Kamis, 30 Juni 2016

Tradisi Ritus

Tradisi Ritus

Seperti yang telah banyak diketahui kaum muslim bahwa rukun Islam secara berurut ialah syahadat, sholat, puasa (bagi yang mampu dan tak berhalangan), zakat (bagi yang mampu dan cukup syarat), berhaji (bagi yang mampu yang cukup syarat). Ini merupakan syarat (keutuhan)  seseorang disebut muslim.

Syahadat ialah ucapan dua kalimat pengakuan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw. Barangkali idealnya ini bukan sebatas pengakuan verbal belaka namun syahadat ini merupakan pondasi yang justru musti dilakoni, bukan sebatas diucapkan belaka. Sebatas ucapan verbal atau ucapan batin saja tanpa implementasi, ini belum utuh atau masih omong kososng belaka barangkali. Keesaan Tuhan yang diakui harus benar-benar dilakoni secara sadar. Penghambaan manusia akan materi dan imateri selain Tuhan adalah bentuk mengkhianatam syahadat. Begitupun penolakan kenabian, baik dalam tataran pemikiran maupun lakuan, merupakan wujud lain pengkhianatan syahadat. pengkhianatan syahadat saya rasa sama dengan pengkhianatan sumpah, ingkar pada pengakuan kita sendiri. Ini merupakan wujud ketidakhormatan dan kehinaan manusia, ketika ia mengkhianati sumpahnya demi sesuatu yang rendah. Sangat tidak beradab. Meski syahadat akan menemukan eksistensi utuhnya dalam wujud lakuan namun dalam praktik keseharian, syahadat lebih sekedar pada dua kalimat ikrar yang diucapkan secara verbal dan ini menjadi penanda Islamnya seseorang. Setelah seseorang mengucap syahadat, otomatis ia menjadi seorang muslim, setidaknya itu pandangan masyarakat umum meski saya agak keberatan dengan hal itu. Saya kira predikat muslim bagi seseorang tidak cukup didapat hanya dengan mengucap dua kalimat syahadat dengan ringan saja. Pengucapan ini merupakan simbol. Jika pengucapan itu bukan berangkat dari kesadaran utuh penerimaan  keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw, saya kira predikat muslim malah jadi dijual terlalu murah. Syahadat adalah dasar iman, jika dasar imannya saja seharga seperangkat alat sholat semata, tanpa memahami simbol “sepangkat alat sholat”, boleh jadi sebutan “iman gope” cukup layak disandangnya. Namun meski begitu, betapapun gopenya iman seseorang, saya kira keimanan seseorang bukan wilayah hukum manusia. Artinya  manusia sama sekali tidak berhak menghakimi iman seseorang. Yang masih bisa dihakimi barangkali sebatas perwujudan iman, lakuan iman, pengejawantahan iman, implementasi iman. Jadi bukan imannya yang dihakimi tapi lakuannya semata sebab sebatas itu saja manusia mampu mengindera. Iman itu urusan Tuhan.

Sholat menempati urutan kedua dalam rukun Islam. Setelah pondasi iman utuh melalui pengakuan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw secara sadar, wujud pertama keimanan itu ialah sholat. Namun jika ditinjau dari sejarah, perintah sholat baru turun pada tahun 10 kenabian atau sekitar tahun 620 – 621 M , setidaknya ini kisah yang populer meski ada beberapa ulama yang menyangsikannya. Lalu jika memang perintah sholat baru datang pada tahun 10 kenabian, apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan kaumnya waktu itu pra perintah sholat? Yang saya maksud bukan menyoal ritual atau tata cara sholatnya, namun wujud keimanan macam apa yang hadir pada masa itu jika sholat belum menjadi ritual wajiba dalam Islam? Jika menilik sejarah, pada masa itu, yang kerap disebut periode dakwah Mekkah, dakwah Nabi Muhammad lebih menitikberatkan pada persoalan keimanan, eskatologi, moralitas dan nyaris belum ada perintah ritus ibadah apapun. Periode ini, umat lebih fokus mendekonstruksi iman dan paradigma, transisi dari iman, paradigma serta moralitas jahiliyyah ke iman, paradigma dan moralitas Islam. Dengan jalan demikian, ketika turun perintah sholat pada tahun 10 kenabian, umat sudah sangat siap melakoninya sebab pondasi iman, paradigma dan moralitasnya sudah kokoh. Sholat menjadi simbol sekaligus wujud ketundukan mutlak pada perintah Illahi dan penerimaan kenabian Muhammad saw. (syahadat). Dalam pandangan saya justru dengan sholat yang irasional inilah pembuktian kepasrahan dan kepatuhan tergambar. Setelah kontruksi batin imannya selesai, paradigmanya beres dan sambil berangsur memperbaiki moral, sholatpun diwajibkan. Singkatnya, jika melihat konteks sejarah, umat Islam Arab kala itu melakoni ritus sholat ketika sudah “siap”. Sekali lagi ini jangan sampai dilepaskan dari konteks historisnya. Dan ritus sholat menjadi ibadah wajib yang tak tergantikan, sepanjang waktu, sepanjang hidup bahkan yang matipun pada akhirnya disholatkan. Dalam fiqih yang banyak dianut di Indonesia, yang mendapat pengecualian untuk tidak melakukan ritus sholat adalah perempuan yang dalam masa menstruasi dan nifas pasca melahirkan, selebihnya tiap-tiap yang sudah baligh secara fiqih wajib melakukan ritus sholat, tanpa terkecuali, dalam kondisi apapun meski sekarat sekalipun. Ini menandakan kewajiban mutlak yang terkandung dalam ritus sholat. Ibadah yang merupakan simbol sekaligus wujud ketundukan muslim pada Allah SWT.

Rukun Islam yang ketiga adalah puasa di bulan Ramadan bagi yang mampu. Sejarah puasa sangatlah panjang jika dibahas sebab puasa bukan hanya ritus ibadah dalam Islam namun nyaris di banyak agama dan kepercayaanpun puasa menjadi salah satu ritualnya. Perintah puasa di bulan Ramadan turun pada tahun 2 Hijriah/Hijrah. Maksdunya perintah ini turun 2 tahun (tepatnya setahun setengah) pasca hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah. Ini jelas lebih muda dari perintah sholat. Aturan dalam puasa tidak seketat sholat. Banyak pengecualian orang boleh tidak melakukan puasa. Menurut fiqih, puasa di bulan Ramadan adalah ibadah yang bisa digantikan. Maksudnya jika tidak puasa pada bulan Ramadan karena suatu hal yang diperbolehkan agama maka orang tersebut wajib mengganti puasanya pada waktu lain baik dengan puasa atau dengan membayar sejumlah harta dengan ketentuan yang sudah diatur oleh fiqih, ini lazim disebut fidyah. Meski sama-sama terikat waktu, ritus sholat dan puasa memiliki perbedaan dalam hal substitusinya. Sholat, tak tersubstitusi (meski ada sejumlah ulama yang mengatakan bahwa sholat bisa disubstitusi) dan puasa, tersubstitusi. Ini saya kira menunjukan bahwa ritus shaum ini derajat keketatannya lebih ringan ketimbang sholat. Dan pula ritus ini hanya dilakukan sebulan dalam setahun, berbeda dengan sholat yang tiap hari tanpa pengecualian.

Begitupun dengan rukun Islam zakat dan berhaji, dua rukun ini semakin ringan derajat keketatannya, derajat kewajibannya makin ringan. Zakat dan berhaji adalah wajib bagi yang mampu dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi sosial terbesar dibanding kewajiban lain sebab mensyaratkan orang lain dalam pelaksanaannya. Ada pemberi dan peerima zakat. Dan berhaji adalah ibadah yang boleh dibilang paling berat, kompleks dan mahal. Ritus ini membutuhkan persiapan dan syarat-syarat yang cukup banyak. Dalam pelaksannnyapun ritus ini merupakan ritus yang cukup kompleks karena terdiri dari rangkaian yang panjang dan menguras energi fisik yang lumayan besar. Dan berhaji hanya wajib sekali seumur hidup saja, itupun bagi yang mampu dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai tertentu.

Dari kelima rukun Islam yang ada bisa kita lihat bahwa ada derajat kewajiban yang berbeda-beda dan ini berangsur ringan sedari syahadat hingga berhaji. Secara praktika memang berangsur berat tapi secara derajat kewajiban justru berangsur ringan bahkan boleh tidak sama sekali. Yang praktikanya paling ringan, itu yang paling wajib. Yang praktikanya paling berat, itu yang tak terlalu wajib bahkan boleh tidak dilakukan sama sekali. Logika ini saya kira sangat masuk akal. Namun pada realitasnya, logika ini acap kali tak terwujud dengan baik.

Jika menilik realitas masyarakat Indonesia, setidaknya yang ada di sekitar saya, lebih mewajibkan puasa ketimbang sholat. Dan dalam puasa di bulan Ramadanpun, tradisi ngabuburit menjadi lebih wajib ketimbang ritus puasa itu sendiri. Banyak orang yang tidak puasa namun larut dan mewajibkan diri melakukan ngabuburit. Ngabuburit adalah kegiatan apapun yang dilakukan bertujuan menunggu waktu berbuka puasa. Ritus puasa yang mensyaratkan buka puasa dan sahur telah menciptakan banyak tradisi dan habitual yang beragam di Nusantara. Tradisi ini juga menghinggapi wilayah pemerintah yang tertuang dalam kebijakan-kebijakannya. Misal saja, Perda (Peraturan Daerah) di suatu daerah yang melarang warung makan buka disiang hari selama bulan Ramadan atas alasan menghormati yang berpuasa. Atau penutupan tempat hiburan dan lokalisasi prostitusi selama bukan Ramadan atas alasan menghormati bulan Ramadan. Jam kerja kantor, baik kantor  pemerintah maupun kantor non-pemerintah, ikut menyesuaikan dengan waktu berbuka, sahur dan tradisi-tradisinya. Begitupun agenda kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah.

Ritus yang bersumber dari teks-teks suci berasimilasi dengan habitual masyarakat hingga melahirkan tradisi-tradisi khas. Kelahiran tradisi ini tidaklah sebatas peristiwa saja namun utuh dengan seperangkat aturan serta nilai-nilainya. Ada norma yang lahir bersama tradisi itu. Bahkan tradisi-tradisi dengan segenap kelangkapannya itu malah agaknya lebih penting, lebih wajib ketimbang ritus puasa (shaum) itu sendiri. Asimilasi yang hadir antara tradisi dan ritus ini nyaris membuat kabur hingga, bagi masyarakat awam, sulit memetakan mana tradisi,  mana ritus.

Ngabuburit, buka bersama, saur bersama, pesantren kilat Ramadan, kuliah tujuh menit sebelum buka puasa, kuliah subuh usai sholat subuh, baju lebaran, masakan-masakan khas lebaran, mudik, THR, dan lain-lain terasa lebih wajib dari “menahan” itu sendiri. Puasa bagi saya adalah seni manajemen diri, seni mengatur diri, mengatur tubuh luar dan tubuh dalam. Menurut fiqih, yang wajib selama puasa adalah buka puasa dan sahur. Larangan wajibnya secara fiqih adalah makan, minum dan berhubungan seks sebelum berbuka puasa. Sisanya adalah sunah-sunah. Sesederhana itukah aturan shaum di bulan Ramadan? Saya kira ya. Namun justru dari kesederhanaan inilah lahir beragam tradisi yang unik.

Lahirnya tradisi-tradisi pasti membawa kebaikan, namun yang disesalkan adalah logika derajat kewajiban ibadah yang terbalik-balik ini. Ketika puasa dirasa lebih wajib ketimbang sholat, ketika ngabuburit lebih wajib ketimbang puasa, ketika sholat Id (yang adalah sholat sunat) dirasa sangat wajib ketimbang puasa dan sholat wajib yang 5 waktu, dan kejungkirbalikan logika derajat kewajiban rukun Islam lain-lainnya.

Kajian-kajian tentang rukun Islam ini masih sangat sarat pro kontra terlebih menyoal sejarah,  praktik serta hukum-hukum dalam ritus tersebut. Saya hanya mecoba melihat rukun Islam dari kaca mata lain, kemudian dihadapkan pada realitas di sekitar saya.

Bagaimana realitas di sekitar Anda?     


Rengganis, 30 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...