Untuk peran-peran seperti Uwa Ajengan dan
keluarga, saya minta khusus dimainkan oleh turunannya. Selain kemiripan fisik,
yang menjadi alasan adalah the power of teureuh.
“Méh teu kagok nyurupna,” canda saya
agak serius kepada pihak pesantren.
Permintaan saya dipenuhi. Kecuali itu, satu lagi
permintaan khusus saya adalah agar saya diperkenankan mendatangkan aktor khusus
untuk memerankan S.M. Kartosuwiryo. Pihak pesantren tak keberatan akan hal itu.
Sejak awal menyusun naskah, casting pertama yang
sudah bulat dalam imajinasi saya: Kartosuwiryo. Adakah yang lebih cocok
memerankannya selain Kang Wawan Orlet?
Ketika keinginan saya itu saya sampaikan kepada
tim kreatif, astrada (Kiki Kido Pauji) yang lebih tahu prihal kabar Kang Wawan
memberitahu bahwa kesehatannya beliau kurang baik. Ia sudah tidak prima seperti
dulu. Berjalan tak seberapa jauh sudah cukup membuatnya ngos-ngosan seraya
tubuhnya banjir keringat. Ia mudah lelah. Nafasnya pendek-pendek pula.
Wah, pupus harapan saya mendapat kehormatan
menyutradarai Kang Wan Orlet yang legendaris itu. Dia sering cerita, suatu saat
ia pernah memerankan Kartosuwiryo dan bermain di hadapan para veteran. Konon,
saking menjadi-nya, ia pernah
dilempar sendal oleh penonton yang memang menyimpan dendam kesumat kepada tokoh
sahabat Soekarno ini. Kisah itu lebih dari sekali ia ceritakan dengan nada canda
dan bangga.
“Cobaan wé
heula atuh. Sugan kersaeun,” kata astrada. Melaluinya, kami menawarkan
peran Kartosuwiryo, sekali lagi, kepada Kang Wawan.
Gembiranya saya ketika sosok kurus berambut putih
tipis itu datang ke pesantren Miftahul Huda Manonjaya, tempat kami latihan. “Duh, Kang. Mapah ti payun ka dieu gé tos
eungap ayeuna mah,” keluhnya ketika kali pertama latihan. Sebagai
informasi, jarak dari tempat parkir mobil ke lokasi latihan sekitar 200 meter.
Jarak yang secuil untuk seorang mantan pelari maraton sepeti Kang Wan Orlet.
Seharusnya. Tapi, tubunya bukan lagi tubuh atlet seperti bertahun-tahun silam.
Selepas lulus SMEA, Moch. Wawan Rudiat—nama
aslinya—adalah seorang atlet lari maraton dan tenis meja, salah satu yang
pernah membanggakan Tasikmalaya. Kisah itu saya dengar langsung darinya ketika
bulan Maret silam kami (saya, Kahfi, Pa Ab Asmarandana, Kang Usep, dan Kang
Hendra), menengoknya. Waktu itu kami mengabarkan bahwa Ngaos Art baru saja
rampung mementaskan Nuning Bacok,
pentas amal yang kami dedikasikan khusus buatnya, untuk kedua kalinya.
Waktu itu pula Kang Wawan mengenang pertunjukan Hikayat Uwa Ajengan dua tahun silam.
“Aslina,
keueung abi mah, Kang.”
“Kunaon
kitu, Kang?”
“Paur aya nu
néwak.”
Salah satu adegannya sebagai Kartosuwiryo waktu itu: membacakan utuh teks proklamasi Negara Islam Indonesia. Bendera dwiwarna bulan bintang tak ketinggalan sebagai identitas dan pembangun atmosfer pertunjukan. Meski selepas pentas banyak yang memuji permainannya, namun ia khawatir tragedi pelemparan sendal terulang lagi. Bahkan lebih dari itu. Namun, sampai tutup usia pada 23 April lalu, kekhawatirannya tetap menjadi kekhawatiran. Tak pernah ada lagi yang melemparinya sendal gara-gara perannya demikian meyakinkan.
Sebagai Kartosuwiryo untuk kali kedua, tak banyak yang tahu nafasnya pendek-pendek. Tak banyak yang tahu tubuhnya telah tak seperti dulu. Tak banyak yang tahu ia mengorbankan banyak hal demi menjadi. Yang penonton tahu, ia adalah aktor yang baik dan total di panggung, santun kepada sesama dan semesta di "panggung".
Ketika ia menceritakan hal itu, saya agak merasa
bersalah sekaligus bangga. Saya merasa bersalah membuatnya dikungkung khawatir.
Di lain sisi, saya bangga sebab ia masih mengenang kebersamaan kerja kreatif kami
dua tahun lalu itu. Kebersamaan kami yang terakhir, ternyata.
Sebagai seorang aktor, berhasil meyakinkan
penonton akan perannya adalah sebuah bahagia tak tepermanai. Kang Wawan Orlet
pernah mengalami itu. Kini, Babak II dari lakon panjang hidupnya telah tuntas
ia perankan dengan baik. Pada Babak-Babak selepas ini, yakinlah, ia akan mampu
“bermain” dengan sangat baik di hadapan Sang Sutradara, Sang Maha Dari Segala
Maha.
Saya bersaksi, Kang Wawan Orlet adalah orang baik.
Allahummagfirlahu.
Alfaatihah.
3. Kang Wawan Orlet pada Maret 2022, sebulan sebelum Pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar