Selasa, 26 April 2022

Sepenggal Kenangan Wan “Kartosuwiryo” Orlet




Suatu ketika di tahun 2020 saya mendapat amanah menggarap pertunjukan biopik K.H. Khoer Affandy. Sebagaimana yang sudah diketahui banyak orang, ada salah satu fase hidup Uwa Ajengan yang mana beliau bersinggungan erat dengan S.M. Kartosuwiryo. Ya, tokoh Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).


Untuk peran-peran seperti Uwa Ajengan dan keluarga, saya minta khusus dimainkan oleh turunannya. Selain kemiripan fisik, yang menjadi alasan adalah the power of teureuh. “Méh teu kagok nyurupna,” canda saya agak serius kepada pihak pesantren.

 

Permintaan saya dipenuhi. Kecuali itu, satu lagi permintaan khusus saya adalah agar saya diperkenankan mendatangkan aktor khusus untuk memerankan S.M. Kartosuwiryo. Pihak pesantren tak keberatan akan hal itu.  

 

Sejak awal menyusun naskah, casting pertama yang sudah bulat dalam imajinasi saya:  Kartosuwiryo. Adakah yang lebih cocok memerankannya selain Kang Wawan Orlet?

 

Ketika keinginan saya itu saya sampaikan kepada tim kreatif, astrada (Kiki Kido Pauji) yang lebih tahu prihal kabar Kang Wawan memberitahu bahwa kesehatannya beliau kurang baik. Ia sudah tidak prima seperti dulu. Berjalan tak seberapa jauh sudah cukup membuatnya ngos-ngosan seraya tubuhnya banjir keringat. Ia mudah lelah. Nafasnya pendek-pendek pula.

 


Wah, pupus harapan saya mendapat kehormatan menyutradarai Kang Wan Orlet yang legendaris itu. Dia sering cerita, suatu saat ia pernah memerankan Kartosuwiryo dan bermain di hadapan para veteran. Konon, saking menjadi-nya, ia pernah dilempar sendal oleh penonton yang memang menyimpan dendam kesumat kepada tokoh sahabat Soekarno ini. Kisah itu lebih dari sekali ia ceritakan dengan nada canda dan bangga.

 

Cobaan wé heula atuh. Sugan kersaeun,” kata astrada. Melaluinya, kami menawarkan peran Kartosuwiryo, sekali lagi, kepada Kang Wawan.

 

Gembiranya saya ketika sosok kurus berambut putih tipis itu datang ke pesantren Miftahul Huda Manonjaya, tempat kami latihan. “Duh, Kang. Mapah ti payun ka dieu gé tos eungap ayeuna mah,” keluhnya ketika kali pertama latihan. Sebagai informasi, jarak dari tempat parkir mobil ke lokasi latihan sekitar 200 meter. Jarak yang secuil untuk seorang mantan pelari maraton sepeti Kang Wan Orlet. Seharusnya. Tapi, tubunya bukan lagi tubuh atlet seperti bertahun-tahun silam.

 

Selepas lulus SMEA, Moch. Wawan Rudiat—nama aslinya—adalah seorang atlet lari maraton dan tenis meja, salah satu yang pernah membanggakan Tasikmalaya. Kisah itu saya dengar langsung darinya ketika bulan Maret silam kami (saya, Kahfi, Pa Ab Asmarandana, Kang Usep, dan Kang Hendra), menengoknya. Waktu itu kami mengabarkan bahwa Ngaos Art baru saja rampung mementaskan Nuning Bacok, pentas amal yang kami dedikasikan khusus buatnya, untuk kedua kalinya.

 

Waktu itu pula Kang Wawan mengenang pertunjukan Hikayat Uwa Ajengan dua tahun silam.

 

Aslina, keueung abi mah, Kang.

 

Kunaon kitu, Kang?

 

Paur aya nu néwak.

 

Salah satu adegannya sebagai Kartosuwiryo waktu itu: membacakan utuh teks proklamasi Negara Islam Indonesia. Bendera dwiwarna bulan bintang tak ketinggalan sebagai identitas dan pembangun atmosfer pertunjukan. Meski selepas pentas banyak yang memuji permainannya, namun ia khawatir tragedi pelemparan sendal terulang lagi. Bahkan lebih dari itu. Namun, sampai tutup usia pada 23 April lalu, kekhawatirannya tetap menjadi kekhawatiran. Tak pernah ada lagi yang melemparinya sendal gara-gara perannya demikian meyakinkan. 


Sebagai Kartosuwiryo untuk kali kedua, tak banyak yang tahu nafasnya pendek-pendek. Tak banyak yang tahu tubuhnya telah tak seperti dulu. Tak banyak yang tahu ia mengorbankan banyak hal demi menjadiYang penonton tahu, ia adalah aktor yang baik dan total di panggung, santun kepada sesama dan semesta di "panggung". 


Ketika ia menceritakan hal itu, saya agak merasa bersalah sekaligus bangga. Saya merasa bersalah membuatnya dikungkung khawatir. Di lain sisi, saya bangga sebab ia masih mengenang kebersamaan kerja kreatif kami dua tahun lalu itu. Kebersamaan kami yang terakhir, ternyata.

 


Sebagai seorang aktor, berhasil meyakinkan penonton akan perannya adalah sebuah bahagia tak tepermanai. Kang Wawan Orlet pernah mengalami itu. Kini, Babak II dari lakon panjang hidupnya telah tuntas ia perankan dengan baik. Pada Babak-Babak selepas ini, yakinlah, ia akan mampu “bermain” dengan sangat baik di hadapan Sang Sutradara, Sang Maha Dari Segala Maha.

 

Saya bersaksi, Kang Wawan Orlet adalah orang baik.

 

Allahummagfirlahu.

Alfaatihah.     

 

 Keterangan gambar:

1. Kang Wawan Orlet ketika perform pada suatu acara di GKKT. 2010.

2. Kang Wawan Orlet di Solo pada acara Solo International Performing Art (SIPA). 2013

3. Kang Wawan Orlet pada Maret 2022, sebulan sebelum Pulang.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...