Malam minggu kemarin, saya dan istri
hadir di sebuah diskusi tentang Rohingnya. Judul diskusinya DIMIC, kependekan dari
Diskusi Mingguan Cempor. Dari yang berita saya baca, Cempor adalah sebuah
komunitas belajar yang ada di lingkungan FKIP UNIGAL. Di kampung saya, cempor berarti lampu tempel berbahan minyak tanah. Ketika
kecil Ibu masih menggunkannya jika sewaktu-waktu mati lampu. Konon, sebelum ada
listrik, cemporlah yang jadi alat penerangan khususnya di dalam ruangan. Saya belum
sempat ngobrol-ngobrol banyak dengan penggiat Cempor, ada apa dengan cempor
sehingga harus jadi nama komunitas mereka. Tapi mari menebak-nebak bahwa
mungkin mereka berharap aktivitas yang mereka lakukan mampu menjadi penerang
bagi banyak orang, seperti cempor milik Ibu saya dahulu. Persoalan kenapa
mereka tidak pilih kata lilin, lampu, matahari, atau light (menggunakan bahasa
internasional biar terdengar keren), itu belum sempat saya tanyakan.
Peserta diskusinya
mayorias adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNIGAL. Satu dosen teselip di sana, Tito Wardani, demikian saya mengenalnya. Ia
dosen sejarah. Akun facebooknya Pramoedya Wardani dan entah mengapa ia pakai
nama itu. Ada pula beberapa mahasiswa UNIGAL dari jurusan lain dan satu
mahasiswa dari kampus tetangga, IAID. Ia mengenalkan dirinya dengan nama Edgar
(entah nama asli atau karena ngefans pada sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe).
Di ruang diskusi saya menerima tiga
lembar kertas berisi tulisan dengan judul Derita Dari Rakhine, Melihat Akar
Konflik Di Rohingnya. Tulisan itu berisi ulasan konflik Rohingnya dari sudut
pandang sejarah. Saya yang mualaf sejarah ini akhirnya lumayan tercerahkan ihwal tragedi di Myanmar tersebut.
Dari pememahan atas teks itu, saya menangkap bahwa jika melihat konflik itu sebagai
konflik agama saja, jelas itu pandangan yang prematur bahkan mungkin keliru
berat. Ada rentetan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Dan tentu banyak
hal yang ada di sana, bukan hanya Budha versus Islam. Jepang dan Inggris pun
turut dibahas dalam tulisan itu sebagai pihak kolonialis yang turut menyumbang
keruh dalam konflik panjang antara etnis Rohingnya dan etnis mayoritas di
Myanmar.
Sayangnya, keterangjelasan ihwal itu
semua jarang diketahui masyarakat umum. Di era digital kini sebenarnya bukan
pekara sulit untuk mengakses informasi. Namun justru karena akses yang nyaris
tanpa batas itu, masyarakat kerap dibuat kamerkaan, berlebih, sehingga kurang
mampu melihat dengan jelas tiap-tiap informasi yang datang. Informasi datang
bak banjir bandang, air bah, datang serentak dan tiba-tiba. Dan
dalam kondisi macam begini selalu saja ada okmun yang terikat pribahasa Sunda, lauk buruk milu mijah, oportunis, Sengkuni.
Karnaval informasi kadang membuat akal sehat lepas dari maqomnya. Akhirnya
pandangan kita dikaburkan pelbagai kabut. Setelah rabun, akan datang tim khusus
yang menggiring kita, menjadikan kita bebek-bebek atau peluru. Lalu seterusnya
kita dibuat rabun permanen bahkan buta sama sekali, untuk kemudian dijadikan
pelor permanen, menembak apa saja sasaran yang mereka inginkan. Tim khusus ini
bekerja, cari duit. Yang berkepentingan, yang menentukan sasaran tembak, ya yang
menduiti mereka, Para Pemburu Kursi.
***
Saudara-saudara, menjelang Pilkada Ciamis 2018 (atau pemilu lainnya),
sejak tahun lalu sudah banyak baliho terpampang di pinggir-pinggir jalan atau
nemplok di mana saja. Gambarnya, wajah-wajah para bakal calon Bupati dan Wakil
Bupati. Malah sekarang makin marak lagi dengan wajah cakal calon Gubernur dan
Wakil Gubernur Jawa Barat. Memang, pesta baliho adalah salah satu ciri khas
pesta demokrasi di Indonesia. NKRI lambat laun akan jadi lautan baliho atas
nama demokrasi.
Selain pesta baliho, yang marak lagi adalah sales yang sibuk menjajakan jagoannya dengan berbagai cara. Mulai dari cara
bersih serupa memaparkan program dan gagasan-gagasan hingga cara kotor dengan
melontar kampanye hitam. Ini lumrah di Indonesia. Tak ada pemilu tanpa kampanye
hitam.
Rupa-rupa isu digoreng sedemikian
rupa dan dijual pada para pemilih guna mempengaruhi pilihannya. Isu apapun baik
yang nyambung atau yang tidak nyambung. Yang tidak nyambung akan dibuat
nyambung sedemikain rupa. Sales ini akan bikin logika cocoklogi yang mujarab buat menggiring opini. Cocoklogi
ini akan dibuat senyambung mungkin seolah memang benar adanya. Dalilnya, “Sebarkanlah kebohongan
berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat
publik percaya bahwa kebohongan tersebut adalah sebuah kebenaran”, demikian seru Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik Dan
Propaganda Nazi, semacam Pak Harmoko-nya Jerman di era Hitler.
***
Rohingnya sebagai etnis yang dilukai mayoritas, ya. Mereka butuh
bantuan, ya. Mereka minoritas, ya. Mereka manusia, ya. Ini tragedi kemanusiaan,
ya. Dan ketika berbicara kemanusiaan, mari tanggalkan semua atribut identitas.
***
Untuk keselamatan saudara-saudara Rohingnya, bi barokah ummul Qur’an,
Al-Faatihah!
Ciamis, 27 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar