Selasa, 11 Desember 2018

DOR yang kurang menggeDOR; catatan kecil pementasan DOR-nya Teater Api Indonesia



Kecenderungan sebagian kelompok teater memilih genre teater tubuh jamak ditemukan di berbagai tempat, khususnya kota-kota besar sebagai pusat perkembangan seni teater. Dialog-dialog digubah sedemikian rupa menjadi hanya laku tubuh semata. Kata-kata menjadi penting hanya ketika proses bedah naskah saja guna memahami premis sang penulis naskah. Selanjutnya kata-kata itu akan bertransformasi, menubuh di tubuh-tubuh aktor menjadi gagasan-gagasan yang musti disampaikan lewat bahasa performatif teater minus kata-kata.

Menggubah teks drama verbal menjadi laku tubuh nirkata sejatinya barangkali semacam upaya menggendapkan kata-kata, membuatnya makin padat, mengkristal, semacam puisi barangkali. Upaya ini tentu bukan tanpa resiko. Pilihan menubuhkan teks verbal tentu mensyaratkan tubuh-tubuh aktor yang jujur dan penuh daya agar mampu menyampaikan energi, gagasan, dan motif secara tepat pada penonton. Kecuali itu, metafor-metafor artistik, selain dipahami sebagai simbol, tentu diharapkan mampu memberi impresi yang menghujam dan tepat  agar tontonan menjadi menarik sekaligus tidak kehilangan makna dan terjebak ke dalam parade tubuh-tubuh belaka.

Upaya menubuhkan teks verbal ini nampak dilakukan oleh Teater Api Indonesia asal Surabaya. Lakon DOR karya Putu Wijaya yang cukup tebal dan penuh kata-kata disajikan dalam genre teater tubuh, tanpa kata sama sekali pada Festival Putu Wijaya di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT). Dialog yang panjang dan banyak itu bertransformasi menjadi metafor  audio non verbal, visual, dan laku.

Entah kapan pertunjukan dimulai. Sejak masuk dan memilih tempat duduk, penonton sudah disajikan lampu gantung menyala yang bergoyang-goyang plus bunyi konstan seperti pukulan kaleng. Suasana itu barangkali mirip adegan interogasi di film-film namun tanpa interogator dan tersangka, seolah semua yang hadir menyaksi bisa jadi tersangka atau interogator itu sendiri, atau hanya menonton saja dan merasakan suasana penuh tanda tanya. Tanpa kata-kata pengantar pertunjukan, tanpa pembawa acara, gimik ini cukup berhasil menciptakan atmosfer khas dan merangsang imajinasi penonton, menariknya pada suasana lain tepat ketika memasuki ruang pertunjukan. Barangkali semacam teror juga. Hadir begitu saja tanpa permisi.

Setelah lampu menyala lebih terang, nampaklah tiga buah lampu yang menggantung tepat di atas tanda lingkaran yang melekat di lantai panggung. Satu lingkaran di bagian tengah dibuat serupa visir bidik senapan. Apapun yang berada tepat di tengahnya seolah merupakan target tembak, objek buruan. Di bagian belakang menjulang seng warna perak berbentuk delta terbalik, macam sayap pesawat tatkala menukik. Di atasnya ada bendera-bendera segitiga kecil melintang, mirip dekorasi yang lazim pada acara perayaan-perayaan.  

Kehadiran tokoh pembawa pedang dan timbangan yang berdiri tepat di tengah visir kemudian  dikalahkan tokoh berjas, bercelana bahan, bersepatu pantopel, bertopeng kaleng yang membawa troli berisi kaleng-kaleng di bagian awal menjadi kunci penting memahami adegan-adegan selanjutnya. Barangkali tokoh pembawa pedang dan timbangan ini dimaksudkan sebagai Dewi Themis, tokoh mitologi Yunani yang kemudian diadopsi luas sebagai Dewi Keadilan. Timbangan di kiri sering diartikan sebagai azas hukum justice for all dan equality before the law. Sedang pedang di kanan biasa dimaknai sebagai ketegasan penegakan hukum. Suatu azas yang – setidaknya di Indonesia atau di beberapa tempat lain – hanya ada di dunia ide tanpa benar-benar membumi dan tegak.

Adegan-adegan selanjutnya lebih seperti fragmen-fragmen yang masing-masing berdiri sendiri. Barangkali kehadiran kaleng-kaleng di tiap adegan dimaksudkan sebagai benang merah dari fragmen-fragmen ini. Sedari awal kaleng-kaleng hadir dalam pelbagai varian bentuk dan fungsi. Properti ini dibawa, dimainkan, direspon, diperlakukan oleh aktor sebagai sesuatu yang bukan kaleng semata. Kaleng menjadi topeng, sandal, koper, moncong, timbangan, palu, dan kaleng itu sendiri. Kaleng-kaleng disusun, ditumpuk, dipukul, diinjak, dilempar ke udara, dan dilemparkan membabi buta ke arah set di bagian belakang. Selain brang breng brong suara kaleng berjatuhan, kaleng beradu, dipukul, diinjak-injak, senandung throat singing sempat pula hadir di bagian awal menyapa telinga penonton. 

 

Simplifikasi makna

DOR-nya Teater Api Indonesia yang disutradarai Luhur Kayungga itu meruang sekitar satu jam di panggung prosenium GKKT. Sedari dibuka dengan gimik yang cukup mengetuk, tontonan ini agaknya tidak menemukan DORnya hingga tepuk tangan penonton memungkas pertunjukan. Irama pertunjukan secara keseluruhan nyais monoton. Sejak awal hingga akhir penonton disuguhi adegan-adegan yang cenderung lamban sehingga berpotensi membuat jemu. Kejemuan ini barangkali dipupuk pula oleh tawaran laku tubuh yang terkesan tidak tuntas, dipaksakan, ragu-ragu, canggung, dan tanggung.  

Adegan tersaji secara parsial tanpa jembatan. Aktor keluar masuk silih berganti sangat teratur dengan pola yang hampir mirip satu sama lain. Hal ini barangkali yang membuat alur dramatik pertunjukan ini agak sukar diraba. Adegan kekalahan tokoh pembawa timbangan dan pedang oleh tokoh berjas itu mungkin bisa jadi pemandu untuk membaca metafor-metafor selanjutnya bahwa tema besar pertunjukan ini adalah kalahnya hukum dan keadilan oleh kekuasaan. Adegan ini bisa jadi semacam bingkai di mana semua adegan yang hadir setelahnya berada dalam bingkai persoalan-persoalan hukum dan keadilan. Sayangnya, isi bingkai itu terasa terlampau renggang dan berserakan. Jika pun kehadiran kaleng-kaleng adalah perekatnya, justru itu yang membuat bingung. Apa yang hendak disampaikan kaleng-kaleng itu? Apakah kehadirannya sebatas untuk menggenapi unsur bunyi, dar der dor?

DOR sendiri ditulis Putu Wijaya pada 1979. Seperti kebanyakan karya drama Putu, DOR dimainkan kolosal, mungkin bisa lebih lebih dari 15 orang. Sebut saja tokoh Hakim, Gubernur, Ibu Gubernur, Jaksa, Pembela, Pelayan, Inem, Yulia, Pacar, Ali, Lan Fa, dan Sobat, mereka ialah tokoh dengan porsi dialog yang cukup banyak. Alurnya memang agak membingungkan, melompat-lompat, serba tiba-tiba, berputar-putar, dan banyak yang tak terduga. Meski begitu, meraba alur dramatik teks ini masih lebih mudah ketimbang DOR-nya Teater Api Indonesia. Hal ini mungkin selain karena ada bahasa verbal yang cenderung lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tubuh, identitas tokoh pun masih hadir utuh sebagai penggerak cerita. Tidak jelasnya penokohan dalam DOR pada Rabu, 28 November 2018 malam itu juga yang barangkali membuatnya makin gelap dipahami.

Misalkan saja alur dan tokoh disingkirkan dan hanya esensi atau premis DOR yang diusung malam itu, agaknya ada beberapa hal yang luput atau sengaja tidak diangkat. DOR tidak sekedar membicarakan ketidakadilan dan kepincangan hukum belaka, namun lebih dalam dari itu. DOR sendiri barangkali merujuk bunyi letusan. Apa yang meletus? Di bagian ujung teks DOR memang dikisahkan bagaimana beberapa tokoh menembak tokoh lain. DOR!

Dari kasus pembunuhan pelacur oleh Ali si anak Gubernur, Putu agaknya ingin mengajak pembaca atau penonton menyelam lebih dalam, merenungkan tentang makna hukum dan keadilan itu sendiri. Merenungkan sebuah konsep yang diciptakan, disepakati, dan digunakan manusia. DOR lebih seperti renungan filsafat tentang hukum, keadilan, dan secara luas tentang kemanusiaan yang dikemas dengan gaya jenaka, konyol, banyol, cair, sekaligus meneror.

Dari sekian banyak dan dalam hal-hal yang dibicarakan Putu dalam teks DOR-nya, tawaran dan pilihan laku tubuh serta bahasa visual lain yang diketengahkan Teater Api Indoensia barangkali lebih berupaya mengantar penoton untuk menangkap persoalan ketidakadilan dan  kekalahan hukum oleh kekuasaan saja. Sayangnya upaya ini justru masih dirasa terhambat oleh beberapa pilihan laku tubuh dan bahasa visual itu sendiri. Kecuali itu, premis yang dipilih ini terkesan semacam simplifiasi makna yang justru malah membuat DOR terasa mengambang di permukaan saja. Tidak ada letusan yang cukup impresif.

 
Panjalu, 3 Desember 2018  
 
foto : DOR oleh Teater Api Indonesia pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan (dipinjam dari laman Facebook Ketua Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya, Bode Riswandi)      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...