Tontonan,
demikian Putu Wijaya, seorang sastrawan dan maestro teater, lebih suka menyebut
pertunjukan teater. Tontonan, dengan sendirinya mengadung dua unsur tak
terpisah: yang ditonton dan yang menonton (penonton). Teater tidaklah teater
jika tanpa penonton, demikian barangkali jika diartikulasikan berbeda. Aspek
ruang, waktu, dan peristiwa pada sebuah pertunjukan teater setidaknya terletak
pada dua dimensi, panggung (laku; lakon) dan pertunjukan (panggung dan
penontonnya). Lantaran teater muskil tanpa penonton maka dengan berbagai cara
kelompok-kelompok teater berupaya mengadirkan penonton agar genap karya mereka
menjadi tontonan.
Macam
strategi dilakukan untuk menjaring penonton. Ada penjaringan umum ada pula
penjaringan khusus. Penjaringan penonton umum biasanya dilakukan dengan
memasang iklan atau publikasi di berbagai macam media atau saling memberi kabar
secara langsung tentang akan digelarnya pementasan teater dengan harga tiket
sekian rupiah. Jika pertunjukan itu berbayar, masyarakat yang terinformasi dan bermaksud
mengapresiasi lantas memesan tiket atau membeli langsung di lokasi pementasan.
Kelompok teater atau penyelenggara pertunjukan biasa punya target penonton yang
disesuaikan dengan kapasitas tampung tempat pertunjukan. Penetapan target oleh
manajemen kelompok juga berkaitan erat dengan hitung-hitungan ekonomi, untung
rugi. Ini wajar saja sebab sebuah produksi teater tentu memakan biaya dan para
pelakunya juga perlu makan minum. Model penjaringan ini tidak bisa mendapat
angka penonton (pembeli tiket) secara akurat meski ada prediksi dan target.
Untung-untungan saja. Secara dingin dari sudut pandang bisnis, penjaringan
model ini biasanya tidak mengikat penonton lebih dari perkara jual beli,
pedagang dan pembeli tanpa aturan tambahan. Belum pernah ada kelompok teater
yang punya aturan “tidak puas, uang kembali”.
Model
penjaringan yang lain adalah penjaringan khusus. Yang dimaksud khusus adalah
penjaringan penonton yang dikhususkan menyasar kalangan atau komunitas tertentu.
Yang lazim terjadi, misalnya di daerah-daerah macam Tasikmalaya dan Ciamis,
adalah penjaringan penonton ke sekolah-sekolah. Penyelenggara atau pihak manajemen
kelompok teater akan mendatangi sekolah-sekolah, mengajak kerjasama dengan guru
mata pelajaran tertentu atau pihak sekolah secara kelembagaan. Kedatangan pihak
manajemen atau penyelenggara ke sekolah biasaya juga membawa serta surat
rekomendasi dari Dinas Pendidikan atau instansi lain yang menaungi sekolah yang
dituju. Maksudnya agar kegiatan kerjasama ini rapi dan tertib secara
administrasi dan diketahui pemerintah. Biasanya kegiatan menonton ini dijadikan
tugas mata pelajaran tertentu lantaran berkaitan dengan materi pelajaran. Tugas
mata pelajaran biasa wajib dan mengikat untuk tiap-tiap siswa yang diajar oleh
guru si pemberi tugas. Jika menonton teater menjadi tugas mata pelajaran, tentu
sudah bisa diterka akurat berapa lembar tiket yang terjual.
Terjadi
hubungan mutualisme antara penyelenggara dan guru, satu pihak membutuhkan
penonton dan pendapatan rupiah dan pihak lain membutuhkan objek kaji atau bahan
ajar. Sebelum dibentuknya Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber
Pungli), kiranya simbiosis mutualisme ini tidak mendapat kendala berarti.
Pungli
Sejak
dibentuk pada 20 Oktober 2016, Satgas Saber Pungli ini dikabarkan sudah
menangani banyak perkara pungutan liar. Salah satu wilayah kerja Satgas ini
adalah bidang pendidikan. Ya, pungutan liar di sekolah-sekolah menjadi salah
satu fokus kerjanya lantaran banyak laporan dan kasus yang diduga pungutan liar
yang dilakukan pihak sekolah pada peserta didik. Satgas Saber Pungli merilis 58
jenis pungutan di sekolah yang berpotensi pungutan liar.
Dari
ke 58 jenis pungutan itu, meski tak termaktub jelas tentang pungutan untuk
membeli tiket pertunjukan teater, namun ada saja guru dan pihak sekolah yang
cukup was-was jika hendak mengarahkan siswanya untuk menonton pertunjukan
teater berbayar, takut tersandung pasal pungutan liar. Dalam kondisi begini,
seakan guru yang tergencet dan acap kali tersalahkan.
Apakah
membeli tiket petunjukan teater dalam rangka tugas mata pelajaran tergolong
pungutan liar di sekolah? Jika dibuat jadi pertanyaan yang lebih mendasar:
ketika peserta didik mengeluarkan sejumlah uang untuk kepentingan tugas mata
pelajaran, apakah itu termasuk pungutan liar?
Idealnya,
semua pihak ingin pendidikan formal gratis 100% dengan mutu yang baik.
Faktanya, negara belum mampu menyelenggarakan itu semua. Meski 20% APBN sudah
digelontorkan buat pendidikan, tetap saja belum mampu menutupi penuh ongkos
pendidikan formal di Indonesia. Masih ada biaya yang harus ditanggung peserta
didik untuk terselenggaranya pendidikan yang diinginkan. Beberapa sekolah
negeri masih memberlakukan pungutan-pungutan lantaran dana BOS dianggap kurang.
Ini memang diperbolehkan, Kemendikbud sudah meluncurkan aturan tentang
Sumbangan, Bantuan, dan Pungutan Pendidikan.
Tentang
pungutan liar ini memang pada akhirnya melibatkan semua pihak yang terkait
dengan dunia pendidikan. Orang tua/wali siswa pun turut berandil besar dalam
persoalan pungli di sekolah. Beberapa orang tua yang menyadari bahwa pendidikan
dengan mutu tertentu memerlukan rupiah di luar dana pendidikan dari pemerintah,
mungkin tidak akan terlalu rewel dengan pungutan-pungutan dari pihak sekolah
selama wajar dan akuntabel. Namun banyak juga orang tua yang hobi protes tanpa
memahami duduk perkara dengan seksama. Serta merta saja, jenis orang tua macam
ini bisa melapor pada pihak berwajib, mengatakan terlah terjadi pungutan liar
di sekolah tempat anaknya menimba ilmu. Apalagi jaman kini, seperti yang banyak
bertebaran di kabar berita, lapor melapor polisi seakan menjadi jalan keluar
terbaik untuk segala persoalan ketimbang bermusyawarah. Di lain sisi, tubuh
Satgas ini pun belum ajeg benar. Masih ada multi persepsi tentang definisi dan
kategori pungutan liar itu sendiri. Meski Satgas di bawah kendali Kemenkopolhukam
ini sudah merili 58 jenis pungutan di sekolah yang berpotensi pungli, tafsir
alternatif masih saja ada. Mungkin demikianlah hukum, sebagaimana sering
dipertontonkan, para penegak dan ahli
hukum saling berakrobat, menawarkan tafsir-tafsir pasal yang dibuat
selogis mungkin demi “rasa keadilan”.
Ongkos
Pembelajaran
Macam
ragam motode atau cara guru menyampaikan materi pelajaran pada muridnya. Meski
ada teori-teori metode pembelajaran yang dipelajari calon guru di Fakultas
Pendidikan namun inovasi metode tetap dituntut demi tercapainya tujuan
pembelajaran. Belajar kesenian tentu punya banyak metode selain ceramah di
kelas, memaparkan teori-teori. Belajar kesenian, sebagaimana belajar olahraga,
tentu membutuhkan praktik. Sukar dibayangkan jika belajar menari hanya dengan
metode ceramah saja.
Menugaskan
murid menonton pertunjukan teater pun boleh jadi salah satu metode pembelajaran
drama yang cukup efektif. Yang jadi kurang tepat adalah ketika silabus
mengatakan apresiasi drama atau teater sedangkan yang dilakukan malah menonton rekaman
videonya. Salah kaprah karena rekaman video adalah dokumentasi, hasil rekaman,
bukan pertunjukan. Seperti telah disinggung di atas tentang aspek ruang, waktu,
dan peristiwa, menoton teater via Youtube atau dokumentasi pertunjukan lainnya
secara langsung memupus aspek ruang, waktu, dan peristiwa itu. Justru ketiga
aspek itulah yang membedakan tontonan dengan film. Cara mengapresiasinya pun
berbeda. Jika mengapresiasi teater via video rekaman, sama saja dengan menonton
film. Mata, mau tak mau, diwakili kamera. Pengalaman menonton langsung akan
memberi pemahaman yang lebih kaya, dan pemahaman itu akan membentuk penilaian
yang khas pula. Apresiasi seni pertunjukan via Youtube atau media rekam lainnya
bukan tidak boleh, namun kurang tepat jika dikatakan itu adalah kegiatan
apresiasi seni pertunjukan.
Metode
pembelajaran seni dengan cara apresiasi seni pertunjukan setidak-tidaknya
memerlukan biaya, setidaknya ongkos menuju tempat pertunjukan dan biaya tiket.
Apakah negara menanggung semua biaya itu? BOS memang meringankan biaya
pendidikan namun tidak semua keperluan pembelajaran bisa dibiayai BOS. Jika pun
BOS bisa digunakan untuk membeli tiket pertunjukan teater atas nama
pembelajaran mata pelajaran SBK, Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, kiranya
kurang bijak juga jika masih banyak prioritas lain yang lebih layak didahulukan
semisal kesejahteraan tenaga pendidik honorer.
Biaya-biaya
macam ini mungkin sama saja ketika guru olahraga memberi materi praktik renang.
Lantaran sekolah tidak punya kolam renang maka materi praktik renang musti
dilakukan di kolam renang umum yang berbayar. Jika biaya itu dibebankan pada
peserta didik, apakah biaya masuk kolam renang ini pun bisa terjerat pasal
pungutan liar?
Inilah
barangkali secuil realitas pendidikan dewasa ini. Satu sisi guru dituntut inovatif, murid dituntut cerdas dan mencapai
target pembelajaran, sedang ongkos-ongkos yang diberikan negara untuk mencapai
itu semua sangat terbatas. Jika pun menyerahkan pembiayaan macam biaya masuk
kolam renang atau tiket pertunjukan teater pada murid-murid (yang mungkin tidak
lebih dari sekitar 15 atau 20 ribu, sudah berikut ongkos), dengan adanya Satgas
Saber Pungli dengan sekian aturan-aturannya itu, posisi guru dan sekolah
sebagai penyelenggara dan pengelola satuan tingkat pendidikan cukup terjepit,
rikuh, dan serba was-was. Dilema.
Sebagai
penutup tulisan ini, tawaran solusi yang mungkin bisa diupayakan terkait
persoalan pungutan liar di sekolah adalah adanya dialog, diskusi, musyawarah
antara guru, kepala sekolah, Dinas
Pendidikan, dan peserta didik serta orang tua/walinya tentang pungutan liar.
Yang penting juga adalah hadirnya unsur Satgas Saber Pungli yang turut serta
dalam forum itu agar dapat memberi pemahaman yang sejelas-jelasnya ihwal
pungutan liar di lingkungan pendidikan. Persepsinya musti selaras agar tidak
timbul saling curiga, was-was, dan ketakutan demi terwujudnya dunia pendidikan
Indonesia yang lebih baik.
Oktober
2018
Dimuat di tabloid Ganesha edisi 295 Volume VII Oktober 2018
sumber gambar https://www.liputan6.com/news/read/3064885/lpsk-dukung-pemberian-penghargaan-ke-pengunggah-video-pungli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar