Sergy! Sergy!
Tolong ambilkan obatku. Ya, yang biasa. Yang ada kotak obat. Terima kasih.
Entahlah, Sergy, barangkali aku memang kecanduan. Tiap kali aku merasa pusing
atau suhu tubuhku naik, aku merasa yakin dengan obat ini. Aku yakin jika aku
meminum obat ini maka aku akan sembuh. Segala pusing, segala demam akan sirna
dengan sendirinya. Ya, secukupnya saja. Jika minum sekali saja aku sudah merasa
baikan, buat apa aku minum berlebih.
Kalau sekali tidak mempan, ya aku tambah lagi dosisnya. Paracetamol
bukan obat keras. Ini obat umum yang bisa dengan mudah kamu dapat di apotek.
Kalau kamu rajin membaca, informasi tentang hal ini sudah sangat umum. Minum
500 gram Paracetamol tiap empat sampai enam jam. Begitu yang biasa tertera di
artikel-artikel kesehatan.
Nah, itu dia,
Analgesik. Ini jenis Analgesik, obat penahan rasa nyeri. Sebetulnya bukan
menahan rasa nyeri, aku kurang setuju dengan istilah itu. Analgesik ini semacam
morfin barangkali, yang mempengaruhi otakmu agak tak terlalu fokus pada rasa
sakit itu. Ia mengelabui kesadaranmu. Dalam konteks komunikasi publik, ini
mungkin semacam pengalihan isu. Ya, seperti yang tampak di media dewasa ini.
Kamu lihat saja televisi atau media apa pun, tak pernah ada kasus yang
diberitakan secara tuntas. Semua peristiwa pasti menggantung. Wajar saja,
kupikir. Kejaran mereka kan keuntungan. Kalau sesuatu tertalu sering
diulang-ulang, bosanlah yang ada. Kalau pemirsa sudah bosan, kaburlah mereka ke
saluaran lain. Dampaknya rating akan anjlok, penjualan akan loyo, permintaan
lesu. Dan seperti yang kamu tahu,
lesunya permintaan adalah kematian perusahaan. Tak usah naif, Sergy. Kamu lebih
tahu bagaimana money oriented-nya mereka. Inilah kapitalisme, siapa tak sanggup
menjual, mampuslah mereka. Sebenarnya kapitalisme sehat-sehat saja, kupikir,
cukup natural. Yang bahaya adalah korporatisme, ketika suatu perusahaan
memonopoli segala ihwal ekonomi. Ini perampokan namanya. Bung Karno menyebutnya
Nekolim, neo kolonialisme dan imperialisme. Tepat sekali, sumbernya
kesarakahan. Hei, lama tak jumpa, kecerdasanmu meningkat rupanya,
Hahaha... ya,
tentu. Aku tahu kabar itu. Kamu melanglang ke banyak tempat dan peristiwa, dan
kamu pasti punya banyak hal baru yang belum aku ketahui. Semingu lalu saat kali
pertama jumpa, aku pikir kamu masih seperti dulu. Ternyata seminggu berbincang
denganmu membuatku insaf, kamu adalah Sergy yang baru. Aku harus mulai
berkenalan lagi denganmu. Hahaha.... aku serius. Kamu nyaris baru kecuali tanda
di wajahmu itu. Aku? Ah, aku tak tahu pasti. Aku memang merasa berubah, tiap
manusia seperti itu. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Tiap
kali kita menyentuh air di sungai, biarpun di tempat yang sama, sungguh, tiap
kali itu kita menyentuh air yang baru.
Tidak usah. Teh
pait saja. Kata orang, kopi itu kotra dengan obat kimia. Percuma aku minum obat
jika lantas minum kopi. Sama seperti kamu menggores kembali luka usai
menutupinya dengan perban. Manusia kadang suka seperti itu, mengulang hal yang
sama meski sebenarnya ia tahu itu menyakitkan. Aku tahu kekecewaan adalah
resiko dari harapan, tapi toh aku tak pernah berhenti berharap. Apa jadinya
kita hidup tanpa harapan? Oh, bukan begitu maksudku. Hematku, harapan bukanlah
suatu yang musti dikejar. Ia ada untuk diciptakan. Harapan itu gaib, dan tugas
manusia bukanlah mengejar tapi menciptakannya jadi nyata, jadi realitas yang
benar-benar bisa dicercapi. Hidup dalam harapan lebih aman ketimbang hidup
mengejar harapan. Kamu tahu kan beda keduanya?
Ah, lagi-lagi
kamu merendah. Sejak kali bertemu, entah berapa kali kamu mengulang kalimat
itu. Kekecewaan itu harus ada, Sergy. Ini dielektika hidup. Darinya kita
memetik kebahagiaan. Kebahagiaan bukan saja tatkala harapan jadi nyata. Bangkit
dari kecewa pun adalah proses mewujudkan harapan. Bisa kamu bayangkan manusia
tanpa kekecewaan, kapan ia akan belajar? Jelas. Itu buruk. Kecewa berlarut
seperti kamu tenggelam dan terseret ombak. Mengambang di lautan tak pasti
lantas mati perlahan-lahan. Demam? Hmm... mungkin juga. Kekecewaan bisa juga
seperti kondisi tubuh yang demam. Ada ketidaknyamanan, kegelisahan, atau
mungkin juga ketakutan.
Tentu. Tiap
orang normal melakukan itu, minum obat ketika sakit. Jika kamu demam, minumlah
obat penurun panas. Paracetamol bisa direkomendasikan untuk itu. Hahaha...aku
bukan promosi, hanya memberi sampel empiris saja.
Hmm...
entahlah. Aku belum bisa memberi jawaban pasti. Tapi logikamu masuk akal. Jika
kecewa adalah demam, dan demam bisa sembuh oleh Paracetamol, maka kecewa bisa
sembuh oleh...? Kupikir terlalu naif dan simplisif sekali jika Paracetamol
adalah analogi untuk manusia. Menurutku, obat kekecewaan itu tak musti manusia.
Ah, kamu benar juga. Obat demam pun tak harus Paracetamol.
Pendapatku?
Jika manusia menjadi obat bagi manusia lain? Itu bagus, mulia sekali, dan
begitu seharusnya, kukira. Ah, bukan kurasa. Altruisme lebih luas dari itu.
Terlalu dangkal dan sempit bila altruisme didefinisikan seperti itu.
Tapi ada hal
lain yang mungkin aku lupa, dan mungkin olehmu juga. Paracetamolisasi,
menjadikan manusia sebagai obat bagi manusia lain, di kutub yang sangat ekstrem
bisa pula menjadi semacam exploitation de l’homme par l’homme, penghisapan
manusia oleh manusia lain, eskploitasi. Pemanfaatan insedental belaka dan jelas
akan sangat pragmatik. Ingat, obat hanya kita makan tatkala kita sakit. Jika
kamu meminumnya dalam kondisi sehat, obat malah akan menjadi racun buat tubuh.
Artinya obat harus hadir pada momen tertentu saja, temporer saja. Tujuan
keberadaan obat memang untuk itu. Ia pasif dan menjadi berarti jika kita yang
mengaktifkannya. Obat berharga hanya ketika kita minum. Obat dalam kemasan,
sungguh, tak berarti apa-apa. Dalam pandangan manusia, obat berarti ketika ia
bisa memberi manfaat praktis bagi dirinya, jika tidak, buat apa mengkonsumsi
obat.
Jika manusia
hanya hadir untuk manusia lain seperti hubungan obat dan manusia, ah, dangkal
sekali peradaban kita. Relasi manusia akan sangat ekonomis sekali, meski
sebenarnya memang demikian. Manusia akan membangun relasi dengan manusia lain
hanya jika ia merasa diuntungkan. Persoalannya, jika keuntungan itu pragmatis
semata, itu yang aku maksud dangkal. Paracetamolisasi adalah dehumanisasi yang
subhat, abu-abu. Sebentar, biar aku selesaikan dulu ucapanku.
Maksudku begini, Sergy. Misal saja aku
sedang dalam kondisi kecewa, drop, down, murung, sedih, usai ditimpa bencana,
guncang, dan sejenisnya, lantas aku mencari obat atas segala kegalauanku itu
dengan cara menjalin relasi dengan orang lain, itu wajar. Sampai di sana tidak
ada masalah apa pun. Persoalannya lahir justru ketika aku sembuh. Jika pada
Paracetamol, aku akan menyimpannya kembali di kotak obat dan kuperguanakan lain
waktu ketika aku mengalami kondisi yang sama. Nah, apa aku harus melakukan hal
demikian juga pada manusia? Padamu misalnya? Bagaimana rasanya bila kamu
diperlakukan demikian? Kamu menjadi objek Paracetamolisasi? Sungguh, aku akan
mengutuk diriku jika benar-benar melakukannya. Ah, bangkit dari kekecewaan dan
Paracetemolisasi itu hal yang berbeda. Bangkit dari kecewa, seperti halnya
sembuh dari demam, itu harus. Tapi jika dengan cara Paracetamolisasi, itu yang
aku tak sepakat.
Nah, itu yang
kumaksud. Paracetamolisasi sejatinya ialah penghisapan, pemanfaatan tak
berbalas, ekspoitation de l’homme par l’homme. Oh, jelas ini tidak manusiawi,
menurutku. Sangat merendahkan.
Subhat? Oh,
tentang abu-abu itu. Ya, memang demikian praktikanya. Paracetamolisasi kadang
tampak mulia sebab si objek mengalami deviasi kesadaran. Ia menganggap dirinya
mulia karena dapat membantu menyembuhkan orang lain, padahal habis manis sepah
dibuang. Dan yang lebih mengerikan, si subjek pun kadang melakukannya tanpa sadar. Keduanya sama-sama
mengimani sebuah keyakinan palsu. Subjek menganggap tindakannya wajar karena
mendasarkan diri pada konsep relasi ekonomis yang ia anggap sebagai hasrat
natural manusia. Baginya, ia diuntungkan. Kalaupun objek mendapat keuntungan,
itu tak lebih dari fatamorgana atau onani belaka. Alih-alih relasi mutual, objek
dihisap habis daya manfaatnya secara sepihak. Tidak. Aku tidak bermaksud
menautkan ini dengan materialisme dialektis dan historis. Kalaupun bertaut,
mungkin bisa kita telusuri. Sementara ini aku tidak memaksudkannya ke sana.
Ah, Sergy,
kenapa perbincangan kita jadi tidak asik begini? Maafkan aku. Aku sering kalap
jika membincangkan hal ini. Aku punya pengalaman buruk dengan Paracetamolisasi.
Tolong kamu
simpan kembali obat itu ke tempatnya semula.
Papandayan,
4 Des. 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar