Perjalanan masih
berlanjut, Laksmini. Kemarin adalah kemarin dan selama nafas masih terjaga, waktu akan berdetak bagi kita, terus. Kita akan terus melakoni
pelbagai kisah pada ruang dan waktu yang lain. Jejak kita mustahil dihapus
sebab waktu tak pernah mengizinkan. Mungin kamu masih ingat kata-kata yang
gemar aku kutip dari Master Oogway, “Yesterday is history, tomorrow is mystery,
but today is a gift. That is why it’s called the present.”
Kita selalu
terpaut pada waktu, apa pun. Diam pun adalah waktu. Perhentian, jeda adalah
waktu. Kamu tahu betapa
Stanislavski membahas panjang perkara jeda dalam salah satu bukunya. Betapa
jeda menjadi penting. Ya, kamu benar. Memang ia membahasnya dalam konteks
metode aktingnya, tapi kurasa, pun demikian dalam hidup. Bukankah panggung
adalah refleksi dari realitas? Ah, memang kamu paling paham seleraku. Kamu menyanyikan lirik itu. Aku
ingat betul dan sangat sepakat dengannya. “Bukankah hidup ada perhentian//Tak
harus kencang terus berlari//Kuhela kan nafas panjang//Tuk siap berlari
kembali”. Aku suka lagu itu. Padi memang selalu memukau.
Percayalah,
Laksmini, selalu ada yang bisa kita temukan dalam jeda. Dan jeda perjalanku
semenjak kemarin adalah ladang buatku memanen banyak hal. Perjumpaanku dengan
Wastu yang pernah kuceritakan padamu adalah suatu hal luar biasa. Darinya aku
banyak belajar. Dan dari perjumpaan itu pula aku jadi teringat tentang topik
yang sempat kita bicarakan. Oh, bukan. Ini bukan tentang sejarah atau
karakteristik bangsa tertentu. Barangkali ini sama sekali tidak berkaitan
dengan diriku dan Wastu. Atau bisa jadi malah bertaut erat. Entahlah. Aku tak
tahu pasti. Hanya saja, aku menemukan ingatan lain ketika kami berjumpa. Kau
tahu, kami tidak berjumpa begitu saja. Bukan aku ngobrol dengannya berdua saja
secara tiba-tiba di sebuah kedai kopi. Ada rangkaian panjang hingga kami bisa
bertemu dan itu melibatkan orang banyak. Nah, ingatan itu justru muncul dari
orang lain selain kami berdua. Ada kisah orang lain dalam perjumpaan kami. Aku sama sekali hanya menjadi saksi dan tak ada
hubungan dengannya selain itu. Tontonan kisah itu merangsang pikiran untuk kembali
membongkar sebuah arsip tentang Amor Socraticus.
Aku yakin kamu
pasti masih ingat betul hal itu. Ya,
yang sempat kita bicarakannya
kemarin-kemarin. Sebenarnya tidak ada hal yang sangat baru, biasa saja. Yang
membuatku tertarik justru aku menyaksikan sendiri apa yang kita sebut Amor Socraticus itu.
Dan aku menyadari sesuatu di balik itu. Bukan, bukan tentang keagungan cinta
ala Plato itu. Itu sudah sangat lumrah. Aku justru tertarik pada proses
lahirnya cinta itu. Aku yakin cinta tidak hadir bim salabim. Ada proses
kelahiran. Aku sudah meyakininya sejak lama dan pernah pula menuliskannya.
Ayolah, Laksmini. Cinta jenis apa yang datang ujug-ujug? Ya, mungkin bisa saja
ada, tapi aku yakin bahwa hal itu tetap butuh alasan pada awalnya. Genealoginya
pasti bisa di telusuri.
Jatuh cinta
pada pandangan pertama? Ya, aku sering mendengarnya. Selalu ada alasan untuk
peristiwa itu. Bisa saja kamu jatuh cinta pada seorang laki-laki karena terpikat senyumnya yang menggetarkan, atau
aroma tubuhnya yang membuatmu melayang-layang. Atau karena keramahannya padamu
atau kamu tertarik pada seseorang karena karakternya yang membuat hatimu
terpaut tak tergantikan. Banyak alasan untuk membuat seseorang jatuh cinta.
Atau mungkin juga awalnya kamu iba pada
seseorang lantaran nasibnya yang mengenaskan. Lambat laun, iba itu berubah jadi
asmara. Itu sangat mungkin dan banyak sekali terjadi. Ah, aku jadi teringat pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, jatuh
cinta karena sering berjumpa. Nah, itu dia, Laksmini. Tiap orang selalu punya
alasan awal untuk jatuh cinta.
Alasan perdana
itu bisa terus menjadi pondasi atau malah sirna sama sekali. Artinya ketika
kamu melakoni cinta hingga tingkatan tertentu, alasan-alasan apa pun akhirnya
akan terlupa. Kamu yang awalnya jatuh cinta lantaran kecantikan seorang wanita
bisa melupakan kecantikan fisik itu sama sekali jika cintamu naik terus sampai
Amor Socraticus. Naik? Ah, apa aku keliru menggukan kata itu? Jika naik, pasti
ada yang rendah dan tinggi. Baiklah, barangkali kamu punya kata yang lebih
cocok untuk itu?
Ya, Laksmini.
Cinta yang berubah. Kalau kita meminjam kategorisasi cinta ala Yunani Klasik,
barangkali Eros yang berubah jadi Philia, atau Philia yang berubah jadi Agape, Eros menjadi Agape, dan seterusnya.
Mungkin saja. Semua perubahan itu mungkin menurutku. Lihat saja dewasa ini,
seorang ayah yang semustinya punya cinta
jenis Stroge malah memperkosa anak perempuannya. Perkosaan ini jelas wujud
liar dari Eros. Ada transformasi cinta. Rasa yang bermetamorfosis.
Kamu ingat film
Kuch Kuch Hota Hai yang legendaris itu? Kisah persahabatan yang harus rusak
karena asmara. Menurutku itu mungkin bisa memperkaya contoh-contoh kasus
metamorfosis cinta. Dan kamu pasti tahu lebih banyak tentang kasus serupa itu.
Wujudnya luarnya bisa saja sama. Sikap lahirnya sangat bisa untuk disamarkan atau dimanipulasi. Yang menjadi
telisik menarik adalah sikap batinnya. Metamorfosis cinta bisa mewujud dalam sikap lahir maupun
batin. Cinta Eros-mu bisa
bermetamorfosis menjadi Philia atau bahkan Agape.
Hmmm... bisa
saja. Itu sangat mungkin. Meng-Eros-i nya secara diam-diam dan tersembunyi.
Jadi menurutmu hasrat Eros itu masih ada namun tersimpan dalam. Ia menjadi
semacam genotif dalam terminologi genetika. Eros yang mistik, yang terkabut. Eros berbulu Philia. Menarik. Oh, aku tak
mengatakan itu buruk. Manusia butuh Eros, setidaknya untuk alasan berkembang
biak. Dan pula Eros memang bisa jadi pelanggeng sebuah hubungan. Seks itu
penting, Laksmini. Hahaha....kamu meledek. Memang aku belum mengalaminya tapi
banyak kisah dan penelitian ilmiah yang berkata demikian.
Perubahan apa
pun sangatlah memungkinkan,
Laksmini. Seperti yang kamu sebut barusan pun, itu sangat mungkin. Manusia adalah
mahluk serba mungkin. Satu kepala saja bisa punya sejuta kemungkinan, apalagi
jika dua kepala saling berelaborasi.
Cinta yang dimiliki manusia pun bisa punya
rupa-rupa wajah. Orang Yunani Kuno sudah sejak lama membahas hal ini. Dan kemarin,
saat aku berjumpa dengan Wastu, sungguh aku menyaksikan itu. Metamorfosis cinta.
Amor Socraticus. Kamu tadi mengingatkan ihwal Eros genotif, Eros berbulu Philia
atau Agape itu, tapi kukira yang kulihat itu metamorfosis cinta betulan. Dari Eros
ke Philia. Tapi entahlah, aku hanya saksi dan penafsir yang hanya melihat
realitas tanpa wawancara langsung. Itu tidak penting buatku. Melihatnya saja
aku sudah takjub. Kecurigaanmu bisa jadi bahan pertimbangan.
Tidak juga, Laksmini. Dalam hal ini aku tak
sependapat denganmu. Bagiku, ada hal-hal yang lebih baik terkabut saja. Setidaknya
itu salah satu hasil percakapanku dengan Nietzsche, dan aku sepakat dengannya dalam hal
ini. Ada banyak hal di dunia yang lebih
asyik justru ketika ia bertabir, samar, penuh kabut. Manusia malah kadang lebih
bergairah dengan hal demikian. Kalaupun tersingkap, biarlah waktu yang
mengerjakannya tanpa musti ada rekayasa. Kalau kamu punya pendapat lain yang
tak sejalan, itu kedaulatanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar