Senin, 05 Desember 2016

Paracetamolisasi


Sergy! Sergy! Tolong ambilkan obatku. Ya, yang biasa. Yang ada kotak obat. Terima kasih. Entahlah, Sergy, barangkali aku memang kecanduan. Tiap kali aku merasa pusing atau suhu tubuhku naik, aku merasa yakin dengan obat ini. Aku yakin jika aku meminum obat ini maka aku akan sembuh. Segala pusing, segala demam akan sirna dengan sendirinya. Ya, secukupnya saja. Jika minum sekali saja aku sudah merasa baikan, buat apa aku minum berlebih.  Kalau sekali tidak mempan, ya aku tambah lagi dosisnya. Paracetamol bukan obat keras. Ini obat umum yang bisa dengan mudah kamu dapat di apotek. Kalau kamu rajin membaca, informasi tentang hal ini sudah sangat umum. Minum 500 gram Paracetamol tiap empat sampai enam jam. Begitu yang biasa tertera di artikel-artikel kesehatan.

Nah, itu dia, Analgesik. Ini jenis Analgesik, obat penahan rasa nyeri. Sebetulnya bukan menahan rasa nyeri, aku kurang setuju dengan istilah itu. Analgesik ini semacam morfin barangkali, yang mempengaruhi otakmu agak tak terlalu fokus pada rasa sakit itu. Ia mengelabui kesadaranmu. Dalam konteks komunikasi publik, ini mungkin semacam pengalihan isu. Ya, seperti yang tampak di media dewasa ini. Kamu lihat saja televisi atau media apa pun, tak pernah ada kasus yang diberitakan secara tuntas. Semua peristiwa pasti menggantung. Wajar saja, kupikir. Kejaran mereka kan keuntungan. Kalau sesuatu tertalu sering diulang-ulang, bosanlah yang ada. Kalau pemirsa sudah bosan, kaburlah mereka ke saluaran lain. Dampaknya rating akan anjlok, penjualan akan loyo, permintaan lesu. Dan  seperti yang kamu tahu, lesunya permintaan adalah kematian perusahaan. Tak usah naif, Sergy. Kamu lebih tahu bagaimana money oriented-nya mereka. Inilah kapitalisme, siapa tak sanggup menjual, mampuslah mereka. Sebenarnya kapitalisme sehat-sehat saja, kupikir, cukup natural. Yang bahaya adalah korporatisme, ketika suatu perusahaan memonopoli segala ihwal ekonomi. Ini perampokan namanya. Bung Karno menyebutnya Nekolim, neo kolonialisme dan imperialisme. Tepat sekali, sumbernya kesarakahan. Hei, lama tak jumpa, kecerdasanmu meningkat rupanya,

Hahaha... ya, tentu. Aku tahu kabar itu. Kamu melanglang ke banyak tempat dan peristiwa, dan kamu pasti punya banyak hal baru yang belum aku ketahui. Semingu lalu saat kali pertama jumpa, aku pikir kamu masih seperti dulu. Ternyata seminggu berbincang denganmu membuatku insaf, kamu adalah Sergy yang baru. Aku harus mulai berkenalan lagi denganmu. Hahaha.... aku serius. Kamu nyaris baru kecuali tanda di wajahmu itu. Aku? Ah, aku tak tahu pasti. Aku memang merasa berubah, tiap manusia seperti itu. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Tiap kali kita menyentuh air di sungai, biarpun di tempat yang sama, sungguh, tiap kali itu kita menyentuh air yang baru.

Tidak usah. Teh pait saja. Kata orang, kopi itu kotra dengan obat kimia. Percuma aku minum obat jika lantas minum kopi. Sama seperti kamu menggores kembali luka usai menutupinya dengan perban. Manusia kadang suka seperti itu, mengulang hal yang sama meski sebenarnya ia tahu itu menyakitkan. Aku tahu kekecewaan adalah resiko dari harapan, tapi toh aku tak pernah berhenti berharap. Apa jadinya kita hidup tanpa harapan? Oh, bukan begitu maksudku. Hematku, harapan bukanlah suatu yang musti dikejar. Ia ada untuk diciptakan. Harapan itu gaib, dan tugas manusia bukanlah mengejar tapi menciptakannya jadi nyata, jadi realitas yang benar-benar bisa dicercapi. Hidup dalam harapan lebih aman ketimbang hidup mengejar harapan. Kamu tahu kan beda keduanya?

Ah, lagi-lagi kamu merendah. Sejak kali bertemu, entah berapa kali kamu mengulang kalimat itu. Kekecewaan itu harus ada, Sergy. Ini dielektika hidup. Darinya kita memetik kebahagiaan. Kebahagiaan bukan saja tatkala harapan jadi nyata. Bangkit dari kecewa pun adalah proses mewujudkan harapan. Bisa kamu bayangkan manusia tanpa kekecewaan, kapan ia akan belajar? Jelas. Itu buruk. Kecewa berlarut seperti kamu tenggelam dan terseret ombak. Mengambang di lautan tak pasti lantas mati perlahan-lahan. Demam? Hmm... mungkin juga. Kekecewaan bisa juga seperti kondisi tubuh yang demam. Ada ketidaknyamanan, kegelisahan, atau mungkin juga ketakutan.

Tentu. Tiap orang normal melakukan itu, minum obat ketika sakit. Jika kamu demam, minumlah obat penurun panas. Paracetamol bisa direkomendasikan untuk itu. Hahaha...aku bukan promosi, hanya memberi sampel empiris saja.

Hmm... entahlah. Aku belum bisa memberi jawaban pasti. Tapi logikamu masuk akal. Jika kecewa adalah demam, dan demam bisa sembuh oleh Paracetamol, maka kecewa bisa sembuh oleh...? Kupikir terlalu naif dan simplisif sekali jika Paracetamol adalah analogi untuk manusia. Menurutku, obat kekecewaan itu tak musti manusia. Ah, kamu benar juga. Obat demam pun tak harus Paracetamol.

Pendapatku? Jika manusia menjadi obat bagi manusia lain? Itu bagus, mulia sekali, dan begitu seharusnya, kukira. Ah, bukan kurasa. Altruisme lebih luas dari itu. Terlalu dangkal dan sempit bila altruisme didefinisikan seperti itu.

Tapi ada hal lain yang mungkin aku lupa, dan mungkin olehmu juga. Paracetamolisasi, menjadikan manusia sebagai obat bagi manusia lain, di kutub yang sangat ekstrem bisa pula menjadi semacam exploitation de l’homme par l’homme, penghisapan manusia oleh manusia lain, eskploitasi. Pemanfaatan insedental belaka dan jelas akan sangat pragmatik. Ingat, obat hanya kita makan tatkala kita sakit. Jika kamu meminumnya dalam kondisi sehat, obat malah akan menjadi racun buat tubuh. Artinya obat harus hadir pada momen tertentu saja, temporer saja. Tujuan keberadaan obat memang untuk itu. Ia pasif dan menjadi berarti jika kita yang mengaktifkannya. Obat berharga hanya ketika kita minum. Obat dalam kemasan, sungguh, tak berarti apa-apa. Dalam pandangan manusia, obat berarti ketika ia bisa memberi manfaat praktis bagi dirinya, jika tidak, buat apa mengkonsumsi obat. 

Jika manusia hanya hadir untuk manusia lain seperti hubungan obat dan manusia, ah, dangkal sekali peradaban kita. Relasi manusia akan sangat ekonomis sekali, meski sebenarnya memang demikian. Manusia akan membangun relasi dengan manusia lain hanya jika ia merasa diuntungkan. Persoalannya, jika keuntungan itu pragmatis semata, itu yang aku maksud dangkal. Paracetamolisasi adalah dehumanisasi yang subhat, abu-abu. Sebentar, biar aku selesaikan dulu ucapanku.

   Maksudku begini, Sergy. Misal saja aku sedang dalam kondisi kecewa, drop, down, murung, sedih, usai ditimpa bencana, guncang, dan sejenisnya, lantas aku mencari obat atas segala kegalauanku itu dengan cara menjalin relasi dengan orang lain, itu wajar. Sampai di sana tidak ada masalah apa pun. Persoalannya lahir justru ketika aku sembuh. Jika pada Paracetamol, aku akan menyimpannya kembali di kotak obat dan kuperguanakan lain waktu ketika aku mengalami kondisi yang sama. Nah, apa aku harus melakukan hal demikian juga pada manusia? Padamu misalnya? Bagaimana rasanya bila kamu diperlakukan demikian? Kamu menjadi objek Paracetamolisasi? Sungguh, aku akan mengutuk diriku jika benar-benar melakukannya. Ah, bangkit dari kekecewaan dan Paracetemolisasi itu hal yang berbeda. Bangkit dari kecewa, seperti halnya sembuh dari demam, itu harus. Tapi jika dengan cara Paracetamolisasi, itu yang aku tak sepakat.

Nah, itu yang kumaksud. Paracetamolisasi sejatinya ialah penghisapan, pemanfaatan tak berbalas, ekspoitation de l’homme par l’homme. Oh, jelas ini tidak manusiawi, menurutku. Sangat merendahkan.

Subhat? Oh, tentang abu-abu itu. Ya, memang demikian praktikanya. Paracetamolisasi kadang tampak mulia sebab si objek mengalami deviasi kesadaran. Ia menganggap dirinya mulia karena dapat membantu menyembuhkan orang lain, padahal habis manis sepah dibuang. Dan yang lebih mengerikan, si subjek pun kadang  melakukannya tanpa sadar. Keduanya sama-sama mengimani sebuah keyakinan palsu. Subjek menganggap tindakannya wajar karena mendasarkan diri pada konsep relasi ekonomis yang ia anggap sebagai hasrat natural manusia. Baginya, ia diuntungkan. Kalaupun objek mendapat keuntungan, itu tak lebih dari fatamorgana atau onani belaka. Alih-alih relasi mutual, objek dihisap habis daya manfaatnya secara sepihak. Tidak. Aku tidak bermaksud menautkan ini dengan materialisme dialektis dan historis. Kalaupun bertaut, mungkin bisa kita telusuri. Sementara ini aku tidak memaksudkannya ke sana.

Ah, Sergy, kenapa perbincangan kita jadi tidak asik begini? Maafkan aku. Aku sering kalap jika membincangkan hal ini. Aku punya pengalaman buruk dengan Paracetamolisasi.

Tolong kamu simpan kembali obat itu ke tempatnya semula.

Papandayan,
4 Des. 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...