Sabtu, 17 Desember 2016

Catatan Simpé Karinding Di Kawali


Rasa konon diyakini mampu melintasi ruang dan waktu. Setidaknya itu yang banyak diimani sebagian orang. Tak ada satu dinding pun yang cukup kuat membendung. Tapi bukan berarti kedua hal itu bisa diabaikan sama sekali. Ruang dan waktu meski tak mampu membendung rasa tapi cukup kuat untuk mempengaruhi. Pun demikian yang barangkali terjadi pada pertunjukan Simpé Karinding Di Kawali (SKDK). Sebuah lakon yang mengisahkan perjalanan batin Wastu bergelut dengan dirinya sendiri. Wastu meratapi nasib kesendiriannya ditinggal mati kakak perempuan, ayah, dan ibunya. Ada rindu, sedih, dan dorongan untuk merelakan. Citraresmi hadir sebagai personifikasi semua kegelisahan itu yang justru makin menebalkan keyakinan Wastu untuk berdamai dengan masa lalu. Bunisora sang paman menjadi sosok tua yang tak bosan mengingatkan. 

Lakon ini pertama kali digelar pada Nyiar Lumar 2016. Hutan Astana Gede sebagai ruang pertunjukan memberi energi tersendiri pada lakon ini. Dalam bentuk cerpennya, memang kisah ini terjadi di Astana Gede Kawali. Transformasi teks menjadi visual pertunjukan tak mendapat kendala berarti karena sebelum naskah ditulis, hutan mungil itulah panggung berlangsungnya pertunjukan dalam kepala penulis naskah yang adalah pula sutradara pertunjukan ini. Lakon ini agaknya memang disiapkan untuk dipentaskan di hutan keramat itu dengan obor-obor sebagai sumber cahaya pertunjukan. Instrumen musik yang hadir pun sebisa mungkin senada dengan ruang peristiwa teater yang terjadi. Suling empet (toléat), batu-batu, karinding, didgeridoo, dan kendi-kendi adalah daftar instrumen musik yang hadir pada pentas perdana SKDK, selain suara manusia tentunya. Seleksi instrumen musik memang lebih ketat pada pentas perdana itu. Namun karena proses penggarapan musik yang pendek, agaknya wilayah ini masih belum cukup memuaskan sutradara, penonton maupun aktor. Boleh jadi, penata dan para pemain musiknya pun merasakan hal yang sama.

Berbeda dengan pentas keduanya di Bale Reka Paminton Bhumi Niskala, musik memperkokoh dirinya dengan persiapan yang meski terbilang pendek namun cukup weweg. Selain pergantian posisi penata, filterisasi instrumen musik pun nyaris tak terjadi. Sutradara lebih melonggarkan penata musik untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Pada kali keduanya, musik SKDK diperkokoh oleh bonang, kecapi, suling, dan biola. Entah karena alasan apa, posisi suling empet (toléat) digeser oleh suling bambu dengan dua wajah, pentatonis dan diatonis. Kehadiran vokalis perempuan memberi warna lain yang cukup mampu mengangkat suasana pertunjukan pada bagian-bagian akhir. Sayangnya, porsi musik pada adegan tiga terasa terlalu ramai, dominan dan berlebih. Adegan itu memang fase komplikasi dan klimaks, jika meminjam struktur dramatik Aristotelian, namun peracikan musik agaknya terlalu kental dan tebal hingga suasana sakral ketika Wastu melumuri Citraresmi dengan tanah liat terasa agak hingar bingar. Meski demikian, musik pada SKDK II ini cukup berhasil memberi dan menajamkan rasa.

Peran dan porsi musik, selain artistik tentunya, menjadi lebih kaya karena ada upaya pembentukan impresi yang lebih yang tak ditemukan pada SKDK I yang meruang di hutan Astana Gede. Instalasi Leuweung Bodas (Hutan Putih) sentuhan penata artistik punya porsi cukup dominan di SKDK II dibanding pada pentas perdananya. Itu bisa dilihat dari jumlah ranting-ranting bambu yang meruang di panggung pertunjukan. Ini bisa dipahami sebagai siasat pembentukan atmosfer hutan kramat. Pada SKDK I, Leuwung Bodas lebih hadir sebagai aksen pada hutan mungil Astana Gede yang diharap mampu memberi kesan tersediri sebagai dunia ambang batas. Ruang perjumpaan realitas material dan realitas imateril. Ruang surrealis. Kesan ini makin kuat dengan nyala obor-obor, meski dalam SKDK I jumlah obor dirasa terlalu banyak hingga pendaran cahaya terlalu berhamburan. Terlalu benderang. Pada SKDK II, obor-obor yang lebih terukur dan kehadiran cahaya-cahaya pelita agaknya lebih berhasil menyihir Leuweung Bodas menjadi serupa hutan suci. Niat membangun atmosfer hutan kramat tampaknya cukup berhasil. Kehadiran lampu spotlight yang, meski sederhana, mampu berelaborasi dengan panggung dan aktor-aktor kecuali persoalan intensitas cahaya dan ketajaman warna yang memang jadi kendala tersendiri. Penempatan sumber cahaya pun jadi nilai merah sebab cukup mengganggu komposisi artistik panggung.

Meski tidak signifikan dan terasa mengganggu, akustik gedung yang kurang baik menyebabkan bunyi-bunyian terdengar kurang ideal. Satu sisi ini jadi kemudahan tersendiri buat para aktor. Ruang pertunjukan bebentuk pendopo dengan dinding pinggir setinggi lebih kurang 1,5 meter  ini membantu vokal aktor tetap terkonsetrasi di ruang pertunjukan. Sayangnya langit-langit yang terlampau rendah membuat bunyi-bunyi terpantul menggaung. Kontrol volume diperlukan untuk menjaga bunyi-bunyian tetap bisa dinikmati dengan lezat.

Baik di SKDK I maupun II, sosok Bunisora tak kunjung mendapatkan ruh yang utuh. Ia seakan mengambang. Kata-kata yang terlontar darinya hanya kata semata tanpa kedalaman. Suara tatahan batu pun belum terasa bulat sebagai gambaran penulisan prasasasti Kawali I, jika itu yang dimaksudkan. Padahal, dengan titelnya sebagai resi tingkat satmata, Bunisora diharap punya pembawaan yang lebih berwibawa dan dalam. Atau berperangai nyentrik sama sekali karena pengetahuan lahir batinnya yang telah sampai pada maqom tertentu, semacam Semar yang justu tak menunjukan kedalaman ilmunya. Atau macam Abu Nawas, sufi  jenaka yang gemar bermain teka-teki. Stilisasi vokal yang dilakukan Bunisora menolong pembagunan karakter berpadan dengan riasan tua yang ditorehkan penata rias. Kostum coklat putih cukup nyaman ditatap, membantu kesan kalem yang dicoba dibangun.

Posisi Bunisora agaknya cukup vital dalam lakon ini. Ia hadir sebagai penengah sekaligus imam bagi tempo dan irama pertunjukan secara utuh. Perannya sebagai konduktor pertunjukan agaknya cukup dipahami sang aktor, namun justru inilah yang membuatnya sedikit kehilangan naturalitas akting. Proses latihan yang pendek barangkali membuat pemahaman fungsi peran dalam kosmik pertunjukan menjadi tertahan hanya pada tataran teknis.

Nampaknya Citraresmi hadir sebagai antitesis Wastu. Kehadirannya seolah sebagai penentram segala kegelisahan serta penjawab pertanyaan-pertanyaan Wastu. Sebenarnya ia tak hanya Citraresmi, namun sekaligus mewakili tiga tokoh. Sebagai Citraresmi, Prabu Linggabuana, dan Prameswari Laralingsing. Sebagai kakak perempuan, ayah, dan ibu. Ini kiranya titik tantangan bagi sang aktris. Perubahan ketiga tokoh dalam satu tubuh ini tak sampai seperti kita saksikan dalam pertunjukan monolog. Sutradara boleh jadi menginginkan perubahan yang terasa subtil, halus, hingga penonton tak menyadarinya namun mampu merasakan. Perubahan dramatis agaknya tak diinginkan. Perubahan sikap batin adalah titik tekan yang barangkali diinginkan sutradara. Ini bisa dilihat dari sang aktris yang hanya bermain di wilayah intonasi dan gaya tutur sebagai media perwujudan gagasan tritunggal ini, itu pun dengan kehatian-hatian yang ketat.

Dialek (lentong) adalah persoalan utama sang aktris yang  paling kentara baik di SKDK I maupun II selain bahan kostum yang agaknya terlalu mengkilap, khususnya kain merah yang mungkin bisa dipahami sebagai simbol darah. Persoalan gaya tutur dan dialek ini cukup bisa dirasakan utamanya ketika berjumpa dengan kata-kata dengan fonem-fonem tertentu. Ini barangkali kesulitan tersendiri tatkala berhadapan dengan bahasa daerah mana pun. Bahasa daerah apa pun agaknya punya rasa yang unik, khas, dan  endemik. Rasa ini terejawantah lewat dialek dan gaya tutur yang biasa digunakan oleh penutur asli bahasa tersebut. Maksud penutur asli ialah penutur, pengguna bahasa yang menjadikan bahasa tersebut sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, sebagai lingua franca meski ia bukan warga asli daerah tersebut. Cita rasa bahasa Jawa Banyumasan sulit dicapai jika tidak benar-benar akrab dengannya. Pun demikian  dengan bahasa Bugis, Batak, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan pula Sunda.

Ini bisa dipahami karena sang aktris mungkin bukan pengguna bahasa Sunda sebagai lingua francanya. Di luar persoalan itu, penampilannya terasa lebih cemerlang pada SKDK I. Dengan gaya tutur khas serta karakter vokal unik, sang aktris cukup mampu membawa penonton larut dalam suasana lakon yang dicipta. Dialog-dialog yang terlontar terasa lebih lepas, bulat, utuh, meruang, dan total. Kata-kata cukup menubuh meski dengan dialek yang terdengar agak asing. Pada SKDK I, penekanan tritunggal tokoh belum begitu terasa. Ini barangkali yang membuat si aktris terlihat lebih utuh dengan penampilannya. Lain dengan SKDK II yang mana gagasan ini justru cukup bisa diraba penonton. Perubahan dari Citraresmi ke Linggabuana dan kemudian Laralingsing nampak pada monolog sang aktris pada adegan awal kemunculannya. Sayangnya, justru hal inilah yang membuatnya kehilangan keutuhan akting. Perubahan-perubahan yang tampak masih melayang di permukaan, belum cukup menubuh dan merasuk ruh.

      Wastu hadir cukup berbeda antara SKDK I dan II. Pada SKDK I, salah satu persoalan utama aktor Wastu ialah kualitas vokal yang buruk selain kerepotannya dengan kostum yang ia kenakan. Sang aktor tampak kehaisan suara hingga penampilannya pada SKDK I kurang memuaskan. Hal ini mungkin akibat dari teknik olah vokal yang keliru. Nampak ada upaya stilisasi vokal yang dilakukan. Ini barangkali upaya penyiasatan ruang. Bagaimana volume vokal bisa menjangkau seluruh areal penonton di ruang terbuka.  Ini mengandung resiko jika teknik olah vokal yang dipilihnya kurang tepat, dan inilah yang terjadi. Ketika SKDK I digelar, sang aktor justru berada dalam kondisi peuyeuh (kehabisan suara). Salah satu catatan merah bagi pemeran Wastu ialah kualitas vokal. Ia gagal mengawinkan teknik vokal dan efek dramatis yang ingin dicapai.

Persoalan vokal tak terlalu nampak pada SKDK II. Ini barangkali wajar saja karena ruang pertunjukan pun tidak menuntut volume vokal maksimal untuk bisa menjangkau seluruh areal penonton. Kekurangan sang aktor pada SKDK II justru terletak pada gestur. Sang aktor terasa kurang menikmati gesturnya sendiri. Kesan artifisial dan teknikal masih bisa dirasakan meski dengan kadar yang tak terlalu pekat. Tatanan rambut yang sedemikian pun jadi catatan tersendiri. Alih-alih mengesankan berantakan akibat tapa, tatanan rambutnya dirasa-rasa malah mengganggu pandang.

Pertunjukan SKDK baik I mau pun II adalah pertunjukan kata-kata. Senjata utama pertunjukan ini adalah kata-kata puitik yang mengisahkan isi batin para tokoh selain suasana yang ditawarkan. Tubuh aktor tidak memiliki ruang eksplorasi yang cukup besar. Gerak-gerak yang disajikan lebih merupakan gestur-gestur lembut. Penanjakan alur diwakili lewat leveling aktor yang meninggi serta sedikit perpindahan bloking. Puncak pada adegan mandi lumpur agaknya cukup memukau meski sebenarnya gerak Wastu dan Citraresmi masih mungkin untuk dieksplorasi. Minimnya gerak tubuh memang punya dasar filosofis tersendiri. Hampir semua gerak aktor, bloking serta pembagian ruang nyaris punya beban filosofis yang barangkali tak semua bisa ditangkap penonton. Maka tak heran jika ada penonton yang menilai pergelaran ini sebagai teater puisi. Padat. Puitik. Ini bisa jadi bantuan motivasi atau malah menjadi beban tersendiri bagi pemain. Bermain dengan memanggul makna-makna filosofis pada tiap ruang dan gerak bukanlah perkara mudah. Dalam hal ini estetika nyaris sebagai kendaraan filsafat yang kadang mengesampingkan dirinya sendiri. Dalam posisi seperti ini, ketika terjadi pertikaian antara filsafat dan estetika murni, yang pertama selalu muncul sebagai pemenang. Kondisi ini wajar karena estetika mungkin  belum cukup untuk mewadahi seni. Ada hal lain di samping estetika yang terselip dalam sebuah karya seni. Namun jika takaran ini selalu mengunggulkan filsafat, estetika akhirnya hanya jadi kertas pembungkus yang mungkin akan kehilangan otonominya suatu ketika. 

Erosi makna merupakan resiko pertunjukan yang padat macam SKDK. Luputnya pesan filosofis yang hendak disampaikan sutradara adalah kemungkinan yang potensial sebab padat dan singkatnya durasi pertunjukan. Penonton mustilah sangat  khusuk dan harus punya cukup wawasan ihwal kisah ini sebelumnya. Jalan beresiko ini punya dua kemungkinan paradoks. Sangat memukau atau hancur sekalian.
    
Lepas dari semua analisis serampangan di atas, Simpé Karinding Di Kawali lewat dua pentasnya di ruang berbeda, punya kesan tersendiri bagi para penontonnya. Pada dua kesempatan, pertunjukan singkat ini mampu mempertahankan keutuhannya. Banyak penonton yang turut larut dalam sajian atmosfer yang tersaji.

Nyawiji adalah kunci perkawinan kepala dan dada.

Ciamis – Tanggerang 

Des. 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...