Jarak ibu kota Kabupaten Ciamis ke ibu kota Kota Tasikmalaya
kurang lebih 20 km. Waktu tempuhnya menggunakan motor tidak akan lebih dari 30
menit. Karena tetangga dekat, wajar jika kedua daerah ini punya banyak
kesamaan.
Dalam konteks kesenian, kesamaan keduanya adalah sama-sama
memiliki pusat kegiatan seni yang dinamai Gedung Kesenian (GK). Namun, meski
sama-sama punya GK, Ciamis dan Tasik punya persoalan yang berbeda terkait hal
itu.
Di Ciamis GK baru diresmikan pada November 2015 oleh
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Peresmiannya senyap tanpa ada unsur
kesenian apa pun yang pantas.
Sejak diresmikan hingga tulisan ini dibuat, Gedung Kesenian
Ciamis (GKC) lebih sering digunakan untuk kegiatan nonkesenian daripada
kesenian itu sendiri. Saya sendiri pernah sekali perform di halaman GKC pada
suatu sore tahun 2019.
Waktu itu beberapa teman dari Sweet City Movement mengadakan
acara di sana. Intinya mengkritisi GKC. Karena saya rasa satu frekuensi, ya,
saya hadir dan tampil di sana.
Sementara, GK Kota Tasik sudah berdiri jauh lebih lama,
yaitu pada tahum 1998. Waktu itu namanya Gedung Kesenian Tasikmalaya karena
Kota Tasikmalaya belum dimekarkan. Pada tahun 2016 bangunan tersebut dan
sejumlah aset lain dilimpahkan kepemilikannya dari Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Tasikmalaya ke Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya.
Sejak tahun itu pula namanya berganti menjadi Gedung
Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT). Setahun sebelumnya, lahir Dewan Kesenian Kota
Tasikmalaya (DKKT).
Dari segi fasilitas, GKKT jauh lebih lengkap dari GKC. GKKT
bisa dibilang sebagai GK paling representatif di Priagan Timur. Bahkan,
sebagian seniman mengatakan, di Provinsi Jawa Barat hanya Bandung dan Kota
Tasikmalaya yang punya GK yang representatif.
Tentu saja hal itu masih bisa diperdebatkan sebab
terminologi “representatif” itu sendiri tidak jelas batasannya. Apalagi dengan
kondisi GKKT yang hari ini makin memprihatinkan.
Gedung yang disebut representatif itu kini hanya memiliki
dua unit lampu PAR Can 1000 watt, tiga unit PAR LED 54, dan dua unit halogen
LED yang nyala plus satu Power Pack 12 channel
berikut dimmer-nya.
Padahal, pada saat peresmian GKKT pada 2016, 90% lampu
panggung dan perangkatnya baru, lengkap dengan lampu Follow 1000 watt semi
digital. Andai saja waktu itu lampu-lampu yang dibeli sesuai dengan standar,
barangkali usianya akan lebih panjang.
Dalam Peraturan Wali Kota (Perwalkot) Tasikmalaya Nomor 52
Tahun 2019 tentang Perubahan Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dan
Tarif Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga dalam Peraturan Daerah Kota
Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha, tercantum daftar
harga sewa GKKT.
Untuk kegiatan latihan kesenian dan kegiatan lain yang
sejenis baik yang bersifat insidentil maupun langganan, tarif GKKT dipatok
Rp10.000/jam atau Rp150.000/hari.
Sementara, untuk seminar, loka karya, penataran, pameran,
kegiatan kesenian (termasuk pentas seni), dan kegiatan semacamnya baik
insidentil maupun langganan, dipatok harga Rp2.000.000/hari.
Pada bab III pasal 3 huruf a angka 1 Perwalkot tersebut,
tertulis bahwa yang dimaksud pemakaian kekayaan daerah adalah gedung dan
fasilitasnya. Artinya, harga sewa GKKT yang tercantum di sana sudah termasuk
akses penggunaan seluruh fasilitas: lampu, sound
system, AC, dan lain-lain.
Dalam konteks bisnis jasa sewa tempat/gedung, harga
Rp2.000.000/hari include fasilitas
sedemikian rupa tentu tergolong murah. Sangat murah. Namun, dengan
mempertimbangkan bahwa GKKT adalah fasilitas publik milik PemKot yang—sesuai namanya—terutama
diperuntukan bagi kegiatan kesenian dan kondisi perekonomian seni pertunjukan
di Kota Tasikmalaya, harga sedemikian itu masih kerap relatif masih cukup berat.
Apalagi hari ini penyewa harus mengeluarkan kocek lebih
untuk sewa lampu panggung karena kondisi GKKT sedang tidak prima. Konsekuensi
dari hal tersebut, akan ada kerja pemasangan lampu yang menyita waktu, sumber
daya manusia, dan biaya operasional tersendiri.
Dengan harga sewa dan kondisi sedemikian rupa, berapa rupiah
suatu kelompok seni harus menjual tiket agar tidak merugi? Harga Tiket Masuk
(HTM) yang umum di Kota Tasik untuk pertunjukan teater, misalnya, umumnya
berkisar antara Rp10.000-25.000.
Pada margin terbawah, jika suatu kelompok berhasil menjual
tiket sesuai kapasitas maksimal penonton GKKT sebanyak 250 penonton, maka
mereka akan mendapat cuan Rp2.500.000
per kali pentas. Pada margin tertinggi dengan formula kalkulasi yang sama, kelompok
itu akan mendapat Rp6.250.000.
Dengan nominal seperti itu, seni pertunjukan di Tasikmalaya sepertinya
masih belum cukup untuk menghidupi para pelakunya. Hasil penjualan tiket lebih
sering ludes oleh hutang biaya produksi, konsumsi, sewa ini-itu, biaya
operasional, dan hal lain di luar honorarium.
Apakah kesejahteraan seniman menjadi soal? Ya, tergantung
pada senimannya: apakah mau menjadikan hal itu persoalan atau tidak? Apakah
Pemkot Tasikmalaya tahu akan hal ini, bahwa sudah sekian lama GKKT tidak prima
dan “representatif” seperti dulu lagi? Tergantung pemerintahnya, mau tahu atau
tidak? Peduli atau tidak?
Di Ciamis, tarif sewa GKC tercantum dalam Peraturan Bupati
(Perbup) Ciamis Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah.
Pada Perbup tersebut, terdapat dua jenis kegiatan dalam
konteks penyewaan GKC, yakni komersial dan nonkomersial. Untuk kegiatan
komersial, tarif sewa GKC pada waktu siang hari dibandrol Rp2.000.000, malam
Rp2.500.000, dan satu hari Rp3.000.000.
Sedangkan, harga untuk nonkomersial dikurangi Rp500.000 hari
masing-masing tarif komersial: siang menjadi Rp1.500,000, malam menjadi
Rp2.000.000, dan satu hari menjadi Rp2.500.000.
Seluruh nominal tersebut berlaku untuk per satu kali
pemakaian. Perbup itu tidak merinci definisi atau batasan “per satu kali
pemakaian”. Akibatnya, keterangan tersebut bisa dimaknai beragam.
Bagi saya, per satu kali pemakaian untuk sebuah pertunjukan
teater bisa jadi satu minggu. Asumsi paling tidak idealnya: pentas satu hari,
gladi bersih satu hari, gladi kotor satu hari, set lampu dan artistik satu
hari, dan tiga hari untuk latihan dan adaptasi panggung.
Selain ketidakjelasan itu, GKC juga—setahu saya—belum
memiliki fasilitas lampu panggung dan sound
system sama sekali. Artinya, gedung itu kosong molongpong. Karena gedung itu tidak didesain sebagai gedung
kesenian/pertunjukan, maka kualitas akustiknya kurang bagus dan tidak sesuai
dengan kaidah akustik sebuah gedung kesenian/pertunjukan tertutup (indoor).
Menyikapi keberadaan GKC, seniman-seniman Ciamis punya sikap
yang beragam. Ada yang tidak peduli sebab merasa tidak memerlukan. Mereka yang
bersikap seperti ini menilai eksistensi kesenimanannya bukan dibangun di
fasilitas kesenian khusus semacam GK, melainkan di panggung hajat dan “event” sehingga merasa kurang membutuhkan
GK.
Ada juga seniman yang merasa bangga dan berterima kasih
kepada pemerintah karena telah diberi fasilitas berkesenian meski ia tak pernah
sekalipun berkesenian di sana.
Ada kalangan yang mengkritik keras keberadaan gedung itu
kerana dinilai ngawur dan malfungsi. Ada juga yang berupaya merespon GKC dengan
berbagai siasat teknis agar kegiatan kesenian yang digelar bisa nikmat
diapresiasi dan gratis.
Awal mulanya saya termasuk yang mengkritik pendirian dan
keberadaan GKC dengan cukup menggebu-gebu dan enggan memanfaatkannya. Tapi, apa
yang saya lakukan itu tidak berdampak apa-apa kecuali saya dibenci sejumlah
pejabat di lingkungan Pemkab Ciamis.
Pikiran saya berubah: kenapa tidak dimanfaatkan dulu? Bukan
karena banyak hatters saya mengubah
haluan. Saya kan teriak-teriak karena ingin ada dampak dan perubahan atas
gedung itu. Tapi, sampai saat ini belum nampak juga. Kenapa? Banyak faktor,
tentu saja. Dalam banyak perkara, Pemkab Ciamis hanya akan mendengar teriakan demonstran
dengan massa yang sangat banyak atau bisik-bisik dari tokoh yang diperhitungkan.
Saya tidak termasuk keduanya.
Saya tidak bisa berharap para pejabat itu membaca esai panjang
lebar saya mengenai GKC di tengah rendahnya tingkat literasi penduduk Indonesia.
Saya juga tidak bisa membayangkan mereka
siap berdebat secara rasional, objektif, jujur, konstruktif sekaligus berhati
nurani karena rata-rata pejabat di Indonesia belum punya cukup kesiapan mental
untuk itu.
Jadi, saya berpikir untuk mengubah metode. Selain itu, kisah
bagaimana seniman Tasikmalaya bersikap terhadap pendirian GK Tasikmalaya pada
tahun 1998 menjadi inspirasi tersendiri buat saya. Menurut Kang Nko yang
merupakan pelaku sejarah pendirian GK Tasikmalaya, gedung itu mengalami
beberapa kali perbaikan karena kesalahan konstruksi dan pelengkapan fasilitas
secara bertahap.
Selama masa itu, GK itu jauh dari kata representatif. Sejumlah
seniman, termasuk Kang Nko yang bercerita langsung pada saya, lebih memilih
untuk memanfaatkan pemberian Pemkab Tasikmalaya yang terlanjur keliru itu.
Lambat laun, pemerintah mau mendengar usul seniman-seniman untuk memperbaiki
(kekeliruan mereka) dan melengkapi fasilitas.
Ciamis memang agak telat. Sudah lebih dari lima tahun GKC
berdiri tapi belum ada gerakan bersama untuk menyikapi gedung itu secara
terstruktur, sistematis, masif, dan kontinyu. Apalagi sampai bisa mengubah
sikap dan kebijakan penguasa. Tapi, ya, lebih baik telat daripada tidak sama
sekali.
Sejauh ini, sikap kritis seniman Ciamis terhadap GKC masih
bersifat individu atau dalam skala komunitas
kecil. Belum pernah ada diskusi terbuka, serius, dan mendalam antara
seniman-seniman Ciamis, Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora)
Ciamis serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait hal ini. Belum pernah juga ada demonstrasi skala akbar mempersoalkan GKC. Apalagi sampai berjilid-jilid.