Rabu, 15 Juni 2022

380: Ciamis Milik Semua (?)



Perayaan Hari Jadi ke-380 Kabupaten Ciamis yang dihelat sejak awal Juni 2022 berlangsung meriah. Hampir tiga minggu masyarakat Ciamis dihibur oleh berbagai tampilan kesenian. Tidak tanggung, setelah libur dua tahun langsung tiga panggung: Ngarak Pataka, Galuh Etnic Carnival (GEC), dan Galuh Digital Fest (GDF).

 

Seperti tahun-tahun lalu, GEC masih milik Alun-Alun Ciamis. Sebagai even baru, GDF memilih titik aman yang terukur: Alun-Alun Ciamis juga. Ini juga menjadi simbol persaingan abadi antara Dinas Pariwisata (Dispar) versus Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Disbudpora) dalam hal mengelola kegiatan kesenian.

 

Ketika dua panggung berpusat di kota, Ngarak Pataka memilih berbeda. Bersama Hari Krida Pertanian, ia hadir di lima titik eks kewadanaan: Pamarican (eks Kewadanaan Banjarsari), Rajadesa (eks Kewadaan Rancah), Lumbung (eks Kewadanaan Kawali), Sukamantri (eks Kewadanaan Panumbangan), dan Cikoneng (eks Kewadanaan Ciamis).

 

Seperti GDF, Ngarak Pataka juga anak baru dalam hajatan hari jadi. Selama lima hari, 4-8 Juni, pataka lambang Ciamis diajak berkeliling dan menginap di berbagai penjuru kabupaten Ciamis. Meramaikan tiap titik, malam harinya kesenian digelar: tari, baca puisi, musik, dan lawak (bobodoran). Mereka yang mengisi acara sudah dikontrak untuk lima titik, termasuk saya. Saya sendiri dikontrak sebagai—meminjam istilah Kang Godi—patakawan: pembawa/penari pataka.

 

Secara simbolik, perjalanan estafet pataka ini bisa dibaca: Ciamis milik semua. Bukan cuma milik Bupati, “orang kota”, atau kelas elit saja. Oleh karenanya, hajatan ulang tahunnya pun musti dirayakan dan dirasakan bersama oleh seluruh masyarakat Ciamis. Hal ini bahkan selalu disampaikan Bupati ketika pidato membuka acara.

 

Sebagai pelaku sekaligus penyaksi saya merasakan bagaimana simbol itu terus dipertebal, misalnya dengan narasi primordialistik baik berupa tuturan verbal maupun tagline. Hal ini positif untuk membangkitkan kembali gairah masyarakat Ciamis yang sempat lesu dihantam pandemi dua tahun lamanya.

 

Sebagai bentuk kemasan baru perayaan Hari Jadi Ciamis, Ngarak Pataka terbilang sukses menghibur masyarakat dan memuat pesan simbolik “Ciamis milik semua”. Sayangnya, barangkali karena baru kali pertama digelar, simbol dengan sedemikian rupa penebalan itu belum terejawantahkan utuh menjadi laku pemerintah sendiri, khususnya di ranah kesenian.

 

Menerjemahkan “Ciamis milik semua” dalam konteks kesenian hari jadi, paling sederhana: memfasilitasi sebanyak mungkin seniman untuk mempresentasikan karyanya. Salah satu yang saya sayangkan dalam roadshow kemarin adalah minimnya keterlibatan seniman lokal. Hanya Pamarican dan Sukamantri yang secara simbolik berhasil menjadikan Hari Jadi Ciamis milik mereka juga. Di Pamarican, hadirin terlibat aktif dalam lingkaran ronggeng, tari pergaulan kecintaan mereka. Di Sukamantri, Bebegig Sukamantri kebanggaan Ciamis turut serta meramaikan sajian bubuka berupa tari rampak kendang. Di tiga titik lainnya, tidak ada yang baru kecuali ruang dan waktu.

 

Saya tidak tahu bagaimana tata kelola kegiatan tersebut dan siapa yang punya kuasa mengakomodir keterlibatan seniman lokal? Yang saya tahu, Ngarak Pataka itu kerjanya Dispar dan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BP2D).

 

Soal mengakomodir seniman, dalam beberapa kali kegiatan, Dispar dan BP2D kerap berupaya ngadumaniskeun seniman lokal dan seniman “interlokal” yang telah berlabel selebritas. Demikian pula pada kesempatan ini. Dua pelawak-selebritas muda dijodohkan dengan seorang pelawak senior Ciamis. Sepintas lalu, dengan sama-sama berpredikat pelawak, akan mudah membuatnya harmonis. Nyatanya tidak demikian. Perlu racikan khusus untuk mengawinkan dua generasi dari dua horizon yang berbeda.

 

Hal ini sebentuk niat baik yang kurang cantik. Tanpa persiapan matang, pola kolaborasi semacam ini justru berpotensi “membunuh” salah satu pihak alih-alih saling menghidupkan.

 

Parahnya, pembunuhan itu benar-benar terjadi. Pelawak senior Ciamis yang telah mendedikasikan nyaris seluruh hidupnya untuk dunia bobodoran itu dicoret dari daftar tampil di titik terakhir roadshow-nya yang notabene dekat dengan kampung halamannya sendiri. Tersiar kabar, pencoretan itu atas perintah seorang pejabat eselon II. Alasannya, efisiensi waktu karena malam itu akan ada pidato tambahan dari seorang pejabat. Itu versi yang saya dengar.

 

Meski batal tampil, pelawak senior itu tetap datang ke lokasi karena memang tidak terlalu jauh dari kediamannya. Katanya, ingin nonton saja. Dengan busana dan riasan seperti hendak manggung, ia duduk di sisi panggung, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bedanya, malam itu ia hanya dipanggil naik ke panggung di penghujung tampilan duo pelawak-selebritas, mengucap salam, menyampaikan terima kasih kepada Bupati, dan kembali turun panggung.

 

Belum reda kasus pelawak senior itu jadi buah bibir, tragedi pencoretan terjadi lagi. Kali ini band anak-anak muda Ciamis yang dicoret dari daftar tampil GDF. Padahal, sebelumnya mereka telah masuk rancangan susunan acara. Saya tidak tahu apa alasan dibalik pencoretan ini dan siapa dalang dibaliknya.

 

Saya cukup kenal mereka, anak-anak muda Ciamis yang dicoret itu. Mereka anak muda yang tulus ingin melalukan kebaikan melalui kesenian, terutama di Ciamis. Kami pernah kerjasama dalam beberapa kesempatan jadi saya punya pengalaman empirik tentang kebaikan mereka.

 

Sebagai musisi, karya-karya mereka juga mumpuni. Mereka sudah tidak lagi meng-cover lagu orang lain ketika manggung, melainkan membawakan lagu ciptaan mereka sendiri yang kualitasnya berani diadu.

 

Soal batal manggung karena kendala dan halangan tak terelakan, itu sudah biasa. Tapi, batal manggung karena dicoret dari daftar penampil, rasanya tentu berbeda sebab bukan sesuatu yang biasa.

 

Bagi (sebagian) seniman, panggung pertunjukan bukan sekedar perkara lahan usaha mencari nafkah. Panggung adalah ruang ekspresi, kreasi, apresiasi, dan eksistensi. Bagi sebagian seniman lain, panggung bahkan adalah pengabdian, jalan hidup, dan altar ibadah. Dengan segala kompleksitasnya, persoalan “main coret sendiri” semacam ini berpotensi memicu keruh dan kisruh. Apalagi melibatkan pejabat plat merah yang seharusnya justru mengayomi.

 

Tindakan “main coret sendiri” semacam ini adalah sebentuk arogansi yang harus dilawan. Ini kesewenang-wenangan! Kasus ini memanaskan banyak hal yang selama ini tiis-tiis jahé. Dua pencoretan ini bukan yang pertama melibatkan pejabat plat merah. Dan kini kembali terulang di momen yang baik, di momen “Ciamis milik semua”.

 

Akar Arogansi

 

Sikap arogan pejabat semacam “main coret sendiri” bisa jadi memang tabiat pribadinya. Namun, tabiat buruk itu tidak akan terlalu berdampak manakala ekosistem kesenian Ciamis sehat.

 

Meski punya dua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), satu BP2D, plus satu Dewan Kebudayaan, yang secara langsung berurusan dan beririsan dengan kesenian, ekosistem kesenian di Ciamis tidak bisa dibilang baik-baik saja. Dengan banyaknya lembaga plat merah dan semi plat merah ditambah segudang seniman tradisional dan moderen, denyut kesenian di Ciamis seharusnya lebih baik dari kondisi hari ini.

 

Karena ekosistem belum terbangun, pemerintah dan seniman menjalin pola relasi yang tidak berimbang: pola hubungan bos penguasa anggaran dan penentu kebijakan (pemerintah) dan bawahan (seniman). Relasi kuasa semacam ini berpotensi besar melahirkan arogansi pihak penguasa.

 

Dalam posisi demikian, seniman menjadi subordinat terhadap pemerintah. Seniman menjadi pihak yang serba ditentukan, lemah, tidak punya independensi, dan daya tawar. Hal semacam ini makin parah andai pejabat bersangkutan seorang megalomaniak atau orang dengan mental politisi berkulit belut.

 

Tabiat arogan pejabat bisa dibendung dengan menciptakan ekosistem kesenian yang sehat. Salah satu cara yang paling sederhana adalah membangun pola relasi mitra satata alih-alih atasan-bawahan. Seniman dan pemerintah adalah mitra kerja yang sejajar, yang memiliki hak, kewajiban, posisi, porsi, dan batasan yang jelas dan proporsional. Dalam bentuk kelembagaan, gagasan ini umumnya tercermin dalam pola relasi ideal Dewan Kesenian (sebegai representasi seniman) dan pemerintah. Sayangnya, Ciamis tidak memiliki Dewan Kesenian. Dewan Kebudayaan Ciamis yang konon telah resmi ber-SK pun tak ubahnya bagai hantu: antara ada dan tiada.

 

Selain dipengaruhi relasi kuasa, sikap arogan juga merupakan cerminan bagaimana seseorang memandang seniman dan kesenian. Andai ia memandang seniman dan kesenian tidak hanya prihal komoditas, bisnis, cuan, dan PAD, barangkali sikapnya bisa lebih layak, wajar, dan sepatutnya. Ia tentu tidak akan terlalu gagap menafsirkan pesan Ngarak Pataka yang sangat humanis: Ciamis milik semua.

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...