Sabtu, 29 Desember 2018

25 Desember Yang Kudus: Kesaksian Dua Pertunjukan

 


25 Desember Yang Kudus:

Kesaksian Dua Pertunjukan

 

Sejak siang hujan mengguyur Panjalu. Saya jadi ragu apakah harus pergi ke Tasik atau urung saja. Beberapa hari lalu kawan-kawan mengirim poster digital via WA, mengabarkan konser musik kontemporer Kelompok Bunyi Sunya pimpinan Lawe Samagaha di Pendopo Tasikmalaya, 25 Desember 2018 malam. Menyusul kemudian, ada kabar lagi bahwa Jabo Widianto, ponggawa Teater Dongkrak Tasikmalaya, akan mementaskan monolog “Membaca Tanda-Tanda”. Monolog karya Rachman Sabur ini sebelumnya pernah ikut serta dalam sebuah kompetisi monolog pada acara South Borneo Art Festival dan menyabet juara 2.

 

Atas dorongan istri saya yang sebelumnya pernah menyaksikan pertunjukan musik Lawe Samagaha di Bentara Budaya Jakarta, saya akhirnya jadi juga berangkat. Hujan terus membasahi jalanan sejak dari rumah hingga tiba di lokasi pertunjukan sekitar pukul 18.30. Waktu itu nampak beberapa orang sedang duduk melingkar di dalam ruang pertunjukan. Aroma hio tercium kuat sekali, bahkan sampai ke luar gedung. Barangkali ini ucapan selamat datang pada calon penonton sekaligus upaya memberi kesan pembuka. Apa kira-kira kesan yang ditangkap ketika mencium aroma macam ini? Mistis? Suasana klenteng? Ritual? Atau malah puyeng karena bau yang menyengat itu? Ya, kesan bisa macam-macam, tergantung ingatan yang ada di benak penonton sebab kesan sebenarnya ingatan yang dipanggil kembali.     

 

Sekitar jam 20.00, setelah jumlah penonton agak banyak, Tatang Pahat membuka acara. Ia, dan semua penonton, berdiri di halaman gedung. Sebelum konser, Jabo Widianto akan melakonkan monolognya terlebih dahulu di halaman pendopo. Di halaman itu ada sepetak tanah dengan beberapa macam pohon yang didominasi pohon-pohon tinggi. Di tanah berumput itu, beberapa lilin menyala tapi tak cukup kuat untuk menerangi wajah dan tubuh sang aktor.

 

Jabo memulai pertunjukannya dengan salam dan mengajak penonton mendo’akan para korban tsunami Banten dan Lampung. Usai itu barulah ia menjadi tokoh. Awalnya ia bersenandung seperti semacam beluk. Lantas berkeliling memegang pohon satu persatu, seperti menyapa mereka. Kemudian membasuh diri dengan air sisa hujan yang menggenang di tanah. Sesekali ia menirukan suara burung gagak sembari berkeliling memukul-mukul pohon dengan sebilah bambu, seperti mengusir pengganggu. Ya, suara gagak dianggapnya sebagai tanda suatu peristiwa akan terjadi. Pertanda buruk.

 

Ada satu adegan sang tokoh seperti mengajak bicara “sesuatu” yang dipandangnya akan merusak, merampok, memperkosa alam. Ia melawan dengan keras bahkan pasang badan, menantang untuk ditembak. Sesuatu ini tentu bisa ditafsirkan macam-macam oleh penonton sebab perusak alam bukan hanya gerjaji mesin para pencuri kayu namun lebih dari itu: aturan, perusahaan, pemerintah, atau yang lebih mendasar dari itu yakni hasrat manusia untuk menaklukan alam, menguasai alam bukan berharmoni, selaras dengan alam.  

 

Pesan tentang alam ini semakin terasa dengan “setting” yang alamiah dalam arti sesungguhnya. Ya, Jabo berhasil menjadikan halaman pendopo itu sebagai stage dalam artinya non-formal. Stage adalah ruang bagi aktor untuk melakonkan dirinya. Plastisitas keruangannya membuat monolog ini selalu baru dan tak jemu disaksikan.

 

Secara keseluruahan monolog ini berhasil memikat penonton selama kurang dari 30 menitan. Dengan tempo permianan yang relatif cepat, dinamika pertunjukan masih bisa dimainkan dengan baik. Penonton seolah tidak dibiarkan hanyut dalam kisah sedih alam yang terancam namun terus dihentak oleh adegan-adegan keras sekeras perlawanan tokoh terhadap perusak-perusak alam. Hal ini seperti memberi pesan dan kesan bahwa bagaimanapun, perlawanan terhadap perusak alam harus tanpa lelah. Pun demikian, Jabo mampu mengolah dan mengatur tubuhnya agar terhindar dari kelelahan akibat adegan ketat tanpa jeda menghela nafas panjang. Dan meski pencahayaan sangat minim dan wajah aktor tak bisa dilihat dengan jelas namun kiranya tidak jadi soal besar. Pesan-pesan pertunjukan masih bisa ditangkap karena disampaikan dengan bahasa verbal yang jelas meski beberapa artikulasi terkesan memaksakan.

 
 

Seletah Jabo memberi hormat tanda usai pertunjukan, riuh tepuk tangan penonton benar-benar memungkas dan sekaligus mengawali perjalanan baru memasuki ruang pendopo. Tepat dibagian tengah ruangan daun-daun tua menghampar membentuk lingkaran penuh. Di tengah lingkaran itu sebuah gong tergeletak, ia seperti tertidur dan menunggu sesuatu. Di satu sisi nampak Lawe Samagaha memejamkan mata seperti meditasi. Di sisi lainnya seorang penggesek biola telah siap dihadapan partitur. Ada lima stand book rendah tempat menempel partitur di panggung. Awalnya cuma dua orang itu, kemudian, setelah biola menggesek beberapa nada, tiga orang muncul sembari mengetuk semacam bonang. Adegan ini mengingat saya pada ritual agama-agama kuno, atau thawaf dalam rangkaian ritual haji barangkali. Penonton yang melingkari stage menambah kesan ritual makin kuat.

 

Selanjutnya, sekitar 30 menitan barangkali konser musik kontemporer berjudul  Temumat ini meruang. Saya tidak bisa banyak melukiskan konser itu secara deskriptif karena memang saya buta sama sekali akan musik. Jangankan musik macam ini yang dalam bahasa Lawe Samagaha ia sebut “Musik dengan M besar” yang lantas saya pahami sebagai musik kontemporer, musik konvensional, yang dalam bahasa Lawe dibilangnya “musik dengan m kecil”, pun saya sama sekali buta tentangnya. Hanya sekedar penikmat, hanya menyimak musik, tidak lebih.

 

Dan tentang sajian Musik dengan M besar malam itu, saya sebatas ingin menyampaikan kesan saja. Menurut komposernya, Didit Alamsyah, Temumat ini semacam akronim dari temu umat. Umat yang mana? Saya menafsirkannya umat manusia dari semua suku bangsa, agama, dan latar belakang lainnya. Sajian musik ini sepertinya sengaja diracik agar dapat dinikmati oleh penonton dengan multi latar belakang, khususnya latar belakang agama. Ini bisa dirasakan dari bagian-bagian yang sepertinya campuran macam-macam idiom bunyi, musik atau gaya yang lazimnya ada dalam ritual agama-agama. Ketika mendengar lantunan sholawat, saya kok malah teringat paduan suara gereja? Ketukan bonang itu mengingatkan saya pada salah satu ritus di vihara. Dan bagian-bagian lain yang menjadi jalan pintas saya untuk menengok ingatan tentang ritus agama-agama.

 

Temumat ini merupakan adaptasi dari teks drama Qasidah Barzanji karya W.S. Rendra. Teks terjemahan Syu’bah Asa ini merupakan syair berisi puji-pujian, profil dan biografi Nabi Muhammad saw yang dikarang oleh Sayyid Ja’far bin Husain bin Abdul Karim  Al-Barzanji, seorang ulama besar kelahiran Madinah. Sebagian umat Islam di Nusantara punya tradisi membaca kitab Al-Barzanji yang biasanya dilakukan pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Di tiap daerah lagam dan cara membacanya bervariasi, sesuai dengan ekspresi budaya masing-masing. Menurut sang komposer, kekayaan tradisi inilah yang berupaya direpresntasikan oleh Kelompok Bunyi Sunya. Temumat berakar dari tradisi pembacaan Barzanji di Nusantara yang kemudian diracik menjadi bahasa bunyi khas Kelompok Bunyi Sunya. Menurutnya, tidak semua bagian Qasidah Barzanji disajikan, hanya beberapa saja yang dipandang mewakili. Temumat, selain berisi sholawat, juga merupakan gambaran perjalan Nabi Muhammad saw  sampai pada lahirnya perintah sholat. Tentang sholat ini eksplisit sekali digambarkan. Tiga pemian yang berada di tengah mengelilingi gong mengakhiri pertunjukan dengan posisi duduk tawarruk yang biasa dilakukan saat tasyahud atau tahiyyat akhir. Sebelumnya, tiga pemain ini memperlakukan bonang nyaris seperti orang sedang berwudhu.

 

Saya yang buta musik hanya bisa menangkap kesan tanpa mampu menjelaskan apalagi mendedah ihwal musiknya itu sendiri. Menyimak sajian Temumat, saya seperti diajak untuk berdzikir jahhar dan dzikir sirri bergantian. Ada bagian-bagian musik yang berulang dan menghentak-hentak dengan tempo cepat, ada pula bagian ketika tangan pemain menabuh gong tapi tidak ada bunyi terdengar sama sekali. Bunyi-bunyi itu seperti diserahan saja pada imaji penonton, biar membuat musiknya sendiri.

 

Akhirnya, dua pertunjukan yang saya nikmati itu seperti membawa pada ingatan dan kesadaran spiritual dalam arti seluas-luasnya. Menyaksikan kedua pertunjukan itu, saya teringat petikan puisi W.S. Rendra:

 

Kemarin dan esok

adalah hari ini

Bencana dan keberuntungan

sama saja

Langit di luar

langit di dalam

bersatu dalam jiwa

 

Panjalu, 29 Desember 2018

Selasa, 11 Desember 2018

Tafsir alternatif ADUH oleh Prodi Teater IKJ

ADUH karya Putu Wijaya ditulis pada 1970 – 1973. Drama tiga babak ini berkisah tentang sekelompok orang yang tiba-tiba kedatangan orang yang nampak kesakitan segera setelah terdengar suara sirine dari kejauhan. Orang itu hanya mengatakan aduh dan aduh melulu sampai akhirnya ia mati. Orang-orang terus bercekcok tentang si sakit: siapa, dari mana, sakit apa, hingga tindakan apa yang akan mereka ambil tanpa menolongnya sama sekali. Hanya bicara melulu, saling berdebat dalam nuansa keragu-raguan sampai akhirnya si sakit itu mati. Orang-orang itu merasa menyesal dan berencana menguburkannya namun jangankan mengubur, mengangkatya saja tak mampu. Mereka lantas memutuskan menungggu sampai pagi hari. Sementara yang lain tertidur, salah seorang malah merampok si mayat. Singkat cerita mayat kemudian digotong hendak dikubur. Diperjalanan, gerombolan anjing datang mengganggu. Orang-orang panik, belingsatan dan melempar si mayat ke sumur. Beberapa di antara mereka terluka dan mengaduh. Suara sirine bersahutan menambah suasana jadi kacau. Salah satu di antara mereka mengaduh dan mendatangi kerumuman kawannya persis seperti bagian awal cerita ini. Dan demikian terus berulang.
Teks ini tidak menceritakan seting tempat namun memiliki seting waktu yang cukup jelas. Tidak pula ada identitas berupa nama atau penjelasan karakter tokoh. Ini memang boleh jadi khas Putu Wijaya dalam karya-karya dramanya. Identitas menjadi cair, siapa bisa menjadi apa. Peristiwa bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja sebab tidak menyebutkan masa waktu tertentu. Dan meski telah berusia hampir 50 tahu, substansi teks ini masih dirasa relevan dengan masa kini sebab yang disampaikan memang perkara kemanusiaan yang tak lekang waktu. Peristiwa macam itu bisa saja benar-benar ada dewasa ini, di mana saja.
Prodi Seni Teater Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) memanggugkan lakon ini pada Minggu malam, 2 Desember 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya pada perhelatan Festival Putu Wijaya. Dimainkan oleh sekitar 13 pemain, ADUH disuguhkan dengan nuansa yang lebih kekinian.
Memasuki ruang pertunjukan, penonton disuguhi mandi cahaya lampu disko diiringi lagu Ayah milik Ebit G. Ade versi koplo. Penonton seperti akan dibawa bertualang ke tempat semacam klub malam barangkali. Setelah lampu disko padam, dalam gelap seseorang masuk panggung membawa semacam lampu darurat dan kertas, ia seperti berupaya membaca. Ilustrasi musik suling Sunda mengantar langkah seseorang yang sekilas terlihat bersorban itu keluar. Mobil remote control yang dipasangi lampu semacam lampu senter yang menyorot ke berbagai arah masuk berkeliling lantas berputar makin kencang berbarengan dengan suara-suara serupa di jalan: deru kendaraan, klakson, dan lain-lain. Setelah lampu panggung benar-benar terang nampak belasan orang berbusana aneka warna. Di belakang, tumpukan kardus-kardus menggunung. Beberapa sobekan kardus beserakan hingga ke tangga panggung. Scaffolding berdiri tegak di lantai depan apron bagian kiri panggung. Beberapa level nampak sengaja ditutupi kardus agar terkesan senada. Kabel-kabel bergelayutan di atas panggung.
Tiba-tiba saja terdengar suara “aduuuh…aduuuuh” entah dari mana. Para pemain membentuk  grouping seperti mencari-cari sumber suara. Tak lama, sosok berbusana putih compang-camping seperti hantu-hantu dalam film produksi dalam negeri datang tergopoh-gopoh, berjalan perlahan dari arah penonton. Orang pucat mirip hantu itu hanya mengaduh saja. Ketika ditanya tentang sakit yang dideritanya ia hanya menjawab aduh dan aduh. Seraya tubuhnya bergerak, terdengar suara seperti suara gerakan robot-robot di film : tiiit, teeet, teeeng, ngiiik, dan lain-lain.
Selanjutnya dialog-dialog perdebatan tentang kesakitan si sakit dan sikap yang akan mereka ambil mengisi adegan. Mereka ragu untuk menolong sebab trauma kejadian yang lalu, yang hampir mirip dengan yang mereka hadapi sekarang. Ada perubahan sikap yang terjadi. Sekelompok orang itu yang asalnya nampak simpati dan bermaksud menolong, karena berdebatan antar mereka sendiri malah berubah jadi seperti benci pada si sakit. Dianggapnya sakitnya itu bohong belaka, tipu-tipu. Tentang sakit bohongan ini mungkin menyegarkan ingatan pemirsa Indonesia tentang seorang politisi kaya raya yang harus membuat drama sakit-sakitan dan kecelakaan lalu lintas lantaran enggan diperiksa KPK. Aduh!
Keragu-raguan dan perdebatan ini terus berlangsung hingga si sakit dipastikan mati setelah diperiksa oleh semacam dokter lewat adegan pantomim. Tubuhnya kaku, tak bergerak. Mereka semua nampak menyesal dan bersedih. Tapi ini justru menimbulkan masalah baru. Apa yang akan dilakukan selanjutnya? Setelah berdebat cukup alot dan berbelit, akhirnya semua sepakat untuk menguburkan si mayat. Namun jangankan mengubur, mengangkatnya saja mereka kesulitan. Mereka memutuskan untuk memeriksa tubuh si mayat, barangkali ada identitas yang bisa jadi petunjuk. Perdebatan tentang jenis kelamin si mayat pun sempat mengemuka dengan tidak menghasilkan solusi berarti.
Setelah sekian kali berusaha mengangkat si mayat, entah mengapa, tiba-tiba mereka semua seperti kerasukan, menggeliat-geliat, mengaduh, berteriak-teriak. Suasana kacau. Beberapa pemain menabrak tumpukan kardus-kardus sampai roboh. Beberapa saat kemudia lampu berubah merah. Tiga boneka dua dimensi berbentuk manusia muncul dan menggatung di atas. Seseorang lantas terlihat membawa dua boneka lain dengan kedua tangannya. Sembari itu lampu panggung memerah. Suasana terasa chaos. Tiba-tiba saja lampu padam dan kekacauan itu berakhir. Panggung gelap. Masuk tokoh pembawa lampu darurat. Ia membantu si mayat bangun dan memapahnya ke arah penonton. Si tokoh bersorban itu keluar dan mobil pembawa lampu masuk kembali seperti adegan awal. mendadak saja lampu menyala terang. Para pemain bangun dan berjingkrak menari. Sementara itu MC mengumumkan bahwa pertunjukan telah usai.
Sekilas melihat dari kostum yang dikenakan para pemain, teks ini berupaya untuk dibawakan dengan nuansa ngepop dan kekinian. Pilihan warna-warna mencolok serta aksesoris yang dikenakan cukup menguatkan itu. Kecuali itu, kesan ini diperkuat pula oleh gaya tutur keminggris yang dibawakan oleh salah seorang pemain. Kekayaan ragam dialek daerah diupayakan pula terangkat dalam lakon ini. Betawi, Jawa, dan Sunda menjadi pilihan dialek beberapa aktor meski tidak secara konsisten dibawakan. Ada bagian ketika salah seorang aktor berbicara bahasa Sunda yang meski terdengar kaku dengan diksi yang aneh pula namun cukup mengundang gelak tawa penonton. Yang bersinar barangkali hanya tokoh kribo dengan logat Betawi kentalnya. Aktingnya terasa natural. Dialog dan tubuhnya seperti menyampaikan kejujuran akting. Di antara belasan pemain, barangkali ia satu-satunya yang lebih “menjadi” ketimbang yang lain yang terasa artifisial.
Agaknya pertunjukan ini diupayakan dinamis sekaligus cair. Upaya menyelipkan interupsi a la Brechtian nampak pada adegan ketika sekelompok orang itu seperti berusaha membangunkan kembali si mayat dengan semacam doa. Ritual itu mereka kemas dengan potongan tari Ratoh Jaroe, mirip tari Saman. Ketika mereka selesai menari dan si mayat tak kunjung bangun, masuk seseorang seperti semacam pelatih atau instruktur dengan pakaian khas Melayu. Ia memarahi para pemain yang diangggapnya tak serius. Adegan cair. Sangat mencair. Belasan pemain itu seketika seperti lepas dari peran panggung dan menjadi diri mereka sendiri. Sayangnya adegan ini seperti kurang mendapat porsi, terkesan sekedar saja, tidak berenegi sehingga terasa hambar dan gaje.
Adegan muntah-muntahnya sekelompok orang itu lantaran bau busuk yang diduga berasal dari si mayat sepertinya diupayakan juga menjadi serupa teror. Semua pemain muntah-muntah sampai keluar panggung, ke kursi penonton diiringi suara-suara serupa suara iklan radio yang tumpang tindih.
Sayangnya upaya-upaya yang dilakukan agaknya belum berhasil menjadikan tontonan cukup menarik tanpa kehilangan makna. Dinamika bloking para pemain agaknya terlalu berlebihan dan diulang-ulang, alih-alih menyuguhkan kesan panik dan kacau malah cenderung menjemukan, menjadikan irama permainan menjadi monoton, kurang terasa kencang kendor. Kejemuan ini diperparah dengan respon dialog yang cenderung lambat, tidak terjadi ping-pong yang barangkali bisa menolong menaikan tensi permainan. Meski tokoh-tokoh pada teks ADUH tidak memiliki nama, agaknya itu tidak bisa menjadi alasan untuk akting yang tidak menubuh. Betapapun dialog-dialog ADUH bisa ditukar-tukar, dituturkan siapa saja namun tetap harus dimiliki sebagai “kataku” oleh si penutur agar kata-kata itu tidak mubadzir, berserakan begitu saja tanpa energi. Hal ini yang agaknya mendominasi pertunjukan ADUH malam itu.
Irama dan dinamika permainan yang disutradarai JR Siregar ini lebih terkesan monoton saja. Perubahan sikap sekelompok orang pada si sakit yang kemudian jadi si mayat itu antara heran, ragu, murka, marah, panik, menyesal, bingung dan sebagainya yang padahal cukup kentara dalam teks agaknya tidak nampak. Hal lain yang cukup menarik adalah ketika salah seorang di antara mereka kesurupan dan lantas menular pada yang lain. Adegan ini seperti menjumpakan dua hal yang selama ini seperti agak berjauhan dalam kehidupan sehari-hari: supranatural dan urban culture. Respon “tubuh-tubuh kota” terhadap fenomena kesurupan yang hadir malam itu bisa jadi perjumpaan yang menarik namun sayangnya sepertinya agak luput dari tangan sutradara. Laku kesurupan yang ada malah tidak menemukan momentumnya lantaran kurang diberi porsi yang cukup dan fokus adegan kabur. Jika saja perjumpaan ini ditunjang oleh gagasan ketubuhan yang dialektis, barangkali akan jadi tawaran sintesa yang menarik.       
Kecuali hal barusan di atas, tentang kehadiran tokoh pembawa lampu darurat pun malah seperti membelokkan premis, mencipta gagasan baru, atau setidak-tidaknya berupaya memberi konklusi. Kehadirannya seolah ingin mengatakan bahwa pada akhirnya, hanya “sosok bersorban”lah yang bersedia menolong si sakit, yang sedari tadi, hingga matinya ia, tak ada satu pun yang bersedia menolong. Meski dirasa terlalu naif dan cenderung simplifikatif, namun barangkali ini sah saja sebagai tafsir alternatif.        
 
 
Panjalu, 3 Desember 2018 

AUM: nasib udik, nasib Indonesia; catatan kecil pementasan AUM-nya Teater Dongkrak Tasikmalaya

Sebagian yang hadir mungkin tak menyadari seorang berpakaian hansip yang nampak tidur nyenyak di pos keamanan Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT) adalah bagian dari pertunjukan. Kehadirannya sebagai bagian dari tontonan mulailah disadari tatkala serombongan orang, laki-laki dan perempuan, menerobos masuk gerbang, berjalan ke arah teras gedung. Mereka membawa sebentuk tandu dengan empat bambu menyilang seperti baling-baling helikopter, berbalut kain merah, putih, dan hijau muda. Ilustrasi musik seolah hendak memberi kesan ngeri, mistis, atau mungkin juga horor pada adegan ini.
Di sekeliling tandu triwarna itu, setibanya di teras “rumah Bupati”, tidurlah rombongan orang itu bergelimpangan. Suara kokok ayam dan musik bernuansa ceria barangkali menandakan pagi hari. Salah seorang di antara mereka yang lebih dulu bangun bermaksud mengembalikan belati milik hansip yang diambilnya malam tadi ketika mereka tiba. Bukannya baik-baik, ia malah dicaci maki, dibentak-bentak, diintimidasi. Orang itu, yang dicaci maki itu, mengaku hanya sebagai penunjuk jalan belaka, tidak bersangkut paut dengan tujuan rombongan itu kemari. Percekcokan ini merembet hingga membangunkan semua anggota rombongan yang melalui percakapan dengan hansip diketahuilah bahwa mereka rombongan dari udik, sekeluarga, yang sengaja datang ke rumah Bupati dengan maksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Di antara mereka nampak seorang perempuan yang dianggap sebagai kepala keluarga.  
Adu mulut dan saling bentak itu pun mereda ketika Bupati menampakkan diri. Dengan kolor, kaos, dan sepatu olah raga, Bupati terlihat asik lari pagi. Selanjutnya, setelah banyolan-banyolan tentang Bupati yang berkulit hitam dan berkolor, percakapan mulai memasuki pokoknya. Kepala keluarga memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Mereka hendak mengajukan pertnyaan-pertanyaan dan berharap jawaban dari sang Bupati. Sebelum melanjutkan percakapan, perempuan itu memerintahkan Ucok berdoa demi keselamatan. Rombongan pun segera membentuk formasi doa dengan Ucok sebagai pemimpin. Tak dinyana, Ucok yang didapuk sebagai pemimpin doa malah buyar. Ia merasa muak dengan doa-doa melulu yang dirasanya takkan banyak berguna. Seketika setelah ia berbicara keras-keras pada Tuhan, ia seperti kerasukan. Suasana kacau, gawat, panik. Kepala keluarga buru-buru memerintahkan anak-anaknya meminjam baju dua hansip dan Bupati sebagai syarat penyembuhan. Segera orang-orang udik itu melakukan semacam upacara penyembuhan kerasukan. Bukannya Ucok tersadar, yang lain malah berjoged-joged seperti turut kerasukan. Berjoged dan terus berjoged diiringi musik disko sampai ibu membentak dan berakhirlah joged-joged itu.
Selanjutnya adegan mengalir tanpa tanda pergantian adegan atau babak. Sesekali rombongan orang udik itu membalas seruan kepala keluaga dengan AUM. Ada pula bagian mereka bernyanyi bersama, “ibu pertiwi / tolonglah kami / buka kembali rahimmu”, dengan suasana penuh harap dan haru. Nyanyian ini pula yang memungkas pertunjukan sebelum riuh tepuk tangan penonton. Adegan memuncak ketika semua orang udik itu memutuskan bunuh diri lantaran tak kunjung mendapat jawaban.
Secara keseluruhan AUMan Teater Dongkrak Tasikmalaya ini cukup segar dan renyah. Dialog-dialog banyolan nan satir a la Putu Wijaya mampu disampaikan dengan cukup. Kemunculan Bagus atau tokoh menantu, lelaki bunting, dari tempat pemusik mampu memberi semacam kejutan kecil. Bloking dan moving para pemain yang dinamis menambah segar petunjukan berdurasi sekitar satu jam ini.   
AUM, demikianlah judul lakon karya Putu Wijaya yang dipentaskan Teater Dongkrak Tasikmalaya di halaman GKKT pada Festival Putu Wijaya, Rabu, 28 November 2018 malam. Memilih halaman GKKT sebagai panggung cukup menarik perhatian penonton malam itu lantaran bukan hal yang biasa terjadi. Ini siasat cerdas untuk setidaknya meminimalisir kerja dan biaya artistik. Pos kemanan GKKT dijadikan sebagai pos hansipnya rumah Bupati sedang teras GKKT sebagai teras rumah Bupati. Sebagian penonton mungkin menunggu kejutan atau ketakterdugaan apa yang akan disajikan. Sayangnya hingga akhir pertunjukan, kejutan-kejutan yang dinanti tak kunjung datang kecuali satu dua kejutan kecil. Gimik yang cukup tak terduga itu pun agaknya kurang greget. Barangkali karena penonton sudah diarahkan menonton ke satu arah dengan hadirnya tempat duduk berupa pelbet yang ditata sedemikian rupa. Jika saja penonton dibiarkan liar, menonton dari berbagai arah, di mana dan dari mana saja, mungkin gimik ini bisa memberi kesan yang lebih kuat.
Meski bermain di halaman gedung yang cukup luas dan memiliki potensi eksplorasi ruang yang besar, sutradara Jabo Widiyanto lebih memilih mempertahankan pola pemanggungan prosenium. Ini diperkuat pula oleh hadirnya pelbet itu yang sebagai tempat menonton. Adegan-adegan sepertinya memang dirancang untuk ditonton dari satu arah saja.  
Pilihan konvensi inipun agaknya integral dengan bentuk serta konsep pertunjukan yang ditawarkan. AUM-nya Teater Dongkrak Tasikmalaya masih setia pada dialog-dialog, kata-kata,  meski terjadi penyuntingan cukup banyak. Upaya mempertahankan kata-kata ini sayangnya kurang ditunjang kemampuan vokal para aktor yang meruang malam itu. Bermain outdoor tanpa pengeras suara tentu membutuhkan energi yang lebih besar ketimbang indoor. Meski hampir semua dialog terdengar dengan cukup jelas namun gaya tutur para aktor nyaris seragam padahal teks ini sangat memungkinkan diartikulasikan dengan berbagam gaya tutur dan dialek. Barangkali karena fokus energinya pada volume maka segmen lain dalam wilayah vokal semisal intonasi, gaya tutur, keberagaman warna suara, dan lainnya agak terkesampingkan. Mungkin hanya tokoh lelaki tua yang berupaya lebih mengolah segmen vokal lain selain volume.
Selain persoalan gaya tutur yang seragam itu, power dalam konteks inner energy para aktor kurang terpancar juga. Beberapa aktor malah nampak kedodoran, semacam kehabisan energi barangkali. Hal ini tentu cukup mempengaruhi AUMan tontonan ini secara keseluruhan sebab aktor adalah ujung tombak. AUM yang identik dengan raungan singa atau harimau itu kurang buas dan perkasa rasanya. Tidak hadirnya set atau properti yang ditonjolkan membuat aktor harus bekerja lebih keras agar gagasan dan energi bisa tersampaikan dengan tepat. Tandu triwarna yang hadir di panggung tidak begitu jelas status dan fungsinya dan tak kunjung mengAUM hingga akhir pertunjukan. Pada teks AUM memang dijelaskan adanya kerangkeng yang diujung pertunjukan keluar darinya “manusia bertangan ribuan bagai oktopus”. Namun malam itu, tandu triwarna itu hanya bergoyang-goyang saja beberapa saat, tak menemukan momentumnya.
AUM berkisah tentang sekelompok orang desa, orang udik, yang datang ke rumah Bupati hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Banyak keganjilan yang menimpa mereka yang mereka sendiri tidak memahaminya: para lelaki yang bunting, kepala orang tua yang lepas dan  melayang-layang, monster oktopus yang keluar dari kerangkeng, dan lain-lain. Dua keanehan yang terakhir disebut masuk daftar suntingan AUM-nya Teater Dongkrak. Penyuntingan ini agak disayangkan padahal hal-hal ganjil itu barangkali bisa membantu penonton memahami kegelisahan orang-orang udik yang muaranya adalah pesan lakon itu sendiri. Ini boleh jadi metafor saja dari keganjilan-keganjilan yang nyata-nyata dialami rakyat kecil di Indonesia. Alam imajinasi Putu Wijaya yang agaknya lekat dengan tradisi Bali yang sarat mistis menjadikan naskah-naskahnya berwarna Nusantara, khas, absurd sekaligus meneror.
AUM menyodorkan berbagai persoalan khas rakyat kecil yang kadang bahkan seringnya mereka sendiri tak mengerti. Ketika itu, ketika rakyat tidak memahami apa yang terjadi, mereka menanyakannya pada Bupati setelah sebelumnya dukun, profesor, cendikiawan, dokter, pemimpin redaksi, tokoh masyarakat, pejabat-pejabat, dan lainnya tak mampu memberi jawaban. Ketika Bupati tak lagi bisa menjawab, mereka bertanya pada Tuhan. Dan ketka Tuhan pun dianggap tak memberi jawaban, maka bunuh diri adalah pilihannya.
Menurut Putu Wijaya sebagai empunya cerita, adegan bunuh diri atau cerita AUM itu sendiri  terinpirasi dari kejadian nyata di Guyana ketika seorang pendiri Gereja Kuil Rakyat atau Peoples Temple bernama Jim Jones memerintahkan jemaatnya bunuh diri massal. Dilaporkan 909 orang meninggal akibat menenggak sianida pada 18 November 1978 di Guyana, Amerika Selatan. Konon, ini merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan dunia.
 
Panjalu, 3 Desember 2018
 
foto : AUM oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di halaman Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan)

DOR yang kurang menggeDOR; catatan kecil pementasan DOR-nya Teater Api Indonesia



Kecenderungan sebagian kelompok teater memilih genre teater tubuh jamak ditemukan di berbagai tempat, khususnya kota-kota besar sebagai pusat perkembangan seni teater. Dialog-dialog digubah sedemikian rupa menjadi hanya laku tubuh semata. Kata-kata menjadi penting hanya ketika proses bedah naskah saja guna memahami premis sang penulis naskah. Selanjutnya kata-kata itu akan bertransformasi, menubuh di tubuh-tubuh aktor menjadi gagasan-gagasan yang musti disampaikan lewat bahasa performatif teater minus kata-kata.

Menggubah teks drama verbal menjadi laku tubuh nirkata sejatinya barangkali semacam upaya menggendapkan kata-kata, membuatnya makin padat, mengkristal, semacam puisi barangkali. Upaya ini tentu bukan tanpa resiko. Pilihan menubuhkan teks verbal tentu mensyaratkan tubuh-tubuh aktor yang jujur dan penuh daya agar mampu menyampaikan energi, gagasan, dan motif secara tepat pada penonton. Kecuali itu, metafor-metafor artistik, selain dipahami sebagai simbol, tentu diharapkan mampu memberi impresi yang menghujam dan tepat  agar tontonan menjadi menarik sekaligus tidak kehilangan makna dan terjebak ke dalam parade tubuh-tubuh belaka.

Upaya menubuhkan teks verbal ini nampak dilakukan oleh Teater Api Indonesia asal Surabaya. Lakon DOR karya Putu Wijaya yang cukup tebal dan penuh kata-kata disajikan dalam genre teater tubuh, tanpa kata sama sekali pada Festival Putu Wijaya di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT). Dialog yang panjang dan banyak itu bertransformasi menjadi metafor  audio non verbal, visual, dan laku.

Entah kapan pertunjukan dimulai. Sejak masuk dan memilih tempat duduk, penonton sudah disajikan lampu gantung menyala yang bergoyang-goyang plus bunyi konstan seperti pukulan kaleng. Suasana itu barangkali mirip adegan interogasi di film-film namun tanpa interogator dan tersangka, seolah semua yang hadir menyaksi bisa jadi tersangka atau interogator itu sendiri, atau hanya menonton saja dan merasakan suasana penuh tanda tanya. Tanpa kata-kata pengantar pertunjukan, tanpa pembawa acara, gimik ini cukup berhasil menciptakan atmosfer khas dan merangsang imajinasi penonton, menariknya pada suasana lain tepat ketika memasuki ruang pertunjukan. Barangkali semacam teror juga. Hadir begitu saja tanpa permisi.

Setelah lampu menyala lebih terang, nampaklah tiga buah lampu yang menggantung tepat di atas tanda lingkaran yang melekat di lantai panggung. Satu lingkaran di bagian tengah dibuat serupa visir bidik senapan. Apapun yang berada tepat di tengahnya seolah merupakan target tembak, objek buruan. Di bagian belakang menjulang seng warna perak berbentuk delta terbalik, macam sayap pesawat tatkala menukik. Di atasnya ada bendera-bendera segitiga kecil melintang, mirip dekorasi yang lazim pada acara perayaan-perayaan.  

Kehadiran tokoh pembawa pedang dan timbangan yang berdiri tepat di tengah visir kemudian  dikalahkan tokoh berjas, bercelana bahan, bersepatu pantopel, bertopeng kaleng yang membawa troli berisi kaleng-kaleng di bagian awal menjadi kunci penting memahami adegan-adegan selanjutnya. Barangkali tokoh pembawa pedang dan timbangan ini dimaksudkan sebagai Dewi Themis, tokoh mitologi Yunani yang kemudian diadopsi luas sebagai Dewi Keadilan. Timbangan di kiri sering diartikan sebagai azas hukum justice for all dan equality before the law. Sedang pedang di kanan biasa dimaknai sebagai ketegasan penegakan hukum. Suatu azas yang – setidaknya di Indonesia atau di beberapa tempat lain – hanya ada di dunia ide tanpa benar-benar membumi dan tegak.

Adegan-adegan selanjutnya lebih seperti fragmen-fragmen yang masing-masing berdiri sendiri. Barangkali kehadiran kaleng-kaleng di tiap adegan dimaksudkan sebagai benang merah dari fragmen-fragmen ini. Sedari awal kaleng-kaleng hadir dalam pelbagai varian bentuk dan fungsi. Properti ini dibawa, dimainkan, direspon, diperlakukan oleh aktor sebagai sesuatu yang bukan kaleng semata. Kaleng menjadi topeng, sandal, koper, moncong, timbangan, palu, dan kaleng itu sendiri. Kaleng-kaleng disusun, ditumpuk, dipukul, diinjak, dilempar ke udara, dan dilemparkan membabi buta ke arah set di bagian belakang. Selain brang breng brong suara kaleng berjatuhan, kaleng beradu, dipukul, diinjak-injak, senandung throat singing sempat pula hadir di bagian awal menyapa telinga penonton. 

 

Simplifikasi makna

DOR-nya Teater Api Indonesia yang disutradarai Luhur Kayungga itu meruang sekitar satu jam di panggung prosenium GKKT. Sedari dibuka dengan gimik yang cukup mengetuk, tontonan ini agaknya tidak menemukan DORnya hingga tepuk tangan penonton memungkas pertunjukan. Irama pertunjukan secara keseluruhan nyais monoton. Sejak awal hingga akhir penonton disuguhi adegan-adegan yang cenderung lamban sehingga berpotensi membuat jemu. Kejemuan ini barangkali dipupuk pula oleh tawaran laku tubuh yang terkesan tidak tuntas, dipaksakan, ragu-ragu, canggung, dan tanggung.  

Adegan tersaji secara parsial tanpa jembatan. Aktor keluar masuk silih berganti sangat teratur dengan pola yang hampir mirip satu sama lain. Hal ini barangkali yang membuat alur dramatik pertunjukan ini agak sukar diraba. Adegan kekalahan tokoh pembawa timbangan dan pedang oleh tokoh berjas itu mungkin bisa jadi pemandu untuk membaca metafor-metafor selanjutnya bahwa tema besar pertunjukan ini adalah kalahnya hukum dan keadilan oleh kekuasaan. Adegan ini bisa jadi semacam bingkai di mana semua adegan yang hadir setelahnya berada dalam bingkai persoalan-persoalan hukum dan keadilan. Sayangnya, isi bingkai itu terasa terlampau renggang dan berserakan. Jika pun kehadiran kaleng-kaleng adalah perekatnya, justru itu yang membuat bingung. Apa yang hendak disampaikan kaleng-kaleng itu? Apakah kehadirannya sebatas untuk menggenapi unsur bunyi, dar der dor?

DOR sendiri ditulis Putu Wijaya pada 1979. Seperti kebanyakan karya drama Putu, DOR dimainkan kolosal, mungkin bisa lebih lebih dari 15 orang. Sebut saja tokoh Hakim, Gubernur, Ibu Gubernur, Jaksa, Pembela, Pelayan, Inem, Yulia, Pacar, Ali, Lan Fa, dan Sobat, mereka ialah tokoh dengan porsi dialog yang cukup banyak. Alurnya memang agak membingungkan, melompat-lompat, serba tiba-tiba, berputar-putar, dan banyak yang tak terduga. Meski begitu, meraba alur dramatik teks ini masih lebih mudah ketimbang DOR-nya Teater Api Indonesia. Hal ini mungkin selain karena ada bahasa verbal yang cenderung lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tubuh, identitas tokoh pun masih hadir utuh sebagai penggerak cerita. Tidak jelasnya penokohan dalam DOR pada Rabu, 28 November 2018 malam itu juga yang barangkali membuatnya makin gelap dipahami.

Misalkan saja alur dan tokoh disingkirkan dan hanya esensi atau premis DOR yang diusung malam itu, agaknya ada beberapa hal yang luput atau sengaja tidak diangkat. DOR tidak sekedar membicarakan ketidakadilan dan kepincangan hukum belaka, namun lebih dalam dari itu. DOR sendiri barangkali merujuk bunyi letusan. Apa yang meletus? Di bagian ujung teks DOR memang dikisahkan bagaimana beberapa tokoh menembak tokoh lain. DOR!

Dari kasus pembunuhan pelacur oleh Ali si anak Gubernur, Putu agaknya ingin mengajak pembaca atau penonton menyelam lebih dalam, merenungkan tentang makna hukum dan keadilan itu sendiri. Merenungkan sebuah konsep yang diciptakan, disepakati, dan digunakan manusia. DOR lebih seperti renungan filsafat tentang hukum, keadilan, dan secara luas tentang kemanusiaan yang dikemas dengan gaya jenaka, konyol, banyol, cair, sekaligus meneror.

Dari sekian banyak dan dalam hal-hal yang dibicarakan Putu dalam teks DOR-nya, tawaran dan pilihan laku tubuh serta bahasa visual lain yang diketengahkan Teater Api Indoensia barangkali lebih berupaya mengantar penoton untuk menangkap persoalan ketidakadilan dan  kekalahan hukum oleh kekuasaan saja. Sayangnya upaya ini justru masih dirasa terhambat oleh beberapa pilihan laku tubuh dan bahasa visual itu sendiri. Kecuali itu, premis yang dipilih ini terkesan semacam simplifiasi makna yang justru malah membuat DOR terasa mengambang di permukaan saja. Tidak ada letusan yang cukup impresif.

 
Panjalu, 3 Desember 2018  
 
foto : DOR oleh Teater Api Indonesia pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan (dipinjam dari laman Facebook Ketua Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya, Bode Riswandi)      


Rabu, 17 Oktober 2018

Pembelajaran Teater dan Pungli


Tontonan, demikian Putu Wijaya, seorang sastrawan dan maestro teater, lebih suka menyebut pertunjukan teater. Tontonan, dengan sendirinya mengadung dua unsur tak terpisah: yang ditonton dan yang menonton (penonton). Teater tidaklah teater jika tanpa penonton, demikian barangkali jika diartikulasikan berbeda. Aspek ruang, waktu, dan peristiwa pada sebuah pertunjukan teater setidaknya terletak pada dua dimensi, panggung (laku; lakon) dan pertunjukan (panggung dan penontonnya). Lantaran teater muskil tanpa penonton maka dengan berbagai cara kelompok-kelompok teater berupaya mengadirkan penonton agar genap karya mereka menjadi tontonan.
Macam strategi dilakukan untuk menjaring penonton. Ada penjaringan umum ada pula penjaringan khusus. Penjaringan penonton umum biasanya dilakukan dengan memasang iklan atau publikasi di berbagai macam media atau saling memberi kabar secara langsung tentang akan digelarnya pementasan teater dengan harga tiket sekian rupiah. Jika pertunjukan itu berbayar, masyarakat yang terinformasi dan bermaksud mengapresiasi lantas memesan tiket atau membeli langsung di lokasi pementasan. Kelompok teater atau penyelenggara pertunjukan biasa punya target penonton yang disesuaikan dengan kapasitas tampung tempat pertunjukan. Penetapan target oleh manajemen kelompok juga berkaitan erat dengan hitung-hitungan ekonomi, untung rugi. Ini wajar saja sebab sebuah produksi teater tentu memakan biaya dan para pelakunya juga perlu makan minum. Model penjaringan ini tidak bisa mendapat angka penonton (pembeli tiket) secara akurat meski ada prediksi dan target. Untung-untungan saja. Secara dingin dari sudut pandang bisnis, penjaringan model ini biasanya tidak mengikat penonton lebih dari perkara jual beli, pedagang dan pembeli tanpa aturan tambahan. Belum pernah ada kelompok teater yang punya aturan “tidak puas, uang kembali”.
Model penjaringan yang lain adalah penjaringan khusus. Yang dimaksud khusus adalah penjaringan penonton yang dikhususkan menyasar kalangan atau komunitas tertentu. Yang lazim terjadi, misalnya di daerah-daerah macam Tasikmalaya dan Ciamis, adalah penjaringan penonton ke sekolah-sekolah. Penyelenggara atau pihak manajemen kelompok teater akan mendatangi sekolah-sekolah, mengajak kerjasama dengan guru mata pelajaran tertentu atau pihak sekolah secara kelembagaan. Kedatangan pihak manajemen atau penyelenggara ke sekolah biasaya juga membawa serta surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan atau instansi lain yang menaungi sekolah yang dituju. Maksudnya agar kegiatan kerjasama ini rapi dan tertib secara administrasi dan diketahui pemerintah. Biasanya kegiatan menonton ini dijadikan tugas mata pelajaran tertentu lantaran berkaitan dengan materi pelajaran. Tugas mata pelajaran biasa wajib dan mengikat untuk tiap-tiap siswa yang diajar oleh guru si pemberi tugas. Jika menonton teater menjadi tugas mata pelajaran, tentu sudah bisa diterka akurat berapa lembar tiket yang terjual.
Terjadi hubungan mutualisme antara penyelenggara dan guru, satu pihak membutuhkan penonton dan pendapatan rupiah dan pihak lain membutuhkan objek kaji atau bahan ajar. Sebelum dibentuknya Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), kiranya simbiosis mutualisme ini tidak mendapat kendala berarti.
 
Pungli
Sejak dibentuk pada 20 Oktober 2016, Satgas Saber Pungli ini dikabarkan sudah menangani banyak perkara pungutan liar. Salah satu wilayah kerja Satgas ini adalah bidang pendidikan. Ya, pungutan liar di sekolah-sekolah menjadi salah satu fokus kerjanya lantaran banyak laporan dan kasus yang diduga pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah pada peserta didik. Satgas Saber Pungli merilis 58 jenis pungutan di sekolah yang berpotensi pungutan liar.
Dari ke 58 jenis pungutan itu, meski tak termaktub jelas tentang pungutan untuk membeli tiket pertunjukan teater, namun ada saja guru dan pihak sekolah yang cukup was-was jika hendak mengarahkan siswanya untuk menonton pertunjukan teater berbayar, takut tersandung pasal pungutan liar. Dalam kondisi begini, seakan guru yang tergencet dan acap kali tersalahkan.
Apakah membeli tiket petunjukan teater dalam rangka tugas mata pelajaran tergolong pungutan liar di sekolah? Jika dibuat jadi pertanyaan yang lebih mendasar: ketika peserta didik mengeluarkan sejumlah uang untuk kepentingan tugas mata pelajaran, apakah itu termasuk pungutan liar?  
Idealnya, semua pihak ingin pendidikan formal gratis 100% dengan mutu yang baik. Faktanya, negara belum mampu menyelenggarakan itu semua. Meski 20% APBN sudah digelontorkan buat pendidikan, tetap saja belum mampu menutupi penuh ongkos pendidikan formal di Indonesia. Masih ada biaya yang harus ditanggung peserta didik untuk terselenggaranya pendidikan yang diinginkan. Beberapa sekolah negeri masih memberlakukan pungutan-pungutan lantaran dana BOS dianggap kurang. Ini memang diperbolehkan, Kemendikbud sudah meluncurkan aturan tentang Sumbangan, Bantuan, dan Pungutan Pendidikan.  
Tentang pungutan liar ini memang pada akhirnya melibatkan semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan. Orang tua/wali siswa pun turut berandil besar dalam persoalan pungli di sekolah. Beberapa orang tua yang menyadari bahwa pendidikan dengan mutu tertentu memerlukan rupiah di luar dana pendidikan dari pemerintah, mungkin tidak akan terlalu rewel dengan pungutan-pungutan dari pihak sekolah selama wajar dan akuntabel. Namun banyak juga orang tua yang hobi protes tanpa memahami duduk perkara dengan seksama. Serta merta saja, jenis orang tua macam ini bisa melapor pada pihak berwajib, mengatakan terlah terjadi pungutan liar di sekolah tempat anaknya menimba ilmu. Apalagi jaman kini, seperti yang banyak bertebaran di kabar berita, lapor melapor polisi seakan menjadi jalan keluar terbaik untuk segala persoalan ketimbang bermusyawarah. Di lain sisi, tubuh Satgas ini pun belum ajeg benar. Masih ada multi persepsi tentang definisi dan kategori pungutan liar itu sendiri. Meski Satgas di bawah kendali Kemenkopolhukam ini sudah merili 58 jenis pungutan di sekolah yang berpotensi pungli, tafsir alternatif masih saja ada. Mungkin demikianlah hukum, sebagaimana sering dipertontonkan, para penegak dan ahli  hukum saling berakrobat, menawarkan tafsir-tafsir pasal yang dibuat selogis mungkin  demi “rasa keadilan”.
 
Ongkos Pembelajaran
Macam ragam motode atau cara guru menyampaikan materi pelajaran pada muridnya. Meski ada teori-teori metode pembelajaran yang dipelajari calon guru di Fakultas Pendidikan namun inovasi metode tetap dituntut demi tercapainya tujuan pembelajaran. Belajar kesenian tentu punya banyak metode selain ceramah di kelas, memaparkan teori-teori. Belajar kesenian, sebagaimana belajar olahraga, tentu membutuhkan praktik. Sukar dibayangkan jika belajar menari hanya dengan metode ceramah saja.
Menugaskan murid menonton pertunjukan teater pun boleh jadi salah satu metode pembelajaran drama yang cukup efektif. Yang jadi kurang tepat adalah ketika silabus mengatakan apresiasi drama atau teater sedangkan yang dilakukan malah menonton rekaman videonya. Salah kaprah karena rekaman video adalah dokumentasi, hasil rekaman, bukan pertunjukan. Seperti telah disinggung di atas tentang aspek ruang, waktu, dan peristiwa, menoton teater via Youtube atau dokumentasi pertunjukan lainnya secara langsung memupus aspek ruang, waktu, dan peristiwa itu. Justru ketiga aspek itulah yang membedakan tontonan dengan film. Cara mengapresiasinya pun berbeda. Jika mengapresiasi teater via video rekaman, sama saja dengan menonton film. Mata, mau tak mau, diwakili kamera. Pengalaman menonton langsung akan memberi pemahaman yang lebih kaya, dan pemahaman itu akan membentuk penilaian yang khas pula. Apresiasi seni pertunjukan via Youtube atau media rekam lainnya bukan tidak boleh, namun kurang tepat jika dikatakan itu adalah kegiatan apresiasi seni pertunjukan.
Metode pembelajaran seni dengan cara apresiasi seni pertunjukan setidak-tidaknya memerlukan biaya, setidaknya ongkos menuju tempat pertunjukan dan biaya tiket. Apakah negara menanggung semua biaya itu? BOS memang meringankan biaya pendidikan namun tidak semua keperluan pembelajaran bisa dibiayai BOS. Jika pun BOS bisa digunakan untuk membeli tiket pertunjukan teater atas nama pembelajaran mata pelajaran SBK, Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, kiranya kurang bijak juga jika masih banyak prioritas lain yang lebih layak didahulukan semisal kesejahteraan tenaga pendidik honorer.
Biaya-biaya macam ini mungkin sama saja ketika guru olahraga memberi materi praktik renang. Lantaran sekolah tidak punya kolam renang maka materi praktik renang musti dilakukan di kolam renang umum yang berbayar. Jika biaya itu dibebankan pada peserta didik, apakah biaya masuk kolam renang ini pun bisa terjerat pasal pungutan liar?
Inilah barangkali secuil realitas pendidikan dewasa ini. Satu sisi guru dituntut  inovatif, murid dituntut cerdas dan mencapai target pembelajaran, sedang ongkos-ongkos yang diberikan negara untuk mencapai itu semua sangat terbatas. Jika pun menyerahkan pembiayaan macam biaya masuk kolam renang atau tiket pertunjukan teater pada murid-murid (yang mungkin tidak lebih dari sekitar 15 atau 20 ribu, sudah berikut ongkos), dengan adanya Satgas Saber Pungli dengan sekian aturan-aturannya itu, posisi guru dan sekolah sebagai penyelenggara dan pengelola satuan tingkat pendidikan cukup terjepit, rikuh, dan serba was-was. Dilema.
Sebagai penutup tulisan ini, tawaran solusi yang mungkin bisa diupayakan terkait persoalan pungutan liar di sekolah adalah adanya dialog, diskusi, musyawarah antara  guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan, dan peserta didik serta orang tua/walinya tentang pungutan liar. Yang penting juga adalah hadirnya unsur Satgas Saber Pungli yang turut serta dalam forum itu agar dapat memberi pemahaman yang sejelas-jelasnya ihwal pungutan liar di lingkungan pendidikan. Persepsinya musti selaras agar tidak timbul saling curiga, was-was, dan ketakutan demi terwujudnya dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik.
 
Oktober 2018
 
Dimuat di tabloid Ganesha edisi 295 Volume VII Oktober 2018

Senin, 13 Agustus 2018

Siti Alimah Dan Lain-Lain; Ekstraksi Marlam#31

Sudah beberapa kali Marlam dihadiri oleh penulis yang cerpennya kami baca bersama, demikian pula Marlam#31 ini. Adalah Dadang Ari Murtono, penulis muda nan enerjik asal Mojokerto ini hadir di Rumah Koclak, bersama jemaah Marlam membincangkan Suluk Siti Alimah, cerpen eksperimental karyanya. Dikatakan eksperimental barangkali karena ada beberapa hal dalam cerpen ini yang lazimnya tidak ditemukan dalam cerpen pada umumnya. Selain karena cerpen ini cukup panjang dibanding dengan cerpen yang umum dikenal masa kini, yakni sepanjang 23 halaman dengan spasi 1 dan terdiri dari satu paragraf saja, cerpen ini pun memuat tabel didalamnya. Tabel ini berisi kisah atau hikmah yang diceritakan Siti Alimah pada suami-suaminya selama tiga puluh sembilan malam berturut-turut dimulai sejak malam pengantin. Siti Alimah dan suamianya duduk telanjang berhadapan. Siti Alimah lantas menceritakan suatu kisah, atau membacakan puisi dalam keadaan bugil itu. Setelah usai, Siti Alimah akan meninggalkan suaminya dalam keadaan telanjang tanpa sempat mereka saling menjamah. Konon, ini seperti yang dilakukan Amongraga dan istrinya, Tambangraras, yang termaktub dalam Serat Centini. Dan barulah pada malam keempat puluh, malam ketika tak ada lagi cerita, dan sebagai gantinya, lingga akan bertemu yoni.
 
Barangkali Suluk Siti Alimah ini sederhana saja ceritanya. Seorang perempuan bernama Siti Alimah “terobsesi” dengan Suluk Tambangraras (Serat Centini) dan mencoba mempraktikannya pada laku hidupnya. Suami pertamanya, Mundrikari, hanya sanggup hidup sampai hari ke tujuh belas. Ia mati kena serangan jantung. Ia mati dengan lingga tegak, dengan ujung yang masih basah. Suami keduanya, Ali Munir, juga mati dengan penis yang masih tegak. Ali Munir mati di hari ke tiga puluh tujuh sejak pernikahan. Ia mati di lokalisasi di hadapan seorang sundal bernama Ayu Buluk, sundal ke tiga yang ditidurinya malam itu. Ali Munir diceritakan bangkit kembali dari kematian pada hari ke tiga pasca kematiannya. Siti Alimah, yang sore itu baru saja selesai mencuci rambut panjangnya di sendang tepi kampung, mendengar tawa khas Ali Munir yang bangkit kembali.
 
Jika digambarkan dalam film, adegan awalnya mungkin terjadi sore hari ketika seorang gadis desa yang cantik, rambutnya basah karena baru selesai dicuci samar-samar  mendengar suara tawa yang sepetinya ia kenal, suara tawa Ali Munir, mantan suaminya yang mati tiga hari lalu. Sesederhana itu saja adegannya. Adegan lantas menjadi berdahan, berranting, dan berakar tepat ketika gadis cantik bernama Siti Alimah itu menggerak-gerakkan kupingnya seperti anjing. Dari zoom in kuping bergerak ini, penonton akan dibawa bertualang hingga ke kisah pendakian Pandawa. Ada juga fragmen kerusuhan sembilan delapan, pembantaian komunis enam lima dan masa lalu ayah Mundrikari yang sanggup mengenali terduga komunis hanya dari baunya, parang zaman Gajah Mada, masa kecil Siti Alimah dan permainan sunan kalijaga-kalijagaan yang absurd, cerita-cerita keperkasaan Ali Munir yang memuaskan tak hanya perempuan saja, ceria-cerita sex Mundrikari yang sempat menusuk pantat sapi, kanibalisme, malam-malam pengantin Siti Alimah, detil kematian Mundrikari, Ali Munir, Alimin, dan anjing Siti Alimah bernama Yudhistira, dan lain-lain. Cerpen ini memuat lebih dari satu cerita yang tidak bersusun secara urut atau kronologis dan seolah tidak terkait namun jika diurut-urut, kesemuan cerita itu terkait satu sama lain dengan satu nama yang jadi muasal kisah ini, Siti Alimah. Cerpen ini seperti jaring laba-laba di mana pusat jaring adalah Siti Alimah.
 
Sebenarnya tidak harus aneh dengan kisah Siti Alimah yang bercabang-cabang ini, toh hidup manusia sebenarnya memang demikian. Seorang manusia pada dasarnya selalu merupakan hasil dari dan penyebab untuk suatu hal bagi manusia lain. Dan manusia lain ini akan berlaku sebagai penyebab untuk dan hasil dari manusia lainnya lagi. Demikian seterusnya hingga nabi Adam, hingga Nur Muhammad, dan Tuhan. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang hadir dan berdiri tunggal. Hanya saja manusia biasanya membatasi penyebab dan hasil itu dengan batasan berupa kategori atau perspektif atau ukuran tertentu yang sebenarnya memutus jaring itu menjadi lebih pendek, barangkali agar lebih mudah dipahami dan diingat. Penjelasan ini mungkin juga bisa lebih terang bila kita mengamati film dan dialog-dialog pada film Lucy.
 
Tentang panjangnya cerpen ini, Dadang mengatakan semustinya pembaca tidak harus terperangah kaget, pasalnya cerpen di era awal-awal kehadirannya justru tidak sependek cerpen “konvensional” yang dikenal saat ini. Panjang pendeknya cerpen konon disebabkan oleh media muatnya. Dahulu, kala cerpen dimuat di majalah-majalah, panjangnya bisa berbelas bahkan berpuluh halaman. Sekarang, ketika cerpen banyak dimuat di koran-koran dengan kolom yang terbatas, cerpenis pun akhirnya  menyesuaikan. Dan malah dewasa ini lahir pula karangan prosa yang lebih pendek dari cerpen pada umumnya, fiksi mini.
 
Tentang isi cerpen, seperti lazimnya Marlam, banyak pendekatan dan perspektif yang  digunakan untuk membincangkannya. Ada yang membaca cerpen ini sebagai kisah suluk dalam arti perjalanan spiritual, bukan Siti Alimah, tapi justru sosok Ali Munir. Ada pula yang memfokuskan pembacannya pada konflik-konflik sosial yang dikisahkan dalam cerpen ini, semisal peristiwa pembantaian komunis pada kurun 1965 sampai 1967 dan ekses peristiwa kerusuhan 1998. Ada pula yang menilik pengaruh dongeng-dongeng sebelum tidur sang ibu Siti Alimah yang katanya terbenam di sub sadarnya dan turut membangun karakter serta kepribadian Siti Alimah yang hidupnya seolah penuh filosofi, sedari ia yang menautkan anjing peliharaannya dengan anjing yang turut menemai Yudhistira ke nirwana, permainan sunan kalijaga-kalijagaan yang ia ciptakan dan ia mengaku mendapat karomah dari Tuhan tatkala banjir bandang menerjang, sampai laku seksualnya yang terinspirasi dari Suluk Tambangraras dan obsesi-obsesinya akan Gatocolo dan Cebolang, dan bagaimana ia memilih suami yang cenderung menentang pandangan umum tentang suami idaman. Ada juga yang melihat teks ini sebagai dekonstruksi dari Suluk Tambangaras itu sendiri di mana ada pemutarbalikan posisi Amongraga dan Tambangraras dalam laku seksual Siti Alimah dan suami-suaminya.
 
Yang menarik, kehadiran tabel dalam cerpen ini yang menurut penulisnya tidaklah menggerakkan cerita. Tabel ini berisi empat puluh hikmah, kisah, atau laku (kegiatan) yang disampaikan Siti Alimah pada suaminya dalam keadaan keduanya telanjang dan berhadapan. Sang suami harus menyimak dengan khidmat dan seksama apa-apa yang disampaikan Siti Alimah tanpa diperkenankan menyentuh, menjamah sang istri, begitu pun sebaliknya. Kedua suaminya tewas sebelum malam keempat puluh dilakoni. Ini mirip kisah Amongraga dan Tambangraras dalam Serat Centini. Apakah Sulu Siti Alimah ini memang dekonstruksi darinya? Apakah memang tabel itu tidak menggerakkan cerita? Atau justru pada tabel itulah terletak kunci pembuka tabir Suluk Siti Alimah ini? Entahlah.
 
Dalam menguraikan peristiwa, Dadang cukuplah detil. Ia menuliskan pembunuhan Alimin dengan sangat detil. Demikian pula kematian Ali Munir dan Mundrikari. Kedua nama terakhir itu mati dalam keadaan penis menegang dan basah.
 
Tema seks memang cukup mendominasi dalam teks ini. Ada yang memandang seks ini sebagai metafor untuk menjelaskan sesuatu yang agung dan mistik, yang sukar bila dijelaskan dengan bahasa lugas. Peristiwa senggama dipandang sebagai laku suci yang darinya akan lahir seorang manusia. Seks adalah laku penciptaan kehidupan. Lewat seks manusia dimungkinkan menciptakan manusia lain. Lewat seks, Tuhan menitipkan takdir kelahiran, takdir penciptaan. Barangkali atas hal inilah mengapa dalam banyak kebudayaan seks menjadi hal yang sakral dan musti dilakukan dengan segenap seremoni. Seturut perkembangan kebudayaan, manusia lantas menciptakan suatu lembaga yang disebut perkawinan yang adalah gerbang laku penciptaan (seks) yang sakral itu. Perkawinan juga adalah kontrol sosial terhadap prilaku seks manusia yang konon promiskuitas pada muasalnya, dan bahkan inses. Tentang inses ini, ada yang berpendapat bahwa diusirnya Adam dan Hawa dari surga adalah karena mereka melakukan inses. Dikatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hawa adalah bagian dari atau barangkali “keturunan” Adam, dan hubungan seks diantara keduanya dilarang Tuhan. Iblis, yang konon menyamar menjadi ular yang konon merupakan simbol seksualitas, menghasut keduanya. Demikianlah salah satu interpretasi yang sempat mengemuka.
 
Hasrat promiskuitas manusia ini lantas melahirkan apa yang kini dikenal dengan lokalisasi. Dalam teks ini setidaknya ada dua lokalisasi yang disebut, Dolly dan Bungu. Keduanya memang ada ada kehidupan nyata, sedang tempat lain yang digunakan sebagai seting semisal Kabuta Lama dan Kabuta Baru adalah fiksi. Pada titik inilah, titik ketika realitas fakta dan fiksi berkelindan begitu rupa, pembaca diajak, atau dipaksa, menerima fiksi itu sebagai realitas yang utuh. Belum lagi kisah Siti Alimah yang konon menganggang beberapa meter diatas bumi tatkala bermian sunan kalijaga-kalijagaan, dan itulah yang menyelamatkannya dari banjir bandang. Juga kisah Ali Munir yang mampu memuaskan lima puluh lelaki dan sekian perempuan dalam waktu semalam dengan penis besinya yang empat pulun sentimeter itu. Beberapa peristiwa itu, peristiwa yang ganjil secara nalar logis itu, hadir berdampingan dengan peristiwa-peristiwa masih mampu diterima logika. Dengan demikian, apakah cerpen ini bisa dikategorikan sebagai realisme magis? Ataukah surrealis?
 
Apapun itu, agaknya Dadang memang cukup matang membaca beberapa teks-teks klasik dan kebudayaan Jawa. Dalam pandangan Jawa, kehidupan dan dunia ini tidak sepenuhnya musti logis a la Barat. Hidup dan dunia ini tidak terpisah tegas antara rasional dan tidak rasional, terindra dan tak terindra. Kesemua itu manunggal dalam sebuah kosmos kehidupan yang kompleks. Dan, seperti kehidupan yang kompleks, banyak anak cerita dalam cerpen ini yang memungkinkan didedah dengan beragam pisau analisis, oleh karenanya tulisan serampangan ini tentu jauh panggang dari api untuk memadai.
 
Kabarnya, cerpen ini telah dikembangkan menjadi novel dan diikutsertakan lomba penulisan novel. Kita do’akan saja semoga novelnya bisa lolos sebagai pemenang dan usia karyanya lebih panjang dari usia penulisnya. Alfaatihah.
 
Panjalu, 13 Agustus 2018
 
foto : patung tanpa kepala di Candi Sukuh
sumber internet

Senin, 06 Agustus 2018

Glorifikasi Kenangan


Saya cukup terinspirasi dengan film 300 besutan Zack Snyder. Berkisah tentang 300 prajurit Sparta yang berperang melawan serangan bangsa Persia. Pasukan Sparta yang dipimpin langsung oleh sang raja Leonidas melawan 300.000 lebih pasukan Persia. Orang-orang Sparta hanya bersenjatakan pedang dan tombak. Mereka membawa pula perisai dan helm logam sebagai pelindung. Sisanya, mereka hanya mengenakan jubah merah dan menutupi alat vital. Tidak ada baju zirah, kereta kuda apalagi tentara gajah macam pasukan Xarxes. Meski akhirnya Leonidas dan 298 pasukannya gugur namun peristiwa itu justru jadi kebanggaan tersendiri bagi Sparta. Dillios, salah seorang pasukan, sengaja dikirim pulang untuk menceritakan apa yang terjadi di “gerbang neraka”, tentang bagaiman mereka berperang dan untuk apa.
 
Kisah heroik macam begini tentu tidak hanya terjadi di Yunani sana saja. Tiap bangsa punya pahlawan dan kisah heroiknya sendiri-sendiri, baik terjadi di masa sangat lampau (klasik) maupun baru-baru (modern). Tentang heroisme di masa silam, ini sering kali menjadi kebanggaan yang diabadikan lewat cerita rakyat atau mitologi. Ada yang lisan saja atau ada pula yang didokumentasikan apik dalam sebuah atau beberapa naskah kuno. Pengabadian ini tentu punya makna dan fungsi penting bagi bangsa bersangkutan. Selain menyampaikan sejarah leluhur, pengabadian ini juga pada akhirnya akan memberi rasa bangga tersendiri, glorifikasi kenangan, dan akhirnya dapat juga membentuk karakter dan kepribadian.
 
Bangsa Sunda juga punya kisah heroik yang terekam dalam beberapa naskah kuno. Kisah perang Bubat adalah salah satu kisah heroik yang dimiliki bangsa Sunda. Meski, mungkin, kisah ini tidak sepopuler perang Troy di Barat sana, namun heroisme dramatiknya barangkali masih bisa disandingkan. Terkisahkan pada masa itu kerjaan Sunda dipimpin oleh seorang raja bernama Linggabuana. Dari permaisurinya, Dewi Laralingsing, beliau mempunyai dua anak. Yang cikal, seorang perempuan bernama Citraresmi. Yang bungsu, seorang laki-laki bernama Niskala Wastu Kancana. Saat sang cikal berusia sekitar 14 tahun, ia dihendak dipinang oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk. Pernikahan direncanakan diadakan di Trowulan, Majapahit. Berangkatlah rombongan kerajaan Sunda tanpa si bungsu yang saat itu baru 9 tahun dan Bunisora Soradipati, sang paman yang ditugaskan menjalankan roda pemerintahan selama raja pergi. Sebelum menuju lokasi hajat, rombongan calon pengantin perempuan berkemah di tegalan Bubat, dekat Trowulan. Kabar Prabu Hayam Wuruk akan menyambut ternyata tak benar. Yang ada, Gajah Mada datang dengan bala tentara ribuan. Sang Mahapatih ternyata memanfaatkan kedatangan rombongan kerajaan Sunda ini sebagai momen penaklukan kerajaan Sunda. Ini konsekuensi dari sumpah Amukti Palapa yang ia buat. Putri Citraresmi diposisikannya sebagai upeti tanda takluk pada Majapahit. Linggabuana yang mungkin dipikirnya akan menerima saja ternyata berontak melawan. Seluruh rombongan kerajaan, termasuk para perempuan, bertempur mati-matian. Pasukan Sunda kalah jumlah dan persenjataan, akhirnya semua gugur kecuali satu orang saja. Putri Cintraresmi sendiri memilih bunuh diri menggunakan tusuk konde pemberian pamannya, Bunisora.
 
Demikian kisah singkatnya menurut salah satu versi. Banyak sekali versi yang beredar dan masing-masing punya pengimannya. Bahkan ada pula yang mengatakan kisah perang Bubat adalah rekayasa penjajah Belanda sebagai bagian dari politik devide et impera yang mereka jalankan. Terlepas dari semua kontroversi itu, kisah Bubat dengan judul Sida Mokta Ning Bubat yang teks dramatiknya dikerjakan sastrawan Sunda Hadi Aks ini sejak 1998 dipentaskan dua tahun sekali dalam bentuk pertunjukan teater di Astana Gede, Kawali, pada acara Nyiar Lumar. Pembahasan ihwal Nyiar Lumar dan Astana Gede saya kira sudah bertebaran internet, buku-buku, atau tulisan di koran-koran cetak, jadi tidak perlu dibahas lagi di sini. Pada Nyiar Lumar 2018, ada sesuatu yang lain dari biasanya. Tentang pertunjukan dan konten acara yang digelar tentu saja berbeda tiap tahunnya. Kecuali itu, pada 2018 ini ada pula rombongan dari Bali, Tengger (Bromo), dan Mojokerto yang baru kali pertama ini turut berpartisipasi. Kedatangan mereka bukan sekedar untuk pentas atau mengapresiasi acara. Mereka datang sebagai representasi kerajaan Majapahit dan bermaksud melakukan rekonsiliasi kerajaan Majapahit dan kerajaan Sunda. Saya tidak tahu pasti apa dan bagaimana gagasan rekonsiliasi ini berawal. Secara sederhana saya menyimplkan : mungkin pihak Majapahit hendak mengajak bangsa Sunda untuk berdamai dengan masa lalu yang melibatkan dua kerajaan besar ini. Berdamai dengan kisah berdarah di tegalan Bubat. Berdamai dengan pahitnya kenyataan. Berdamai dengan diri sendiri.  
 
Sepintas, mungkin hal ini bisa dipandang biasa-biasa saja atau bahkan mungkin hal yang tidak penting sama sekali, toh banyak juga orang Sunda yang tidak tahu kisah ini dan tidak punya “sakit hati” macam apapun pada bangsa (kerajaan) Majapahit. Jangankan tahu dan memahami peristiwa peperangan berdarah itu, kebenaran tentang ada tidaknya perang Bubat pun hingga kini masih banyak diperdebatkan. Tapi bagi sebagian orang yang memahami kisahnya, menghayati, dan mengimaninya, peristiwa rekonsiliasi ini tentu punya nilai dan kesan tersendiri.
 
Ada yang beranggapan bahwa digelarnya pertunjukan perang Bubat tiap dua tahun sekali pada Nyiar Lumar itu justru melanggengkan dendam masa silam antara kerajaan  Sunda dan kerajaan Majapahit (ada yang meluaskannya menjadi dendam antara bangsa Sunda dan bangsa Jawa), bahwa pertunjukan itu hanya akan makin menebalkan kerak benci dan rasa sakit hati. Opini itu sah-sah saja, namanya juga opini. Namun sependek pembicaraan saya dengan Didon Nurdani yang adalah sutradara pertunjukan Perang Bubat 2018 sekaligus pula panitia Nyiar Lumar, pertunjukan itu sama sekali bukan bermaksud mengabadikan dendam sejarah. Spirit yang diusungnya bukan dendam atau kebencian. Yang diharapkan menempel pada ingatan dan batin penonton (dan juga pemain) adalah spirit bangsa Sunda saat itu yang berani melawan meski dalam situasi tidak memungkinan untuk menang secara logika militer. Hal lain yang diharapkan terbawa pulang oleh apresiator dan pemain adalah kebijaksanaan Bunisora dan Niskala Wastu Kancana yang enggan untuk balas menyerang dikemudian hari. Spirit keberaian dan kebijaksanaan ini yang lantas menjadi kebanggaan bangsa Sunda dan semustinya menjadi jati diri bangsa Sunda. Demikian papar Didon Nurdani.
 
Saya pun sempat berbincang dengan penyair dan cerpenis Toni Lesmana yang beberapa karyanya banyak terinspirasi dari Astana Gede dan kisah-kisah tentangnya, termasuk peristiwa perang Bubat. Kami bercakap tentang nasib pertunjukan Perang Bubat pasca rekonsiliasi Majapahit dan Sunda. Hampir senada dengan sang sutradara, ia berpandangan bahwa spirit yang mustinya melandasi adalah spirit perlawan minoritas melawan hegemoni mayoritas. Sunda, pada saat peristiwa Bubat, berposisi sebagai minoritas baik dalam segi jumlah pasukan maupun persenjataan. Kecuali itu, Majapahit memang superior jika dilihat dari luas kawasan dan jumlah wilayah taklukan. Si kecil melawan si besar, inferior versus superior, minoritas kontra mayoritas. Dalam kondisi lain, mungkin bisa juga dianalogikan proletariat versus kapitalis dalam paradigma Marxisme. Keberanian kaum tertindas melawan hegemoni. Semangat ini yang harus digaris bawahi dan dicetak tebal menurut Toni Lesmana, dan mungkin harus juga diejawantahkan dalam semua bidang kehidupan.
 
Kondisi mayor minor macam ini masih ada hingga sekarang, tentu dengan pelbagai manifestasi. Pasca pilpres 2014, situasi mayor minor terasa makin menguat dalam denyut politik nasional. Keterlibatan unsur agama dan pemukan agama dalam kontestasi politik nasional menjadikan isu mayor minor ini terasa makin kuat bahkan hingga ke daerah-daerah dan terdifusi keluar ranah politik. Singkatnya, kondisi oposisi biner macam begini, di berbagai bidang kehidupan, agaknya akan bertahan cukup lama. Entah karena hal ini adalah pola alamiah dalam kehidupan atau artificial condition demi tujuan-tujuan tertentu, namun yang jelas spirit ketahanan, keberanian, dan perlawanan ini yang idealnya harus terus ada jika kita (saya dan/atau Anda) berposisi sebagai minoritas dalam kondisi tertindas. Semangat perlawanan ini tentu tidak serta merta harus selalu membara dalam semua situasi. Ada waktu dan kondisi tertentu yang memang menuntut demikian, ada pula kalanya kita woles-woles aja.
 
Tentang pertunjukan perang Bubat, jika titik fokusnya pada keberanian dan kebijaksanaan bangsa Sunda dan bukan pada dendam dan kebencian, barangkali perlu ada sedikit peracikan ulang teks dan interpretasinya agar lebih menajamkan fokus pada spirit yang dimaksud. Mungkin perlu juga dikisahkan tentang kebijaksanaan dan kecerdasan Bunisora Soradipati yang mampu menjaga stabilitas mental Niskala Wastu Kancana dan rakyat kerajaan Sunda secara umum pasca tragedi Bubat. Ia juga dianggap berhasil menjaga stabilitas negeri Sunda dalam konteks negara dan pemerintahan. Dengan sigap dan bijak ia tidak membiarkan kerajaan Sunda dalam posisi vacuum of power. Atau mungkin mengisahkan tentang keberhasilan Niskala Wastu Kancana membangun dan mengembangkan kerajaan Sunda menjadi lebih baik. Kejayaan ini justru terjadi pasca kehancuran jika peristiwa Bubat dimaknai sebagai kehancuran. Atau kisah-kisah yang lain yang masih erat kaitannya dengan persitiwa Bubat. Itu menurut saya. Pendapat orang lain tentu boleh saja berbeda. Sah-sah saja, namanya juga opini. Yang penting tetap damai, menjaga daulat nurani, dan akal sehat.

 

Panjalu, 6 Agustus 2018
 
foto : cover novel bPerang Bubat karya Yoseph Iskandar
 
 

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...