Senin, 12 Desember 2016

Metamorfosis


Perjalanan masih berlanjut, Laksmini. Kemarin adalah kemarin dan selama nafas masih terjaga, waktu akan berdetak bagi kita, terus. Kita akan terus melakoni pelbagai kisah pada ruang dan waktu yang lain. Jejak kita mustahil dihapus sebab waktu tak pernah mengizinkan. Mungin kamu masih ingat kata-kata yang gemar aku kutip dari Master Oogway, “Yesterday is history, tomorrow is mystery, but today is a gift. That is why it’s called the present.”

Kita selalu terpaut pada waktu, apa pun. Diam pun adalah waktu. Perhentian, jeda adalah waktu. Kamu tahu betapa Stanislavski membahas panjang perkara jeda dalam salah satu bukunya. Betapa jeda menjadi penting. Ya, kamu benar. Memang ia membahasnya dalam konteks metode aktingnya, tapi kurasa, pun demikian dalam hidup. Bukankah panggung adalah refleksi dari realitas? Ah, memang kamu paling paham seleraku. Kamu menyanyikan lirik itu. Aku ingat betul dan sangat sepakat dengannya. “Bukankah hidup ada perhentian//Tak harus kencang terus berlari//Kuhela kan nafas panjang//Tuk siap berlari kembali”. Aku suka lagu itu. Padi memang selalu memukau.

Percayalah, Laksmini, selalu ada yang bisa kita temukan dalam jeda. Dan jeda perjalanku semenjak kemarin adalah ladang buatku memanen banyak hal. Perjumpaanku dengan Wastu yang pernah kuceritakan padamu adalah suatu hal luar biasa. Darinya aku banyak belajar. Dan dari perjumpaan itu pula aku jadi teringat tentang topik yang sempat kita bicarakan. Oh, bukan. Ini bukan tentang sejarah atau karakteristik bangsa tertentu. Barangkali ini sama sekali tidak berkaitan dengan diriku dan Wastu. Atau bisa jadi malah bertaut erat. Entahlah. Aku tak tahu pasti. Hanya saja, aku menemukan ingatan lain ketika kami berjumpa. Kau tahu, kami tidak berjumpa begitu saja. Bukan aku ngobrol dengannya berdua saja secara tiba-tiba di sebuah kedai kopi. Ada rangkaian panjang hingga kami bisa bertemu dan itu melibatkan orang banyak. Nah, ingatan itu justru muncul dari orang lain selain kami berdua. Ada kisah orang lain dalam perjumpaan kami. Aku sama sekali hanya menjadi saksi dan tak ada hubungan dengannya selain itu. Tontonan kisah itu merangsang pikiran untuk kembali membongkar sebuah arsip tentang Amor Socraticus.

Aku yakin kamu pasti masih ingat betul hal itu. Ya, yang sempat kita bicarakannya kemarin-kemarin. Sebenarnya tidak ada hal yang sangat baru, biasa saja. Yang membuatku tertarik justru aku menyaksikan sendiri apa yang kita sebut Amor Socraticus itu. Dan aku menyadari sesuatu di balik itu. Bukan, bukan tentang keagungan cinta ala Plato itu. Itu sudah sangat lumrah. Aku justru tertarik pada proses lahirnya cinta itu. Aku yakin cinta tidak hadir bim salabim. Ada proses kelahiran. Aku sudah meyakininya sejak lama dan pernah pula menuliskannya. Ayolah, Laksmini. Cinta jenis apa yang datang ujug-ujug? Ya, mungkin bisa saja ada, tapi aku yakin bahwa hal itu tetap butuh alasan pada awalnya. Genealoginya pasti bisa di telusuri.

Jatuh cinta pada pandangan pertama? Ya, aku sering mendengarnya. Selalu ada alasan untuk peristiwa itu. Bisa saja kamu jatuh cinta pada seorang laki-laki karena terpikat senyumnya yang menggetarkan, atau aroma tubuhnya yang membuatmu melayang-layang. Atau karena keramahannya padamu atau kamu tertarik pada seseorang karena karakternya yang membuat hatimu terpaut tak tergantikan. Banyak alasan untuk membuat seseorang jatuh cinta. Atau mungkin juga awalnya kamu iba pada seseorang lantaran nasibnya yang mengenaskan. Lambat laun, iba itu berubah jadi asmara. Itu sangat mungkin dan banyak sekali terjadi. Ah, aku jadi teringat pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, jatuh cinta karena sering berjumpa. Nah, itu dia, Laksmini. Tiap orang selalu punya alasan awal untuk jatuh cinta.

Alasan perdana itu bisa terus menjadi pondasi atau malah sirna sama sekali. Artinya ketika kamu melakoni cinta hingga tingkatan tertentu, alasan-alasan apa pun akhirnya akan terlupa. Kamu yang awalnya jatuh cinta lantaran kecantikan seorang wanita bisa melupakan kecantikan fisik itu sama sekali jika cintamu naik terus sampai Amor Socraticus. Naik? Ah, apa aku keliru menggukan kata itu? Jika naik, pasti ada yang rendah dan tinggi. Baiklah, barangkali kamu punya kata yang lebih cocok untuk itu?

Ya, Laksmini. Cinta yang berubah. Kalau kita meminjam kategorisasi cinta ala Yunani Klasik, barangkali Eros yang berubah jadi Philia, atau Philia yang berubah jadi Agape, Eros menjadi Agape, dan seterusnya. Mungkin saja. Semua perubahan itu mungkin menurutku. Lihat saja dewasa ini, seorang ayah yang semustinya punya cinta jenis Stroge malah memperkosa anak perempuannya. Perkosaan ini jelas wujud liar dari Eros. Ada transformasi cinta. Rasa yang bermetamorfosis.

Kamu ingat film Kuch Kuch Hota Hai yang legendaris itu? Kisah persahabatan yang harus rusak karena asmara. Menurutku itu mungkin bisa memperkaya contoh-contoh kasus metamorfosis cinta. Dan kamu pasti tahu lebih banyak tentang kasus serupa itu. Wujudnya luarnya bisa saja sama. Sikap lahirnya sangat bisa untuk disamarkan atau dimanipulasi. Yang menjadi telisik menarik adalah sikap batinnya. Metamorfosis cinta bisa mewujud dalam sikap lahir maupun batin. Cinta Eros-mu bisa bermetamorfosis menjadi Philia atau bahkan Agape.

Hmmm... bisa saja. Itu sangat mungkin. Meng-Eros-i nya secara diam-diam dan tersembunyi. Jadi menurutmu hasrat Eros itu masih ada namun tersimpan dalam. Ia menjadi semacam genotif dalam terminologi genetika. Eros yang mistik, yang terkabut. Eros berbulu Philia. Menarik. Oh, aku tak mengatakan itu buruk. Manusia butuh Eros, setidaknya untuk alasan berkembang biak. Dan pula Eros memang bisa jadi pelanggeng sebuah hubungan. Seks itu penting, Laksmini. Hahaha....kamu meledek. Memang aku belum mengalaminya tapi banyak kisah dan penelitian ilmiah yang berkata demikian.

Perubahan apa pun sangatlah memungkinkan, Laksmini. Seperti yang kamu sebut barusan pun, itu sangat mungkin. Manusia adalah mahluk serba mungkin. Satu kepala saja bisa punya sejuta kemungkinan, apalagi jika dua kepala saling berelaborasi.

Cinta yang dimiliki manusia pun bisa punya rupa-rupa wajah. Orang Yunani Kuno sudah sejak lama membahas hal ini. Dan kemarin, saat aku berjumpa dengan Wastu, sungguh aku menyaksikan itu. Metamorfosis cinta. Amor Socraticus. Kamu tadi mengingatkan ihwal Eros genotif, Eros berbulu Philia atau Agape itu, tapi kukira yang kulihat itu metamorfosis cinta betulan. Dari Eros ke Philia. Tapi entahlah, aku hanya saksi dan penafsir yang hanya melihat realitas tanpa wawancara langsung. Itu tidak penting buatku. Melihatnya saja aku sudah takjub. Kecurigaanmu bisa jadi bahan pertimbangan.

Tidak juga, Laksmini. Dalam hal ini aku tak sependapat denganmu. Bagiku, ada hal-hal yang lebih baik terkabut saja. Setidaknya itu salah satu hasil percakapanku dengan  Nietzsche, dan aku sepakat dengannya dalam hal ini.  Ada banyak hal di dunia yang lebih asyik justru ketika ia bertabir, samar, penuh kabut. Manusia malah kadang lebih bergairah dengan hal demikian. Kalaupun tersingkap, biarlah waktu yang mengerjakannya tanpa musti ada rekayasa. Kalau kamu punya pendapat lain yang tak sejalan, itu kedaulatanmu.

11 – 12 Des. 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...