Kecenderungan sebagian kelompok
teater memilih genre teater tubuh jamak ditemukan di berbagai tempat, khususnya
kota-kota besar sebagai pusat perkembangan seni teater. Dialog-dialog digubah
sedemikian rupa menjadi hanya laku tubuh semata. Kata-kata menjadi penting
hanya ketika proses bedah naskah saja guna memahami premis sang penulis naskah.
Selanjutnya kata-kata itu akan bertransformasi, menubuh di tubuh-tubuh aktor
menjadi gagasan-gagasan yang musti disampaikan lewat bahasa performatif teater
minus kata-kata.
Menggubah teks drama verbal menjadi
laku tubuh nirkata sejatinya barangkali semacam upaya menggendapkan kata-kata,
membuatnya makin padat, mengkristal, semacam puisi barangkali. Upaya ini tentu
bukan tanpa resiko. Pilihan menubuhkan teks verbal tentu mensyaratkan
tubuh-tubuh aktor yang jujur dan penuh daya agar mampu menyampaikan energi,
gagasan, dan motif secara tepat pada penonton. Kecuali itu, metafor-metafor
artistik, selain dipahami sebagai simbol, tentu diharapkan mampu memberi impresi
yang menghujam dan tepat agar tontonan
menjadi menarik sekaligus tidak kehilangan makna dan terjebak ke dalam parade
tubuh-tubuh belaka.
Upaya menubuhkan teks verbal ini
nampak dilakukan oleh Teater Api Indonesia asal Surabaya. Lakon DOR karya Putu
Wijaya yang cukup tebal dan penuh kata-kata disajikan dalam genre teater tubuh,
tanpa kata sama sekali pada Festival Putu Wijaya di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya
(GKKT). Dialog yang panjang dan banyak itu bertransformasi menjadi metafor audio non verbal, visual, dan laku.
Entah kapan pertunjukan dimulai.
Sejak masuk dan memilih tempat duduk, penonton sudah disajikan lampu gantung
menyala yang bergoyang-goyang plus bunyi konstan seperti pukulan kaleng.
Suasana itu barangkali mirip adegan interogasi di film-film namun tanpa interogator
dan tersangka, seolah semua yang hadir menyaksi bisa jadi tersangka atau
interogator itu sendiri, atau hanya menonton saja dan merasakan suasana penuh
tanda tanya. Tanpa kata-kata pengantar pertunjukan, tanpa pembawa acara, gimik
ini cukup berhasil menciptakan atmosfer khas dan merangsang imajinasi penonton,
menariknya pada suasana lain tepat ketika memasuki ruang pertunjukan. Barangkali
semacam teror juga. Hadir begitu saja tanpa permisi.
Setelah lampu menyala lebih terang,
nampaklah tiga buah lampu yang menggantung tepat di atas tanda lingkaran yang
melekat di lantai panggung. Satu lingkaran di bagian tengah dibuat serupa visir
bidik senapan. Apapun yang berada tepat di tengahnya seolah merupakan target
tembak, objek buruan. Di bagian belakang menjulang seng warna perak berbentuk
delta terbalik, macam sayap pesawat tatkala menukik. Di atasnya ada
bendera-bendera segitiga kecil melintang, mirip dekorasi yang lazim pada acara
perayaan-perayaan.
Kehadiran tokoh pembawa pedang dan
timbangan yang berdiri tepat di tengah visir kemudian dikalahkan tokoh berjas, bercelana bahan,
bersepatu pantopel, bertopeng kaleng yang membawa troli berisi kaleng-kaleng di
bagian awal menjadi kunci penting memahami adegan-adegan selanjutnya. Barangkali
tokoh pembawa pedang dan timbangan ini dimaksudkan sebagai Dewi Themis, tokoh
mitologi Yunani yang kemudian diadopsi luas sebagai Dewi Keadilan. Timbangan di
kiri sering diartikan sebagai azas hukum justice
for all dan equality before the law.
Sedang pedang di kanan biasa dimaknai sebagai ketegasan penegakan hukum. Suatu
azas yang – setidaknya di Indonesia atau di beberapa tempat lain – hanya ada di
dunia ide tanpa benar-benar membumi dan tegak.
Adegan-adegan selanjutnya lebih
seperti fragmen-fragmen yang masing-masing berdiri sendiri. Barangkali kehadiran
kaleng-kaleng di tiap adegan dimaksudkan sebagai benang merah dari
fragmen-fragmen ini. Sedari awal kaleng-kaleng hadir dalam pelbagai varian
bentuk dan fungsi. Properti ini dibawa, dimainkan, direspon, diperlakukan oleh
aktor sebagai sesuatu yang bukan kaleng semata. Kaleng menjadi topeng, sandal,
koper, moncong, timbangan, palu, dan kaleng itu sendiri. Kaleng-kaleng disusun,
ditumpuk, dipukul, diinjak, dilempar ke udara, dan dilemparkan membabi buta ke
arah set di bagian belakang. Selain brang breng brong suara kaleng berjatuhan,
kaleng beradu, dipukul, diinjak-injak, senandung throat singing sempat pula hadir di bagian awal menyapa telinga
penonton.
Simplifikasi makna
DOR-nya Teater Api Indonesia yang
disutradarai Luhur Kayungga itu meruang sekitar satu jam di panggung prosenium
GKKT. Sedari dibuka dengan gimik yang cukup mengetuk, tontonan ini agaknya
tidak menemukan DORnya hingga tepuk tangan penonton memungkas pertunjukan.
Irama pertunjukan secara keseluruhan nyais monoton. Sejak awal hingga akhir
penonton disuguhi adegan-adegan yang cenderung lamban sehingga berpotensi
membuat jemu. Kejemuan ini barangkali dipupuk pula oleh tawaran laku tubuh yang
terkesan tidak tuntas, dipaksakan, ragu-ragu, canggung, dan tanggung.
Adegan tersaji secara parsial tanpa
jembatan. Aktor keluar masuk silih berganti sangat teratur dengan pola yang
hampir mirip satu sama lain. Hal ini barangkali yang membuat alur dramatik pertunjukan
ini agak sukar diraba. Adegan kekalahan tokoh pembawa timbangan dan pedang oleh
tokoh berjas itu mungkin bisa jadi pemandu untuk membaca metafor-metafor
selanjutnya bahwa tema besar pertunjukan ini adalah kalahnya hukum dan keadilan
oleh kekuasaan. Adegan ini bisa jadi semacam bingkai di mana semua adegan yang
hadir setelahnya berada dalam bingkai persoalan-persoalan hukum dan keadilan.
Sayangnya, isi bingkai itu terasa terlampau renggang dan berserakan. Jika pun
kehadiran kaleng-kaleng adalah perekatnya, justru itu yang membuat bingung. Apa
yang hendak disampaikan kaleng-kaleng itu? Apakah kehadirannya sebatas untuk
menggenapi unsur bunyi, dar der dor?
DOR sendiri ditulis Putu Wijaya pada
1979. Seperti kebanyakan karya drama Putu, DOR dimainkan kolosal, mungkin bisa
lebih lebih dari 15 orang. Sebut saja tokoh Hakim, Gubernur, Ibu Gubernur,
Jaksa, Pembela, Pelayan, Inem, Yulia, Pacar, Ali, Lan Fa, dan Sobat, mereka
ialah tokoh dengan porsi dialog yang cukup banyak. Alurnya memang agak
membingungkan, melompat-lompat, serba tiba-tiba, berputar-putar, dan banyak
yang tak terduga. Meski begitu, meraba alur dramatik teks ini masih lebih mudah
ketimbang DOR-nya Teater Api Indonesia. Hal ini mungkin selain karena ada
bahasa verbal yang cenderung lebih mudah dipahami ketimbang bahasa tubuh,
identitas tokoh pun masih hadir utuh sebagai penggerak cerita. Tidak jelasnya
penokohan dalam DOR pada Rabu, 28 November 2018 malam itu juga yang barangkali
membuatnya makin gelap dipahami.
Misalkan saja alur dan tokoh
disingkirkan dan hanya esensi atau premis DOR yang diusung malam itu, agaknya
ada beberapa hal yang luput atau sengaja tidak diangkat. DOR tidak sekedar
membicarakan ketidakadilan dan kepincangan hukum belaka, namun lebih dalam dari
itu. DOR sendiri barangkali merujuk bunyi letusan. Apa yang meletus? Di bagian
ujung teks DOR memang dikisahkan bagaimana beberapa tokoh menembak tokoh lain.
DOR!
Dari kasus pembunuhan pelacur oleh
Ali si anak Gubernur, Putu agaknya ingin mengajak pembaca atau penonton
menyelam lebih dalam, merenungkan tentang makna hukum dan keadilan itu sendiri.
Merenungkan sebuah konsep yang diciptakan, disepakati, dan digunakan manusia. DOR
lebih seperti renungan filsafat tentang hukum, keadilan, dan secara luas
tentang kemanusiaan yang dikemas dengan gaya jenaka, konyol, banyol, cair,
sekaligus meneror.
Dari sekian banyak dan dalam hal-hal
yang dibicarakan Putu dalam teks DOR-nya, tawaran dan pilihan laku tubuh serta
bahasa visual lain yang diketengahkan Teater Api Indoensia barangkali lebih
berupaya mengantar penoton untuk menangkap persoalan ketidakadilan dan kekalahan hukum oleh kekuasaan saja. Sayangnya
upaya ini justru masih dirasa terhambat oleh beberapa pilihan laku tubuh dan
bahasa visual itu sendiri. Kecuali itu, premis yang dipilih ini terkesan
semacam simplifiasi makna yang justru malah membuat DOR terasa mengambang di
permukaan saja. Tidak ada letusan yang cukup impresif.
Panjalu, 3 Desember
2018
foto : DOR oleh Teater Api Indonesia pada Festival Putu Wijaya, Rabu 28 November 2018 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Dibidik oleh Mohamad Chandra Irfan (dipinjam dari laman Facebook Ketua Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya, Bode Riswandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar