Rabu, 27 Desember 2017

Setelah "Aduh"



Aduh, saya sudah berkali-kali menghapus paragraf demi paragraf. Saya bingung, saya musti nulis apa. Tapi saya ingin nulis. Jadinya, ya, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi. Dan begitu sampai akhirnya dirasa tuntas meski sebenarnya tak pernah tuntas. Siklus itu pun terjadi di Teater Tarian Mahesa Ciamis meski dengan musabab yang berbeda. Berproses, pentas, bubar, proses, pentas, bubar, proses, pentas, bubar, dan begitu seterusnya tiap kali pementasan. Bubar, maksudnya eks pemainnya tak lagi berminat bergiat aktif di teater sebagai kerabat panggung.
  TTMC bukan kelompok lama. Usianya belum genap 10 tahun, tepatnya baru 7. Dalam perjalanan pendeknya, TTMC sudah sekian kali pentas. Sekian kali pula saya dan beberapa sahabat lain memohon-mohon teman atau temannya teman atau pacarnya teman buat ikut garapan teater sebagai aktor atau pemusik. Syaratnya hanya satu, bersedia setia berproses setidaknya hingga seluruh rangkaian pentas berakhir. Biasanya kami menutup rangkaian sebuah produksi teater dengan syukuran berupa makan-makan semampu yang kami mampu. Dan biasanya dari sekian yang kami ajak itu, kebanyakan hanya bertahan satu garapan itu saja, setelahnya mereka lebih memilih menjadi penonton setia TTMC, atau bantu-bantu saat pertunjukan berlangsung, atau kami pintai sumbangan kopi, rokok, atau camilan, atau putus komunikasi sama sekali. Ada juga beberapa yang bersedia ikhas mendermakan uangnya untuk membantu biaya produksi. Semoga Tuhan YMMH (Yang Maha Murah Hati) membalas segala kebaikan mereka. Amin.
 Mereka yang bertahan jumlahnya kalah jauh dengan mereka yang memilih jadi penonton, donatur, atau bantu-bantu saat pentas saja. Selama ini, sebagai keluarga tentu anggota keluarga besar TTMC makin bertambah tetapi tetap saja kami selalu kesulitan mencari orang yang bersedia terlibat intens berproses baik latihan rutin maupun latihan dengan tujuan pentas. Bagi TTMC, barangkali lebih sulit mendapat aktor ketimbang mendapat dana buat produksi. Untuk dana produksi, bisa saja kami pinjam uang dari seseorang lantas dibayar kemudian dari hasil penjualan karcis. Asal jelas hitung-hitungannya, selesai perkara. Lantas aktor? Logikanya tidak sesederhana mengurus duit. Tentu, sebab yang diperkarakan ialah subjek yang bergerak, berakal, dan berhasrat, ya, manusia, dengan segenap latar belakang dan kompleksitasnya.
 Sebab itu, saya dan beberapa kawan di TTMC merasa perlu melakukan sesuatu agar krisis pemain ini tak berlarut-larut. Harus ada strategi yang membumi buat menjaring orang bersedia turut serta. Kenapa harus membumi? Sebab strategi jitu yang dilakukan Laskar Panggung di “bumi” Bandung, Teater Koma di “bumi” Jakarta, Teater Garasi di “bumi” Yogyakarta, misalnya, belum tentu cocok untuk diterapkan oleh TTMC di “bumi” Ciamis. Saya meyakini, (kelompok) teater melekat dengan ruang dan waktu disaat dan di mana ia lahir dan hirup. Butoh punya bentuk yang sedemikian dan mendunia seperti yang dikenal sekarang lantaran ia lahir dan hidup di Jepang sejak pasca PD II. Kalau saja ia lahir dan hidup di Kirgiztan pasca runtuhnya Soviet, tentu namanya tidak akan Butoh dan bentuknya tidak akan sepeti yang kita kenal. Singkatnya, ia Butoh karena ia di Jepang dan lahir sekitar 1950an.
 Penacarian strategi pun terus dilakukan dan pada Oktober 2017 mulailah kami melakukan penjaringan anggota baru. Gerbang awalnya lokakarya “Sekilas Teater” dengan sasaran peserta yakni komunitas-komunitas teater sekolah dan kampus. Lebih dari 50 orang mendaftar sebagai peserta. Lokarya tanpa bayar alias gratis. Seluruh kebutuhan penyelenggaraan kami hadirkan secara swadaya. Sistemnya gotong royong, siapa menyumbang apa seseuai kehendak dan kemampuan. Waktu itu, tim penyelenggara masih segar dan cukup fokus. Dari 50 lebih itu, ada 14 orang yang mendaftar anggota baru.
 Setelah terdata, mereka-mereka lantas kami arahkan untuk mengikuti kelas materi selama 2 hari 1 malam. Kemudian agenda berlanjut ke latihan rutin. Dan di sinilah para calon anggota itu mulai menyusut. Ketika memasuki tahap latihan pentas resital tinggal 5 orang tersisa dan terus menyusut hingga akhirnya hanya 2 orang saja yang berhasil bertahan.
 Aduh karya Putu Wijaya bukan dipilih tanpa alasan. Ketika masih ber-12, naskah ini dipandang cocok karena direncanakan akan lebih banyak bermain grouping. Akting per individu tidak membutuhkan kajian dan teknik yang sukar, terlebih soal kedalaman. Sebagai pembelajaran, naskah ini dirasa pas. Namun apa mau dikata, nyatanya mereka yang mendaftar itu berguguran, hilang sama sekali.
 Ketika itu, ketika para pemain Aduh ini berguguran, mengganti naskah bukan pilihan tepat karena waktu yang makin mendekati hari pentas. Dengan berbagai upaya,  akhirnya Aduh berhasil digelar pada Minggu, 24 Desember 2017 di Gedung Pramuka Ciamis.
 Di Ciamis memang tidak punya tradisi berteater di kelompok independen. Umumnya teater subur di sekolah-sekolah dan kampus. Di kedua tempat itu, masalah penjaringan sumber daya cenderung lebih mudah dilakukan. Di sekolah, teater lebih menggiurkan. Selain memang terdapat dapat intrakulikuler, tektek bengek proses dan pentasnya pun cenderung lebih mudah diatasi. Ini bisa dipahami sebab teater sekolah atau kampus punya naungan lembaga yang jelas, jaringannya jelas, sumber dayanya jelas, dan perkara sumber dana tidak akan seburam teater independen.
 Bertahan sebagai teater independen di Kabupaten Ciamis memang ngeri-ngeri sedap. Tidak mudah tapi juga tidak mustahil. Stategi penjaringan bisa berubah kapan saja dan bertahan saja tentu bukan visi utama TTMC. Inginnya kami maju dan berkembang. Dan jurus kami untuk bertahan adalah dengan terus maju dan berkembang. Semoga.   

 

 
Panjalu, 27 Desember 2017


Senin, 04 Desember 2017

Ciamis Art Space; mimpi yang panjang


Sabtu, 25 November 2017 nanti “Usik Puisi” akan digelar di Ciamis, tepatnya di Studio Titik Dua Ciamis yang juga adalah kediaman Mpu sastra Sunda, Godi Suwarna. Pada “Usik Puisi”, selain membedah antologi puisi Léngkah milik Ari Andriansyah juga rencananya akan dimeriahkan oleh pembacaan dan musikalisasi puisi, serta pertunjukan tari dari Studio Titik Dua yang dinahkodai Rachmayati Nilakusumah, S. Sn. serta beberapa sajian lainnya. Acara ini digagas oleh Rumah Koclak yang dijenderali oleh penyair dan cerpenis dwi bahasa Toni Lesmana dan Wida Waridah.
 
Beberapa waktu sebelumnya, di tempat yang sama, diadakan pula Ibing Puisi. Acara yang digelar sejak sore itu berisi pembacaan dan musikali puisi, bedah antologi puisi Hariweusweus Leuweung Pineus karya Arom Hidayat oleh Lugiena De, pertunjukan tari, musik, dan sajian pamungkas “Jaktar” atau Sajak Tari, sebuah kolaborasi dua maestro : pembacaan sajak oleh Godi Suwarna dan tari oleh istri beliau, Rachmayati Nilakusumah. Ada pula Komunitas Stand Up Comedy yang turut memeriahkan selain Borangan (Ngabodor Sorangan) yang dibawakan langsung oleh sang saestro, Taufik Faturohman yang juga sempat menghibur anak-anak dengan sajian khasnya, sulap. Pada Sabtu, 30 September 2017 itu hadir pula penyair Soni Farid Maulana yang selain berkisah tentang pengalamanya melanglang buana ke mancanegara, juga membacakan beberapa puisinya. Beberapa kawan dari Majelengka dan Kuningan pun hadir memeriahkan acara. Meski gerimis, tataan ruang nan artistik oleh Sugih Bastaman berpadu tata cahaya karya Dasep Sumardjani mampu menyihir penonton untuk betah berlama-lama hingga acara berkahir pada tengah malam.  
 
Panggung mungil di atas kolam kediaman Godi Suwarna itu jadi saksi untuk sekian gelaran seni di Ciamis. Selain kegiatan yang berisi pertunjukan-pertunjukan seni, Studio Titik Dua juga kerap dijadikan tempat berbincang sastra, Majelis Sore Malam atau lebih dikenal dengan Marlam. Marlam merupakan kegiatan pembacaan cerpen secara berantai kemudian dilanjutkan dengan membincangkannya secara bebas. Tafsir teks cepen bisa sangat kaya dan beragam karena masing-masing jemaah Marlam boleh menyuarakan interpretasinya tanpa ada pembatasan ketat ala akademisi sastra. Selain cerpen, Marlam pernah pula membaca novel Déng dalam terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Deri Hudaya. Kegiatan yang diinisiasi oleh Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) dan Rumah Koclak ini diadakan dua minggu sekali. Tempatnya berpindah-pindah. Padepokan Seni Budaya Rengganis, Studio Titik Dua, Sekretariat LSM WISMA, kediaman aktivis Maiyah, Deni Weje, dan Selasar Lab. Sejarah FKIP UNIGAL adalah sekian tempat yang pernah dijadikan Majelis Sore Malam. Hingga Marlam terkahir, majelis ini sudah dilaksanakan sebanyak 25 kali.
 
Ruang Seni Plat Merah di Ciamis Kota
 
Ciamis punya kekayaan seni tradisional dan adat istiadat yang luar biasa. Dari situ pula beberapa pengembangan dilakukan lantas menjadikannya bentuk baru dengan ruh yang tetap terkait dengan akarnya. Seniman Ciamis pun tak sedikit yang namanya dikenal baik di kancah Jawa Barat maunpun nasional. Bahkan Godi Suwarna sudah sekian kali membacakan sajak-sajak Sunda-nya di Eropa dan Australia. Yang terbaru, beliau tampil memukau dalam Europalia Arts Fest di Brussels, Belgia pada Oktober 2017.
 
Sayangnya capaian-capaian yang menggembirakan itu tidak menjadikan geliat kesenian di Ciamis cukup menggembirakan, khususnya jika menilik ketersediaan sarana dan prasarana kegiatan kesenian di wilayah Ciamis Kota. Ciamis Kota nyaris tak memiliki ruang berkesenian yang representatif. Jika alun-alun Ciamis dijuduli sebagai art space, itu justru malah pengkerdilan. Alun-alun Ciamis adalah ruang publik, artinya ruang milik publik, milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan khusus untuk kesenian semata. Alun-alun dengan ikon air mancur bunga bangkai itu lebih menjadi tempat nongkrong dan aktivitas perdagangan. Kegiatan seni hanya sesekali saja, itu pun biasanya skala besar karena menggelar acara di ruang terbuka semacam alun-alun Ciamis butuh biaya mahal, khususnya perijinan dan keamanan. Dan memang tak semua bentuk dan jenis kesenian biasa ditampilkan di ruang publik ini.
 
Taman Lokasana yang terletak di Jl. K.H. Ahmad Dahlan memang kabarnya diproyeksikan sebagai pemecah keramaian di wilayah Ciamis Kota. Meski memiliki panggung permanen, fasilitas lain di taman yang  pembangunannya dikabarkan menelan Rp3,5 milyar dari APBD Provinsi Jabar ini memang lebih mengarah pada outdoor sport center. Sejak dibuka pada 2013, kawasan yang pembangunannya tersandung kasus korupsi senilai Rp800 juta ini memang pernah digunakan beberapa acara kesenian, khususnya konser-konser musik. Di Ciamis, dan mungkin di tempat lain, musik modern nasibnya memang lebih baik ketimbang tari, seni rupa, teater, sastra, dan musik tradisional. Ini bisa di pahami karena musik modern memang sudah kokoh sebagai industri, sebagai sebuah kegiatan yang bernilai ekonomi tinggi. Dan inilah logika pemerintah.
 
Bila musik modern lebih leluasa berekspresi, di lain sisi, keberadaan bangunan bernama Gedung Kesenian Ciamis yang terletak di Jl. Ir. H. Djuanda belum mampu menjadi stimulus pendongkrak geliat kegiatan kesenian di Ciamis, khusunya seni non-musik modern. Alasannya barangkali karena gedung itu memang tidak memenuhi kualifikasi sebagai gedung kesenian. Kualitas akustik yang buruk serta desain interior yang memang bukan ditujukan untuk sebuah ruang pertunjukan atau pameran seni  khusus, menjadikan sebagian seniman ogah menggunakannya. Menyewa Gedung Kesenian Ciamis sama saja dengan menyewa gedung-gedung balai pertemuan atau balai pernikahan lainnya di Ciamis, sama-sama harus menyiasati ruang jika menghendaki ruang seni pertunjukan yang mendekati ideal. Hingga saat ini pun, Gedung Kesenian Ciamis lebih sering digunakan untuk rapat, pertemuan, atau kegiatan lain yang tak ada hubungan sama sekali dengan kesenian. Nasibnya nyaris sama dengan Gedung Islamic Centre yang lebih sering digunakan acara resepsi pernikahan ketimbang kegiatan keagamaan itu sendiri.
 
Penggunaaan gedung-gedung menjadi ruang resepsi pernikahan atau rapat dan pertemuan lain yang tak sejalan dengan judul atau nama gedung yang bersangkutan memang tidak masalah selama berimbang. Artinya fungsi gedung itu sesuai namanya masih bisa dirasakan masyarakat. Bila Gedung Kesenian Ciamis masih bisa dirasakan manfaatanya sebagai art space bagi masyarakat, dengan mengesampingkan arsitektur gedung yang jauh panggang dari api itu, usailah satu perkara. Persoalan arsitektur itu mungkin bisa diselesaikan bertahap bila memang ada goodwill dari para pimpinan pemegang kuasa anggaran.
 
Yang katanya ruang-ruang kesenian plat merah nyatanya belum mampu mengoptimalkan dirinya. Dan sebagai manusia-manusia (yang idealnya) merdeka, segelintir penggiat seni di Ciamis memilih menciptakan art space-nya sendiri. Sekian nama tempat dan acara yang digelar di dalamnya sebagaimana disebutkan diawal tulisan ini nyaris seluruhnya bersifat swadaya. Memberi usul dan mengkritisi pemerintah Ciamis lewat tulisan dan kata-kata ternyata belum cukup kuat untuk mengetuk nalar dan nurani sang pemegang kuasa. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyambung lidah rakyat rupa-rupanya masih ripuh disandera kepentingan politik praktis, terlebih di tahun menjelang Pemilu seperti sekarang ini.    
 
Berharap pada pemerintah untuk berkebijakan secara bijak, wajar saja sebab demikianlah relasi yang terjadi di negara demokrasi. Selama logis dan berdasar, kritik dan saran adalah bagian dari keikutsertaan masyarakat membangun daerahnya. Di sisi lain, menciptakan ruang-ruang berkesenian non plat merah adalah perjuangan, upaya berkarya, berkreasi sebab seniman tidak boleh mati.   

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...