Jumat, 20 Januari 2023

Soal Gedung Kesenian (Lagi)

 


Jarak ibu kota Kabupaten Ciamis ke ibu kota Kota Tasikmalaya kurang lebih 20 km. Waktu tempuhnya menggunakan motor tidak akan lebih dari 30 menit. Karena tetangga dekat, wajar jika kedua daerah ini punya banyak kesamaan.

 

Dalam konteks kesenian, kesamaan keduanya adalah sama-sama memiliki pusat kegiatan seni yang dinamai Gedung Kesenian (GK). Namun, meski sama-sama punya GK, Ciamis dan Tasik punya persoalan yang berbeda terkait hal itu.

 

Di Ciamis GK baru diresmikan pada November 2015 oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Peresmiannya senyap tanpa ada unsur kesenian apa pun yang pantas.

 

Sejak diresmikan hingga tulisan ini dibuat, Gedung Kesenian Ciamis (GKC) lebih sering digunakan untuk kegiatan nonkesenian daripada kesenian itu sendiri. Saya sendiri pernah sekali perform di halaman GKC pada suatu sore tahun 2019.

 

Waktu itu beberapa teman dari Sweet City Movement mengadakan acara di sana. Intinya mengkritisi GKC. Karena saya rasa satu frekuensi, ya, saya hadir dan tampil di sana.

 

Sementara, GK Kota Tasik sudah berdiri jauh lebih lama, yaitu pada tahum 1998. Waktu itu namanya Gedung Kesenian Tasikmalaya karena Kota Tasikmalaya belum dimekarkan. Pada tahun 2016 bangunan tersebut dan sejumlah aset lain dilimpahkan  kepemilikannya dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya ke Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya.

 

Sejak tahun itu pula namanya berganti menjadi Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT). Setahun sebelumnya, lahir Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (DKKT).

 

Dari segi fasilitas, GKKT jauh lebih lengkap dari GKC. GKKT bisa dibilang sebagai GK paling representatif di Priagan Timur. Bahkan, sebagian seniman mengatakan, di Provinsi Jawa Barat hanya Bandung dan Kota Tasikmalaya yang punya GK yang representatif.

 

Tentu saja hal itu masih bisa diperdebatkan sebab terminologi “representatif” itu sendiri tidak jelas batasannya. Apalagi dengan kondisi GKKT yang hari ini makin memprihatinkan.

 

Gedung yang disebut representatif itu kini hanya memiliki dua unit lampu PAR Can 1000 watt, tiga unit PAR LED 54, dan dua unit halogen LED yang nyala plus satu Power Pack 12 channel berikut dimmer-nya.

 

Padahal, pada saat peresmian GKKT pada 2016, 90% lampu panggung dan perangkatnya baru, lengkap dengan lampu Follow 1000 watt semi digital. Andai saja waktu itu lampu-lampu yang dibeli sesuai dengan standar, barangkali usianya akan lebih panjang.

 

Dalam Peraturan Wali Kota (Perwalkot) Tasikmalaya Nomor 52 Tahun 2019 tentang Perubahan Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dan Tarif Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha, tercantum daftar harga sewa GKKT.

 

Untuk kegiatan latihan kesenian dan kegiatan lain yang sejenis baik yang bersifat insidentil maupun langganan, tarif GKKT dipatok Rp10.000/jam atau Rp150.000/hari.

 

Sementara, untuk seminar, loka karya, penataran, pameran, kegiatan kesenian (termasuk pentas seni), dan kegiatan semacamnya baik insidentil maupun langganan, dipatok harga Rp2.000.000/hari.

 

Pada bab III pasal 3 huruf a angka 1 Perwalkot tersebut, tertulis bahwa yang dimaksud pemakaian kekayaan daerah adalah gedung dan fasilitasnya. Artinya, harga sewa GKKT yang tercantum di sana sudah termasuk akses penggunaan seluruh fasilitas: lampu, sound system, AC, dan lain-lain.

 

Dalam konteks bisnis jasa sewa tempat/gedung, harga Rp2.000.000/hari include fasilitas sedemikian rupa tentu tergolong murah. Sangat murah. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa GKKT adalah fasilitas publik milik PemKot yang—sesuai namanya—terutama diperuntukan bagi kegiatan kesenian dan kondisi perekonomian seni pertunjukan di Kota Tasikmalaya, harga sedemikian itu masih kerap relatif masih cukup berat.

 

Apalagi hari ini penyewa harus mengeluarkan kocek lebih untuk sewa lampu panggung karena kondisi GKKT sedang tidak prima. Konsekuensi dari hal tersebut, akan ada kerja pemasangan lampu yang menyita waktu, sumber daya manusia, dan biaya operasional tersendiri.

 

Dengan harga sewa dan kondisi sedemikian rupa, berapa rupiah suatu kelompok seni harus menjual tiket agar tidak merugi? Harga Tiket Masuk (HTM) yang umum di Kota Tasik untuk pertunjukan teater, misalnya, umumnya berkisar antara Rp10.000-25.000.

 

Pada margin terbawah, jika suatu kelompok berhasil menjual tiket sesuai kapasitas maksimal penonton GKKT sebanyak 250 penonton, maka mereka akan mendapat cuan Rp2.500.000 per kali pentas. Pada margin tertinggi dengan formula kalkulasi yang sama, kelompok itu akan mendapat Rp6.250.000.

 

Dengan nominal seperti itu, seni pertunjukan di Tasikmalaya sepertinya masih belum cukup untuk menghidupi para pelakunya. Hasil penjualan tiket lebih sering ludes oleh hutang biaya produksi, konsumsi, sewa ini-itu, biaya operasional, dan hal lain di luar honorarium.

 

Apakah kesejahteraan seniman menjadi soal? Ya, tergantung pada senimannya: apakah mau menjadikan hal itu persoalan atau tidak? Apakah Pemkot Tasikmalaya tahu akan hal ini, bahwa sudah sekian lama GKKT tidak prima dan “representatif” seperti dulu lagi? Tergantung pemerintahnya, mau tahu atau tidak? Peduli atau tidak?

 

Di Ciamis, tarif sewa GKC tercantum dalam Peraturan Bupati (Perbup) Ciamis Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

 

Pada Perbup tersebut, terdapat dua jenis kegiatan dalam konteks penyewaan GKC, yakni komersial dan nonkomersial. Untuk kegiatan komersial, tarif sewa GKC pada waktu siang hari dibandrol Rp2.000.000, malam Rp2.500.000, dan satu hari Rp3.000.000.

 

Sedangkan, harga untuk nonkomersial dikurangi Rp500.000 hari masing-masing tarif komersial: siang menjadi Rp1.500,000, malam menjadi Rp2.000.000, dan satu hari menjadi Rp2.500.000.

 

Seluruh nominal tersebut berlaku untuk per satu kali pemakaian. Perbup itu tidak merinci definisi atau batasan “per satu kali pemakaian”. Akibatnya, keterangan tersebut bisa dimaknai beragam.

 

Bagi saya, per satu kali pemakaian untuk sebuah pertunjukan teater bisa jadi satu minggu. Asumsi paling tidak idealnya: pentas satu hari, gladi bersih satu hari, gladi kotor satu hari, set lampu dan artistik satu hari, dan tiga hari untuk latihan dan adaptasi panggung.

 

Selain ketidakjelasan itu, GKC juga—setahu saya—belum memiliki fasilitas lampu panggung dan sound system sama sekali. Artinya, gedung itu kosong molongpong. Karena gedung itu tidak didesain sebagai gedung kesenian/pertunjukan, maka kualitas akustiknya kurang bagus dan tidak sesuai dengan kaidah akustik sebuah gedung kesenian/pertunjukan tertutup (indoor).

 

Menyikapi keberadaan GKC, seniman-seniman Ciamis punya sikap yang beragam. Ada yang tidak peduli sebab merasa tidak memerlukan. Mereka yang bersikap seperti ini menilai eksistensi kesenimanannya bukan dibangun di fasilitas kesenian khusus semacam GK, melainkan di panggung hajat dan “event” sehingga merasa kurang membutuhkan GK.

 

Ada juga seniman yang merasa bangga dan berterima kasih kepada pemerintah karena telah diberi fasilitas berkesenian meski ia tak pernah sekalipun berkesenian di sana.

 

Ada kalangan yang mengkritik keras keberadaan gedung itu kerana dinilai ngawur dan malfungsi. Ada juga yang berupaya merespon GKC dengan berbagai siasat teknis agar kegiatan kesenian yang digelar bisa nikmat diapresiasi dan gratis.

 

Awal mulanya saya termasuk yang mengkritik pendirian dan keberadaan GKC dengan cukup menggebu-gebu dan enggan memanfaatkannya. Tapi, apa yang saya lakukan itu tidak berdampak apa-apa kecuali saya dibenci sejumlah pejabat di lingkungan Pemkab Ciamis.

 

Pikiran saya berubah: kenapa tidak dimanfaatkan dulu? Bukan karena banyak hatters saya mengubah haluan. Saya kan teriak-teriak karena ingin ada dampak dan perubahan atas gedung itu. Tapi, sampai saat ini belum nampak juga. Kenapa? Banyak faktor, tentu saja. Dalam banyak perkara, Pemkab Ciamis hanya akan mendengar teriakan demonstran dengan massa yang sangat banyak atau bisik-bisik dari tokoh yang diperhitungkan. Saya tidak termasuk keduanya.

 

Saya tidak bisa berharap para pejabat itu membaca esai panjang lebar saya mengenai GKC di tengah rendahnya tingkat literasi penduduk Indonesia. Saya juga tidak bisa  membayangkan mereka siap berdebat secara rasional, objektif, jujur, konstruktif sekaligus berhati nurani karena rata-rata pejabat di Indonesia belum punya cukup kesiapan mental untuk itu.

 

Jadi, saya berpikir untuk mengubah metode. Selain itu, kisah bagaimana seniman Tasikmalaya bersikap terhadap pendirian GK Tasikmalaya pada tahun 1998 menjadi inspirasi tersendiri buat saya. Menurut Kang Nko yang merupakan pelaku sejarah pendirian GK Tasikmalaya, gedung itu mengalami beberapa kali perbaikan karena kesalahan konstruksi dan pelengkapan fasilitas secara bertahap.

 

Selama masa itu, GK itu jauh dari kata representatif. Sejumlah seniman, termasuk Kang Nko yang bercerita langsung pada saya, lebih memilih untuk memanfaatkan pemberian Pemkab Tasikmalaya yang terlanjur keliru itu. Lambat laun, pemerintah mau mendengar usul seniman-seniman untuk memperbaiki (kekeliruan mereka) dan melengkapi fasilitas.

 

Ciamis memang agak telat. Sudah lebih dari lima tahun GKC berdiri tapi belum ada gerakan bersama untuk menyikapi gedung itu secara terstruktur, sistematis, masif, dan kontinyu. Apalagi sampai bisa mengubah sikap dan kebijakan penguasa. Tapi, ya, lebih baik telat daripada tidak sama sekali.

 

Sejauh ini, sikap kritis seniman Ciamis terhadap GKC masih bersifat individu atau  dalam skala komunitas kecil. Belum pernah ada diskusi terbuka, serius, dan mendalam antara seniman-seniman Ciamis, Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) Ciamis serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait hal ini. Belum pernah juga ada demonstrasi skala akbar mempersoalkan GKC. Apalagi sampai berjilid-jilid.

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...