapa gerak-geriknya sanggup mengingatkan sebagian penonton pada Mr. Bean-nya Rowan Atkinson ini memanggil tuan rumah (UKM Teater 28 UNSIL) untuk memberi sambutan. Tepat pada bagian ini pertunjukan seolah terputus oleh sambutan dengan derajat verbalistik sangat tinggi. Namun barangkali ini salah satu kekhasan karya-karya Abuy, sapaan akrab Ab Asmarandana. Dalam beberapa pertunjukannya, ia kerap “mengganggu” kekhusuan menonton dengan menggedor batas pamain dan penonton atau memainkan irama pertunjukan yang tak diduga-duga sebelumnya.
Bagian ketiga sepertinya dimulai sejak orang-orang ber-hot pants itu masuk kembali, mengerumuni si tokoh berkemeja biru dan membuatnya keluar. Bila diamati lebih rinci, mungkin bagian ketiga ini juga bisa dibagi lagi menjadi beberapa sub-bagian atau adegan yang lebih spesifik. Satu adegan puitik pada bagian ini adalah tatkala orang-orang jatuh, lampu temaram nyaris gelap, masuk sesosok berkostum serba putih, berselendang putih dengan kepala terbungkus kotak transparan dengan lampu LED di dalamnya. Sosok serba putih itu memainkan selendangnya, melintasi tubuh-tubuh yang berupaya menggapainya namun tak bisa sampai ia menghilang di kegelapan. Entah apa yang dimaksudkan sutrdadara dengan kotak transparan yang membungkus kepala si sosok serba putih, namun adegan itu seolah ingin menggambarkan kerinduan tubuh-tubuh pada sesuatu yang boleh jadi mesianik atau profetik. Kesan ini makin kuat lantaran tubuh-tubuh yang nampak lelah itu seolah menyambut sosok serba putih dengan melantunkan sholawat berirama lagu Silent Night (Malam Kudus) yang populer dibawakan Cak Nun dan Kyai Kanjeng-nya.
Selain gerak-gerak akrobatik, pada beberapa adegan pertunjukan ini juga cukup kaya dengan gerak-gerak koreografis. Salah satunya yakni ketika para pemain bergerak secara ritmis dengan iringan musik tertentu bernuansa etnik. Tentang nuansa etnik ini agaknya tidak hanya diwakili oleh petikan Sape khas Dayak saja namun juga oleh Tutang (tato) di betis para pemain dan adegan semacam permainan anak-anak tradisional. Hal ini menjadi menarik sebab selain sebagai penanda identitas etnis mayoritas anggota kelompok Yayasan Lanjong Indonesia, lokalitas ini pun hadir bersama modernitas yang diwakili kamera drone yang turut “bermain” di bagian awal, misalnya, atau telepon pintar yang menjadi properti para pemain. Alih-alih berbenturan, dua unsur yang mewakili, sebut saja, dua jiwa zaman ini justru dibiarkan berkelindan saja, campur aduk. Barangkali inilah potret realitas zaman kini. Orang-orang Nusatara berada dalam tegangan antara identitas masa lampau di satu sisi dan tawaran-tawaran kebaruan a la Barat di sisi yang lain.
Perjuampaan lokalitas dan budaya kekinian dalam GWS tidak hanya diwakili oleh telepon pintar dan Tatung saja. Perjumpaan lain dengan bernuansa satir dengan apik dihadirkan melalui suara raungan gergaji mesin yang mengiringi permianan anak-anak tradisional. GWS sendiri merupakan kependekan dari Get Well Soon, sebuah ungkapan bahasa asing yang sudah akrab di telinga sebagian masyarakat sebagai ganti ungkapan “semoga lekas sembuh”. Pemilihan judul berbahasa asing yang akrab di telinga milenials ini agaknya bisa juga dimaknai sebagai semacam proklamasi tentang gaya pertunjukan yang mengusung semangat kekinian atau kebaruan melalui medium teater tubuh atau teater non-verbal.
Selain sebagai pengejawantahan semangat kekinian, GWS juga mungkin bisa dimaknai sebagai ruh pertunjukan itu sendiri. Berbagai macam adegan yang dimainkan sepertinya sudah cukup memberi gambaran tentang sakit. Berulang-ulangnya tubuh yang berupaya bangun namun kembali terjatuh dengan keras sementara tubuh-tubuh lain malah menertawakan agaknya cukup jelas menggambarkan tentang sakit. Atau adegan seseorang dengan pakaian necis yang makan dengan rakus sementara seseorang lain memukul-mukul tubuhnya dan nampak kesakitan; di sudut lain nampak sekumpulan orang dengan balon dibalik kaosnya, mirip perut buncit busung lapar terkapar, kiranya itu sudah cukup “verbal” menyampaikan kesakitan. Bahwa tak acuh, apalagi menertawakan orang sakit adalah bentuk kesakitan lain yang lebih sakit. Siapa/apa yang sakit, tentu tiap-tiap penonton bisa sangat beragam memaknainya.  Sebagai sebuah ungkapan harapan, GWS menggenapi pertunjukan itu dengan menyuapi kue ke penonton sembari berucap ”semoga lekas sembuh”.
(Cara) menonton teater non-verbal semisal teater tubuh barangkali berbeda dengan menonton teater verbal, Penonton setidak-tidaknya dituntut untuk membaca simbol-simbol non-verbal yang berada dipanggung baik berupa gerakan/koreografi dan komposisi tubuh, seting, kostum, tata cahaya, dan lain sebagainya untuk memahami keseluruhan pertunjukan. Bagi penonton yang terbiasa menonton pertunjukan teater verbal, menonton jejaring simbol non-verbal dalam pertunjukan teater tubuh untuk kemudian memahaminya secara utuh agaknya tidak semudah memahami tuturan dialog drama. Perlu kecermatan serta referensi yang cukup agar makna simbol-simbol itu bisa dipahami dan dirangkai utuh.
Atau bisa saja tidak sama sekali. Boleh jadi pertunjukan teater tubuh  justru tidak mensyaratkan apa-apa untuk dipahami sebab boleh jadi ia tidak dipertunjukan untuk dipahami. Ia mungkin lebih ingin dinikmati, dirasakan, atau sekedar “mengatakan” sesuatu. Sebab bahasa yang digunakan adalah bahasa tubuh, bahasa jujur yang sebenarnya lebih purba ketimbang kata-kata, bahasa yang boleh jadi lebih universal, maka syarat menikmatinya adalah menontonnya sebagai tubuh-tubuh utuh, tidak lebih tidak kurang.
Tulisan ini bukan sebuah catatan analitis yang layak. Barangkali lebih sebagai ungkapan ketidaktahuan belaka.
Semoga lekas sembuh!
 
Panjalu, 27 Juli 2019     

Minggu, 14 Juli 2019

Catatan Kecil Perayaan Hari Jadi Ciamis ke 377

Pesta telah usai. Tinggallah kemeriahan itu dalam ingatan dan jejak-jejak. Bulan Juni di Ciamis agaknya selalu punya cerita tersendiri. Pada bulan ini Ciamis merayakan hari jadinya. Meski masih jadi perdebatan khususnya di pemerhati sejarah, namun setidaknya sejak 1972 hingga hari ini 12 Juni diyakini dan ditetapkan pemerintah sebagai hari jadi kabuaten Ciamis. Rangkaian peringatan hari jadi ini biasanya dilakukan sejak awal Juni. Macam-macam kegiatan digelar mulai dari kegiatan ziarah Bupati Ciamis ke beberapa tempat yang dianggap memiliki kaitan sejarah dengan kabupaten Ciamis sampai pentas-pentas seni buat memeriahkan dan menghibur masyarakat Ciamis, khususnya di pusat kota. 

Semasa masih hidup, pertunjukan wayang goleh Giri Harja 3 pimpinan Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya adalah puncak sekaligus penutup rangkaian kegiatan yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat Ciamis. Setelah beliau berpulang, pertunjukan wayang golek sarat makna dan humor itu agaknya hanya tinggal jadi rindu. Panitia peringatan hari jadi Ciamis sepertinya berupaya menghadirkan hal lain yang tak kalah monumental. Sebagaimana kematian tokoh atau seniman besar lainnya, kematian Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya setidaknya membawa “berkah” tersendiri bagi seniman lain. Seniman-seniman lain yang biasanya duduk sebagai penonton Ki Asep, kini berkesempatan lebih besar “manggung” sebagai yang ditonton.

Selain prosesi seni Ngebral Pataka pada 12 Juni yang dihelat di halaman Pendopo Kabupaten Ciamis, tahun ini setidaknya ada tiga pentas utama yang mengisi peringatan Hari Jadi Ciamis ke 377 : Galuh Ethnic Carnival (GEC), Karnaval SCTV, dan Pesona Galuh Nagari. 

GEC tahun ini digelar pada 25 – 26 Juni 2019 di Alun-Alun Ciamis. Seperti gelar perdananya ada 2018, GEC tahun ini pun agaknya menjadikan seni helaran sebagai primadona. Banyaknya kesenian helaran di Ciamis, baik yang sudah ada sejak lama maupun yang dibuat dadakan, menjadi latar belakang diadakannya kegiatan ini. Jika Jember bisa mendunia dengan Jember Fashion Carnival-nya, maka Ciamis sepertinya ingin muncul mengusung ethnic carnival. Beberapa seni helaran Ciamis yang turut serta diantaranya: Marching Band Gema Galuh Ciamis, Wayang Landung Panjalu, Pontrangan Cimaragas, Mengmleng Winduraja, Mabokuy Rajadesa, Bebegig Sawah Saung Sadulur Kawali, Barongan Purwadadi, dan Bebegig Baladewa Sukamantri. Selain dari Ciamis, ada pula peserta helaran dari Bandung Barat, Indramayu, Karawang, Garut, Banjar, dan Purwakarta. Tidak hanya helaran, kegiatan yang dimotori oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) kabupaten Ciamis ini dimeriahkan pula oleh sajian pertunjukan dari Padepokan Seni Budaya Rengganis dan Padepokan Suryalaga Banjarsari, Sanggar Galuh Pakuan Panumbangan, Studio Titik Dua, Uceng Grup Cijeungjing, dan pada malam hari sajian ronggeng dari SGBS 2 memungkas hari pertama Galuh Ethnic Carnival. Kegiatan yang berbarengan dengan acara Ngobi Bareng di halaman Pendopo Kabupaten Ciamis ini diisi pula oleh pameran benda-benda pusaka koleksi museum-museum yang ada di Ciamis. 

Setelah dua hari tanpa kemeriahan, Alun-Alun Ciamis kembali ramai lantaran Karnaval SCTV pada 29 – 30 Juni 2019. Dimulai pada Sabtu pagi hingga Minggu sore secara off-air dan on-air, acara ini diramaikan oleh sajian musik dari kelompok musik industri, sulap, pemutaran film, bazar prodak sponsor, lomba-lomba, dan karnaval artis-artis sinetron SCTV. Selayaknya acara-acara stasiun tv nasional lainnya, SCTV pada kesempatan ini memboyong pula para pesohor dunia hiburan buat mengisi acara. 

Jika Disbudpora punya Galuh Ethnic Carnival maka mantan teman sekantornya, Dinas Pariwisata Ciamis, punya Pesona Galuh Nagari. Frasa ini agaknya bukan sekedar judul acara dalam rangka memperingati Hari Jadi Ciamis sebab dalam banyak kesempatan lain Dinas Pariwisata kerap kali menggunakan frasa ini sebagai nama kegiatannya. Pesona Galuh Nagari yang diperkenalkan sejak 2016 ini lebih seperti istilah untuk “paket wisata Ciamis” produksi Dinas Pariwisata Ciamis. Selain sajian pertunjukan, Pesona Galuh Nagari tahun ini diisi pula pameran produk pariwisata dan bazar kuliner jajanan Ciamis. Sajian pertunjukannya sendiri dihelat pada 29 Juni 2019 malam di area timur Taman Raflesia Ciamis. Masyarakat Ciamis akrab menyebut tempat itu dengan istilah “bilbor” sebab di sana terpampang billboard raksasa milik Pemda Ciamis. 

Kedatangan rombongan pawai obor dari Pendopo Kabupaten Ciamis ke lokasi acara menandai dimulainya kegiatan. Selain Bupati, Wakil Bupati, dan pejabat Ciamis  lainnya, turut pula Bebegig Baladewa Sukamantri, Genjring Ronyok Kawali, tokoh dan anggota komunitas adat, serta beberapa penari dalam rombongan. Malam itu, sejak dimulai sekitar jam 8, ratusan penonton yang meski dengan berjejal dan penuh sesak  mampu bertahan menonton hingga pungkas menjelang tengah malam. Sederet sajian pertunjukan yang manggung malam itu diantaraya: tari oleh Studio Titik Dua (Tari Kele, Tari Kedok, Tari Karembong Koneng, Tari Girimis), baca puisi oleh Godi Suwarna, musik dan tari oleh EMKA 9 dan Dwi Khan Bintang Pantura 5 (Jaipong Wangsit Siliwangi, Karembong Koneng, Tari Dangiang Ki Sunda, Girimis). Selain tari, musik, dan baca puisi, kegiatan penutup rangkaian peringatan Hari Jadi Ciamis ke 377 ini pun dimeriahkan oleh pelawak Ohang yang dengan canda khasnya berhasil membuat Bupati dan penonton lainnya terpingkal-pingkal. Kelucuannya makin menjadi tatkala ia berkolaborasi dengan kelompok calung asal Ciamis pimpinan Kuwu Uceng dan pelawak perempuan legendaris Ciamis, Ma Apay. Selain memantik tawa para pejabat tamu undangan, Ohang cs pun sukses merayu mereka merokoh kocek buat nyawer. Sungguh rejeki nomplok. Malam Minggu di akhir Juni itu pun dipungkas dengan ngibing bersama dipirig tepak Bajidoran oleh kelompok musik asal Purwakarta, EMKA 9.

Kemeriahan peringatan Hari Jadi Ciamis ke 377 kemarin cukup sukses menghibur dan memberdayakan masyarakat. Namun sejatinya tidak ada kesuksesan yang sempurna. Ada saja satu dua hal yang acap kali luput dan menjadi pekerjaan rumah buat perbaikan hari esok. Terkait kemeriahan peringatan kemarin, dengan menggunakan kaca mata salah satu pola kerja teater, ada beberapa hal yang barangkali bisa menjadi masukan buat perbaikan di masa mendatang.

Pertama, konsep. Alangkah baik kiranya bilamana seluruh rangkaian kegiatan  peringatan Hari Jadi Ciamis mengusung satu gagasan dasar atau konsep yang sama. Konsep ini bisa berupa visi yang kemudian diartikulasikan menjadi logo dan tema besar kegiatan. Biarlah konsep dasar ini diterjemahkan secara kreatif oleh pelaksana kegiatan menjadi bentuk acara yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan kesatuan konsep dasar ini kegiatan-kegiatan yang digelar akan terasa sinambung dan jelas benang merahnya. Tidak terkesan sporadis dan mungkin bisa menekan ego sektoral  yang hingga kini masih terasa di kalangan instansi pemerintah khususnya yang memiliki irisan  macam Disbudpora dan Dinas Pariwisata.

Kedua, koordinasi dan komunikasi. Hal lain yang tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah besar dari kegiatan kemarin adalah tentang koordinasi dan komunikasi. Lantaran dua hal ini kurang terbangun dengan baik maka terjadi kesimpang siuran dalam beberapa kegiatan. Misalnya saja tentang agenda acara pada pembukaan Galuh Ethnic Carnival yang selain simpang siur sehingga membuat tim kesenian prosesi seni pembukaan melakukan improvisasi tepat pada saat pertunjukan berlangsung, juga bertabrakan waktu dengan agenda Ngobi Bareng di halaman Pendopo Kabupaten Ciamis. Koordinasi dan komunikasi harus terjalin baik dengan semua pihak yang terlibat, bukan hanya antar instansi namun juga dengan pengisi acara atau pihak terkait diluar kepanitiaan lainnya.

Ketiga, pemahaman teknis. Ini yang sering kali dilupakan, ya, persoalan teknis. Sebuah gagasan yang bagus sukar terwujud mendekati sempurna bilamana hal-hal teknis tidak mendukung. Panitia pelaksana memang tidak harus secara mendetil memahami hal teknis. Bisa saja mereka meminta pendapat pihak lain yang memang mengusai hal tersebut. Yang wajib dipahami adalah bahwa dalam sebuah penyelanggaraan kegiatan, apalagi pertunjukan seni, hal teknis punya andil besar untuk kesuksesan acara. Misalnya saja, pada panggung Pesona Galuh Nagari. Lantaran sebagian besar pertunjukan diisi oleh sajian yang membutuhkan tata cahaya panggung tertentu yang dapat mendukung suasana dramatis yang sesuai, maka perangkat tata cahayanya pun mustilah menyesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Lampu panggung pertunjukan punya peruntukan dan fungsi-fungsi yang berbeda. Demikian pula media pengatur atau mixernya pun punya spesifikasi tersendiri sesuai kebutuhan. Sayangnya, perangkat tata cahaya yang tersedia kemarin tidak mendukung untuk itu. Perangkat yang ada kemarin lebih sesuai untuk pertunjukan musik/band. Alhasil, keberadaan lampu panggung kurang optimal dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan yang digelar.       

Keempat, manajemen organisasi. Dalam melaksanan suatu kegiatan pastilah ada sekumpulan orang yang mengerjakan pekerjaan tertentu guna mewujudkan kegiatan tersebut. Idelanya, siapa melakukan apa sudahlah terencana sejak awal agar tidak terjadi tumpang tinding dan kesimpang siuran. Patut pula diberi kejelasan siapa komandan atau penanggungjawab dari masing-masing divisi kerja agar kerja-kerja, khususnya kerja lapangan yang butuh eksekusi cepat, bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Hal manajeman organisasi ini agaknya terkait erat sekali dengan koordinasi dan komunikasi. Dalam hal manajemen organisasi agaknya penting juga mengingat pepatah asing “the right man in the right place” dan satu pepatah lain yang sering sekali dikutip almarhum Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya, “Not gun! But the man behind the gun”. 

Lepas dari semua kritik, kerja-kerja Pemda Ciamis khususnya Disbudpora dan Dinas Pariwisata patut diapreasiasi. Sejauh ini, setidaknya melalui dua kegiatan yang baru saja digelar, cukup banyak potensi kesenian yang berupaya digali, diangkat, dan diperkenalkan ke khalayak. Hal ini tentu membawa dampak positif tersendiri dan semoga di waktu yang akan datang, dampak positif ini bisa jadi pemicu untuk dampak-dampak positif lainnya. 

Salah satu dampak positif kegiatan kesenian adalah terlupakannya polaritas sebagian masyarakat akibat Pemilu 2019. Hal ini secara bijak dipotret oleh Dr. K. H. Fadlil Yani Ainusyamsi, MBA., M. Ag., (Kang Icep) yang menyamapaikan do’a pada malam panggung Pesona Galuh Nagari. Semoga tontonan bisa menjadi tuntunan.

Dirgahayu Ciamis.

Pakéna kerta bener
Pakeun nanjeur na juritan
Pakéna gawé rahayu   
Pakeun heubeul jaya dina buana

Panjalu, 2 Juli 2019 



Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...