Selasa, 11 Desember 2018

Tafsir alternatif ADUH oleh Prodi Teater IKJ

ADUH karya Putu Wijaya ditulis pada 1970 – 1973. Drama tiga babak ini berkisah tentang sekelompok orang yang tiba-tiba kedatangan orang yang nampak kesakitan segera setelah terdengar suara sirine dari kejauhan. Orang itu hanya mengatakan aduh dan aduh melulu sampai akhirnya ia mati. Orang-orang terus bercekcok tentang si sakit: siapa, dari mana, sakit apa, hingga tindakan apa yang akan mereka ambil tanpa menolongnya sama sekali. Hanya bicara melulu, saling berdebat dalam nuansa keragu-raguan sampai akhirnya si sakit itu mati. Orang-orang itu merasa menyesal dan berencana menguburkannya namun jangankan mengubur, mengangkatya saja tak mampu. Mereka lantas memutuskan menungggu sampai pagi hari. Sementara yang lain tertidur, salah seorang malah merampok si mayat. Singkat cerita mayat kemudian digotong hendak dikubur. Diperjalanan, gerombolan anjing datang mengganggu. Orang-orang panik, belingsatan dan melempar si mayat ke sumur. Beberapa di antara mereka terluka dan mengaduh. Suara sirine bersahutan menambah suasana jadi kacau. Salah satu di antara mereka mengaduh dan mendatangi kerumuman kawannya persis seperti bagian awal cerita ini. Dan demikian terus berulang.
Teks ini tidak menceritakan seting tempat namun memiliki seting waktu yang cukup jelas. Tidak pula ada identitas berupa nama atau penjelasan karakter tokoh. Ini memang boleh jadi khas Putu Wijaya dalam karya-karya dramanya. Identitas menjadi cair, siapa bisa menjadi apa. Peristiwa bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja sebab tidak menyebutkan masa waktu tertentu. Dan meski telah berusia hampir 50 tahu, substansi teks ini masih dirasa relevan dengan masa kini sebab yang disampaikan memang perkara kemanusiaan yang tak lekang waktu. Peristiwa macam itu bisa saja benar-benar ada dewasa ini, di mana saja.
Prodi Seni Teater Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) memanggugkan lakon ini pada Minggu malam, 2 Desember 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya pada perhelatan Festival Putu Wijaya. Dimainkan oleh sekitar 13 pemain, ADUH disuguhkan dengan nuansa yang lebih kekinian.
Memasuki ruang pertunjukan, penonton disuguhi mandi cahaya lampu disko diiringi lagu Ayah milik Ebit G. Ade versi koplo. Penonton seperti akan dibawa bertualang ke tempat semacam klub malam barangkali. Setelah lampu disko padam, dalam gelap seseorang masuk panggung membawa semacam lampu darurat dan kertas, ia seperti berupaya membaca. Ilustrasi musik suling Sunda mengantar langkah seseorang yang sekilas terlihat bersorban itu keluar. Mobil remote control yang dipasangi lampu semacam lampu senter yang menyorot ke berbagai arah masuk berkeliling lantas berputar makin kencang berbarengan dengan suara-suara serupa di jalan: deru kendaraan, klakson, dan lain-lain. Setelah lampu panggung benar-benar terang nampak belasan orang berbusana aneka warna. Di belakang, tumpukan kardus-kardus menggunung. Beberapa sobekan kardus beserakan hingga ke tangga panggung. Scaffolding berdiri tegak di lantai depan apron bagian kiri panggung. Beberapa level nampak sengaja ditutupi kardus agar terkesan senada. Kabel-kabel bergelayutan di atas panggung.
Tiba-tiba saja terdengar suara “aduuuh…aduuuuh” entah dari mana. Para pemain membentuk  grouping seperti mencari-cari sumber suara. Tak lama, sosok berbusana putih compang-camping seperti hantu-hantu dalam film produksi dalam negeri datang tergopoh-gopoh, berjalan perlahan dari arah penonton. Orang pucat mirip hantu itu hanya mengaduh saja. Ketika ditanya tentang sakit yang dideritanya ia hanya menjawab aduh dan aduh. Seraya tubuhnya bergerak, terdengar suara seperti suara gerakan robot-robot di film : tiiit, teeet, teeeng, ngiiik, dan lain-lain.
Selanjutnya dialog-dialog perdebatan tentang kesakitan si sakit dan sikap yang akan mereka ambil mengisi adegan. Mereka ragu untuk menolong sebab trauma kejadian yang lalu, yang hampir mirip dengan yang mereka hadapi sekarang. Ada perubahan sikap yang terjadi. Sekelompok orang itu yang asalnya nampak simpati dan bermaksud menolong, karena berdebatan antar mereka sendiri malah berubah jadi seperti benci pada si sakit. Dianggapnya sakitnya itu bohong belaka, tipu-tipu. Tentang sakit bohongan ini mungkin menyegarkan ingatan pemirsa Indonesia tentang seorang politisi kaya raya yang harus membuat drama sakit-sakitan dan kecelakaan lalu lintas lantaran enggan diperiksa KPK. Aduh!
Keragu-raguan dan perdebatan ini terus berlangsung hingga si sakit dipastikan mati setelah diperiksa oleh semacam dokter lewat adegan pantomim. Tubuhnya kaku, tak bergerak. Mereka semua nampak menyesal dan bersedih. Tapi ini justru menimbulkan masalah baru. Apa yang akan dilakukan selanjutnya? Setelah berdebat cukup alot dan berbelit, akhirnya semua sepakat untuk menguburkan si mayat. Namun jangankan mengubur, mengangkatnya saja mereka kesulitan. Mereka memutuskan untuk memeriksa tubuh si mayat, barangkali ada identitas yang bisa jadi petunjuk. Perdebatan tentang jenis kelamin si mayat pun sempat mengemuka dengan tidak menghasilkan solusi berarti.
Setelah sekian kali berusaha mengangkat si mayat, entah mengapa, tiba-tiba mereka semua seperti kerasukan, menggeliat-geliat, mengaduh, berteriak-teriak. Suasana kacau. Beberapa pemain menabrak tumpukan kardus-kardus sampai roboh. Beberapa saat kemudia lampu berubah merah. Tiga boneka dua dimensi berbentuk manusia muncul dan menggatung di atas. Seseorang lantas terlihat membawa dua boneka lain dengan kedua tangannya. Sembari itu lampu panggung memerah. Suasana terasa chaos. Tiba-tiba saja lampu padam dan kekacauan itu berakhir. Panggung gelap. Masuk tokoh pembawa lampu darurat. Ia membantu si mayat bangun dan memapahnya ke arah penonton. Si tokoh bersorban itu keluar dan mobil pembawa lampu masuk kembali seperti adegan awal. mendadak saja lampu menyala terang. Para pemain bangun dan berjingkrak menari. Sementara itu MC mengumumkan bahwa pertunjukan telah usai.
Sekilas melihat dari kostum yang dikenakan para pemain, teks ini berupaya untuk dibawakan dengan nuansa ngepop dan kekinian. Pilihan warna-warna mencolok serta aksesoris yang dikenakan cukup menguatkan itu. Kecuali itu, kesan ini diperkuat pula oleh gaya tutur keminggris yang dibawakan oleh salah seorang pemain. Kekayaan ragam dialek daerah diupayakan pula terangkat dalam lakon ini. Betawi, Jawa, dan Sunda menjadi pilihan dialek beberapa aktor meski tidak secara konsisten dibawakan. Ada bagian ketika salah seorang aktor berbicara bahasa Sunda yang meski terdengar kaku dengan diksi yang aneh pula namun cukup mengundang gelak tawa penonton. Yang bersinar barangkali hanya tokoh kribo dengan logat Betawi kentalnya. Aktingnya terasa natural. Dialog dan tubuhnya seperti menyampaikan kejujuran akting. Di antara belasan pemain, barangkali ia satu-satunya yang lebih “menjadi” ketimbang yang lain yang terasa artifisial.
Agaknya pertunjukan ini diupayakan dinamis sekaligus cair. Upaya menyelipkan interupsi a la Brechtian nampak pada adegan ketika sekelompok orang itu seperti berusaha membangunkan kembali si mayat dengan semacam doa. Ritual itu mereka kemas dengan potongan tari Ratoh Jaroe, mirip tari Saman. Ketika mereka selesai menari dan si mayat tak kunjung bangun, masuk seseorang seperti semacam pelatih atau instruktur dengan pakaian khas Melayu. Ia memarahi para pemain yang diangggapnya tak serius. Adegan cair. Sangat mencair. Belasan pemain itu seketika seperti lepas dari peran panggung dan menjadi diri mereka sendiri. Sayangnya adegan ini seperti kurang mendapat porsi, terkesan sekedar saja, tidak berenegi sehingga terasa hambar dan gaje.
Adegan muntah-muntahnya sekelompok orang itu lantaran bau busuk yang diduga berasal dari si mayat sepertinya diupayakan juga menjadi serupa teror. Semua pemain muntah-muntah sampai keluar panggung, ke kursi penonton diiringi suara-suara serupa suara iklan radio yang tumpang tindih.
Sayangnya upaya-upaya yang dilakukan agaknya belum berhasil menjadikan tontonan cukup menarik tanpa kehilangan makna. Dinamika bloking para pemain agaknya terlalu berlebihan dan diulang-ulang, alih-alih menyuguhkan kesan panik dan kacau malah cenderung menjemukan, menjadikan irama permainan menjadi monoton, kurang terasa kencang kendor. Kejemuan ini diperparah dengan respon dialog yang cenderung lambat, tidak terjadi ping-pong yang barangkali bisa menolong menaikan tensi permainan. Meski tokoh-tokoh pada teks ADUH tidak memiliki nama, agaknya itu tidak bisa menjadi alasan untuk akting yang tidak menubuh. Betapapun dialog-dialog ADUH bisa ditukar-tukar, dituturkan siapa saja namun tetap harus dimiliki sebagai “kataku” oleh si penutur agar kata-kata itu tidak mubadzir, berserakan begitu saja tanpa energi. Hal ini yang agaknya mendominasi pertunjukan ADUH malam itu.
Irama dan dinamika permainan yang disutradarai JR Siregar ini lebih terkesan monoton saja. Perubahan sikap sekelompok orang pada si sakit yang kemudian jadi si mayat itu antara heran, ragu, murka, marah, panik, menyesal, bingung dan sebagainya yang padahal cukup kentara dalam teks agaknya tidak nampak. Hal lain yang cukup menarik adalah ketika salah seorang di antara mereka kesurupan dan lantas menular pada yang lain. Adegan ini seperti menjumpakan dua hal yang selama ini seperti agak berjauhan dalam kehidupan sehari-hari: supranatural dan urban culture. Respon “tubuh-tubuh kota” terhadap fenomena kesurupan yang hadir malam itu bisa jadi perjumpaan yang menarik namun sayangnya sepertinya agak luput dari tangan sutradara. Laku kesurupan yang ada malah tidak menemukan momentumnya lantaran kurang diberi porsi yang cukup dan fokus adegan kabur. Jika saja perjumpaan ini ditunjang oleh gagasan ketubuhan yang dialektis, barangkali akan jadi tawaran sintesa yang menarik.       
Kecuali hal barusan di atas, tentang kehadiran tokoh pembawa lampu darurat pun malah seperti membelokkan premis, mencipta gagasan baru, atau setidak-tidaknya berupaya memberi konklusi. Kehadirannya seolah ingin mengatakan bahwa pada akhirnya, hanya “sosok bersorban”lah yang bersedia menolong si sakit, yang sedari tadi, hingga matinya ia, tak ada satu pun yang bersedia menolong. Meski dirasa terlalu naif dan cenderung simplifikatif, namun barangkali ini sah saja sebagai tafsir alternatif.        
 
 
Panjalu, 3 Desember 2018 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...