ADUH karya Putu Wijaya ditulis pada 1970
– 1973. Drama tiga babak ini berkisah tentang sekelompok orang yang tiba-tiba
kedatangan orang yang nampak kesakitan segera setelah terdengar suara sirine
dari kejauhan. Orang itu hanya mengatakan aduh dan aduh melulu sampai akhirnya
ia mati. Orang-orang terus bercekcok tentang si sakit: siapa, dari mana, sakit
apa, hingga tindakan apa yang akan mereka ambil tanpa menolongnya sama sekali. Hanya
bicara melulu, saling berdebat dalam nuansa keragu-raguan sampai akhirnya si
sakit itu mati. Orang-orang itu merasa menyesal dan berencana menguburkannya
namun jangankan mengubur, mengangkatya saja tak mampu. Mereka lantas memutuskan
menungggu sampai pagi hari. Sementara yang lain tertidur, salah seorang malah
merampok si mayat. Singkat cerita mayat kemudian digotong hendak dikubur.
Diperjalanan, gerombolan anjing datang mengganggu. Orang-orang panik,
belingsatan dan melempar si mayat ke sumur. Beberapa di antara mereka terluka
dan mengaduh. Suara sirine bersahutan menambah suasana jadi kacau. Salah satu
di antara mereka mengaduh dan mendatangi kerumuman kawannya persis seperti
bagian awal cerita ini. Dan demikian terus berulang.
Teks ini tidak menceritakan seting
tempat namun memiliki seting waktu yang cukup jelas. Tidak pula ada identitas
berupa nama atau penjelasan karakter tokoh. Ini memang boleh jadi khas Putu
Wijaya dalam karya-karya dramanya. Identitas menjadi cair, siapa bisa menjadi
apa. Peristiwa bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja sebab
tidak menyebutkan masa waktu tertentu. Dan meski telah berusia hampir 50 tahu,
substansi teks ini masih dirasa relevan dengan masa kini sebab yang disampaikan
memang perkara kemanusiaan yang tak lekang waktu. Peristiwa macam itu bisa saja
benar-benar ada dewasa ini, di mana saja.
Prodi Seni Teater Fakultas Seni Pertunjukan,
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) memanggugkan lakon ini pada Minggu malam, 2
Desember 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya pada perhelatan Festival Putu
Wijaya. Dimainkan oleh sekitar 13 pemain, ADUH disuguhkan dengan nuansa yang
lebih kekinian.
Memasuki ruang pertunjukan, penonton
disuguhi mandi cahaya lampu disko diiringi lagu Ayah milik Ebit G. Ade versi
koplo. Penonton seperti akan dibawa bertualang ke tempat semacam klub malam
barangkali. Setelah lampu disko padam, dalam gelap seseorang masuk panggung
membawa semacam lampu darurat dan kertas, ia seperti berupaya membaca.
Ilustrasi musik suling Sunda mengantar langkah seseorang yang sekilas terlihat
bersorban itu keluar. Mobil remote
control yang dipasangi lampu semacam lampu senter yang menyorot ke berbagai
arah masuk berkeliling lantas berputar makin kencang berbarengan dengan
suara-suara serupa di jalan: deru kendaraan, klakson, dan lain-lain. Setelah
lampu panggung benar-benar terang nampak belasan orang berbusana aneka warna. Di
belakang, tumpukan kardus-kardus menggunung. Beberapa sobekan kardus beserakan
hingga ke tangga panggung. Scaffolding
berdiri tegak di lantai depan apron bagian kiri panggung. Beberapa level nampak
sengaja ditutupi kardus agar terkesan senada. Kabel-kabel bergelayutan di atas
panggung.
Tiba-tiba saja terdengar suara
“aduuuh…aduuuuh” entah dari mana. Para pemain membentuk grouping
seperti mencari-cari sumber suara. Tak lama, sosok berbusana putih
compang-camping seperti hantu-hantu dalam film produksi dalam negeri datang
tergopoh-gopoh, berjalan perlahan dari arah penonton. Orang pucat mirip hantu
itu hanya mengaduh saja. Ketika ditanya tentang sakit yang dideritanya ia hanya
menjawab aduh dan aduh. Seraya tubuhnya bergerak, terdengar suara seperti suara
gerakan robot-robot di film : tiiit, teeet, teeeng, ngiiik, dan lain-lain.
Selanjutnya dialog-dialog perdebatan tentang
kesakitan si sakit dan sikap yang akan mereka ambil mengisi adegan. Mereka ragu
untuk menolong sebab trauma kejadian yang lalu, yang hampir mirip dengan yang
mereka hadapi sekarang. Ada perubahan sikap yang terjadi. Sekelompok orang itu
yang asalnya nampak simpati dan bermaksud menolong, karena berdebatan antar
mereka sendiri malah berubah jadi seperti benci pada si sakit. Dianggapnya
sakitnya itu bohong belaka, tipu-tipu. Tentang sakit bohongan ini mungkin
menyegarkan ingatan pemirsa Indonesia tentang seorang politisi kaya raya yang
harus membuat drama sakit-sakitan dan kecelakaan lalu lintas lantaran enggan
diperiksa KPK. Aduh!
Keragu-raguan dan perdebatan ini
terus berlangsung hingga si sakit dipastikan mati setelah diperiksa oleh
semacam dokter lewat adegan pantomim. Tubuhnya kaku, tak bergerak. Mereka semua
nampak menyesal dan bersedih. Tapi ini justru menimbulkan masalah baru. Apa
yang akan dilakukan selanjutnya? Setelah berdebat cukup alot dan berbelit,
akhirnya semua sepakat untuk menguburkan si mayat. Namun jangankan mengubur,
mengangkatnya saja mereka kesulitan. Mereka memutuskan untuk memeriksa tubuh si
mayat, barangkali ada identitas yang bisa jadi petunjuk. Perdebatan tentang
jenis kelamin si mayat pun sempat mengemuka dengan tidak menghasilkan solusi
berarti.
Setelah sekian kali berusaha
mengangkat si mayat, entah mengapa, tiba-tiba mereka semua seperti kerasukan,
menggeliat-geliat, mengaduh, berteriak-teriak. Suasana kacau. Beberapa pemain
menabrak tumpukan kardus-kardus sampai roboh. Beberapa saat kemudia lampu
berubah merah. Tiga boneka dua dimensi berbentuk manusia muncul dan menggatung
di atas. Seseorang lantas terlihat membawa dua boneka lain dengan kedua
tangannya. Sembari itu lampu panggung memerah. Suasana terasa chaos. Tiba-tiba
saja lampu padam dan kekacauan itu berakhir. Panggung gelap. Masuk tokoh
pembawa lampu darurat. Ia membantu si mayat bangun dan memapahnya ke arah
penonton. Si tokoh bersorban itu keluar dan mobil pembawa lampu masuk kembali
seperti adegan awal. mendadak saja lampu menyala terang. Para pemain bangun dan
berjingkrak menari. Sementara itu MC mengumumkan bahwa pertunjukan telah usai.
Sekilas melihat dari kostum yang
dikenakan para pemain, teks ini berupaya untuk dibawakan dengan nuansa ngepop
dan kekinian. Pilihan warna-warna mencolok serta aksesoris yang dikenakan cukup
menguatkan itu. Kecuali itu, kesan ini diperkuat pula oleh gaya tutur keminggris yang dibawakan oleh salah
seorang pemain. Kekayaan ragam dialek daerah diupayakan pula terangkat dalam
lakon ini. Betawi, Jawa, dan Sunda menjadi pilihan dialek beberapa aktor meski
tidak secara konsisten dibawakan. Ada bagian ketika salah seorang aktor
berbicara bahasa Sunda yang meski terdengar kaku dengan diksi yang aneh pula
namun cukup mengundang gelak tawa penonton. Yang bersinar barangkali hanya
tokoh kribo dengan logat Betawi kentalnya. Aktingnya terasa natural. Dialog dan
tubuhnya seperti menyampaikan kejujuran akting. Di antara belasan pemain,
barangkali ia satu-satunya yang lebih “menjadi” ketimbang yang lain yang terasa
artifisial.
Agaknya pertunjukan ini diupayakan
dinamis sekaligus cair. Upaya menyelipkan interupsi a la Brechtian nampak pada adegan ketika sekelompok orang itu seperti
berusaha membangunkan kembali si mayat dengan semacam doa. Ritual itu mereka
kemas dengan potongan tari Ratoh Jaroe, mirip tari Saman. Ketika mereka selesai
menari dan si mayat tak kunjung bangun, masuk seseorang seperti semacam pelatih
atau instruktur dengan pakaian khas Melayu. Ia memarahi para pemain yang
diangggapnya tak serius. Adegan cair. Sangat mencair. Belasan pemain itu
seketika seperti lepas dari peran panggung dan menjadi diri mereka sendiri.
Sayangnya adegan ini seperti kurang mendapat porsi, terkesan sekedar saja,
tidak berenegi sehingga terasa hambar dan gaje.
Adegan muntah-muntahnya sekelompok
orang itu lantaran bau busuk yang diduga berasal dari si mayat sepertinya diupayakan
juga menjadi serupa teror. Semua pemain muntah-muntah sampai keluar panggung,
ke kursi penonton diiringi suara-suara serupa suara iklan radio yang tumpang
tindih.
Sayangnya upaya-upaya yang dilakukan
agaknya belum berhasil menjadikan tontonan cukup menarik tanpa kehilangan
makna. Dinamika bloking para pemain agaknya terlalu berlebihan dan
diulang-ulang, alih-alih menyuguhkan kesan panik dan kacau malah cenderung
menjemukan, menjadikan irama permainan menjadi monoton, kurang terasa kencang
kendor. Kejemuan ini diperparah dengan respon dialog yang cenderung lambat,
tidak terjadi ping-pong yang barangkali bisa menolong menaikan tensi permainan.
Meski tokoh-tokoh pada teks ADUH tidak memiliki nama, agaknya itu tidak bisa
menjadi alasan untuk akting yang tidak menubuh. Betapapun dialog-dialog ADUH
bisa ditukar-tukar, dituturkan siapa saja namun tetap harus dimiliki sebagai
“kataku” oleh si penutur agar kata-kata itu tidak mubadzir, berserakan begitu
saja tanpa energi. Hal ini yang agaknya mendominasi pertunjukan ADUH malam itu.
Irama dan dinamika permainan yang
disutradarai JR Siregar ini lebih terkesan monoton saja. Perubahan sikap
sekelompok orang pada si sakit yang kemudian jadi si mayat itu antara heran,
ragu, murka, marah, panik, menyesal, bingung dan sebagainya yang padahal cukup
kentara dalam teks agaknya tidak nampak. Hal lain yang cukup menarik adalah
ketika salah seorang di antara mereka kesurupan dan lantas menular pada yang
lain. Adegan ini seperti menjumpakan dua hal yang selama ini seperti agak
berjauhan dalam kehidupan sehari-hari: supranatural dan urban culture. Respon “tubuh-tubuh kota” terhadap fenomena
kesurupan yang hadir malam itu bisa jadi perjumpaan yang menarik namun
sayangnya sepertinya agak luput dari tangan sutradara. Laku kesurupan yang ada
malah tidak menemukan momentumnya lantaran kurang diberi porsi yang cukup dan
fokus adegan kabur. Jika saja perjumpaan ini ditunjang oleh gagasan ketubuhan
yang dialektis, barangkali akan jadi tawaran sintesa yang menarik.
Kecuali hal barusan di atas, tentang
kehadiran tokoh pembawa lampu darurat pun malah seperti membelokkan premis,
mencipta gagasan baru, atau setidak-tidaknya berupaya memberi konklusi.
Kehadirannya seolah ingin mengatakan bahwa pada akhirnya, hanya “sosok
bersorban”lah yang bersedia menolong si sakit, yang sedari tadi, hingga matinya
ia, tak ada satu pun yang bersedia menolong. Meski dirasa terlalu naif dan
cenderung simplifikatif, namun barangkali ini sah saja sebagai tafsir
alternatif.
Panjalu, 3 Desember
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar