Senin, 19 Desember 2016

Surti


Lexi, pernah kamu dengan kata itu? Ya, surti. Bukan, itu bukan nama orang. Mungkin ada orang yang bernama surti, tapi surti yang kumaksud bukan sebagai nama seseorang. Ya, barangkali orang tuanya menamakan ia surti karena berharap ia menjadi orang yang surti. Bukankah nama adalah doa? Harapan? Aku memang menyukai Shakespeare, tapi tentang nama aku masih meyakini bahwa nama masihlah memiliki arti.

Oh, jangan kamu cari di KBBI. Sungguh kamu tak akan menemukannya. Aku pun sebenarnya kurang tahu makna leksikalnya. Aku memahami kata surti hanya dari obrolan orang-orang tua dalam bahasa daerah, bahasa Sunda. Dan untuk memahaminya pun aku tak membuka kamus bahasa Sunda. Bukannya aku sombong dan sok tahu. Hanya saja aku memang tak punya kamus bahasa Sunda. Aku memang bukan orang Sunda yang baik dan benar. Aku tak pandai merangkai-rangkai iket di kepala karena memang tak punya. Juga aku tak punya sehelai pun baju pangsi. Bahasa Sunda pun, masih jutaan kata yang aku tak mengerti. Tapi, dari sedikit kata yang aku pahami, setidaknya sependek pemahamanku, ada kecap surti yang sangat aku kagumi.

Aku mengagumi kata ini belum cukup lama. Memang sejak lama aku mengetahui maknanya tapi saat itu terasa biasa-biasa saja. Seorang penyair Sunda, Toni Lesmana,  pernah menulis “waktu lir cikaracak nu satia ninggang batu kasadaran”, dan barangkali itulah yang coba aku yakini. Oh, maaf. Aku lupa kalau kamu tidak mengerti. Aku juga kurang fasih berbahasa Sunda, tapi setidaknya yang aku pahami dari kalimat itu, bahwa waktulah yang membangun kesadaran kita. Ia ibarat tetas air yang sedikit demi sedikit melubangi batu. Ya, kesadaran kita seperti batu. Keras. Bukankah kita lebih sering menjadi bebal?

Ah, maaf, Lexi. Aku memang suka ngelantur. Oh, ya, surti. Lagi-lagi aku harus minta maaf padamu karena aku tak bisa menemukan padanan kata yang cocok dalam bahasa Indonesia. Pemahamanku tentang bahasa memang buruk. Surti itu, apa ya?

Hmm...Surti adalah puncak tertinggi ilmu komunikasi, kupikir. Kamu bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada lawan bicaramu tanpa ia bicara sebelumnya, misalnya. Atau kamu bisa mengetahui apa yang akan dilakukan sahabatmu sebelum ia mengatakannya. Atau bisa juga kamu pandai membaca situasi. Tanpa aku katakan aku ingin minum kopi hitam, kamu sudah langsung membuatkannya untukku. Itu contoh yang paling sederhana, berdasar dari pemahamanku yang masih dangkal dan terbatas  atas surti. Orang Sunda lain barangkali punya pemahaman dan interpretasi berbeda.

Entahlah. Aku belum begitu yakin. Barangkali surti dan telepati adalah dua hal yang  berbeda. surti itu sebuah kearifan budaya dalam tataran sosial. Sedang telepati adalah kemampuan tertentu yang hanya bisa di capai melalui latihan dan laku tertentu. Telepati itu mungkin masuk kategori skill. Urusannya dengan kemampuan mengendalikan gelombang otak. Ini jelas butuh latihan tersendiri. Surti itu bukan skill, tapi lebih pada sikap arif yang bisa di capai siapa pun tanpa latihan ketat macam telepati. Tapi entahlah. Kita bisa membahasnya lebih mendalam.

Behaviorism? Jadi menurutmu surti adalah konsekuensi logis dari suatu behavior? Entahlah, tapi aku kurang sepakat. Memang ia lahir dari membaca kebiasaan, namun lebih dari itu. Ada kearifan, sikap rela, dan menerima dalam surti. Apakah hal demikian ada dalam behaviorism? Oh, tentu. Ini bisa jadi bahasan menarik. Mungkin lain waktu. Aku masih awam sekali membaca behaviorism, jadi belum berani menyimpulkan apa pun. Pengertian? Bisa juga. Tapi buatku surti punya makna yang lebih luas.

Begitulah, Lexi. Surti adalah kecerdasan tinggi, menurutku. Atau kepekaan lebih tepatnya. Bukan saja peka membaca tanda-tanda namun juga tepat mengambil keputusan. Kalau hanya peka membaca tanda tanpa ada kearifan mengambil keputusan, itu bukan surti namanya. Surti itu semacam paket kecerdasan. Ada kepekaan dan kearifan sekaligus. Dan menurutku, surti itu bisu. Artinya tanpa kata-kata. Kamu tak perlu mengkonfirmasi apakah benar aku ingin minum kopi hitam atau tidak. Usai kamu membaca tanda, putusanmu adalah tindakan nyata, bukan sekedar kata apalagi masih membutuhkan konformasi. Kalau masih butuh konfirmasi artinya kamu belum yakin. Masih ada keraguan. Surti adalah keyakinan penuh berdasar kepekaan dan kearifan batin.

Kamu lebih memahami teori-teori ilmu komunikasi Barat ketimbang aku. Kamu sekolah tinggi. Ada gelar tersemat di belakang namamu. Tapi apakah ada surti dalam buku-buku tebal yang pernah kamu baca? Tidak. Menurutku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik, Lexi. Meski tak berwujud benda namun ini nyata. Sebuah sikap dan kearifan yang sejak lama diselami oleh para leluhur. Bukankah bahasa adalah dokumentasi? Arsip? Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga adalah arsip. Artinya, sejak lama sudah ada suatu kecerdasan manusia yang dalam bahasa Sunda lantas dikristalisasi kedalam kata surti. Aku yakin, kata-kata tertentu adalah padatan suatu konsep yang boleh jadi sangat kompleks jika diurai. Ada beberapa kata yang lebih mudah dipahami ketika kamu menghayatinya lewat laku. Cinta, misalnya. Demikian pula dengan surti.

Prof. Howard Gardener? Yang dari Amerika itu? Oh, ya. aku pernah mendengar teorinya tentang delapan kecerdasan manusia, Multiple Intellegences, meski belum sempat membacanya secara lengkap. Kecerdasan Interpersonal? Bisa kamu jelaskan?

Aha, kemampuan seseorang untuk mengamati dan mengerti maksud dan motivasi orang lain. Ya, mungkin ada persamaannya. Untuk saat ini aku tak berani membuat kesimpulan, terlalu prematur. Aku belum membaca dan memahami teorinya secara mendalam. Hanya baca sekilas saja. Tapi menarik juga untuk kita perbincangkan. Benar, Lexi. Sebenarnya siapa yang membuat segregasi ketat antara Barat dan Timur? Menurutku, pada awalnya barangkali perbedaan ini hanya ada di tataran metode saja. Perbedaan jalan. Tapi lantas perbedaan ini dibuat makin lebar karena banyak hal. Kamu tahu kerasukan? Ya, di beberapa keyakinan di Timur, seseorang dimungkinkan untuk dirasuki roh, jin, mahluk halus. Dan orang-orang di Timur punya cara untuk menyembuhkannya, dan itu terbukti berhasil. Namun ketika Sigmund Freud mempopulerkan serangkaian tesis-tesis Psikologi Modern, fenomena kerasukan ini dipandang lain oleh kawan-kawan dari Barat sana. Ini murni persoalan psikis. Dan mereka menemukan cara untuk mengobatinya, dan sembuh. Pasien kembali normal seperti semula. Fenomenanya sama, dipandang berbeda maka penanganannya pun lain, tapi hasilnya sama. Tentang teater tradisional nusantara dan teori Bertolt Brech pun banyak yang memiripkannya. Padahal akar filsafat keduanya sangatlah berlainan. Brech bertolak dari pencercapannya atas realitas dan realisme Eropa saat itu dan pemberontakannya terhadap dominasi Aristotelian. Sedang teater tradisional nusantara adalah refleksi atas manusia dan alam Timur yang berlangsung turun temurun bersumber dari pemahaman holistik anti dualisme yang erat dengan spiritualitas.

Hahaha.... Maaf, lagi-lagi aku ngelantur. Ingatkan aku jika bicara terlalu jauh. Tentang surti yang kita bicarakan tadi, memang ia bukan sulap dan jelas bukan barang instan. Dari pengalaman, aku belajar bahwa ada proses tertentu untuk mencapai tingkatan ini. Oh, aku belum sanggup memetakan langkah-langkahnya secara sistematis. Surti bukan ilmu yang aku dapat lewat pemahaman belaka, tapi titik tekannya lebih pada penghayatan. Jelas, pemahaman sangatlah perlu. Tapi pemahaman hanya akan jadi benda mati jika tanpa ada penghayatan sama sekali. Kedua hal itu hadir saling melengkapi namun juga kadang berjalan sendiri-sendiri.

Barangkali, surti lahir dari proses dialektis antara kamu dan the other, liyan. Maksud dialektis di sini bukan dalam arti bahwa kamu harus selau berlawanan dengan yang lain. Oke, baiklah kalau kamu tidak sepakat, kamu bisa mencari terminologi yang lebih pas. Intinya, surti itu lahir lewat pergumulan yang lekat. Tapi ini pun perlu kerelaan. Seperti yang kukatakan di awal, usai kamu memahami tanda-tanda, kamu mustilah arif mengambil keputusan. Jika putusanmu tepat, itu baru surti namanya. Perlu ada kedekatan batin dan sikap penerimaan atas yang lain di luar dirimu. Orientasimu tidak hanya terfokus pada dirimu sendiri. Surti dengan sendirinya mengikis egoisme sampai pada taraf tertentu. Tentu tidak musnah sama sekali, kita perlu egois, egois yang dinamis.

Entahlah. Apakah ada surti yang ujug-ujug? Mungkin ada istilah lain untuk hal demikian. Semisal weruh sadurung winarah atau weruh di semuna, barangkali. Tapi kita perlu membahasnya lebih mendalam. Dan lagi, menurutku kedua istilah itu lebih punya dimensi spiritual yang tinggi. Lebih melangit. Sedang sependek pemahamanku, surti lebih membumi. Spektrumnya ada pada interaksi manusia dengan manusia lain secara real. Dan sampai saat ini aku lebih memilih menggunakan kata “lahir” untuk surti ketimbang sebatas “hadir”. Lahir, adalah fase tertentu dari proses, bukan ujug-ujug. Dan kamu tahu sendiri bagaimana proses lahirnya seorang bayi. Perlu ada sekian peristiwa yang dilalui untuk sampai pada sebuah kelahiran. Dan jelas, perlu kerelaan. Buatku, surti masih mungkin dicapai oleh siapa pun tanpa perlu kamu bertapa berbulan-bulan atau tirakat lainnya.

Oh, maaf. Aku lupa menyuguhkan kopi untukmu.

Tanggerang

19 Des. 2016  

Sabtu, 17 Desember 2016

Catatan Simpé Karinding Di Kawali


Rasa konon diyakini mampu melintasi ruang dan waktu. Setidaknya itu yang banyak diimani sebagian orang. Tak ada satu dinding pun yang cukup kuat membendung. Tapi bukan berarti kedua hal itu bisa diabaikan sama sekali. Ruang dan waktu meski tak mampu membendung rasa tapi cukup kuat untuk mempengaruhi. Pun demikian yang barangkali terjadi pada pertunjukan Simpé Karinding Di Kawali (SKDK). Sebuah lakon yang mengisahkan perjalanan batin Wastu bergelut dengan dirinya sendiri. Wastu meratapi nasib kesendiriannya ditinggal mati kakak perempuan, ayah, dan ibunya. Ada rindu, sedih, dan dorongan untuk merelakan. Citraresmi hadir sebagai personifikasi semua kegelisahan itu yang justru makin menebalkan keyakinan Wastu untuk berdamai dengan masa lalu. Bunisora sang paman menjadi sosok tua yang tak bosan mengingatkan. 

Lakon ini pertama kali digelar pada Nyiar Lumar 2016. Hutan Astana Gede sebagai ruang pertunjukan memberi energi tersendiri pada lakon ini. Dalam bentuk cerpennya, memang kisah ini terjadi di Astana Gede Kawali. Transformasi teks menjadi visual pertunjukan tak mendapat kendala berarti karena sebelum naskah ditulis, hutan mungil itulah panggung berlangsungnya pertunjukan dalam kepala penulis naskah yang adalah pula sutradara pertunjukan ini. Lakon ini agaknya memang disiapkan untuk dipentaskan di hutan keramat itu dengan obor-obor sebagai sumber cahaya pertunjukan. Instrumen musik yang hadir pun sebisa mungkin senada dengan ruang peristiwa teater yang terjadi. Suling empet (toléat), batu-batu, karinding, didgeridoo, dan kendi-kendi adalah daftar instrumen musik yang hadir pada pentas perdana SKDK, selain suara manusia tentunya. Seleksi instrumen musik memang lebih ketat pada pentas perdana itu. Namun karena proses penggarapan musik yang pendek, agaknya wilayah ini masih belum cukup memuaskan sutradara, penonton maupun aktor. Boleh jadi, penata dan para pemain musiknya pun merasakan hal yang sama.

Berbeda dengan pentas keduanya di Bale Reka Paminton Bhumi Niskala, musik memperkokoh dirinya dengan persiapan yang meski terbilang pendek namun cukup weweg. Selain pergantian posisi penata, filterisasi instrumen musik pun nyaris tak terjadi. Sutradara lebih melonggarkan penata musik untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Pada kali keduanya, musik SKDK diperkokoh oleh bonang, kecapi, suling, dan biola. Entah karena alasan apa, posisi suling empet (toléat) digeser oleh suling bambu dengan dua wajah, pentatonis dan diatonis. Kehadiran vokalis perempuan memberi warna lain yang cukup mampu mengangkat suasana pertunjukan pada bagian-bagian akhir. Sayangnya, porsi musik pada adegan tiga terasa terlalu ramai, dominan dan berlebih. Adegan itu memang fase komplikasi dan klimaks, jika meminjam struktur dramatik Aristotelian, namun peracikan musik agaknya terlalu kental dan tebal hingga suasana sakral ketika Wastu melumuri Citraresmi dengan tanah liat terasa agak hingar bingar. Meski demikian, musik pada SKDK II ini cukup berhasil memberi dan menajamkan rasa.

Peran dan porsi musik, selain artistik tentunya, menjadi lebih kaya karena ada upaya pembentukan impresi yang lebih yang tak ditemukan pada SKDK I yang meruang di hutan Astana Gede. Instalasi Leuweung Bodas (Hutan Putih) sentuhan penata artistik punya porsi cukup dominan di SKDK II dibanding pada pentas perdananya. Itu bisa dilihat dari jumlah ranting-ranting bambu yang meruang di panggung pertunjukan. Ini bisa dipahami sebagai siasat pembentukan atmosfer hutan kramat. Pada SKDK I, Leuwung Bodas lebih hadir sebagai aksen pada hutan mungil Astana Gede yang diharap mampu memberi kesan tersediri sebagai dunia ambang batas. Ruang perjumpaan realitas material dan realitas imateril. Ruang surrealis. Kesan ini makin kuat dengan nyala obor-obor, meski dalam SKDK I jumlah obor dirasa terlalu banyak hingga pendaran cahaya terlalu berhamburan. Terlalu benderang. Pada SKDK II, obor-obor yang lebih terukur dan kehadiran cahaya-cahaya pelita agaknya lebih berhasil menyihir Leuweung Bodas menjadi serupa hutan suci. Niat membangun atmosfer hutan kramat tampaknya cukup berhasil. Kehadiran lampu spotlight yang, meski sederhana, mampu berelaborasi dengan panggung dan aktor-aktor kecuali persoalan intensitas cahaya dan ketajaman warna yang memang jadi kendala tersendiri. Penempatan sumber cahaya pun jadi nilai merah sebab cukup mengganggu komposisi artistik panggung.

Meski tidak signifikan dan terasa mengganggu, akustik gedung yang kurang baik menyebabkan bunyi-bunyian terdengar kurang ideal. Satu sisi ini jadi kemudahan tersendiri buat para aktor. Ruang pertunjukan bebentuk pendopo dengan dinding pinggir setinggi lebih kurang 1,5 meter  ini membantu vokal aktor tetap terkonsetrasi di ruang pertunjukan. Sayangnya langit-langit yang terlampau rendah membuat bunyi-bunyi terpantul menggaung. Kontrol volume diperlukan untuk menjaga bunyi-bunyian tetap bisa dinikmati dengan lezat.

Baik di SKDK I maupun II, sosok Bunisora tak kunjung mendapatkan ruh yang utuh. Ia seakan mengambang. Kata-kata yang terlontar darinya hanya kata semata tanpa kedalaman. Suara tatahan batu pun belum terasa bulat sebagai gambaran penulisan prasasasti Kawali I, jika itu yang dimaksudkan. Padahal, dengan titelnya sebagai resi tingkat satmata, Bunisora diharap punya pembawaan yang lebih berwibawa dan dalam. Atau berperangai nyentrik sama sekali karena pengetahuan lahir batinnya yang telah sampai pada maqom tertentu, semacam Semar yang justu tak menunjukan kedalaman ilmunya. Atau macam Abu Nawas, sufi  jenaka yang gemar bermain teka-teki. Stilisasi vokal yang dilakukan Bunisora menolong pembagunan karakter berpadan dengan riasan tua yang ditorehkan penata rias. Kostum coklat putih cukup nyaman ditatap, membantu kesan kalem yang dicoba dibangun.

Posisi Bunisora agaknya cukup vital dalam lakon ini. Ia hadir sebagai penengah sekaligus imam bagi tempo dan irama pertunjukan secara utuh. Perannya sebagai konduktor pertunjukan agaknya cukup dipahami sang aktor, namun justru inilah yang membuatnya sedikit kehilangan naturalitas akting. Proses latihan yang pendek barangkali membuat pemahaman fungsi peran dalam kosmik pertunjukan menjadi tertahan hanya pada tataran teknis.

Nampaknya Citraresmi hadir sebagai antitesis Wastu. Kehadirannya seolah sebagai penentram segala kegelisahan serta penjawab pertanyaan-pertanyaan Wastu. Sebenarnya ia tak hanya Citraresmi, namun sekaligus mewakili tiga tokoh. Sebagai Citraresmi, Prabu Linggabuana, dan Prameswari Laralingsing. Sebagai kakak perempuan, ayah, dan ibu. Ini kiranya titik tantangan bagi sang aktris. Perubahan ketiga tokoh dalam satu tubuh ini tak sampai seperti kita saksikan dalam pertunjukan monolog. Sutradara boleh jadi menginginkan perubahan yang terasa subtil, halus, hingga penonton tak menyadarinya namun mampu merasakan. Perubahan dramatis agaknya tak diinginkan. Perubahan sikap batin adalah titik tekan yang barangkali diinginkan sutradara. Ini bisa dilihat dari sang aktris yang hanya bermain di wilayah intonasi dan gaya tutur sebagai media perwujudan gagasan tritunggal ini, itu pun dengan kehatian-hatian yang ketat.

Dialek (lentong) adalah persoalan utama sang aktris yang  paling kentara baik di SKDK I maupun II selain bahan kostum yang agaknya terlalu mengkilap, khususnya kain merah yang mungkin bisa dipahami sebagai simbol darah. Persoalan gaya tutur dan dialek ini cukup bisa dirasakan utamanya ketika berjumpa dengan kata-kata dengan fonem-fonem tertentu. Ini barangkali kesulitan tersendiri tatkala berhadapan dengan bahasa daerah mana pun. Bahasa daerah apa pun agaknya punya rasa yang unik, khas, dan  endemik. Rasa ini terejawantah lewat dialek dan gaya tutur yang biasa digunakan oleh penutur asli bahasa tersebut. Maksud penutur asli ialah penutur, pengguna bahasa yang menjadikan bahasa tersebut sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, sebagai lingua franca meski ia bukan warga asli daerah tersebut. Cita rasa bahasa Jawa Banyumasan sulit dicapai jika tidak benar-benar akrab dengannya. Pun demikian  dengan bahasa Bugis, Batak, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan pula Sunda.

Ini bisa dipahami karena sang aktris mungkin bukan pengguna bahasa Sunda sebagai lingua francanya. Di luar persoalan itu, penampilannya terasa lebih cemerlang pada SKDK I. Dengan gaya tutur khas serta karakter vokal unik, sang aktris cukup mampu membawa penonton larut dalam suasana lakon yang dicipta. Dialog-dialog yang terlontar terasa lebih lepas, bulat, utuh, meruang, dan total. Kata-kata cukup menubuh meski dengan dialek yang terdengar agak asing. Pada SKDK I, penekanan tritunggal tokoh belum begitu terasa. Ini barangkali yang membuat si aktris terlihat lebih utuh dengan penampilannya. Lain dengan SKDK II yang mana gagasan ini justru cukup bisa diraba penonton. Perubahan dari Citraresmi ke Linggabuana dan kemudian Laralingsing nampak pada monolog sang aktris pada adegan awal kemunculannya. Sayangnya, justru hal inilah yang membuatnya kehilangan keutuhan akting. Perubahan-perubahan yang tampak masih melayang di permukaan, belum cukup menubuh dan merasuk ruh.

      Wastu hadir cukup berbeda antara SKDK I dan II. Pada SKDK I, salah satu persoalan utama aktor Wastu ialah kualitas vokal yang buruk selain kerepotannya dengan kostum yang ia kenakan. Sang aktor tampak kehaisan suara hingga penampilannya pada SKDK I kurang memuaskan. Hal ini mungkin akibat dari teknik olah vokal yang keliru. Nampak ada upaya stilisasi vokal yang dilakukan. Ini barangkali upaya penyiasatan ruang. Bagaimana volume vokal bisa menjangkau seluruh areal penonton di ruang terbuka.  Ini mengandung resiko jika teknik olah vokal yang dipilihnya kurang tepat, dan inilah yang terjadi. Ketika SKDK I digelar, sang aktor justru berada dalam kondisi peuyeuh (kehabisan suara). Salah satu catatan merah bagi pemeran Wastu ialah kualitas vokal. Ia gagal mengawinkan teknik vokal dan efek dramatis yang ingin dicapai.

Persoalan vokal tak terlalu nampak pada SKDK II. Ini barangkali wajar saja karena ruang pertunjukan pun tidak menuntut volume vokal maksimal untuk bisa menjangkau seluruh areal penonton. Kekurangan sang aktor pada SKDK II justru terletak pada gestur. Sang aktor terasa kurang menikmati gesturnya sendiri. Kesan artifisial dan teknikal masih bisa dirasakan meski dengan kadar yang tak terlalu pekat. Tatanan rambut yang sedemikian pun jadi catatan tersendiri. Alih-alih mengesankan berantakan akibat tapa, tatanan rambutnya dirasa-rasa malah mengganggu pandang.

Pertunjukan SKDK baik I mau pun II adalah pertunjukan kata-kata. Senjata utama pertunjukan ini adalah kata-kata puitik yang mengisahkan isi batin para tokoh selain suasana yang ditawarkan. Tubuh aktor tidak memiliki ruang eksplorasi yang cukup besar. Gerak-gerak yang disajikan lebih merupakan gestur-gestur lembut. Penanjakan alur diwakili lewat leveling aktor yang meninggi serta sedikit perpindahan bloking. Puncak pada adegan mandi lumpur agaknya cukup memukau meski sebenarnya gerak Wastu dan Citraresmi masih mungkin untuk dieksplorasi. Minimnya gerak tubuh memang punya dasar filosofis tersendiri. Hampir semua gerak aktor, bloking serta pembagian ruang nyaris punya beban filosofis yang barangkali tak semua bisa ditangkap penonton. Maka tak heran jika ada penonton yang menilai pergelaran ini sebagai teater puisi. Padat. Puitik. Ini bisa jadi bantuan motivasi atau malah menjadi beban tersendiri bagi pemain. Bermain dengan memanggul makna-makna filosofis pada tiap ruang dan gerak bukanlah perkara mudah. Dalam hal ini estetika nyaris sebagai kendaraan filsafat yang kadang mengesampingkan dirinya sendiri. Dalam posisi seperti ini, ketika terjadi pertikaian antara filsafat dan estetika murni, yang pertama selalu muncul sebagai pemenang. Kondisi ini wajar karena estetika mungkin  belum cukup untuk mewadahi seni. Ada hal lain di samping estetika yang terselip dalam sebuah karya seni. Namun jika takaran ini selalu mengunggulkan filsafat, estetika akhirnya hanya jadi kertas pembungkus yang mungkin akan kehilangan otonominya suatu ketika. 

Erosi makna merupakan resiko pertunjukan yang padat macam SKDK. Luputnya pesan filosofis yang hendak disampaikan sutradara adalah kemungkinan yang potensial sebab padat dan singkatnya durasi pertunjukan. Penonton mustilah sangat  khusuk dan harus punya cukup wawasan ihwal kisah ini sebelumnya. Jalan beresiko ini punya dua kemungkinan paradoks. Sangat memukau atau hancur sekalian.
    
Lepas dari semua analisis serampangan di atas, Simpé Karinding Di Kawali lewat dua pentasnya di ruang berbeda, punya kesan tersendiri bagi para penontonnya. Pada dua kesempatan, pertunjukan singkat ini mampu mempertahankan keutuhannya. Banyak penonton yang turut larut dalam sajian atmosfer yang tersaji.

Nyawiji adalah kunci perkawinan kepala dan dada.

Ciamis – Tanggerang 

Des. 2016

Senin, 12 Desember 2016

Metamorfosis


Perjalanan masih berlanjut, Laksmini. Kemarin adalah kemarin dan selama nafas masih terjaga, waktu akan berdetak bagi kita, terus. Kita akan terus melakoni pelbagai kisah pada ruang dan waktu yang lain. Jejak kita mustahil dihapus sebab waktu tak pernah mengizinkan. Mungin kamu masih ingat kata-kata yang gemar aku kutip dari Master Oogway, “Yesterday is history, tomorrow is mystery, but today is a gift. That is why it’s called the present.”

Kita selalu terpaut pada waktu, apa pun. Diam pun adalah waktu. Perhentian, jeda adalah waktu. Kamu tahu betapa Stanislavski membahas panjang perkara jeda dalam salah satu bukunya. Betapa jeda menjadi penting. Ya, kamu benar. Memang ia membahasnya dalam konteks metode aktingnya, tapi kurasa, pun demikian dalam hidup. Bukankah panggung adalah refleksi dari realitas? Ah, memang kamu paling paham seleraku. Kamu menyanyikan lirik itu. Aku ingat betul dan sangat sepakat dengannya. “Bukankah hidup ada perhentian//Tak harus kencang terus berlari//Kuhela kan nafas panjang//Tuk siap berlari kembali”. Aku suka lagu itu. Padi memang selalu memukau.

Percayalah, Laksmini, selalu ada yang bisa kita temukan dalam jeda. Dan jeda perjalanku semenjak kemarin adalah ladang buatku memanen banyak hal. Perjumpaanku dengan Wastu yang pernah kuceritakan padamu adalah suatu hal luar biasa. Darinya aku banyak belajar. Dan dari perjumpaan itu pula aku jadi teringat tentang topik yang sempat kita bicarakan. Oh, bukan. Ini bukan tentang sejarah atau karakteristik bangsa tertentu. Barangkali ini sama sekali tidak berkaitan dengan diriku dan Wastu. Atau bisa jadi malah bertaut erat. Entahlah. Aku tak tahu pasti. Hanya saja, aku menemukan ingatan lain ketika kami berjumpa. Kau tahu, kami tidak berjumpa begitu saja. Bukan aku ngobrol dengannya berdua saja secara tiba-tiba di sebuah kedai kopi. Ada rangkaian panjang hingga kami bisa bertemu dan itu melibatkan orang banyak. Nah, ingatan itu justru muncul dari orang lain selain kami berdua. Ada kisah orang lain dalam perjumpaan kami. Aku sama sekali hanya menjadi saksi dan tak ada hubungan dengannya selain itu. Tontonan kisah itu merangsang pikiran untuk kembali membongkar sebuah arsip tentang Amor Socraticus.

Aku yakin kamu pasti masih ingat betul hal itu. Ya, yang sempat kita bicarakannya kemarin-kemarin. Sebenarnya tidak ada hal yang sangat baru, biasa saja. Yang membuatku tertarik justru aku menyaksikan sendiri apa yang kita sebut Amor Socraticus itu. Dan aku menyadari sesuatu di balik itu. Bukan, bukan tentang keagungan cinta ala Plato itu. Itu sudah sangat lumrah. Aku justru tertarik pada proses lahirnya cinta itu. Aku yakin cinta tidak hadir bim salabim. Ada proses kelahiran. Aku sudah meyakininya sejak lama dan pernah pula menuliskannya. Ayolah, Laksmini. Cinta jenis apa yang datang ujug-ujug? Ya, mungkin bisa saja ada, tapi aku yakin bahwa hal itu tetap butuh alasan pada awalnya. Genealoginya pasti bisa di telusuri.

Jatuh cinta pada pandangan pertama? Ya, aku sering mendengarnya. Selalu ada alasan untuk peristiwa itu. Bisa saja kamu jatuh cinta pada seorang laki-laki karena terpikat senyumnya yang menggetarkan, atau aroma tubuhnya yang membuatmu melayang-layang. Atau karena keramahannya padamu atau kamu tertarik pada seseorang karena karakternya yang membuat hatimu terpaut tak tergantikan. Banyak alasan untuk membuat seseorang jatuh cinta. Atau mungkin juga awalnya kamu iba pada seseorang lantaran nasibnya yang mengenaskan. Lambat laun, iba itu berubah jadi asmara. Itu sangat mungkin dan banyak sekali terjadi. Ah, aku jadi teringat pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, jatuh cinta karena sering berjumpa. Nah, itu dia, Laksmini. Tiap orang selalu punya alasan awal untuk jatuh cinta.

Alasan perdana itu bisa terus menjadi pondasi atau malah sirna sama sekali. Artinya ketika kamu melakoni cinta hingga tingkatan tertentu, alasan-alasan apa pun akhirnya akan terlupa. Kamu yang awalnya jatuh cinta lantaran kecantikan seorang wanita bisa melupakan kecantikan fisik itu sama sekali jika cintamu naik terus sampai Amor Socraticus. Naik? Ah, apa aku keliru menggukan kata itu? Jika naik, pasti ada yang rendah dan tinggi. Baiklah, barangkali kamu punya kata yang lebih cocok untuk itu?

Ya, Laksmini. Cinta yang berubah. Kalau kita meminjam kategorisasi cinta ala Yunani Klasik, barangkali Eros yang berubah jadi Philia, atau Philia yang berubah jadi Agape, Eros menjadi Agape, dan seterusnya. Mungkin saja. Semua perubahan itu mungkin menurutku. Lihat saja dewasa ini, seorang ayah yang semustinya punya cinta jenis Stroge malah memperkosa anak perempuannya. Perkosaan ini jelas wujud liar dari Eros. Ada transformasi cinta. Rasa yang bermetamorfosis.

Kamu ingat film Kuch Kuch Hota Hai yang legendaris itu? Kisah persahabatan yang harus rusak karena asmara. Menurutku itu mungkin bisa memperkaya contoh-contoh kasus metamorfosis cinta. Dan kamu pasti tahu lebih banyak tentang kasus serupa itu. Wujudnya luarnya bisa saja sama. Sikap lahirnya sangat bisa untuk disamarkan atau dimanipulasi. Yang menjadi telisik menarik adalah sikap batinnya. Metamorfosis cinta bisa mewujud dalam sikap lahir maupun batin. Cinta Eros-mu bisa bermetamorfosis menjadi Philia atau bahkan Agape.

Hmmm... bisa saja. Itu sangat mungkin. Meng-Eros-i nya secara diam-diam dan tersembunyi. Jadi menurutmu hasrat Eros itu masih ada namun tersimpan dalam. Ia menjadi semacam genotif dalam terminologi genetika. Eros yang mistik, yang terkabut. Eros berbulu Philia. Menarik. Oh, aku tak mengatakan itu buruk. Manusia butuh Eros, setidaknya untuk alasan berkembang biak. Dan pula Eros memang bisa jadi pelanggeng sebuah hubungan. Seks itu penting, Laksmini. Hahaha....kamu meledek. Memang aku belum mengalaminya tapi banyak kisah dan penelitian ilmiah yang berkata demikian.

Perubahan apa pun sangatlah memungkinkan, Laksmini. Seperti yang kamu sebut barusan pun, itu sangat mungkin. Manusia adalah mahluk serba mungkin. Satu kepala saja bisa punya sejuta kemungkinan, apalagi jika dua kepala saling berelaborasi.

Cinta yang dimiliki manusia pun bisa punya rupa-rupa wajah. Orang Yunani Kuno sudah sejak lama membahas hal ini. Dan kemarin, saat aku berjumpa dengan Wastu, sungguh aku menyaksikan itu. Metamorfosis cinta. Amor Socraticus. Kamu tadi mengingatkan ihwal Eros genotif, Eros berbulu Philia atau Agape itu, tapi kukira yang kulihat itu metamorfosis cinta betulan. Dari Eros ke Philia. Tapi entahlah, aku hanya saksi dan penafsir yang hanya melihat realitas tanpa wawancara langsung. Itu tidak penting buatku. Melihatnya saja aku sudah takjub. Kecurigaanmu bisa jadi bahan pertimbangan.

Tidak juga, Laksmini. Dalam hal ini aku tak sependapat denganmu. Bagiku, ada hal-hal yang lebih baik terkabut saja. Setidaknya itu salah satu hasil percakapanku dengan  Nietzsche, dan aku sepakat dengannya dalam hal ini.  Ada banyak hal di dunia yang lebih asyik justru ketika ia bertabir, samar, penuh kabut. Manusia malah kadang lebih bergairah dengan hal demikian. Kalaupun tersingkap, biarlah waktu yang mengerjakannya tanpa musti ada rekayasa. Kalau kamu punya pendapat lain yang tak sejalan, itu kedaulatanmu.

11 – 12 Des. 2016

Sabtu, 10 Desember 2016

Wastu


Wastu, kukira kita takkan pernah semesra ini. Membayangkan pun aku tak pernah. Kali pertama jumpa, aku sudah lupa. Entah kapan waktu itu. Mungkin karena sudah terlalu lama atau mungkin karena perjumpaan kita yang pertama itu kurang berkesan buatku. Biasa-biasa saja. Biasanya aku memang begitu, memberi porsi cukup besar pada kesan ketimbang hitung-hitungan. Aku kenal kau seperti kata orang kebanyakan. Kau begini, kau begitu, dan aku percaya saja tanpa hasrat mengenalmu lebih mesra.

Aku pernah sedikit membaca tentangmu. Kau pemimpin  yang sangat segalanya. Kau cerdas, sakti, dan berhati mulia. Kau tak mendendam pada orang yang telah membantai habis keluargamu di tempat yang belum pernah kau ketahui. Ya, banyak yang mengelu-elukanmu sebagai seorang tanpa cacat. Semacam manusia super, barangkali.

Perjumpaan macam itulah perjumpaan kita yang pertama itu. Perjumpaan yang biasa-biasa saja, yang aku pun tak sanggup mengingatnya. Padahal biasanya aku mampu mengingat perjumpaan pertamaku dengan apa pun. Aku ingat kali pertama berjumpa dengan sutradaraku, meski itu telah berlalu bertahun lamanya. Aku ingat betul kali pertama berjumpa kawan-kawan semasa kecil di sekolah dasar. Aku ingat perjumpaan pertama dengan wujud metafisika. Aku takkan mengatakan aku ingat perjumpaan pertama dengan pacarku karena aku memang belum pernah mengalaminya.

Lewat seseorang, aku kembali dikenalkan padamu. Ia bercerita banyak tentangmu dari kaca matanya. Ia berkisah tentang kau yang kanak-kanak. Yang dengan segala kekanak-kanakanmu musti melakoni takdir sebagai yatim piatu. Memang, sejak lama aku tahu Ayah, Ibu, dan Kakak Perempuanmu yang cantik itu mati mengenaskan di suatu tempat. Niat pernikahan malah harus dibalas darah. Kau yang waktu itu masih belasan tahun harus menerima kenyataan bahwa ketiga keluargamu dan sanak saudara lainnya tewas dalam peperangan tak imbang. Dulu aku memanggilmu lengkap dengan gelarmu yang panjang dan ribet itu. Setelah aku diperkenalkan kembali oleh seorang penyair, maaf, kini aku lebih suka memanggilmu Wastu saja. Mesra.

Ah, Wastu.
Malang sekali gurat masa kecilmu. Kau pasti paham betul arti kehilangan. Kesepian. Sendiri. Kelengangan. Bayang-bayang Ayah, Ibu, atau Kakak Perempuanmu pasti sering berkelebat dalam ingatan. Sesekali mereka datang menyapa dengan tubuh penuh merah. Darah. Sesekali pula mereka datang dengan senyum dan cahaya. Ya, itulah hidup, Wastu. Kita terkadang sulit menerima kenyataan dan masa lalu. Kita sering menciptakan keyakinan-keyakinan palsu hanya untuk memuaskan diri lantaran  tak kuasa mengikuti irama waktu. Kuasanya yang sangat, sering gagal kita imani sebagai sebuah perjalanan. Kita kerap berusaha keras mengahapus jejak. Melupakan detik-detik masa silam yang menyedihkan. Dan akhirnya sekuat apa kita melawan, sekuat itu pula kita dihantam. Waktu memang misteri, Wastu.

Mungkin kau sering bertanya, mengapa saat itu kau tak ikut serta. Jika saja kau turut Ayah dan Ibumu pergi, mungkin kau tak pernah dirundung sedih sebab kau pasti mati turut serta. Aku jadi ingat kata-kata seorang tokoh dalam sebuah naskah drama :”Kelengangan disebabkan perpisahan terkadang lebih parah dari kematian itu sendiri”. Mungkin pernah terbersit dalam benakmu, lebih baik mati ketimbang musti merasa sepi. Lengang.

Aku tak separah laku hidupmu, Wastu. Aku masih cukup beruntung, mungkin. Ayahku mangkat ketika usiaku belasan. Ia meninggal karena sakit. Tiga belas tahun ia menahan nyeri. Kaki, tangan, dan seluruh tubuh bagian kanannya lumpuh. Matanya perlahan-lahan rabun dan memutih. Bicaranya tak pernah bisa jelas karena lidah dan otot wajahnya lumpuh sebagian. Tangan kanannya menekuk, selalu menekuk. Ke mana pergi, Ibu selalu menuntunnya sebelum akhirnya ia menggunakan kursi roda hingga akhir hayatnya. Jika Ibu pergi ke pasar atau sedang berkebun, aku atau kakak perempuanku yang mengurusinya. Menuntunnya, mengantarnya ke kamar mandi, mengurusinya buang air kecil atau buang air besar.

Ayahku orang yang bertempramen tinggi. Katanya, sejak muda pun Ayah memang demikian. Ditambah penyakit saraf yang menyerang pembuluh darah di otaknya, ia kadang makin sulit mengendalikan diri. Kami yang berada di rumah sudah tak terhitung kena bentaknya. Kakak-kakakku boleh dikata masih lebih beruntung, masih sempat melihat dan menikmati Ayah yang sehat. Sejak lahir aku tak pernah ingat Ayah yang mampu berjalan tegap. Ia mulai sakit berbarengan dengan kelahiranku. Usia penyaitnya sama dengan usiaku. Ayah di mataku adalah seorang lelaki tua yang tak mampu mengurusi dirinya sendiri. Teronggok tak berdaya di kursi roda.

Ketika Ayah masih hidup, aku sering mengutuknya. Tak ada satu pun kelakuannya yang bisa aku mengerti. Ia kadang memanggilku hanya untuk membelai dan menciumiku di pangkuannya. Ia bicara hal-hal yang tak bisa kucerna. Akal anak-anakku tak mampu mencerna kata-katanya yang kini aku pahami sebagai do’a, harapan. Aku ingat betul, suatu ketika Ayah pernah mengatakan bahwa ia takkan melihatku mengenakan seragam putih biru. Ibu buru-buru mengalihkan pembicaraan dan mengingatkan bahwa tak seorang pun tahu rahasia umur. Tapi itu memang terjadi. Ayah meninggal tepat ketika aku ujian akhir di sekolah dasar, hanya beberapa saat sebelum aku mengenakan seragam itu.

Ibu? Ah, ia memang wanita perkasa. Tiga puluh enam tahun menemani Ayah hingga nafasnya yang terakhir. Semoga surga adalah tempat yang terbaik baginya kelak,  dan kembali berjumpa dengan Ayah di sana.

Penyakit Ayah tak hanya membunuh Ayah dalam kepalaku sejak aku mampu mengingat. Ibu pun turut direnggutnya. Ibu berbagi antara mengurusi aku yang masih kanak dan Ayah yang sakitnya tak kunjung usai. Ayah dan Ibuku tak seperti ayah dan ibu lainnya. Tak ada liburan keluarga di tanggal merah. Tak ada cengkrama hangat di ruang keluarga. Yang mampu kukenang manis adalah perjumpaan kami di ruang makan. Semua kami makan dengan tertib di kursi masing-masing. Kami tidak boleh ribut atau bercanda. Pelototan Ayah sudah cukup untuk menenangkan anak-anak yang berisik saat makan.

Kita punya kesamaan lain, Wastu. Kita sama-sama punya kakak perempuan. Ya, itu menyenangkan. Kakak perempuan kadang bisa lebih menerima diri kita tanpa banyak bertanya. Hanya saja kakak perempuanku masih bisa kutemui di rumahnya sedang kakak perempuanmu sudah lebih dulu mangkat. Aku mungkin bisa meraba kesedihanmu ditinggal kakak perempuan. Ada kehilangan  yang tak tergantikan.

Aku kecil hanya kuasa berbagi kisah dengan mainan-mainan usang. Boneka, robot-robotan rumpang, mobil-mobilan, dan benda-benda lain yang kadang kujadikan sahabat mengusir sepi. Kakak perempuanku kadang hadir menjadi pendengar yang baik. Tapi aku asyik hidup dalam kepala. Anak-anak memang selalu demikian. Tapi aku merasa melakukannya sebagai pelarian. Semacam eskapisme, mungkin.

Wastu, pernahkan kau menyesali perbuatanmu? Aku kadang demikian, sering kali. Kenapa dulu aku selalu enggan dibelai Ayah? Diciuminya? Dido’akannya? Jika aku bisa jumpa dengannya barang sesaat saja, itulah yang ingin kupinta. Aku ingin dibelainya lagi, diciuminya lagi, dan tentu dido’akannya. Aku rindu aku  yang kanak-kanak. Yang tak perlu diterkam lengang. Yang  tak perlu merasa kesepian yang aku sendiri nyaris tak mampu menerjemahkannya.

Aku paham betul kalimat itu. Kalimat seorang tokoh yang aku bilang padamu barusan. Kelengangan itu menyakitkan, Wastu. Lengang adalah ketika kau sepi dalam ramai. Kau tak mampu larut meski kau ingin. Lengang adalah lengang. Sekuat apa pun kau mempercantik itu dengan kata-kata puitis dan filosofis, lengang tetaplah lengang. Sepi tetaplah sepi.

Dan sempurnalah sepimu ketika tak seorang pun mampu memahami. Ketika orang hanya mampu memberimu kata-kata, kalimat-kalimat panjang yang katanya nasihat atau ucapan simpati, barangkali itu hanya akan jadi sekedar bunyi-bunyi tanp arti belaka. Kata memang mewakili rasa, namun sebenarnya kata tak cukup kuasa untuk itu. Selalu saja, rasa meluber, meluap, meleleh melintasi kata. Mungkin diam adalah wakil rasa lebih sungguh. Entahlah.

Wastu, akhirnya sepi hanyalah milik kita sendiri. Setidaknya itu yang kurasakan. Berbagi sepi adalah perkara jodoh. Terkadang, ada orang yang mampu menerima tumpahan sepimu namun kau enggan. Kau sebut ia salah berkunjung. Atau kadang pula sebaliknya. Kau pikir lubang hitam itu bisa ditutupi oleh seseorang yang kau harapkan tapi nyatanya sepi masih engga pergi. Ia hadir sebagai ia, bukan sebagai pelipur lengangmu.

Wastu, terima kasih untuk segala perjumpaan mesra ini.      

Astana Gede Kawali,

10 Des. 2016

Senin, 05 Desember 2016

Paracetamolisasi


Sergy! Sergy! Tolong ambilkan obatku. Ya, yang biasa. Yang ada kotak obat. Terima kasih. Entahlah, Sergy, barangkali aku memang kecanduan. Tiap kali aku merasa pusing atau suhu tubuhku naik, aku merasa yakin dengan obat ini. Aku yakin jika aku meminum obat ini maka aku akan sembuh. Segala pusing, segala demam akan sirna dengan sendirinya. Ya, secukupnya saja. Jika minum sekali saja aku sudah merasa baikan, buat apa aku minum berlebih.  Kalau sekali tidak mempan, ya aku tambah lagi dosisnya. Paracetamol bukan obat keras. Ini obat umum yang bisa dengan mudah kamu dapat di apotek. Kalau kamu rajin membaca, informasi tentang hal ini sudah sangat umum. Minum 500 gram Paracetamol tiap empat sampai enam jam. Begitu yang biasa tertera di artikel-artikel kesehatan.

Nah, itu dia, Analgesik. Ini jenis Analgesik, obat penahan rasa nyeri. Sebetulnya bukan menahan rasa nyeri, aku kurang setuju dengan istilah itu. Analgesik ini semacam morfin barangkali, yang mempengaruhi otakmu agak tak terlalu fokus pada rasa sakit itu. Ia mengelabui kesadaranmu. Dalam konteks komunikasi publik, ini mungkin semacam pengalihan isu. Ya, seperti yang tampak di media dewasa ini. Kamu lihat saja televisi atau media apa pun, tak pernah ada kasus yang diberitakan secara tuntas. Semua peristiwa pasti menggantung. Wajar saja, kupikir. Kejaran mereka kan keuntungan. Kalau sesuatu tertalu sering diulang-ulang, bosanlah yang ada. Kalau pemirsa sudah bosan, kaburlah mereka ke saluaran lain. Dampaknya rating akan anjlok, penjualan akan loyo, permintaan lesu. Dan  seperti yang kamu tahu, lesunya permintaan adalah kematian perusahaan. Tak usah naif, Sergy. Kamu lebih tahu bagaimana money oriented-nya mereka. Inilah kapitalisme, siapa tak sanggup menjual, mampuslah mereka. Sebenarnya kapitalisme sehat-sehat saja, kupikir, cukup natural. Yang bahaya adalah korporatisme, ketika suatu perusahaan memonopoli segala ihwal ekonomi. Ini perampokan namanya. Bung Karno menyebutnya Nekolim, neo kolonialisme dan imperialisme. Tepat sekali, sumbernya kesarakahan. Hei, lama tak jumpa, kecerdasanmu meningkat rupanya,

Hahaha... ya, tentu. Aku tahu kabar itu. Kamu melanglang ke banyak tempat dan peristiwa, dan kamu pasti punya banyak hal baru yang belum aku ketahui. Semingu lalu saat kali pertama jumpa, aku pikir kamu masih seperti dulu. Ternyata seminggu berbincang denganmu membuatku insaf, kamu adalah Sergy yang baru. Aku harus mulai berkenalan lagi denganmu. Hahaha.... aku serius. Kamu nyaris baru kecuali tanda di wajahmu itu. Aku? Ah, aku tak tahu pasti. Aku memang merasa berubah, tiap manusia seperti itu. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Tiap kali kita menyentuh air di sungai, biarpun di tempat yang sama, sungguh, tiap kali itu kita menyentuh air yang baru.

Tidak usah. Teh pait saja. Kata orang, kopi itu kotra dengan obat kimia. Percuma aku minum obat jika lantas minum kopi. Sama seperti kamu menggores kembali luka usai menutupinya dengan perban. Manusia kadang suka seperti itu, mengulang hal yang sama meski sebenarnya ia tahu itu menyakitkan. Aku tahu kekecewaan adalah resiko dari harapan, tapi toh aku tak pernah berhenti berharap. Apa jadinya kita hidup tanpa harapan? Oh, bukan begitu maksudku. Hematku, harapan bukanlah suatu yang musti dikejar. Ia ada untuk diciptakan. Harapan itu gaib, dan tugas manusia bukanlah mengejar tapi menciptakannya jadi nyata, jadi realitas yang benar-benar bisa dicercapi. Hidup dalam harapan lebih aman ketimbang hidup mengejar harapan. Kamu tahu kan beda keduanya?

Ah, lagi-lagi kamu merendah. Sejak kali bertemu, entah berapa kali kamu mengulang kalimat itu. Kekecewaan itu harus ada, Sergy. Ini dielektika hidup. Darinya kita memetik kebahagiaan. Kebahagiaan bukan saja tatkala harapan jadi nyata. Bangkit dari kecewa pun adalah proses mewujudkan harapan. Bisa kamu bayangkan manusia tanpa kekecewaan, kapan ia akan belajar? Jelas. Itu buruk. Kecewa berlarut seperti kamu tenggelam dan terseret ombak. Mengambang di lautan tak pasti lantas mati perlahan-lahan. Demam? Hmm... mungkin juga. Kekecewaan bisa juga seperti kondisi tubuh yang demam. Ada ketidaknyamanan, kegelisahan, atau mungkin juga ketakutan.

Tentu. Tiap orang normal melakukan itu, minum obat ketika sakit. Jika kamu demam, minumlah obat penurun panas. Paracetamol bisa direkomendasikan untuk itu. Hahaha...aku bukan promosi, hanya memberi sampel empiris saja.

Hmm... entahlah. Aku belum bisa memberi jawaban pasti. Tapi logikamu masuk akal. Jika kecewa adalah demam, dan demam bisa sembuh oleh Paracetamol, maka kecewa bisa sembuh oleh...? Kupikir terlalu naif dan simplisif sekali jika Paracetamol adalah analogi untuk manusia. Menurutku, obat kekecewaan itu tak musti manusia. Ah, kamu benar juga. Obat demam pun tak harus Paracetamol.

Pendapatku? Jika manusia menjadi obat bagi manusia lain? Itu bagus, mulia sekali, dan begitu seharusnya, kukira. Ah, bukan kurasa. Altruisme lebih luas dari itu. Terlalu dangkal dan sempit bila altruisme didefinisikan seperti itu.

Tapi ada hal lain yang mungkin aku lupa, dan mungkin olehmu juga. Paracetamolisasi, menjadikan manusia sebagai obat bagi manusia lain, di kutub yang sangat ekstrem bisa pula menjadi semacam exploitation de l’homme par l’homme, penghisapan manusia oleh manusia lain, eskploitasi. Pemanfaatan insedental belaka dan jelas akan sangat pragmatik. Ingat, obat hanya kita makan tatkala kita sakit. Jika kamu meminumnya dalam kondisi sehat, obat malah akan menjadi racun buat tubuh. Artinya obat harus hadir pada momen tertentu saja, temporer saja. Tujuan keberadaan obat memang untuk itu. Ia pasif dan menjadi berarti jika kita yang mengaktifkannya. Obat berharga hanya ketika kita minum. Obat dalam kemasan, sungguh, tak berarti apa-apa. Dalam pandangan manusia, obat berarti ketika ia bisa memberi manfaat praktis bagi dirinya, jika tidak, buat apa mengkonsumsi obat. 

Jika manusia hanya hadir untuk manusia lain seperti hubungan obat dan manusia, ah, dangkal sekali peradaban kita. Relasi manusia akan sangat ekonomis sekali, meski sebenarnya memang demikian. Manusia akan membangun relasi dengan manusia lain hanya jika ia merasa diuntungkan. Persoalannya, jika keuntungan itu pragmatis semata, itu yang aku maksud dangkal. Paracetamolisasi adalah dehumanisasi yang subhat, abu-abu. Sebentar, biar aku selesaikan dulu ucapanku.

   Maksudku begini, Sergy. Misal saja aku sedang dalam kondisi kecewa, drop, down, murung, sedih, usai ditimpa bencana, guncang, dan sejenisnya, lantas aku mencari obat atas segala kegalauanku itu dengan cara menjalin relasi dengan orang lain, itu wajar. Sampai di sana tidak ada masalah apa pun. Persoalannya lahir justru ketika aku sembuh. Jika pada Paracetamol, aku akan menyimpannya kembali di kotak obat dan kuperguanakan lain waktu ketika aku mengalami kondisi yang sama. Nah, apa aku harus melakukan hal demikian juga pada manusia? Padamu misalnya? Bagaimana rasanya bila kamu diperlakukan demikian? Kamu menjadi objek Paracetamolisasi? Sungguh, aku akan mengutuk diriku jika benar-benar melakukannya. Ah, bangkit dari kekecewaan dan Paracetemolisasi itu hal yang berbeda. Bangkit dari kecewa, seperti halnya sembuh dari demam, itu harus. Tapi jika dengan cara Paracetamolisasi, itu yang aku tak sepakat.

Nah, itu yang kumaksud. Paracetamolisasi sejatinya ialah penghisapan, pemanfaatan tak berbalas, ekspoitation de l’homme par l’homme. Oh, jelas ini tidak manusiawi, menurutku. Sangat merendahkan.

Subhat? Oh, tentang abu-abu itu. Ya, memang demikian praktikanya. Paracetamolisasi kadang tampak mulia sebab si objek mengalami deviasi kesadaran. Ia menganggap dirinya mulia karena dapat membantu menyembuhkan orang lain, padahal habis manis sepah dibuang. Dan yang lebih mengerikan, si subjek pun kadang  melakukannya tanpa sadar. Keduanya sama-sama mengimani sebuah keyakinan palsu. Subjek menganggap tindakannya wajar karena mendasarkan diri pada konsep relasi ekonomis yang ia anggap sebagai hasrat natural manusia. Baginya, ia diuntungkan. Kalaupun objek mendapat keuntungan, itu tak lebih dari fatamorgana atau onani belaka. Alih-alih relasi mutual, objek dihisap habis daya manfaatnya secara sepihak. Tidak. Aku tidak bermaksud menautkan ini dengan materialisme dialektis dan historis. Kalaupun bertaut, mungkin bisa kita telusuri. Sementara ini aku tidak memaksudkannya ke sana.

Ah, Sergy, kenapa perbincangan kita jadi tidak asik begini? Maafkan aku. Aku sering kalap jika membincangkan hal ini. Aku punya pengalaman buruk dengan Paracetamolisasi.

Tolong kamu simpan kembali obat itu ke tempatnya semula.

Papandayan,
4 Des. 2016


Sabtu, 03 Desember 2016

Kopi Panas


Fred :
Sebenarnya ini pembicaraan lama. Kamu masih ingat kan? Kita pernah membicarakannya.

Mat :
Yap. Ingatanku belum seburuk yang kau kira. Kau panjang lebar membahasnya dengan menggebu-gebu seperti tukang obat yang membara mempromosikan dagangan.

Fred :
Rendah sekali kamu membandingkan. Dengan seorang calon gubernur kan bisa lebih berkelas analoginya.

Mat :
Apa bedanya kampanye calon gubernur dan orasi tukang obat? Sama saja. Sama-sama jualan. Lagi pula, apa rendahnya tukang obat? Tak ada tinggi rendah dalam profesi, Bung. Yang rendah itu jika kau sekedar cari duit dari profesimu.

Fred :
Lho. Bukannya profesi itu buat cari penghidupan?

Mat :
Tentu. Tapi ketika kepala hanya berorientasi pada uang belaka, apa bedamu dengan kera?

Fred :
Ah, sudahlah. Aku sedang tak ingin berdebat denganmu.

Mat :
Aku hanya mengingatkan. Peradaban-peradaban besar yang pernah ada di zaman kuno hancur karena materialisme yang kebablasan.

Fred :
Maksudmu?

Mat :
Semua peradaban besar di dunia ini tak pernah mengenal segregasi absolut antara materi dan imateri. Semua ilmu, arsitektur, seni, ekonomi, dan segala yang mereka lakukan bersumber dari keyakinan pada sesuatu yang gaib sama sekali. Dunia materil mereka dibangun di atas pondasi iman pada hal yang invisible.

Fred :
Okultisme?

Mat :
Lebih dari itu. Spiritualitas yang beremanasi. Bertransformasi jadi candi, jadi tarian, jadi puisi-puisi, jadi tata kehidupan. Sadarkah kau bahwa segala peradaban besar dibangun di atas pondasi imateril, gaib?

Fred :
Ah, omong kosong itu lagi. Dengan mendasarkan peradaban dari imeterialitas buktinya peradaban mereka hancur. Itu semua hanya keyakinan semu. Dunia ini hadir karena dialektika material, Kawan.

Mat :
Dangkal. Nilai pelajaran sejarahmu pasti buruk. Kau tahu berapa lama Mesir Kuno jadi primadona di zamannya? Peradaban Tiongkok Kuno? Peradaban Islam pernah lama menguasai dunia...

Fred :
Lantas hancur oleh mereka sendiri.

Mat :
Terima kasih untuk tidak memotong ucapanku!

Fred :
Ayolah, perdebatan kita tentang hal ini hanya pengulangan saja, Matris. Berulang kali kita membahas hal ini, dan sama saja. Kamu menggebu membela ideologi holistikmu. Dan aku masih teguh pada keyakinanku.

...........

Fred :
Kopi?

Mat :
Boleh. Tanpa gula.

Fred :
Tak perlu kamu ingatkan.

Mat :
You are my man.

Karang Mawar,

3 Des. 2016

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...