Kamis, 30 Juni 2016

Tradisi Ritus

Tradisi Ritus

Seperti yang telah banyak diketahui kaum muslim bahwa rukun Islam secara berurut ialah syahadat, sholat, puasa (bagi yang mampu dan tak berhalangan), zakat (bagi yang mampu dan cukup syarat), berhaji (bagi yang mampu yang cukup syarat). Ini merupakan syarat (keutuhan)  seseorang disebut muslim.

Syahadat ialah ucapan dua kalimat pengakuan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw. Barangkali idealnya ini bukan sebatas pengakuan verbal belaka namun syahadat ini merupakan pondasi yang justru musti dilakoni, bukan sebatas diucapkan belaka. Sebatas ucapan verbal atau ucapan batin saja tanpa implementasi, ini belum utuh atau masih omong kososng belaka barangkali. Keesaan Tuhan yang diakui harus benar-benar dilakoni secara sadar. Penghambaan manusia akan materi dan imateri selain Tuhan adalah bentuk mengkhianatam syahadat. Begitupun penolakan kenabian, baik dalam tataran pemikiran maupun lakuan, merupakan wujud lain pengkhianatan syahadat. pengkhianatan syahadat saya rasa sama dengan pengkhianatan sumpah, ingkar pada pengakuan kita sendiri. Ini merupakan wujud ketidakhormatan dan kehinaan manusia, ketika ia mengkhianati sumpahnya demi sesuatu yang rendah. Sangat tidak beradab. Meski syahadat akan menemukan eksistensi utuhnya dalam wujud lakuan namun dalam praktik keseharian, syahadat lebih sekedar pada dua kalimat ikrar yang diucapkan secara verbal dan ini menjadi penanda Islamnya seseorang. Setelah seseorang mengucap syahadat, otomatis ia menjadi seorang muslim, setidaknya itu pandangan masyarakat umum meski saya agak keberatan dengan hal itu. Saya kira predikat muslim bagi seseorang tidak cukup didapat hanya dengan mengucap dua kalimat syahadat dengan ringan saja. Pengucapan ini merupakan simbol. Jika pengucapan itu bukan berangkat dari kesadaran utuh penerimaan  keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw, saya kira predikat muslim malah jadi dijual terlalu murah. Syahadat adalah dasar iman, jika dasar imannya saja seharga seperangkat alat sholat semata, tanpa memahami simbol “sepangkat alat sholat”, boleh jadi sebutan “iman gope” cukup layak disandangnya. Namun meski begitu, betapapun gopenya iman seseorang, saya kira keimanan seseorang bukan wilayah hukum manusia. Artinya  manusia sama sekali tidak berhak menghakimi iman seseorang. Yang masih bisa dihakimi barangkali sebatas perwujudan iman, lakuan iman, pengejawantahan iman, implementasi iman. Jadi bukan imannya yang dihakimi tapi lakuannya semata sebab sebatas itu saja manusia mampu mengindera. Iman itu urusan Tuhan.

Sholat menempati urutan kedua dalam rukun Islam. Setelah pondasi iman utuh melalui pengakuan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw secara sadar, wujud pertama keimanan itu ialah sholat. Namun jika ditinjau dari sejarah, perintah sholat baru turun pada tahun 10 kenabian atau sekitar tahun 620 – 621 M , setidaknya ini kisah yang populer meski ada beberapa ulama yang menyangsikannya. Lalu jika memang perintah sholat baru datang pada tahun 10 kenabian, apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan kaumnya waktu itu pra perintah sholat? Yang saya maksud bukan menyoal ritual atau tata cara sholatnya, namun wujud keimanan macam apa yang hadir pada masa itu jika sholat belum menjadi ritual wajiba dalam Islam? Jika menilik sejarah, pada masa itu, yang kerap disebut periode dakwah Mekkah, dakwah Nabi Muhammad lebih menitikberatkan pada persoalan keimanan, eskatologi, moralitas dan nyaris belum ada perintah ritus ibadah apapun. Periode ini, umat lebih fokus mendekonstruksi iman dan paradigma, transisi dari iman, paradigma serta moralitas jahiliyyah ke iman, paradigma dan moralitas Islam. Dengan jalan demikian, ketika turun perintah sholat pada tahun 10 kenabian, umat sudah sangat siap melakoninya sebab pondasi iman, paradigma dan moralitasnya sudah kokoh. Sholat menjadi simbol sekaligus wujud ketundukan mutlak pada perintah Illahi dan penerimaan kenabian Muhammad saw. (syahadat). Dalam pandangan saya justru dengan sholat yang irasional inilah pembuktian kepasrahan dan kepatuhan tergambar. Setelah kontruksi batin imannya selesai, paradigmanya beres dan sambil berangsur memperbaiki moral, sholatpun diwajibkan. Singkatnya, jika melihat konteks sejarah, umat Islam Arab kala itu melakoni ritus sholat ketika sudah “siap”. Sekali lagi ini jangan sampai dilepaskan dari konteks historisnya. Dan ritus sholat menjadi ibadah wajib yang tak tergantikan, sepanjang waktu, sepanjang hidup bahkan yang matipun pada akhirnya disholatkan. Dalam fiqih yang banyak dianut di Indonesia, yang mendapat pengecualian untuk tidak melakukan ritus sholat adalah perempuan yang dalam masa menstruasi dan nifas pasca melahirkan, selebihnya tiap-tiap yang sudah baligh secara fiqih wajib melakukan ritus sholat, tanpa terkecuali, dalam kondisi apapun meski sekarat sekalipun. Ini menandakan kewajiban mutlak yang terkandung dalam ritus sholat. Ibadah yang merupakan simbol sekaligus wujud ketundukan muslim pada Allah SWT.

Rukun Islam yang ketiga adalah puasa di bulan Ramadan bagi yang mampu. Sejarah puasa sangatlah panjang jika dibahas sebab puasa bukan hanya ritus ibadah dalam Islam namun nyaris di banyak agama dan kepercayaanpun puasa menjadi salah satu ritualnya. Perintah puasa di bulan Ramadan turun pada tahun 2 Hijriah/Hijrah. Maksdunya perintah ini turun 2 tahun (tepatnya setahun setengah) pasca hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Ini jelas lebih muda dari perintah sholat. Aturan dalam puasa tidak seketat sholat. Banyak pengecualian orang boleh tidak melakukan puasa. Menurut fiqih, puasa di bulan Ramadan adalah ibadah yang bisa digantikan. Maksudnya jika tidak puasa pada bulan Ramadan karena suatu hal yang diperbolehkan agama maka orang tersebut wajib mengganti puasanya pada waktu lain baik dengan puasa atau dengan membayar sejumlah harta dengan ketentuan yang sudah diatur oleh fiqih, ini lazim disebut fidyah. Meski sama-sama terikat waktu, ritus sholat dan puasa memiliki perbedaan dalam hal substitusinya. Sholat, tak tersubstitusi (meski ada sejumlah ulama yang mengatakan bahwa sholat bisa disubstitusi) dan puasa, tersubstitusi. Ini saya kira menunjukan bahwa ritus shaum ini derajat keketatannya lebih ringan ketimbang sholat. Dan pula ritus ini hanya dilakukan sebulan dalam setahun, berbeda dengan sholat yang tiap hari tanpa pengecualian.

Begitupun dengan rukun Islam zakat dan berhaji, dua rukun ini semakin ringan derajat keketatannya, derajat kewajibannya makin ringan. Zakat dan berhaji adalah wajib bagi yang mampu dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi sosial terbesar dibanding kewajiban lain sebab mensyaratkan orang lain dalam pelaksanaannya. Ada pemberi dan peerima zakat. Dan berhaji adalah ibadah yang boleh dibilang paling berat, kompleks dan mahal. Ritus ini membutuhkan persiapan dan syarat-syarat yang cukup banyak. Dalam pelaksannnyapun ritus ini merupakan ritus yang cukup kompleks karena terdiri dari rangkaian yang panjang dan menguras energi fisik yang lumayan besar. Dan berhaji hanya wajib sekali seumur hidup saja, itupun bagi yang mampu dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai tertentu.

Dari kelima rukun Islam yang ada bisa kita lihat bahwa ada derajat kewajiban yang berbeda-beda dan ini berangsur ringan sedari syahadat hingga berhaji. Secara praktika memang berangsur berat tapi secara derajat kewajiban justru berangsur ringan bahkan boleh tidak sama sekali. Yang praktikanya paling ringan, itu yang paling wajib. Yang praktikanya paling berat, itu yang tak terlalu wajib bahkan boleh tidak dilakukan sama sekali. Logika ini saya kira sangat masuk akal. Namun pada realitasnya, logika ini acap kali tak terwujud dengan baik.

Jika menilik realitas masyarakat Indonesia, setidaknya yang ada di sekitar saya, lebih mewajibkan puasa ketimbang sholat. Dan dalam puasa di bulan Ramadanpun, tradisi ngabuburit menjadi lebih wajib ketimbang ritus puasa itu sendiri. Banyak orang yang tidak puasa namun larut dan mewajibkan diri melakukan ngabuburit. Ngabuburit adalah kegiatan apapun yang dilakukan bertujuan menunggu waktu berbuka puasa. Ritus puasa yang mensyaratkan buka puasa dan sahur telah menciptakan banyak tradisi dan habitual yang beragam di Nusantara. Tradisi ini juga menghinggapi wilayah pemerintah yang tertuang dalam kebijakan-kebijakannya. Misal saja, Perda (Peraturan Daerah) di suatu daerah yang melarang warung makan buka disiang hari selama bulan Ramadan atas alasan menghormati yang berpuasa. Atau penutupan tempat hiburan dan lokalisasi prostitusi selama bukan Ramadan atas alasan menghormati bulan Ramadan. Jam kerja kantor, baik kantor  pemerintah maupun kantor non-pemerintah, ikut menyesuaikan dengan waktu berbuka, sahur dan tradisi-tradisinya. Begitupun agenda kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah.

Ritus yang bersumber dari teks-teks suci berasimilasi dengan habitual masyarakat hingga melahirkan tradisi-tradisi khas. Kelahiran tradisi ini tidaklah sebatas peristiwa saja namun utuh dengan seperangkat aturan serta nilai-nilainya. Ada norma yang lahir bersama tradisi itu. Bahkan tradisi-tradisi dengan segenap kelangkapannya itu malah agaknya lebih penting, lebih wajib ketimbang ritus puasa (shaum) itu sendiri. Asimilasi yang hadir antara tradisi dan ritus ini nyaris membuat kabur hingga, bagi masyarakat awam, sulit memetakan mana tradisi,  mana ritus.

Ngabuburit, buka bersama, saur bersama, pesantren kilat Ramadan, kuliah tujuh menit sebelum buka puasa, kuliah subuh usai sholat subuh, baju lebaran, masakan-masakan khas lebaran, mudik, THR, dan lain-lain terasa lebih wajib dari “menahan” itu sendiri. Puasa bagi saya adalah seni manajemen diri, seni mengatur diri, mengatur tubuh luar dan tubuh dalam. Menurut fiqih, yang wajib selama puasa adalah buka puasa dan sahur. Larangan wajibnya secara fiqih adalah makan, minum dan berhubungan seks sebelum berbuka puasa. Sisanya adalah sunah-sunah. Sesederhana itukah aturan shaum di bulan Ramadan? Saya kira ya. Namun justru dari kesederhanaan inilah lahir beragam tradisi yang unik.

Lahirnya tradisi-tradisi pasti membawa kebaikan, namun yang disesalkan adalah logika derajat kewajiban ibadah yang terbalik-balik ini. Ketika puasa dirasa lebih wajib ketimbang sholat, ketika ngabuburit lebih wajib ketimbang puasa, ketika sholat Id (yang adalah sholat sunat) dirasa sangat wajib ketimbang puasa dan sholat wajib yang 5 waktu, dan kejungkirbalikan logika derajat kewajiban rukun Islam lain-lainnya.

Kajian-kajian tentang rukun Islam ini masih sangat sarat pro kontra terlebih menyoal sejarah,  praktik serta hukum-hukum dalam ritus tersebut. Saya hanya mecoba melihat rukun Islam dari kaca mata lain, kemudian dihadapkan pada realitas di sekitar saya.

Bagaimana realitas di sekitar Anda?     


Rengganis, 30 Juni 2016

Sabtu, 11 Juni 2016

Lengser dan Pernikahan

Lengser dan Pernikahan

Hasil gambar untuk pernikahan sunda

Pernikahan, sebuah kata yang sangat familiar, bukan sebuah kata asing. Kata yang wajar, yang telah ada sejak lama. Secara sederhana barangkali pernikahan dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan nikah. Sedang nikah sediri menurut KBBI adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Sedangkan kawin, masih menurut KBBI adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis. Arti leksikal ini agaknya harus direvisi mengingat realitas kontemporer menyuguhkan fakta yang lebih luas dari sekedar yang ada pada kamus. Kita menjumpai pernikahan sesama jenis, menjumpai pernikahan dengan semacam mahluk astral, pernikahan manusia dengan hewan, pernikahan manusia dengan benda mati atau bahkan manusia yang menikahi dirinya sendiri. Namun, tulisan ini bukan hendak menyola definisi nikah secara leksikal ataupun faktual. Tulisan ini lebih menyoal pada sakralitas prosesi pernikahan.
Bertolak dari definisi pernikahan diatas, nikah yang akan disoal di sini ialah perikahan laki-laki dan perempuan seperti yang umum terjadi. Pada tiap kebudayaan di dunia baik yang telah musnah atau masih terjaga hingga kini, selalu ada hal tertentu yang harus dilakukan calon pengantin. Hal tersebut dapat berupa upacara pernikahan yang didalamnya terdapat serangkaian kegiatan. Ada pula yang berupa tindakan khusus yang dilakukan oleh calon pengantin atau keluarga calon pengantin. Apapun itu, pasti ada hal yang wajib dilakukan yang agar pernikahan tersebut sah secara adat. Tiap kebudayaan punya cara tersendiri untuk melegalkan suatu pernikahan.
Saya akan menyoal pernikahan di daerah adat Sunda atau lebih tepatnya Priangan Timur. Saya tidak akan membahas berbagai kegiatan adat secara detil sebab bukan ahlinya. Saya sebatas berbagi pengalaman dan interpretasi atas pengalaman saya. Saya seorang penari, penari tradisi tepatnya. Selain melatih tari di sanggar, kegiatan saya sebagai penari yang concern pada tari tradisi di daerah adalah menari pada acara resepsi pernikahan atau istilahnya Upacara Adat Mapag Pangantén. Kami mengistilahkannya manggung. Bagi sebagian besar penari tradisi di tempat tinggal saya, manggung bukan sebatas mata pencaharian, tapi lebih merupakan eksistensi sebagai penari. Ini unik dan barangkali akan saya bahas pada tulisan lain. Kali ini saya lebih ingin membicarakan mengenai sakralitas rangkaian  upacara pernikahan. Yang saya soal di sini ialah prosesi seni pada pernikahan.
Pada hari pernikahan, biasanya yang pertama disaksikan mayarakat ialah penyAmbutan calon pengantin pria beserta keluarga. Pada momen ini pengantin pria dan keluarga besarnya akan disAmbut oleh prosesi seni berupa tari-tarian yang diiringi musik bernuansa tradisi. Inilah tugas saya, menari untuk menyAmbut calon pengantin pria. Pada banyak kasus, yang dijemput adalah pengantin pria, artinya akad pernikahan telah dilakukan sebelumnya. Pada perkembangannya malah yang dijemput adalah sepasang pengantin baru, bukan hanya pengantin pria saja. Bahkan prosesi terkadang dua kali digelar. Pertama menyambut calon pengantin pria untuk melaksanakan akad. Usai akad, menjelang resepsi, diadakan lagi prosesi penyambutan pengantin baru. Formalitas yang agak aneh saya kira.
Alur prosesi seni macam ini sangat beragam. Maksudya tiap kelompok seni kadang punya gaya berbeda-beda. Namun satu hal yang menjadi umum adalah keberadaan tokoh Lengser. Tokoh yang bisa pula dilacak pada kisah-kisah Padjadjaran atau Mundinglaya Dikusumah. Tokoh ini biasanya dipersonifikasikan sebagai lelaki tua. Biasanya lelaki tua ini bertingkah jenaka, lucu, penuh improvisasi dan interaksi langsung dengan penonton. Pada awalnya, fungsi utama Lengser adalah sebagai semacam protokol bagi jalannya prosesi seni. Lengser biasanya memimpin prosesi hingga calon pengantin duduk di tempat akad atau pelaminan (jika akad telah dilakukan sebelumnya). Tokoh lelaki tua inilah yang biasanya sangat ditunggu-tunggu penonton. Tokoh dengan penuh kejutan dan jenaka. Malah kini Lengser telah berpasangan dengan Ambu, tokoh yang diasumsikan sebagai istri Lengser. Tokoh Ambu ini biasanya dimainkan oleh laki-laki yang berpenampilan seperti nenek-nenek. Seiring berkembangnya kesenian, tokoh Ambu pun kini banyak yang dimainkan oleh yang berjenis kelamin perempuan. Biasanya tokoh Ambu ini tidak boleh kalah jenaka dan gokil dari Lengser. Ya, sepasang suami istri yang sama-sama edan. Aksi-aksi mereka sangat ditunggu-tunggu sebab kehadirannya mampu membuat terpingkal-pingkal. Lengser dan Ambu tidak harus pandai menari, asal bisa melawak saja cukup. Lawakanlah yang ditunggu, bukan tarian.
Sebelum kedatangan Lengser dan Ambu, biasanya suasana khidmat dan agung masih bisa dirasakan. Nah, kemunculan Lengser dan Ambu ini akan langsung mengubah suasana 180 derajat. Suasana menjadi sangat cair, riang, jenaka, humor bahkan konyol. Dalam pandangan saya bahkan cenderung konyol dan menjijikan. Barangkali itu lebih disebabkan perbedaan selera humor. Bagi saya persoaannya bukan pada gaya Lengser dan Ambu yang jenaka, tapi lebih pada takaran dan gaya kejenakaan yang dihadirkan yang kadang menjadi kekonyolan dan kebodohan belaka.
Saya sepakat dengan kejenakaan mereka berdua selama tidak jatuh pada komedi konyol yang ekstra artifisial. Dan sayangnya inilah yang kini lebih sering terjadi. Prosesi seni penyAmbutan berubah menjadi sajian lawak yang konyol dan berlebih. Tak jarang Lengser dan Ambu melakukan aksi-aksi yang berlebih, yang menyakitkan secara fisik. Makin fisik mereka dieksploitasi makin penonton tertawa dan bahagia, makinlah prosesi seni itu dinilai berhasil. Penari-penari yang indah dan gemulai itu seakan tak berarti, seakan hanya gincu belaka.
Sependek pengetahuan saya, bentuk prosesi upacara adat pernikahan bukan merupakan tinggalan budaya lama, budaya leluhur. Memang ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa upacara adat penyAmbutan pengantin sudah ada sejak era Padjadjaran pada abad 14, namun upacara adat pada masa itu hanyalah untuk pernikahan putri raja atau pangagung lain, rakyat biasa tidak boleh menyelenggarakan yang serupa itu. Upacara adat pernikahan yang kita kenal sekarang adalah hasil ciptaan seniman pada kurun waktu 1960–1970an. Dan struktur upacara adat ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan seniman penggarap atau si empunya hajat.
Saya ingin memfokuskan pembahasan ini pada peran Lengser dan Ambu yang seolah merobek sakralitas prosesi seni pada pernikahan. Dalam pandangan saya, seni punya banyak fungsi. Selain sebagai hiburan seni juga punya sisi sakral yang dalam beberapa bagian tidak bisa digeser menjadi profan. Berangkat dari pemikiran tersebut, prosesi seni pernikahan semustiya sakral sebab pernikahan itu sendiri dalam pandangan saya adalah hal sakral, bukan hiburan. Biasanya memang pesta pernikahan diisi dengan beragam hiburan tapi itu hadir pasca akad nikah, pada acara resepsi. Ketika hiburan itu hadir lebih dini, hiburan tersebut malah jadi merusak sakralitas, menggeser sakralitas menjadi profan. Pernikahan menjadi semacam pesta hiburan saja. Memang ada yang berpendapat bahwa sakralitas pernikahan hanya terletak pada akad nikah saja, pada ijab qabul (jika dalam Islam), selain dari hal tersebut bisa dikatakan tidak terlalu sakral atau boleh jadi tidak sakral sama sekali. Namun saya berpendapat, akad nikah adalah puncak sakralitas. Jika kita menggunakan kaca mata dramaturgi, puncak haruslah dipersiapkan, dibina, tidak ujug-ujug puncak. Seperti gunung, tidak mungkin langsung puncak. Ada proses menuju puncak sedari kaki gunung, lereng hingga kemudian ke puncak. Begitupun jika teori tersebut kita aplikasikan pada prosesi seni penyambutan calon pengatin pada acara pernikahan.
Bagaimana membina klimaks yang dalam hal ini adalah akad nikah? Upacara penyambutan untuk calon pengantin pria adalah semacam ungkapan rasa hormat dan cinta dari keluarga mempelai perempuan pada mempelai laki-laki berikut keluarganya. Lelaki benar-benar seolah menjadi “raja sehari”. Ia diperlakukan istimewa, lain dari biasanya. Bagaimana mungkin penghormatan terhadap raja sehari ini dilakukan dengan kekonyolan lisptik?
Kehadiran Lengser yang terlampau konyol justru merusak pembinaan klimaks itu sendiri. Pembinaan klimaks yang dilakukan para penari pria dan wanita dengan menyuguhkan tarian yang sesuai dengan suasana kekhidmatan kemudian dilibas habis oleh kehadiran Lengser. Struktur yang dibangun kemudian rusak sama sekali.
Nah, mengapa ini bisa terjadi? Apakah memang sakralitas pernikahan sudah menjadi pembicaraan arkaik? Jadul? Kuno? Pernikahan dipandang sebatas hal yang profan saja. Menikah sama halnya dengan masuk perguruan tinggi atau bekerja di suatu perusahaan. Menikah sebatas menjadi salah satu fase hidup yang tak beda dengan masuk kerja, masuk kuliah atau bahkan berganti pacar. Ataukah kekonyolan Lengser lebih pada memaksakan masuknya unsur entertaiment pada acara pernikahan?
Memang realitas prosesi seni pernikahan kontemporer mengindikasikan hal itu. Bahwa kini prosesi seni pernikahan bukan lagi menjadi sebatas prosesi tetapi menjadi hiburan. Fungsi sakralitas seni tergerus oleh fungsi seni sebagai hiburan. Upacara adat pernikahan bukan lagi menjadi prosesi dalam balutan seni tetapi bermetemorfosis menjadi seni pertunjukan yang mensyaratkan dominannya unsur hiburan.
Saya kira kondisi ini merupakan gambaran dari jiwa zaman, zeitgeist. Zaman ini sakralitas nyaris menjadi hal yang langka bahkan dipandang kuno dan terbelakang. Pernikahan pun tak luput dari kecenderungan ini. Jika pernikahannya saja sudah tak sakral, mengapa juga hal-hal pendukung pernikahan masih perlu dipandang sakral? Mengapa prosesi seni penyambutan calon pengantin pria masih musti sakral? Mengapa Lengser masih perlu dipandang agung, berwibawa,  dan terhormat?

Namun kemudian saya punya pembacaan lain. Apakah mungkin gaya kekonyolan Lengser adalah gaya ungkap khas suku Sunda?    

Minggu, 05 Juni 2016

Human Googlisation

Human Googlisation
Hasil gambar untuk google
Google, kata yang sangat akrab sekali dengan kita, setidaknya di era milenium ini. Kita sering dibuat tak sadar bahwa google adalah nama perusahaan atau merk dagang. Dan bagi masyarakat awam barangkali kurang menyadari bahwa selain google, banyak juga mesin pencari lainnya semisal Yahoo, Bing, Ask, Lycos dan lain sebagainya. Namun karena google adalah yang paling populer, setidaknya bagi masyarakat awam di Indonesia, maka google adalah yang paling sering di-internet-kan.
Google kini memang telah sangat berkembang, bukan hanya sebagai mesin pencari di internet tapi telah melebarkan jejaringnya ke segala aspek khususnya ihwal teknologi informasi. Yang paling prestisius dan kekinian ialah barangkali kehadiran Android, sistem operasi yang diciptakan google yang kini telah mewabah ke seluruh dunia. Android bersama Apple, BBM dan operation system lainnya bersaing memikat warga dunia dalam bidang teknologi informasi.
Google dengan segala kecanggihan dan kecerdasannya telah mendapat berbagai gelar tambahan dimasyarakat. Mbah Google, Syekh Google, Prof. Google dan berbagai gelar lainnya yang disematkan masyarakat. Gelar-gelar yang biasanya disematkan pada orang yang mempunyai wawasan luas dan/atau mendalam pada suatu bidang ilmu. Fenomena penyematan gelar pada google ini barangkali awalnya memang sebatas keisengan belaka. Awalnya saya rasa jarang ada orang yang benar-benar kagum pada benda mati ini sehingga menempatkan derajatnya setingkat Syekh atau Mbah yang dalam kebudayaan Islam atau Jawa, gelar itu mustilah dimiliki oleh orang-orang hebat. Untuk gelar Mbah memang agak umum sebab Mbah bisa juga berarti panggilan untuk orang yang sudah udzur. Mbah yang saya maksud adalah Mbah yang disematkan kepada ahli-ahli klenik, dukun dan penggiat supranatural yang biasanya memang tahu banyak hal, seperti google.
Penyematan gelar pada google, yang berawal dari keisengan, saya kira pada akhirnya menjadikan si pemberi gelar terlanjur gandrung bahkan fanatik pada google. Ia yang memberi gelar lantas ia pun mengimani gelar tersebut. Pada akhirnya, google baginya memang benar-benar Syekh, benar-benar Mbah, benar-benar Profesor. Pengimanan ini barangkali dilakukannya secara tidak sadar. Google, khususnya pada masyarakat awam yang mulai melek internet, kehadiran dan fungsinya menjadi semacam kewajiban. Hidup tanpa google seolah kita kehilangan separuh otak kita, kehilangan ilmu, kehilangan pergaulan. Padahal google hanyalah benda mati yang status, derajat serta fungsinya tergantung pada kuasa kita. Kita bisa dengan mudah memperlakukannya sekehendak kita. Kita jadikan ia teman, guru atau sebatas media pemuas hasrat keingintahuan, itu terserah pada kita dan semua sah-sah saja.
Kegandrungan kita pada google juga saya kira merupakan perpanjangan dari hasrat keingitahuan manusia yang memang kodrati sifatnya. Manusia dengan segala potensi yang dianugrahkan Tuhan memang sudah semustinya punya hasrat keingintahuan. Dan keingintahuan inilah yang jadi modal awal terciptanya peradaban manusia. Keingintahuan melekat pada diri manusia sama seperti hasrat-hasrat lainnya yang sifatnya internal, azali, kodrati, fitrah. Yang kemudian menjadi berbeda antara dulu dan kini ialah media pemuasnya. Jika dahulu sebelum ada internet, sumber wawasan dan ilmu masih terbatas pada orang tertentu dan buku (teks). Hanya dua hal itu yang boleh dikata sebagai penyalur ilmu. Jika tidak tanya ke orang pintar, ya baca buku (atau literasi lainnya). Sikap kita terhadap buku dan orang pastilah berbeda dengan sikap kita terhadap google. Terhadap buku, setidaknya kita akan merawat dan menjaganya karena buku memang memiliki dimenasi fisik, tak seperti google yang tak berwujud fisik. Meski pada akhirnya bagi orang-orang yang kurang mencintai buku, usai dibaca, usai hasrat keingintahuannya terpenuhi, buku itu lantas disimpan entah di mana atau bahkan dijual ke loak sama sekali. Tapi bagi para pecinta literasi, buku akan sangat dijaga bahkan dihormati. Ia akan diperlakukannya seperti kekasih. Usai dibaca, buku itu akan ditempatkan di tempat yang layak dan akan terus dirawat. Kalaupun dipinjamkan atau diberikan  pada orang lain, si pemberi akan sangat sedih jika bukunya diperlakukan tidak layak oleh si peminjam atau penerima buku. Hal ini nyaris tak kita temukan pada kasus google. Sehormat apapun kita pada google, google tetaplah benda mati tak berwujud. Penghormatan kita  pada google sangat lain dengan penghormatan kita pada buku. Usai kita mengakses google, usai kita mendapat apa yang kita mau, google ditinggalkan begitu saja. Bahkan saya yakin kebanyakan dari kita tak pernah mau tahu siapa penemu dan sejarah google. Google sebatas menjadi tool saja, menjadi alat yang tak harus dirawat, tak harus dijaga, tak harus dihormati. Sikap ketidakhormatan kita dan pemberian gelar pada google saya takutkan akan diseret ke dunia nyata. Maksudnya sikap kita pada Mbah, Syekh, Prof. google akan kita samaratakan dengan sikap kita pada Mbah, Syekh dan Prof. sungguhan, pada mereka yang memang manusia.
Bagi banyak orang barangkali google (atau internet) menjadi pilihan pertama sebagai media pemuas hasrat keingintahuan. Jika merasa belum terpuaskan barulah kita akan beranjak ke perpustakaan atau toko buku, mencari buku sebagai media pemuas selanjutnya. Jika masih belum terpuaskan juga, barulah kita mencari seseorang yang kita anggap bisa memuaskan hasrat ini, atau sebaliknya, bertanya dulu pada orang kemudian membaca buku. Sebatas mekanisme, ini masih bisa diterima. Yang kemudian menjadi persoalan ialah jika mekanisme ini kemudian membawa serta sikap, khususnya sikap batin. Sikap batin kita berhadapan dengan google disamaratakan ketika kita menghadapi Mbah, Syekh atau Prof. sungguhan. Kita membawa serta ketidakhormatan kita pada google bersama mekanisme pemuasan hasrat keingintahuan hingga pada taraf tertinggi, hingga pada taraf Sang Sumber Ilmu, Tuhan Yang Maha Segalagala. Sikap batin kita pada Tuhan dipukulrata, sama seperti sikap batin kita pada google. Ini persoalan. Saya kira ini bukan tidak mungkin. Ini bisa saja terjadi, barangkali sudah terjadi pada alam bawah sadar kita. Kita memperlakukan Tuhan sebatas menjadi pemuas belaka. Pemuas keingintahuan, pemuas diri belaka. Kita kemudian lupa berterima kasih jika telah terpuaskan, sama seperti tak pernahnya kita berterima kasih pada google. Kita lantas memaki-maki Tuhan, sama seperti memaki google jika keinginan kita tak terpuaskan. Atau yang lebih mengerikan ialah jika kita justru menuhankan google ketimbang Tuhan itu sendiri. Nabi dan Kitab Suci pun mengalami nasib yang sama.
Membahas Tuhan, kita tak kan usai memperdebatkannya. Toh pada akhirnya persoalan ke-Tuhan-an adalah hal keyakinan dan keyakian sebaiknya tidak diperdebatkan, cukup diyakini dan dilakoni. Saya lebih meyoroti soal dampak google ini terhadap hubungan manusia.
Hubungan individu dengan individu bisa dilatar belakangi pelbagai hal. Latar belakang apapun barangkali orientasi akhirnya adalah diri sendiri, pemuasan diri. Pola hubungan self oriented ini sudah melekat sejak lama, bahkan ada sejak masa Adam dan Hawa (Eva). Bagi penganut agama-agama Ibrahim, tentu akrab dengan kisah yang jika dalam Islam disebut Habil dan Qabil. 2 anak Adam yang mengukir sejarah sebagai pembunuh dan terbunuh pada kasus pembunuhan pertama di dunia. Pembunuhan atas dasar kepuasan diri. Qabil membunuh saudaranya sendiri, Habil, lantaran merasa tak puas dijodohkan dengan saudara perempuannya yang kurang cantik sedang Habil mendapatkan pasangan yang lebih cantik. Inti utamanya saya pikir ihwal kepuasan diri sendiri. Hal pengorbanan atas nama asmarapun adalah tentang kepuasan diri. Si pecinta merasa puas jika telah berkorban untuk yang dicinta. Si pecinta merasa puas jika yang dicinta terpuaskan meski secara lahiriah si pecinta tampak tak puas, tapi justru batinnya merasa sangat bahagia. Sikap batin yang terpuaskan ini memang memiliki banyak varian dan level barangkali. Dalam konteks sosial, manusia pada akhirnya menukar kepuasannya dengan kepuasanan manusia lain. 
Ihwal mempertukarkan kepuasan ini kemudian yang menjadi sumber dari hubungan manusia dengan manusia lain. Ada yang menukar kasih sayang, menukar kepuasan seks, menukar ilmu, menukar barang dan menukar hal lain. Satu yang kemudian berkaitan dengan hasrat keingintahuan ialah penukaran informasi. Seperti ketika berhubungan dengan google, sejatinya kita menukar informasi dengan uang, kita membeli informasi. Penukaran informasi dengan uang ini memang sangat subtil hingga jarang kita sadari. Makin hasrat keingintahuan kita ingin terpuaskan dengan google, makin kaya si pemilik saham google di Amerika sana. Tapi saya kira ini adalah hubungan yang wajar, membeli informasi. Yang kemudian menjadi kurang wajar adalah jika sikap lahir batin pemuasan hasrat keingintahuan yang biasa kita lakukan pada google lantas kita terapkan pada sesama manusia. Karena saking seringnya kita memuaskan hasrat pada google, saya khawatir kita kemudian melakukan hal yang sama pada manusia. Kita mengg-google-kan manusia. Manusia hanya kita anggap sebagai pemuas hasrat keingintahuan belaka layaknya google. Usai kita terpuaskan boleh kita lupakan sama sekali dan kita bisa seenaknya menemui (mengakses) nya demi memuaskan hasrat ini. Secara sepintas hal ini memang lumrah terjadi tatkala seseorang menemui orang lain untuk mendapat informasi, ilmu atau wawasan, semacam murid dan guru. Tetapi yang mengerikan ialah ketika dimensi kemanusiaan dihilangkan sama sekali atau tererosi secara tidak sadar. Manusia hanya memperlakukan “guru” tak lebih dari sebuah mesin penjawab, mesin pencari, mesin pengurai masalah. Kita hanya melihat manusia sebagai alat atau media pemuas hasrat ingintahu belaka. Kita hanya melihat manusia sebagian saja, satu sudut saja, bagian yang kita butuhkan belaka. Kita tidak pernah memandang manusia sebagai manusia yang punya pelbagai dimensi demi keutuhannya dan eksistensinya selaku manusia.
Sederhanya begini : si A datang ke si B hanya sekedar ingin berdiskusi. Sebatas diskusi. A sama sekali tak peduli tentang hal lain selain wawasan, informasi dan ilmu si B, itupun untuk kepuasan si A belaka sebab si A haus akan hal yang dimiliki B. Ini hal biasa, sampai kemunculan google. Kemunculan google telah menggeser sikap batin si A. Sikap berhadapan dengan manusia kemudian bergeser menjadi sikap menghadapi mesin. Si B sebatas menjadi mesin di mata A.
Awalnya, google saya kira memang terinspirasi dari para cendekia yang menguasai pelbagai ilmu dan punya cakrawal wawasan yang luas. Para penemu google ingin menciptakan cendekia maya yang bisa dihubungi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Sampai pada niatan ini, masih belum ada persoalan. Google hadir, semakin menyempurnakan diri dan mencapai kondisi seperti yang diinginkan penemunya. Persoalan muncul tatkala google mewabah dan menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari manusia. Google yang tadinya ingin seperti cendekia malah dianggap cendekia sungguhan dan menggeser cendekia dari bangsa manusia. Bukan hanya cendekia yang tergeser, kehormatan ilmu pun jadi ikut tergeser karena kecendekiaan google yang murah meriah.
Kecendekiaan google yang murah meriah ini kemudian direspon oleh para penggunanya menjadi sikap batin yang meremehkan segala sesuatu, memurah meriahkan segala sesuatu, memurah meriahkan ilmu, memurah meriahkan manusia. Manusia menjadi kurang berharga, turun kehormatannya di mata manusia lain (pengguna internet). Manusia cendekia menjadi tidak laku sebab ada google yang murah meriah. Jikapun ada seseorang cerdas bak google, toh orang lain hanya akan memperlakukannya sama seperti mereka memperlakukan google. Human Googlisation pada hakekatnya adalah dehumanisasi.

Dan ketika inilah manusia butuh cinta.

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...