Perayaan Hari Jadi ke-380 Kabupaten Ciamis yang dihelat
sejak awal Juni 2022 berlangsung meriah. Hampir tiga minggu masyarakat Ciamis
dihibur oleh berbagai tampilan kesenian. Tidak tanggung, setelah libur dua
tahun langsung tiga panggung: Ngarak Pataka, Galuh Etnic Carnival (GEC), dan
Galuh Digital Fest (GDF).
Seperti tahun-tahun lalu, GEC masih milik Alun-Alun
Ciamis. Sebagai even baru, GDF memilih titik aman yang terukur: Alun-Alun
Ciamis juga. Ini juga menjadi simbol persaingan abadi antara Dinas Pariwisata
(Dispar) versus Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Disbudpora) dalam hal
mengelola kegiatan kesenian.
Ketika dua panggung berpusat di kota, Ngarak Pataka memilih
berbeda. Bersama Hari Krida Pertanian, ia hadir di lima titik eks kewadanaan: Pamarican
(eks Kewadanaan Banjarsari), Rajadesa (eks Kewadaan Rancah), Lumbung (eks
Kewadanaan Kawali), Sukamantri (eks Kewadanaan Panumbangan), dan Cikoneng (eks
Kewadanaan Ciamis).
Seperti GDF, Ngarak Pataka juga anak baru dalam hajatan
hari jadi. Selama lima hari, 4-8 Juni, pataka lambang Ciamis diajak berkeliling
dan menginap di berbagai penjuru kabupaten Ciamis. Meramaikan tiap titik, malam
harinya kesenian digelar: tari, baca puisi, musik, dan lawak (bobodoran). Mereka yang mengisi acara
sudah dikontrak untuk lima titik, termasuk saya. Saya sendiri dikontrak sebagai—meminjam
istilah Kang Godi—patakawan: pembawa/penari pataka.
Secara simbolik, perjalanan estafet pataka ini bisa
dibaca: Ciamis milik semua. Bukan cuma milik Bupati, “orang kota”, atau kelas
elit saja. Oleh karenanya, hajatan ulang tahunnya pun musti dirayakan dan
dirasakan bersama oleh seluruh masyarakat Ciamis. Hal ini bahkan selalu
disampaikan Bupati ketika pidato membuka acara.
Sebagai pelaku sekaligus penyaksi saya merasakan bagaimana
simbol itu terus dipertebal, misalnya dengan narasi primordialistik baik berupa
tuturan verbal maupun tagline. Hal
ini positif untuk membangkitkan kembali gairah masyarakat Ciamis yang sempat
lesu dihantam pandemi dua tahun lamanya.
Sebagai bentuk kemasan baru perayaan Hari Jadi Ciamis, Ngarak
Pataka terbilang sukses menghibur masyarakat dan memuat pesan simbolik “Ciamis
milik semua”. Sayangnya, barangkali karena baru kali pertama digelar, simbol
dengan sedemikian rupa penebalan itu belum terejawantahkan utuh menjadi laku
pemerintah sendiri, khususnya di ranah kesenian.
Menerjemahkan “Ciamis milik semua” dalam konteks kesenian
hari jadi, paling sederhana: memfasilitasi sebanyak mungkin seniman untuk
mempresentasikan karyanya. Salah satu yang saya sayangkan dalam roadshow kemarin adalah minimnya
keterlibatan seniman lokal. Hanya Pamarican dan Sukamantri yang secara simbolik
berhasil menjadikan Hari Jadi Ciamis milik mereka juga. Di Pamarican, hadirin
terlibat aktif dalam lingkaran ronggeng, tari pergaulan kecintaan mereka. Di
Sukamantri, Bebegig Sukamantri kebanggaan Ciamis turut serta meramaikan sajian bubuka berupa tari rampak kendang. Di tiga
titik lainnya, tidak ada yang baru kecuali ruang dan waktu.
Saya tidak tahu bagaimana tata kelola kegiatan tersebut
dan siapa yang punya kuasa mengakomodir keterlibatan seniman lokal? Yang saya
tahu, Ngarak Pataka itu kerjanya Dispar dan Badan Promosi Pariwisata Daerah
(BP2D).
Soal mengakomodir seniman, dalam beberapa kali kegiatan,
Dispar dan BP2D kerap berupaya ngadumaniskeun
seniman lokal dan seniman “interlokal” yang telah berlabel selebritas. Demikian
pula pada kesempatan ini. Dua pelawak-selebritas muda dijodohkan dengan seorang
pelawak senior Ciamis. Sepintas lalu, dengan sama-sama berpredikat pelawak,
akan mudah membuatnya harmonis. Nyatanya tidak demikian. Perlu racikan khusus
untuk mengawinkan dua generasi dari dua horizon yang berbeda.
Hal ini sebentuk niat baik yang kurang cantik. Tanpa persiapan
matang, pola kolaborasi semacam ini justru berpotensi “membunuh” salah satu
pihak alih-alih saling menghidupkan.
Parahnya, pembunuhan itu benar-benar terjadi. Pelawak senior
Ciamis yang telah mendedikasikan nyaris seluruh hidupnya untuk dunia bobodoran itu dicoret dari daftar tampil
di titik terakhir roadshow-nya yang
notabene dekat dengan kampung halamannya sendiri. Tersiar kabar, pencoretan itu
atas perintah seorang pejabat eselon II. Alasannya, efisiensi waktu karena malam
itu akan ada pidato tambahan dari seorang pejabat. Itu versi yang saya dengar.
Meski batal tampil, pelawak senior itu tetap datang ke lokasi
karena memang tidak terlalu jauh dari kediamannya. Katanya, ingin nonton saja. Dengan busana dan riasan
seperti hendak manggung, ia duduk di sisi panggung, sama seperti malam-malam sebelumnya.
Bedanya, malam itu ia hanya dipanggil naik ke panggung di penghujung tampilan
duo pelawak-selebritas, mengucap salam, menyampaikan terima kasih kepada Bupati,
dan kembali turun panggung.
Belum reda kasus pelawak senior itu jadi buah bibir, tragedi
pencoretan terjadi lagi. Kali ini band anak-anak muda Ciamis yang dicoret dari
daftar tampil GDF. Padahal, sebelumnya mereka telah masuk rancangan susunan
acara. Saya tidak tahu apa alasan dibalik pencoretan ini dan siapa dalang
dibaliknya.
Saya cukup kenal mereka, anak-anak muda Ciamis yang
dicoret itu. Mereka anak muda yang tulus ingin melalukan kebaikan melalui
kesenian, terutama di Ciamis. Kami pernah kerjasama dalam beberapa kesempatan
jadi saya punya pengalaman empirik tentang kebaikan mereka.
Sebagai musisi, karya-karya mereka juga mumpuni. Mereka sudah
tidak lagi meng-cover lagu orang lain
ketika manggung, melainkan membawakan lagu ciptaan mereka sendiri yang
kualitasnya berani diadu.
Soal batal manggung karena kendala dan halangan tak terelakan,
itu sudah biasa. Tapi, batal manggung karena dicoret dari daftar penampil,
rasanya tentu berbeda sebab bukan sesuatu yang biasa.
Bagi (sebagian) seniman, panggung pertunjukan bukan
sekedar perkara lahan usaha mencari nafkah. Panggung adalah ruang ekspresi,
kreasi, apresiasi, dan eksistensi. Bagi sebagian seniman lain, panggung bahkan
adalah pengabdian, jalan hidup, dan altar ibadah. Dengan segala kompleksitasnya,
persoalan “main coret sendiri” semacam ini berpotensi memicu keruh dan kisruh. Apalagi
melibatkan pejabat plat merah yang seharusnya justru mengayomi.
Tindakan “main coret sendiri” semacam ini adalah sebentuk
arogansi yang harus dilawan. Ini kesewenang-wenangan! Kasus ini memanaskan
banyak hal yang selama ini tiis-tiis jahé.
Dua pencoretan ini bukan yang pertama melibatkan pejabat plat merah. Dan kini
kembali terulang di momen yang baik, di momen “Ciamis milik semua”.
Akar Arogansi
Sikap arogan pejabat semacam “main coret sendiri” bisa
jadi memang tabiat pribadinya. Namun, tabiat buruk itu tidak akan terlalu berdampak
manakala ekosistem kesenian Ciamis sehat.
Meski punya dua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), satu
BP2D, plus satu Dewan Kebudayaan, yang secara langsung berurusan dan beririsan
dengan kesenian, ekosistem kesenian di Ciamis tidak bisa dibilang baik-baik
saja. Dengan banyaknya lembaga plat merah dan semi plat merah ditambah segudang
seniman tradisional dan moderen, denyut kesenian di Ciamis seharusnya lebih
baik dari kondisi hari ini.
Karena ekosistem belum terbangun, pemerintah dan seniman
menjalin pola relasi yang tidak berimbang: pola hubungan bos penguasa anggaran
dan penentu kebijakan (pemerintah) dan bawahan (seniman). Relasi kuasa semacam
ini berpotensi besar melahirkan arogansi pihak penguasa.
Dalam posisi demikian, seniman menjadi subordinat
terhadap pemerintah. Seniman menjadi pihak yang serba ditentukan, lemah, tidak
punya independensi, dan daya tawar. Hal semacam ini makin parah andai pejabat
bersangkutan seorang megalomaniak atau orang dengan mental politisi berkulit
belut.
Tabiat arogan pejabat bisa dibendung dengan menciptakan
ekosistem kesenian yang sehat. Salah satu cara yang paling sederhana adalah membangun
pola relasi mitra satata alih-alih
atasan-bawahan. Seniman dan pemerintah adalah mitra kerja yang sejajar, yang
memiliki hak, kewajiban, posisi, porsi, dan batasan yang jelas dan
proporsional. Dalam bentuk kelembagaan, gagasan ini umumnya tercermin dalam
pola relasi ideal Dewan Kesenian (sebegai representasi seniman) dan pemerintah.
Sayangnya, Ciamis tidak memiliki Dewan Kesenian. Dewan Kebudayaan Ciamis yang
konon telah resmi ber-SK pun tak ubahnya bagai hantu: antara ada dan tiada.
Selain dipengaruhi relasi kuasa, sikap arogan juga
merupakan cerminan bagaimana seseorang memandang seniman dan kesenian. Andai ia
memandang seniman dan kesenian tidak hanya prihal komoditas, bisnis, cuan, dan PAD, barangkali sikapnya bisa
lebih layak, wajar, dan sepatutnya. Ia tentu tidak akan terlalu gagap
menafsirkan pesan Ngarak Pataka yang sangat humanis: Ciamis milik semua.
👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏
BalasHapus