Rabu, 27 September 2017

Menjelang Pilkada Ciamis (Atau Pemilu Lainnya)


Malam minggu kemarin, saya dan istri hadir di sebuah diskusi tentang Rohingnya. Judul diskusinya DIMIC, kependekan dari Diskusi Mingguan Cempor. Dari yang berita saya baca, Cempor adalah sebuah komunitas belajar yang ada di lingkungan FKIP UNIGAL. Di kampung saya, cempor berarti lampu tempel berbahan minyak tanah. Ketika kecil Ibu masih menggunkannya jika sewaktu-waktu mati lampu. Konon, sebelum ada listrik, cemporlah yang jadi alat penerangan khususnya di dalam ruangan. Saya belum sempat ngobrol-ngobrol banyak dengan penggiat Cempor, ada apa dengan cempor sehingga harus jadi nama komunitas mereka. Tapi mari menebak-nebak bahwa mungkin mereka berharap aktivitas yang mereka lakukan mampu menjadi penerang bagi banyak orang, seperti cempor milik Ibu saya dahulu. Persoalan kenapa mereka tidak pilih kata lilin, lampu, matahari, atau light (menggunakan bahasa internasional biar terdengar keren), itu belum sempat saya tanyakan.
Peserta diskusinya mayorias adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNIGAL. Satu dosen teselip di sana, Tito Wardani, demikian saya mengenalnya. Ia dosen sejarah. Akun facebooknya Pramoedya Wardani dan entah mengapa ia pakai nama itu. Ada pula beberapa mahasiswa UNIGAL dari jurusan lain dan satu mahasiswa dari kampus tetangga, IAID. Ia mengenalkan dirinya dengan nama Edgar (entah nama asli atau karena ngefans pada sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe).
Di ruang diskusi saya menerima tiga lembar kertas berisi tulisan dengan judul Derita Dari Rakhine, Melihat Akar Konflik Di Rohingnya. Tulisan itu berisi ulasan konflik Rohingnya dari sudut pandang sejarah. Saya yang mualaf sejarah ini akhirnya lumayan  tercerahkan ihwal tragedi di Myanmar tersebut.
Dari pememahan atas teks itu, saya menangkap bahwa jika melihat konflik itu sebagai konflik agama saja, jelas itu pandangan yang prematur bahkan mungkin keliru berat. Ada rentetan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Dan tentu banyak hal yang ada di sana, bukan hanya Budha versus Islam. Jepang dan Inggris pun turut dibahas dalam tulisan itu sebagai pihak kolonialis yang turut menyumbang keruh dalam konflik panjang antara etnis Rohingnya dan etnis mayoritas di Myanmar.
Sayangnya, keterangjelasan ihwal itu semua jarang diketahui masyarakat umum. Di era digital kini sebenarnya bukan pekara sulit untuk mengakses informasi. Namun justru karena akses yang nyaris tanpa batas itu, masyarakat kerap dibuat kamerkaan, berlebih, sehingga kurang mampu melihat dengan jelas tiap-tiap informasi yang datang. Informasi datang bak banjir bandang, air bah, datang serentak dan tiba-tiba. Dan dalam kondisi macam begini selalu saja ada okmun yang terikat pribahasa Sunda, lauk buruk milu mijah, oportunis, Sengkuni.
Karnaval informasi kadang membuat akal sehat lepas dari maqomnya. Akhirnya pandangan kita dikaburkan pelbagai kabut. Setelah rabun, akan datang tim khusus yang menggiring kita, menjadikan kita bebek-bebek atau peluru. Lalu seterusnya kita dibuat rabun permanen bahkan buta sama sekali, untuk kemudian dijadikan pelor permanen, menembak apa saja sasaran yang mereka inginkan. Tim khusus ini bekerja, cari duit. Yang berkepentingan, yang menentukan sasaran tembak, ya yang menduiti mereka, Para Pemburu Kursi.
***
Saudara-saudara, menjelang Pilkada Ciamis 2018 (atau pemilu lainnya), sejak tahun lalu sudah banyak baliho terpampang di pinggir-pinggir jalan atau nemplok di mana saja. Gambarnya, wajah-wajah para bakal calon Bupati dan Wakil Bupati. Malah sekarang makin marak lagi dengan wajah cakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Memang, pesta baliho adalah salah satu ciri khas pesta demokrasi di Indonesia. NKRI lambat laun akan jadi lautan baliho atas nama demokrasi.
Selain pesta baliho, yang marak lagi adalah sales yang sibuk menjajakan jagoannya dengan berbagai cara. Mulai dari cara bersih serupa memaparkan program dan gagasan-gagasan hingga cara kotor dengan melontar kampanye hitam. Ini lumrah di Indonesia. Tak ada pemilu tanpa kampanye hitam.
  Rupa-rupa isu digoreng sedemikian rupa dan dijual pada para pemilih guna mempengaruhi pilihannya. Isu apapun baik yang nyambung atau yang tidak nyambung. Yang tidak nyambung akan dibuat nyambung sedemikain rupa. Sales ini akan bikin logika cocoklogi yang mujarab buat menggiring opini. Cocoklogi ini akan dibuat senyambung mungkin seolah memang benar adanya. Dalilnya, “Sebarkanlah kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik percaya bahwa kebohongan tersebut adalah sebuah kebenaran”, demikian seru Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik Dan Propaganda Nazi, semacam Pak Harmoko-nya Jerman di era Hitler.
***
Rohingnya sebagai etnis yang dilukai mayoritas, ya. Mereka butuh bantuan, ya. Mereka minoritas, ya. Mereka manusia, ya. Ini tragedi kemanusiaan, ya. Dan ketika berbicara kemanusiaan, mari tanggalkan semua atribut identitas.

***
Untuk keselamatan saudara-saudara Rohingnya, bi barokah ummul Qur’an, Al-Faatihah!



Ciamis, 27 September 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...