Sudah sejak lama
kata-kata menjadi sarana manusia mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Dengan
kata-kata manusia menjalin komunikasi, bertukar pemikiran, saling mencurahkan
perasaan dan lain sebagainya. Namun sebelum itu, sebelum kata-kata menjadi
wakil realitas, tubuh sebenarnya, mungkin, bisa lebih fasih membicarakan
realitas sebab ia lebih dulu mencerap realitas dan merupakan realitas itu
sendiri. Tubuh mampu lebih jujur merasa dan merespon “sakit” sebab ia mencerap
secara utuh sakit itu ketimbang kata sakit yang hanya “mewakili” pengalaman
sakit belaka. Ungkapan “auw” atau “aduh” tatkala jari terjepit pintu tidak bisa
benar-benar dan utuh menggambarkan pengalaman sakitnya jari (tubuh) terjepit
pintu.
Namun kejujuran
tubuh ini barangkali lambat laun terkubur lantaran kata-kata, dengan segala kehebatannya, telah menahbiskan
diri sebagai wakil realitas paling otoritatif. Manusia terlalu mempercayakan
segala sesuatunya pada kata-kata sampai-sampai lupa pada potensi tubuhnya
sendiri. Akibatnya tubuh tereduksi menjadi sebatas objek, kandang jiwa,
atau sangkar pemikiran belaka. Belum lagi ditambah dengan keyakinan-keyakinan dogmatis
yang mengatakan bahwa tubuh adalah kotor sedang jiwa adalah bersih, tubuh
adalah jahat sedang jiwa adalah baik, yang makin membenamkan saja tubuh sebagai
eksistensi manusia paling purba.
Persoalan-persoalan
tubuh dan kebertubuhan ini sudah sejak lama diperbincangkan oleh para pemikir.
Gaungnya kemudian sampai ke pelbagai bidang kehidupan, tak terkecuali teater. Tubuh
dipertanyakan kembali, dipersoalkan kembali, dimaknai kembali, dan diperlakukan
dengan cara-cara yang berbeda dengan yang telah dikenal sebelumnya dalam teater
konvensional. Ketika tubuh menjadi representasi pengalaman paling utama, kalau
tidak satu-satunya, di atas panggung, para ahli lantas menyebutnya teater
tubuh.
Meski istilah teater
tubuh masih memantik riak perdebatan khususnya ihwal batasan-batasan dan
perbedaannya dengan tari namun kiranya ini tidak harus menjadi persoalan dalam
berkarya. Setidaknya Ab Asmarandana sudah melakukan itu melalui karya teater
terbarunya berjudul “GWS”. Pertunjukan produksi
Yayasan Lanjong Indonesia yang tercatat sebagai salah satu penampil pada
Festival Teater Tubuh Payung Hitam 2019 ini sukses membuat puluhan penonton
bertahan hingga pungkas pada Senin malam, 22 Juli 2019 di Lapangan Parkir FKIP
UNSIL, Kota Tasikmalaya.
Kapan
“cerita” GWS ini dimulai sebenarnya agak membingungkan juga. Pertunjukan ini
seolah terdiri dari tiga bagian. Bagian awal dimulai sejak lampu menyala dan
nampak beberapa orang berkaos putih, bercelana hot pants, serta mengenakan
masker bergambar bibir, gigi, dan lidah membentuk komposisi tertentu di atas
alas berbentuk lingkaran yang penuh dengan gambar dan tulisan sampai mereka
semua menghilang. Alas yang mungkin dimaksudkan sebagai simbol visual itu
barangkali akan lebih mudah dipahami bila dilihat dari jarak dan sudur
tertentu. Jarak pandang yang terlalu dekat antara penonton dan gambar
itu–dan dengan sendirinya membatasi
sudut pandang–sepertinya justu menghambat penonton menangkap makna dan gambar
itu secara lebih utuh dan menyeluruh.
Bagian kedua dimulai
sejak kemunculan tokoh berkemeja biru membawa serta meja dan kusi yang mengkilap
seperti terbuat dari alumunium. Ia tidak mengenakan masker. Awalanya ia duduk
dan nampak gelisah. Beberapa kali menggaruk-garuk kepala seperti kebingungan. Kemudian melakukan gerakan-gerakan yang mengesankan
keragu-raguan dan bingung. Tokoh ini nampak seperti sedang berpantomim. Ada
juga bagian ia seperti kesulitan mengucapkan kata-kata, seperti orang bisu yang
memaksakan diri bicara. Beberapa ungkapannya seperti bermaksud menggugat kata-kata atau lebih tepatnya definisi verbal tentang sesuatu. Hal ini seperti
menggugah ingatan atas Nietzsche yang sempat mengingatkan tentang penjara makna melalui konsep dan kata. Menjelang akhir kehadirannya, tubuh yang beberapa
gerak-geriknya sanggup mengingatkan sebagian penonton pada Mr. Bean-nya Rowan
Atkinson ini memanggil tuan rumah (UKM Teater 28 UNSIL) untuk memberi sambutan.
Tepat pada bagian ini pertunjukan seolah
terputus oleh sambutan dengan derajat verbalistik sangat tinggi. Namun barangkali
ini salah satu kekhasan karya-karya Abuy, sapaan akrab Ab Asmarandana. Dalam beberapa
pertunjukannya, ia kerap “mengganggu” kekhusuan menonton dengan menggedor batas
pamain dan penonton atau memainkan irama pertunjukan yang tak diduga-duga sebelumnya.
Bagian ketiga
sepertinya dimulai sejak orang-orang ber-hot pants itu masuk kembali, mengerumuni si tokoh berkemeja biru dan
membuatnya keluar. Bila diamati lebih rinci,
mungkin bagian ketiga ini juga bisa dibagi lagi menjadi beberapa sub-bagian
atau adegan yang lebih spesifik. Satu adegan puitik pada bagian
ini adalah tatkala orang-orang jatuh, lampu temaram nyaris gelap, masuk sesosok
berkostum serba putih, berselendang putih dengan kepala terbungkus kotak
transparan dengan lampu LED di dalamnya. Sosok serba putih itu memainkan
selendangnya, melintasi tubuh-tubuh yang berupaya menggapainya namun tak bisa
sampai ia menghilang di kegelapan. Entah apa yang dimaksudkan sutrdadara dengan
kotak transparan yang membungkus kepala si sosok serba putih, namun adegan itu
seolah ingin menggambarkan kerinduan tubuh-tubuh pada sesuatu yang boleh jadi
mesianik atau profetik. Kesan ini makin kuat lantaran tubuh-tubuh yang nampak
lelah itu seolah menyambut sosok serba putih dengan melantunkan sholawat
berirama lagu Silent
Night (Malam Kudus) yang populer
dibawakan Cak Nun dan Kyai Kanjeng-nya.
Selain gerak-gerak akrobatik, pada beberapa adegan pertunjukan ini juga cukup
kaya dengan gerak-gerak koreografis. Salah satunya yakni ketika para pemain
bergerak secara ritmis dengan iringan musik tertentu bernuansa etnik. Tentang
nuansa etnik ini agaknya tidak hanya diwakili oleh petikan Sape khas Dayak saja namun juga oleh
Tutang (tato) di betis para pemain dan adegan semacam permainan anak-anak
tradisional. Hal ini menjadi menarik sebab selain sebagai penanda identitas etnis
mayoritas anggota kelompok Yayasan Lanjong Indonesia, lokalitas ini pun hadir bersama
modernitas yang diwakili kamera drone yang turut “bermain” di bagian awal,
misalnya, atau telepon pintar yang menjadi properti para pemain. Alih-alih
berbenturan, dua unsur yang mewakili, sebut saja, dua jiwa zaman ini justru
dibiarkan berkelindan saja, campur aduk. Barangkali inilah potret realitas
zaman kini. Orang-orang Nusatara berada dalam tegangan antara identitas masa lampau di satu sisi dan tawaran-tawaran kebaruan a la Barat di sisi yang lain.
Perjuampaan
lokalitas dan budaya kekinian dalam GWS tidak hanya diwakili oleh telepon pintar dan Tatung saja. Perjumpaan lain dengan bernuansa
satir dengan apik dihadirkan melalui suara raungan gergaji mesin yang mengiringi permianan anak-anak tradisional.
GWS sendiri merupakan kependekan dari Get Well Soon, sebuah ungkapan bahasa
asing yang sudah akrab di telinga sebagian masyarakat sebagai ganti ungkapan
“semoga lekas sembuh”. Pemilihan judul berbahasa asing yang akrab di telinga milenials
ini agaknya bisa juga dimaknai sebagai semacam proklamasi tentang gaya
pertunjukan yang mengusung semangat kekinian atau kebaruan
melalui medium teater tubuh atau teater non-verbal.
Selain sebagai
pengejawantahan semangat kekinian, GWS juga mungkin bisa dimaknai sebagai ruh
pertunjukan itu sendiri. Berbagai macam adegan yang dimainkan sepertinya sudah
cukup memberi gambaran tentang sakit. Berulang-ulangnya tubuh yang berupaya
bangun namun kembali terjatuh dengan keras sementara tubuh-tubuh lain malah
menertawakan agaknya cukup jelas menggambarkan tentang sakit. Atau adegan
seseorang dengan pakaian necis yang makan dengan rakus sementara seseorang lain
memukul-mukul tubuhnya dan nampak kesakitan; di sudut lain nampak sekumpulan
orang dengan balon dibalik kaosnya, mirip perut buncit busung
lapar terkapar, kiranya itu sudah cukup “verbal” menyampaikan kesakitan. Bahwa
tak acuh, apalagi menertawakan orang sakit adalah bentuk kesakitan lain yang
lebih sakit. Siapa/apa yang sakit, tentu
tiap-tiap penonton bisa sangat beragam memaknainya. Sebagai sebuah ungkapan harapan, GWS
menggenapi pertunjukan itu dengan menyuapi kue ke penonton sembari berucap
”semoga lekas sembuh”.
(Cara) menonton
teater non-verbal semisal teater tubuh barangkali berbeda dengan menonton
teater verbal, Penonton setidak-tidaknya dituntut untuk membaca simbol-simbol
non-verbal yang berada dipanggung baik berupa gerakan/koreografi dan komposisi
tubuh, seting, kostum, tata cahaya, dan lain sebagainya untuk memahami
keseluruhan pertunjukan. Bagi penonton yang terbiasa menonton pertunjukan
teater verbal, menonton jejaring simbol non-verbal dalam pertunjukan teater
tubuh untuk kemudian memahaminya secara utuh agaknya tidak
semudah memahami tuturan dialog drama. Perlu kecermatan serta referensi yang
cukup agar makna simbol-simbol itu bisa dipahami dan dirangkai utuh.
Atau bisa saja tidak
sama sekali. Boleh jadi pertunjukan teater tubuh justru tidak mensyaratkan apa-apa untuk
dipahami sebab boleh jadi ia tidak dipertunjukan untuk dipahami. Ia mungkin
lebih ingin dinikmati, dirasakan, atau sekedar “mengatakan” sesuatu. Sebab
bahasa yang digunakan adalah bahasa tubuh, bahasa jujur yang sebenarnya lebih purba
ketimbang kata-kata, bahasa yang boleh jadi lebih universal, maka syarat
menikmatinya adalah menontonnya sebagai tubuh-tubuh utuh, tidak lebih tidak
kurang.
Tulisan ini bukan sebuah catatan analitis yang
layak. Barangkali lebih sebagai ungkapan ketidaktahuan belaka.
Semoga lekas sembuh!
Panjalu, 27 Juli 2019