Rabu, 27 Desember 2017

Setelah "Aduh"



Aduh, saya sudah berkali-kali menghapus paragraf demi paragraf. Saya bingung, saya musti nulis apa. Tapi saya ingin nulis. Jadinya, ya, tulis lagi, hapus lagi, tulis lagi, hapus lagi. Dan begitu sampai akhirnya dirasa tuntas meski sebenarnya tak pernah tuntas. Siklus itu pun terjadi di Teater Tarian Mahesa Ciamis meski dengan musabab yang berbeda. Berproses, pentas, bubar, proses, pentas, bubar, proses, pentas, bubar, dan begitu seterusnya tiap kali pementasan. Bubar, maksudnya eks pemainnya tak lagi berminat bergiat aktif di teater sebagai kerabat panggung.
  TTMC bukan kelompok lama. Usianya belum genap 10 tahun, tepatnya baru 7. Dalam perjalanan pendeknya, TTMC sudah sekian kali pentas. Sekian kali pula saya dan beberapa sahabat lain memohon-mohon teman atau temannya teman atau pacarnya teman buat ikut garapan teater sebagai aktor atau pemusik. Syaratnya hanya satu, bersedia setia berproses setidaknya hingga seluruh rangkaian pentas berakhir. Biasanya kami menutup rangkaian sebuah produksi teater dengan syukuran berupa makan-makan semampu yang kami mampu. Dan biasanya dari sekian yang kami ajak itu, kebanyakan hanya bertahan satu garapan itu saja, setelahnya mereka lebih memilih menjadi penonton setia TTMC, atau bantu-bantu saat pertunjukan berlangsung, atau kami pintai sumbangan kopi, rokok, atau camilan, atau putus komunikasi sama sekali. Ada juga beberapa yang bersedia ikhas mendermakan uangnya untuk membantu biaya produksi. Semoga Tuhan YMMH (Yang Maha Murah Hati) membalas segala kebaikan mereka. Amin.
 Mereka yang bertahan jumlahnya kalah jauh dengan mereka yang memilih jadi penonton, donatur, atau bantu-bantu saat pentas saja. Selama ini, sebagai keluarga tentu anggota keluarga besar TTMC makin bertambah tetapi tetap saja kami selalu kesulitan mencari orang yang bersedia terlibat intens berproses baik latihan rutin maupun latihan dengan tujuan pentas. Bagi TTMC, barangkali lebih sulit mendapat aktor ketimbang mendapat dana buat produksi. Untuk dana produksi, bisa saja kami pinjam uang dari seseorang lantas dibayar kemudian dari hasil penjualan karcis. Asal jelas hitung-hitungannya, selesai perkara. Lantas aktor? Logikanya tidak sesederhana mengurus duit. Tentu, sebab yang diperkarakan ialah subjek yang bergerak, berakal, dan berhasrat, ya, manusia, dengan segenap latar belakang dan kompleksitasnya.
 Sebab itu, saya dan beberapa kawan di TTMC merasa perlu melakukan sesuatu agar krisis pemain ini tak berlarut-larut. Harus ada strategi yang membumi buat menjaring orang bersedia turut serta. Kenapa harus membumi? Sebab strategi jitu yang dilakukan Laskar Panggung di “bumi” Bandung, Teater Koma di “bumi” Jakarta, Teater Garasi di “bumi” Yogyakarta, misalnya, belum tentu cocok untuk diterapkan oleh TTMC di “bumi” Ciamis. Saya meyakini, (kelompok) teater melekat dengan ruang dan waktu disaat dan di mana ia lahir dan hirup. Butoh punya bentuk yang sedemikian dan mendunia seperti yang dikenal sekarang lantaran ia lahir dan hidup di Jepang sejak pasca PD II. Kalau saja ia lahir dan hidup di Kirgiztan pasca runtuhnya Soviet, tentu namanya tidak akan Butoh dan bentuknya tidak akan sepeti yang kita kenal. Singkatnya, ia Butoh karena ia di Jepang dan lahir sekitar 1950an.
 Penacarian strategi pun terus dilakukan dan pada Oktober 2017 mulailah kami melakukan penjaringan anggota baru. Gerbang awalnya lokakarya “Sekilas Teater” dengan sasaran peserta yakni komunitas-komunitas teater sekolah dan kampus. Lebih dari 50 orang mendaftar sebagai peserta. Lokarya tanpa bayar alias gratis. Seluruh kebutuhan penyelenggaraan kami hadirkan secara swadaya. Sistemnya gotong royong, siapa menyumbang apa seseuai kehendak dan kemampuan. Waktu itu, tim penyelenggara masih segar dan cukup fokus. Dari 50 lebih itu, ada 14 orang yang mendaftar anggota baru.
 Setelah terdata, mereka-mereka lantas kami arahkan untuk mengikuti kelas materi selama 2 hari 1 malam. Kemudian agenda berlanjut ke latihan rutin. Dan di sinilah para calon anggota itu mulai menyusut. Ketika memasuki tahap latihan pentas resital tinggal 5 orang tersisa dan terus menyusut hingga akhirnya hanya 2 orang saja yang berhasil bertahan.
 Aduh karya Putu Wijaya bukan dipilih tanpa alasan. Ketika masih ber-12, naskah ini dipandang cocok karena direncanakan akan lebih banyak bermain grouping. Akting per individu tidak membutuhkan kajian dan teknik yang sukar, terlebih soal kedalaman. Sebagai pembelajaran, naskah ini dirasa pas. Namun apa mau dikata, nyatanya mereka yang mendaftar itu berguguran, hilang sama sekali.
 Ketika itu, ketika para pemain Aduh ini berguguran, mengganti naskah bukan pilihan tepat karena waktu yang makin mendekati hari pentas. Dengan berbagai upaya,  akhirnya Aduh berhasil digelar pada Minggu, 24 Desember 2017 di Gedung Pramuka Ciamis.
 Di Ciamis memang tidak punya tradisi berteater di kelompok independen. Umumnya teater subur di sekolah-sekolah dan kampus. Di kedua tempat itu, masalah penjaringan sumber daya cenderung lebih mudah dilakukan. Di sekolah, teater lebih menggiurkan. Selain memang terdapat dapat intrakulikuler, tektek bengek proses dan pentasnya pun cenderung lebih mudah diatasi. Ini bisa dipahami sebab teater sekolah atau kampus punya naungan lembaga yang jelas, jaringannya jelas, sumber dayanya jelas, dan perkara sumber dana tidak akan seburam teater independen.
 Bertahan sebagai teater independen di Kabupaten Ciamis memang ngeri-ngeri sedap. Tidak mudah tapi juga tidak mustahil. Stategi penjaringan bisa berubah kapan saja dan bertahan saja tentu bukan visi utama TTMC. Inginnya kami maju dan berkembang. Dan jurus kami untuk bertahan adalah dengan terus maju dan berkembang. Semoga.   

 

 
Panjalu, 27 Desember 2017


Senin, 04 Desember 2017

Ciamis Art Space; mimpi yang panjang


Sabtu, 25 November 2017 nanti “Usik Puisi” akan digelar di Ciamis, tepatnya di Studio Titik Dua Ciamis yang juga adalah kediaman Mpu sastra Sunda, Godi Suwarna. Pada “Usik Puisi”, selain membedah antologi puisi Léngkah milik Ari Andriansyah juga rencananya akan dimeriahkan oleh pembacaan dan musikalisasi puisi, serta pertunjukan tari dari Studio Titik Dua yang dinahkodai Rachmayati Nilakusumah, S. Sn. serta beberapa sajian lainnya. Acara ini digagas oleh Rumah Koclak yang dijenderali oleh penyair dan cerpenis dwi bahasa Toni Lesmana dan Wida Waridah.
 
Beberapa waktu sebelumnya, di tempat yang sama, diadakan pula Ibing Puisi. Acara yang digelar sejak sore itu berisi pembacaan dan musikali puisi, bedah antologi puisi Hariweusweus Leuweung Pineus karya Arom Hidayat oleh Lugiena De, pertunjukan tari, musik, dan sajian pamungkas “Jaktar” atau Sajak Tari, sebuah kolaborasi dua maestro : pembacaan sajak oleh Godi Suwarna dan tari oleh istri beliau, Rachmayati Nilakusumah. Ada pula Komunitas Stand Up Comedy yang turut memeriahkan selain Borangan (Ngabodor Sorangan) yang dibawakan langsung oleh sang saestro, Taufik Faturohman yang juga sempat menghibur anak-anak dengan sajian khasnya, sulap. Pada Sabtu, 30 September 2017 itu hadir pula penyair Soni Farid Maulana yang selain berkisah tentang pengalamanya melanglang buana ke mancanegara, juga membacakan beberapa puisinya. Beberapa kawan dari Majelengka dan Kuningan pun hadir memeriahkan acara. Meski gerimis, tataan ruang nan artistik oleh Sugih Bastaman berpadu tata cahaya karya Dasep Sumardjani mampu menyihir penonton untuk betah berlama-lama hingga acara berkahir pada tengah malam.  
 
Panggung mungil di atas kolam kediaman Godi Suwarna itu jadi saksi untuk sekian gelaran seni di Ciamis. Selain kegiatan yang berisi pertunjukan-pertunjukan seni, Studio Titik Dua juga kerap dijadikan tempat berbincang sastra, Majelis Sore Malam atau lebih dikenal dengan Marlam. Marlam merupakan kegiatan pembacaan cerpen secara berantai kemudian dilanjutkan dengan membincangkannya secara bebas. Tafsir teks cepen bisa sangat kaya dan beragam karena masing-masing jemaah Marlam boleh menyuarakan interpretasinya tanpa ada pembatasan ketat ala akademisi sastra. Selain cerpen, Marlam pernah pula membaca novel Déng dalam terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Deri Hudaya. Kegiatan yang diinisiasi oleh Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) dan Rumah Koclak ini diadakan dua minggu sekali. Tempatnya berpindah-pindah. Padepokan Seni Budaya Rengganis, Studio Titik Dua, Sekretariat LSM WISMA, kediaman aktivis Maiyah, Deni Weje, dan Selasar Lab. Sejarah FKIP UNIGAL adalah sekian tempat yang pernah dijadikan Majelis Sore Malam. Hingga Marlam terkahir, majelis ini sudah dilaksanakan sebanyak 25 kali.
 
Ruang Seni Plat Merah di Ciamis Kota
 
Ciamis punya kekayaan seni tradisional dan adat istiadat yang luar biasa. Dari situ pula beberapa pengembangan dilakukan lantas menjadikannya bentuk baru dengan ruh yang tetap terkait dengan akarnya. Seniman Ciamis pun tak sedikit yang namanya dikenal baik di kancah Jawa Barat maunpun nasional. Bahkan Godi Suwarna sudah sekian kali membacakan sajak-sajak Sunda-nya di Eropa dan Australia. Yang terbaru, beliau tampil memukau dalam Europalia Arts Fest di Brussels, Belgia pada Oktober 2017.
 
Sayangnya capaian-capaian yang menggembirakan itu tidak menjadikan geliat kesenian di Ciamis cukup menggembirakan, khususnya jika menilik ketersediaan sarana dan prasarana kegiatan kesenian di wilayah Ciamis Kota. Ciamis Kota nyaris tak memiliki ruang berkesenian yang representatif. Jika alun-alun Ciamis dijuduli sebagai art space, itu justru malah pengkerdilan. Alun-alun Ciamis adalah ruang publik, artinya ruang milik publik, milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan khusus untuk kesenian semata. Alun-alun dengan ikon air mancur bunga bangkai itu lebih menjadi tempat nongkrong dan aktivitas perdagangan. Kegiatan seni hanya sesekali saja, itu pun biasanya skala besar karena menggelar acara di ruang terbuka semacam alun-alun Ciamis butuh biaya mahal, khususnya perijinan dan keamanan. Dan memang tak semua bentuk dan jenis kesenian biasa ditampilkan di ruang publik ini.
 
Taman Lokasana yang terletak di Jl. K.H. Ahmad Dahlan memang kabarnya diproyeksikan sebagai pemecah keramaian di wilayah Ciamis Kota. Meski memiliki panggung permanen, fasilitas lain di taman yang  pembangunannya dikabarkan menelan Rp3,5 milyar dari APBD Provinsi Jabar ini memang lebih mengarah pada outdoor sport center. Sejak dibuka pada 2013, kawasan yang pembangunannya tersandung kasus korupsi senilai Rp800 juta ini memang pernah digunakan beberapa acara kesenian, khususnya konser-konser musik. Di Ciamis, dan mungkin di tempat lain, musik modern nasibnya memang lebih baik ketimbang tari, seni rupa, teater, sastra, dan musik tradisional. Ini bisa di pahami karena musik modern memang sudah kokoh sebagai industri, sebagai sebuah kegiatan yang bernilai ekonomi tinggi. Dan inilah logika pemerintah.
 
Bila musik modern lebih leluasa berekspresi, di lain sisi, keberadaan bangunan bernama Gedung Kesenian Ciamis yang terletak di Jl. Ir. H. Djuanda belum mampu menjadi stimulus pendongkrak geliat kegiatan kesenian di Ciamis, khusunya seni non-musik modern. Alasannya barangkali karena gedung itu memang tidak memenuhi kualifikasi sebagai gedung kesenian. Kualitas akustik yang buruk serta desain interior yang memang bukan ditujukan untuk sebuah ruang pertunjukan atau pameran seni  khusus, menjadikan sebagian seniman ogah menggunakannya. Menyewa Gedung Kesenian Ciamis sama saja dengan menyewa gedung-gedung balai pertemuan atau balai pernikahan lainnya di Ciamis, sama-sama harus menyiasati ruang jika menghendaki ruang seni pertunjukan yang mendekati ideal. Hingga saat ini pun, Gedung Kesenian Ciamis lebih sering digunakan untuk rapat, pertemuan, atau kegiatan lain yang tak ada hubungan sama sekali dengan kesenian. Nasibnya nyaris sama dengan Gedung Islamic Centre yang lebih sering digunakan acara resepsi pernikahan ketimbang kegiatan keagamaan itu sendiri.
 
Penggunaaan gedung-gedung menjadi ruang resepsi pernikahan atau rapat dan pertemuan lain yang tak sejalan dengan judul atau nama gedung yang bersangkutan memang tidak masalah selama berimbang. Artinya fungsi gedung itu sesuai namanya masih bisa dirasakan masyarakat. Bila Gedung Kesenian Ciamis masih bisa dirasakan manfaatanya sebagai art space bagi masyarakat, dengan mengesampingkan arsitektur gedung yang jauh panggang dari api itu, usailah satu perkara. Persoalan arsitektur itu mungkin bisa diselesaikan bertahap bila memang ada goodwill dari para pimpinan pemegang kuasa anggaran.
 
Yang katanya ruang-ruang kesenian plat merah nyatanya belum mampu mengoptimalkan dirinya. Dan sebagai manusia-manusia (yang idealnya) merdeka, segelintir penggiat seni di Ciamis memilih menciptakan art space-nya sendiri. Sekian nama tempat dan acara yang digelar di dalamnya sebagaimana disebutkan diawal tulisan ini nyaris seluruhnya bersifat swadaya. Memberi usul dan mengkritisi pemerintah Ciamis lewat tulisan dan kata-kata ternyata belum cukup kuat untuk mengetuk nalar dan nurani sang pemegang kuasa. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyambung lidah rakyat rupa-rupanya masih ripuh disandera kepentingan politik praktis, terlebih di tahun menjelang Pemilu seperti sekarang ini.    
 
Berharap pada pemerintah untuk berkebijakan secara bijak, wajar saja sebab demikianlah relasi yang terjadi di negara demokrasi. Selama logis dan berdasar, kritik dan saran adalah bagian dari keikutsertaan masyarakat membangun daerahnya. Di sisi lain, menciptakan ruang-ruang berkesenian non plat merah adalah perjuangan, upaya berkarya, berkreasi sebab seniman tidak boleh mati.   

Senin, 20 November 2017

King v.s. Jack


Siapa yang kenal Hayam Wuruk? Iya, Hayam Wuruk yang raja Majapahit itu, yang ketenarannya menggema ke seantero Nusantara. Tapi beliau agaknya masih kalah tenar ketimbang Maha Patihnya, Gajah Mada. Tepat sekali, Maha Patih yang terkenal dengan sumpah Amukti Palapa-nya. Sumpah yang kelak menjadi landasan sang Maha Patih menalukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sumpah yang bagi sebagian masyarakat Sunda punya arti lain sebab lantaran sumpah itu putri Sunda dari Kawali yang konon cantik jeita itu, Citraresmi, harus mati bunuh diri. Tapi ya sudahlah. Fakta atau upaya adu domba, terima saja pelajaran baiknya.

Saya sebenarnya bukan mau cerita soal Majapahit atau Perang Bubat yang dramatis itu, atau ihwal “Gaj Ahmada” yang diyakini sebagian kecil orang sebagai seorang muslim. Saya hanya iseng membayangkan, bagaimana jika zaman itu Hayam Wuruk dan Gajah Mada ikut pemilu. Saya membayangkan bilamana mereka saling bertarung sebagai kontestan pemilu. Ceritanya pasti menarik dan dicatat sejarah sebagai salah satu pertarungan politik monumental yang penuh intrik.

Politik tak kenal kawan dan lawan sejati. Politik hanya kenal kepentingan golongannya sendiri. Setidaknya itulah yang terjadi hingga saat ini di negara ini. Partai politik tak mungkin memikirkan kejayaan partai lainnya. Jika pun terpaksa harus koalisi, ujung-ujungnya ya golongannya sendiri yang harus pertama dapat manfaat sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya. Partai politik pasti menginginkan dirinya menjadi partai penguasa dan kalau memungkinkan, ia harus jadi satu-satunya partai yang ada di negara itu, persis seperti di negara-negara sosialis-komunis yang hanya kenal sistem satu partai. Tapi karena negara kita tak pakai sistem itu, maka untuk  berkuasa terpaksa harus kerjasama.

Jika Hayam Wuruk dan Gajah Mada benar-benar ikut pemilu sebagai rival, Majapahit bisa dipastikan akan porak-poranda, hancur lebur. Dua orang yang berkantor di tempat yang sama, bekerja untuk satu visi yang sama, dibiayai hidupnya  dari sumber keuangan yang sama, punya hak dan wewenang di pemerintahan yang agak-agak sama besar, bisa dibayangkan apa jadinya bila mereka berdua bertarung? Mungkin bisa mengalahkan hebatnya pertarungan duet Naruto-Sasuke versus Kaguya. Duel Hashirama Senju lawan Uchiha Madara jelas tidak ada apa-apanya dibanding dahsyatnya gulat politik kedua penguasa Majapahit itu.

Mereka berdua mungkin terlalu sukar dibayangkan sebagai peserta pemilu, tapi situasi macam begitu mudah sekali ditemukan dewasa ini di Indonesia. Pemandangan Bupati dan Gubernur yang lantas bertarung melawan Wakilnya, itu sudah biasa. Dan Sekretaris Daerah pun kini latah terjun ke dunia politik. Bupati Petahan v.s. Sekda, demikianlah yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Hal begini tak usah susah-susah dibayangkan sebab sudah tayang versi aslinya di panggung politik level provinsi atau kabupaten, tinggal disimak saja tanpa perlu lelah menganalisis kode-kode bahasa politik tingkat dewa sebab semuanya begitu terang benderang, terbuka, dan kadang jorok dan porno. Tinggal nonton saja dan semua akan nampak dengan jelas.

Sekda boleh dikata semacam Sekjen-nya pemerintah daerah. Ia lazimnya ASN dengan golongan tertinggi di daerahnya dan adalah puncak tertinggi karir struktural seseorang di jenjang ASN/PNS. Dalam struktur pejabat pemerintah daerah, dialah pejabat struktural tertinggi. Ia tentu punya peran, fungsi, hak, wewenang, dan kuasa yang besar dalam sebuah pemerintahan. Bilamana seorang Sekda terlibat politik praktis, ia sangat berpotensi tergelincir abuse of power, layaknya yang sering dilakukan para petahana yang kembali bertarung. Dan jika itu benar terjadi maka pemerintahan daerah, di tahun-tahun terakhir menjelang pemilu, hanya akan diisi oleh perang-perang antar instansi pemerintah, para pejabat eselon, camat-camat, lurah-lurah, bahkan mungkin bidan-bidan di desa pun boleh jadi turut terlibat dalam peperangan jalur plat merah ini.

Para ASN mulai dari kepala-kepala SKPD, kepala sekolah, camat. lurah, dan sebagainya akan terpecah menjadi dua kubu, pendukung Bupati dan pendukung Sekda. Bupati yang punya kuasa mengalih pindahkan para pejabat akan merombak habis-habisan jajarannya. Siapa tak sekubu, siap-siaplah menduduki jabatan baru yang jelas tak kan lebih baik. Program-program pemerintah yang seyogianya tak berpihak kecuali pada rakyat jelas akan tercemar. Kegiatan-kegiatan SKPD akan sarat dengan aroma politik elektoral. Camat mana yang mau mendukung, jangan harap wilayahnya dapat kucuran dana. Kepala dinas mana yang nampak bersebrangan, pasti kekeringan. Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik dari Bupati maupun Sekda sangat berkemungkinan jadi ajang kampanye terselubung. Pengelolaan anggaran sudah pasti akan tak keruan. Rakyat dalam arti sesungguhnya jelas tak dapat tempat kecuali dengan imbalan suara buat para kontestan.

Jika perang pejabat ini berkobar, siapa yang jadi korban? Siapa lagi kalau bukan rakyat. Pertarungan para elit tak pernah membunuh diri mereka sendiri. Mereka selalu punya pihak lain sebagai korban, tumbal. Dan jika rakyat yang karena sudah terlalu sering menjadi korban lantas terbiasa, lantas menerimnya sebagai takdir absolut,  pasrah dan memilih menikmati dirinya selaku korban ketimbang melawan, tepat saat itulah akal sehat dan hati nurani menemui ajalnya.  

……………….
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan
peradaban yang dangkal

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan
iman dan akal
di dalam daulat manusia
namun dauat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akan sehat

…………………………….
(Maskumambang, W. S. Rendra)  

Demikianlah seorang penyair menulis.

Panjalu,

20/11/2017

Senin, 13 November 2017

Seni Dan Kekuasaan

Pada awal mulanya membuat gambar hewan-hewan di dinding gua atau menari-nari mengelilingi api unggun barangkali belum disadari sebagai seni dan memang belum dinamai sebagai seni. Kegiatan itu adalah bagian dari keseharian, itu saja. Dan kesemua itu adalah kebutuhan, artinya harus dilakukan. Menari-nari mengitari api unggun, pada awalnya, bukan perkara mau atau tidak mau, suka tidak suka, tapi itu semua adalah wajib dilakukan. Mungkin hal itu berhubungan dengan keyakinan metafisik masyarakat masa itu.

Kemudian kegiatan seni bergerak maju ke arah “mencipakan keindahan”. Inspirasi besarnya boleh jadi mitologi, keyakinan pada hal gaib, singkatnya hal tak kasat mata yang lazimnya diyakini lebih hebat dari manusia. Seni bukan jadi semata-mata “menciptakan keindahan”, tetapi lebih dalam,  menjadi cara manusia memahami segala sesuatu yang belum ia ketahui secara pasti. Sebelum diketahui bahwa petir adalah lompatan bunga api listrik yang bisa dijelaskan gamblang oleh ilmu pengetahuan, orang-orang Yunani Kuno memahami petir sebagai bentuk kuasa Dewa Zeus yang bersemayam di Gunung Olympus. Sedang masyarakat Skandinavia Kuno memahaminya sebagai buah kekuatan palu Mjonir milik Dewa Thor yang tinggal di Asgard. Setelah ilmu pengetahuan membogkarnya, kepercayaan itu lantas disekap dalam sangkar mitos belaka. Tetapi seni modern justru masih menjadikannya sumber inspirasi. Hollywood malah menjadikannya sumber pundi-pundi dollar.

Folklore, termasuk dongeng-dongeng di dalamnya, tidaklah lahir dari kelololan suatu kaum. Sebaliknya, ia lahir dari hasil perenungan yang dalam. Mitologi, legenda, cerita rakyat, dan folklore secara umum diciptakan berlapis-lapis. Ada dimensi kisah dan ada pula dimensi makna, atau nilai yang tersembunyi di dalamnya. Nilai yang jadi pegangan hidup kaum di mana folklore itu lahir dan hidup. Seperti mitologi Yunani Kuno yang banyak jadi rujukan filafat Plato.

Manusia berkembang, akal budinya berkerja menciptakan peradaban. Dan akal budi itu pula yang menuntun manusia menciptakan suatu kesatuan manusia yang lantas dinamai kerajaan, imperium, kekaisaran, kesultanan, singkatnya, manusia menciptakan negara. Kelahiran negara turut pula merombak kegiatan seni. Kegiatan seni tak lagi sebatas memproduksi keindahan. Seni jadi memiliki tujuan lain selain tujuan spiritual dan penglipur lara. Ia kini jadi ornamen kekuasaan, seperti pedang, yang awalnya hanya untuk berburu, memotong pohon atau membela diri dari hewan buas, kemudian pedang bertransformasi jadi “senjata”.

Pada awal kelahirannya, negara masih dipimpin seseorang yang dipercaya sebagai titisan atau representasi tuhan (dewa). Oleh karena itu sang pemimpin mutlak dijadikan sumber segala kebenaran. Raja adalah hukum dan hukum adalah raja. Sabda raja adalah sabda tuhan. Seni pun tak luput dari keyakinan macam ini. Seni yang bagus, indah, dan “diperbolehkan” harus atas ucapan raja. Jika raja mengatakan kesenian A adalah buruk dan tidak pantas, maka rakyat akan menerimanya sebagai kebenaran absolut.
Dan karena raja adalah penguasa tertinggi yang punya hak sangat istimewa, maka banyak pihak yang berlomba mendekati raja dan berusaha menjadi orang yang disukai beliau, dan senimanpun turut serta melakukannya. Rupa-rupa kesenian diciptakan untuk menyenangkan hati raja. Saat kerajaan inilah mulai santer yang namanya seniman. Kesenian sudah bukan milik bersama lagi, tapi jelas siapa penciptanya dan ditujukan  untuk siapa. Produksi keindahan sudah campur aduk dengan kepentingan pemenuhan kesenangan penguasa. Kesenian banyak yang merupakan pesanan dari penguasa, baik sebagai penghibur belaka  atau selaku alat propaganda kekuasaan.

Tetapi, meski sedemikian pelik kehidupan kesenian dalam istana, masih ada yang dengan riang gembira menyanyi, menari, membuat syair, dan membuat patung. Merekalah yang tinggal jauh dari istana, yang memproduksi keindahan untuk kepuasaan diri mereka sendiri dan manfaat bagi orang-orang disekitarnya. Kegiatan  dan hasil karya seni-nya mungkin tak semegah keseniana istana, tetapi seni pinggiran ini punya kekuatannya sendiri. Keseniannya bukan upeti, bukan pula kepanjangan cakar kekuasaan.

Selamat Bulan November, bulan pesta pora akhir tahun.

Panjalu, 12112017

Rabu, 27 September 2017

Menjelang Pilkada Ciamis (Atau Pemilu Lainnya)


Malam minggu kemarin, saya dan istri hadir di sebuah diskusi tentang Rohingnya. Judul diskusinya DIMIC, kependekan dari Diskusi Mingguan Cempor. Dari yang berita saya baca, Cempor adalah sebuah komunitas belajar yang ada di lingkungan FKIP UNIGAL. Di kampung saya, cempor berarti lampu tempel berbahan minyak tanah. Ketika kecil Ibu masih menggunkannya jika sewaktu-waktu mati lampu. Konon, sebelum ada listrik, cemporlah yang jadi alat penerangan khususnya di dalam ruangan. Saya belum sempat ngobrol-ngobrol banyak dengan penggiat Cempor, ada apa dengan cempor sehingga harus jadi nama komunitas mereka. Tapi mari menebak-nebak bahwa mungkin mereka berharap aktivitas yang mereka lakukan mampu menjadi penerang bagi banyak orang, seperti cempor milik Ibu saya dahulu. Persoalan kenapa mereka tidak pilih kata lilin, lampu, matahari, atau light (menggunakan bahasa internasional biar terdengar keren), itu belum sempat saya tanyakan.
Peserta diskusinya mayorias adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNIGAL. Satu dosen teselip di sana, Tito Wardani, demikian saya mengenalnya. Ia dosen sejarah. Akun facebooknya Pramoedya Wardani dan entah mengapa ia pakai nama itu. Ada pula beberapa mahasiswa UNIGAL dari jurusan lain dan satu mahasiswa dari kampus tetangga, IAID. Ia mengenalkan dirinya dengan nama Edgar (entah nama asli atau karena ngefans pada sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe).
Di ruang diskusi saya menerima tiga lembar kertas berisi tulisan dengan judul Derita Dari Rakhine, Melihat Akar Konflik Di Rohingnya. Tulisan itu berisi ulasan konflik Rohingnya dari sudut pandang sejarah. Saya yang mualaf sejarah ini akhirnya lumayan  tercerahkan ihwal tragedi di Myanmar tersebut.
Dari pememahan atas teks itu, saya menangkap bahwa jika melihat konflik itu sebagai konflik agama saja, jelas itu pandangan yang prematur bahkan mungkin keliru berat. Ada rentetan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Dan tentu banyak hal yang ada di sana, bukan hanya Budha versus Islam. Jepang dan Inggris pun turut dibahas dalam tulisan itu sebagai pihak kolonialis yang turut menyumbang keruh dalam konflik panjang antara etnis Rohingnya dan etnis mayoritas di Myanmar.
Sayangnya, keterangjelasan ihwal itu semua jarang diketahui masyarakat umum. Di era digital kini sebenarnya bukan pekara sulit untuk mengakses informasi. Namun justru karena akses yang nyaris tanpa batas itu, masyarakat kerap dibuat kamerkaan, berlebih, sehingga kurang mampu melihat dengan jelas tiap-tiap informasi yang datang. Informasi datang bak banjir bandang, air bah, datang serentak dan tiba-tiba. Dan dalam kondisi macam begini selalu saja ada okmun yang terikat pribahasa Sunda, lauk buruk milu mijah, oportunis, Sengkuni.
Karnaval informasi kadang membuat akal sehat lepas dari maqomnya. Akhirnya pandangan kita dikaburkan pelbagai kabut. Setelah rabun, akan datang tim khusus yang menggiring kita, menjadikan kita bebek-bebek atau peluru. Lalu seterusnya kita dibuat rabun permanen bahkan buta sama sekali, untuk kemudian dijadikan pelor permanen, menembak apa saja sasaran yang mereka inginkan. Tim khusus ini bekerja, cari duit. Yang berkepentingan, yang menentukan sasaran tembak, ya yang menduiti mereka, Para Pemburu Kursi.
***
Saudara-saudara, menjelang Pilkada Ciamis 2018 (atau pemilu lainnya), sejak tahun lalu sudah banyak baliho terpampang di pinggir-pinggir jalan atau nemplok di mana saja. Gambarnya, wajah-wajah para bakal calon Bupati dan Wakil Bupati. Malah sekarang makin marak lagi dengan wajah cakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Memang, pesta baliho adalah salah satu ciri khas pesta demokrasi di Indonesia. NKRI lambat laun akan jadi lautan baliho atas nama demokrasi.
Selain pesta baliho, yang marak lagi adalah sales yang sibuk menjajakan jagoannya dengan berbagai cara. Mulai dari cara bersih serupa memaparkan program dan gagasan-gagasan hingga cara kotor dengan melontar kampanye hitam. Ini lumrah di Indonesia. Tak ada pemilu tanpa kampanye hitam.
  Rupa-rupa isu digoreng sedemikian rupa dan dijual pada para pemilih guna mempengaruhi pilihannya. Isu apapun baik yang nyambung atau yang tidak nyambung. Yang tidak nyambung akan dibuat nyambung sedemikain rupa. Sales ini akan bikin logika cocoklogi yang mujarab buat menggiring opini. Cocoklogi ini akan dibuat senyambung mungkin seolah memang benar adanya. Dalilnya, “Sebarkanlah kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik percaya bahwa kebohongan tersebut adalah sebuah kebenaran”, demikian seru Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik Dan Propaganda Nazi, semacam Pak Harmoko-nya Jerman di era Hitler.
***
Rohingnya sebagai etnis yang dilukai mayoritas, ya. Mereka butuh bantuan, ya. Mereka minoritas, ya. Mereka manusia, ya. Ini tragedi kemanusiaan, ya. Dan ketika berbicara kemanusiaan, mari tanggalkan semua atribut identitas.

***
Untuk keselamatan saudara-saudara Rohingnya, bi barokah ummul Qur’an, Al-Faatihah!



Ciamis, 27 September 2017

Minggu, 06 Agustus 2017

Kuntilanak


Sudah 72 tahun Indonesia merdeka. Bahwa kemerdekaan itu bukan hasil gratisan, apalagi obralan, sudah tentu. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan, hasil pemberontakan, hasil perlawanan, hasil keengganan hidup dibawah cengkram penjajah. Portugis, VOC, Kerajaan Belanda, Inggris, dan Jepang adalah sekian orang-orang asing yang pernah singgah dan menjalankan penjajahan atau upaya penjajahan di tanah Nusantara. 

Berawal dari ketertarikan  pada sumber daya alam Nusantara, penjajah itu datang berwajah dagang. Semangat Gold, Glory, dan Gospel akhirnya menggiring Nusantara berada di bawah kaki kolonialisme. Belanda yang sekitar 350 tahun menjajah sebagian besar wilayah NKRI menapakkan jejaknya bahkan hingga kini. Selain peninggalan berupa benteng-benteng bekas zaman kolonial yang kini jadi objek wisata, sidik jari penjajahan ada dunia seni dan sastra, pada sistem hukum dan pemerintahan, dan yang terparah jejak kolonial itu terpatri dalam alam bawah sadar kolektif sebagian besar orang-orang Merah Putih.

Perasaan kecil dan rendah diri, inferior, subordinat, kelas dua, adalah sekalian hal yang bersarang dalam benak masayarakat post kolonial. Masyarakat post kolonial acap kali silau memandang ke Barat, rasa percaya diri yang rendah, dan lebih jauhnya kekacauan identitas. Kekacauan – atau setidaknya blur – identitas ini boleh jadi lantaran sudah terlampau banyak sejarah (yang tentu menyimpan rekam jejak biografi) tereduksi, atau dengan sengaja direduksi, dierosi demi kepentingan kekuasaan penjajahan. Dan  hebatnya budaya ini terus berlanjut pada “orde-orde” pasca kemerdekaan.

Cengkraman kuasa asing ini juga menyentuh wilayah metafisik Indonesia pasca kolonilisme. Visualisasi hantu sejatinya adalah proyeksi alam bawah sadar. Personalisasi ketakutan. Wujudnya tentu dipengaruhi pelbagai hal yang ada dalam alam bawah sadar subjek bersangkutan. Orang Mesir agak sulit merasa takut pada vampir Tiongkok yang nyata-nyata tak mereka kenal dalam budayanya. Begitupun masyarakat Siberia agaknya akan kebingungan bilamana musti berurusan dengan Palasik, Genderewo, Buto Ijo, atau Leak yang jelas jauh dari dunia bawah sadar kolektif mereka. Demikianlah, wujud hantu itu erat kaitannya dengan identitas lokal setempat yang sudah barang tentu erat pula kaitannya dengan sejarah daerah tersebut.

Berbagai macam hantu-hantu dikenal di Indonesia. Dan diantara sekian nama-nama yang sudah sedikit disebut di atas, kuntilanak adalah hantu nasional yang boleh jadi paling populer, selain pocong tentunya. Popularitasnya tak lepas dari mendiang aktris   Suzana dengan sekian lusin film-film bergenre horor-nya. Malam Satu Suro ialah salah satu yang legendaris. Sosok kuntilanak menjadi cukup humanis dan menempati sudut protagonis pada film produksi tahun 1988 ini. Melalui sosok Suketi ini, Suzana makin mengangkat popularitas kuntilanak. 

Tentang sejarah “kelahiran” kuntilanak sendiri, cukup banyak versi yang berkembang di masyarakat. Salah satu yang masyhur adalah kelahiran kuntilanak yang berkaitan dengan kota Pontianak, Kalimantan Barat. Alkisah, adalah Syarif Abdurrahman, seorang sultan pendidiri kesultanan Pontianak, sering diganggu kuntilanak ketika ia menyusuri sungai Kapuas. Kuntilanak sendiri diyakini sewujud mahluk gaib yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, namun anak dalam kandungannya belum sempat lahir. Untuk mengusir kuntilanak, ia lantas menembakkan meriam. Tempat jatuhnya meriam itu kemudian menjadi tempat pertama pendirian kesultanan. Tempat tersebut kini bernama Kampung Beting, yakni daerah persimpangan sungai Kapuas dan sungai Landak. 

Ada pula yang mengatakan bahwa kuntilanak ialah sebentuk hantu yang sengaja dipanggil seorang dukun yang berasal dari mayat perempuan. Hantu itu sengaja dipanggil guna mengganggu seorang sultan di wilayah Pontianak. Jika mendengar dongeng versi ini sambil membuka twitter atau membaca berita kekinian, maka akan terasa agak politis.

Versi lain mengatakan bahwa kuntilanak berasal dari daerah Jawa, yakni Alas Roban. Dahulu kala ada seorang perempuan Jawa yang diperkosa, dibunuh, kemudian mayatnya dibuang di Alas Roban. Rohnya gentayangan dan akan menteror para lelaki hidung belang. Dongeng ini agaknya terdengar lebih seperti Urban Legend. Dan masih banyak versi lainnya. 

Bagi masyarakat Jawa di beberapa daerah, kuntilanak diyakini sebagai hantu penculik bayi dan penganggu wanita hamil. Kuntilanak tidak akan mengganggu wanita hamil yang membawa paku, pisau, gunting, dan jarum. Demikian pula si bayi,  maka tak jarang ditemui benda-benda tersebut berada di dekat tempat tidur bayi. Itu semata-mata untuk melindungi si bayi dari kuntilanak.

Meski banyak perbedaan dalam asal usul kuntilanak, hal yang menyamakan ialah wujudnya. Kuntilanak ialah hantu perempuan berbaju putih berambut hitam terurai. Sebagian mengatakan ia memiliki punggung yang bolong karena ia mati saat hamil dan bayinya lahir dalam kubur. Ada pula yang membuat kategori baru untuk hantu jenis ini, yakni Sundel Bolong. 

Berambut hitam panjang terurai dan berbaju putih panjang seperti daster, itulah keseragaman kuntilanak pada semua versi.

Dan ihwal kuntilanak itu, bahwasanya wujud hantu populer Indonesia itu tak lepas dari pengaruh bangsa asing. Kuntilanak, hantu yang mencerminkan asimilasi lokal dan Barat. Hal ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan kuntilanak dalam beberapa variannya. Kuntilanak mengenakan semacam baju tidur, daster berwarna putih. Perempuan lokas pra kolonial tak mengenal pakaian ini sama sekali. Pakaian jenis ini jelas diperkenalkan oleh bangsa asing. Artinya kuntilanak “lahir” tentu setelah tibanya bangsa asing ke tanah Nusantara. Jika saja kuntilanak ialah produk asli Nusantara, mungkin ia harus mengenakan kebaya, batik, atau kain ulos, misalnya.

Tentang identitas masa lalunya (kalau kuntilanak dulunya ialah manusia), mungkin saja ia seorang noni (perempuan Indo) Belanda, atau bisa juga semacam gundik atau istri simpanan para pembesar VOC yang merupakan perempuan lokal. Ini nampak dari warna rambut kuntilanak yang hitam sedangkan perempuan Belanda identik memliki warna rambut pirang. Dan perempuan lokal jarang menggerai rambutnya bagai kuntilanak itu. Perempuan lokal tradisional, biasanya mengenakan hiasan rambut atau mengolah bentuk rambutnya sedemikian rupa, tak dibiarkan terurai begitu saja kecuali saat tertentu. Rambut hitam milik perempuan lokal sedang pakaian daster putih adalah pakaian tidur a la perempuan Eropa masa lampau. Kalau pun ia lahir pasca kemerdekaan, kuntilanak adalah tipe hantu perempuan yang kebarat-baratan.

Dalam urusan hantu saja jejak kolonialisme dapat terendus. Kuntilanak sudah kadung menjadi hantu yang popularitasnya boleh dibilang lebih menonjol dibanding hantu-hantu lain. Apakah ini bagian dari dampak mentalitas bawah sadar post-kolonial?

Tetang rival, tentu saja rival terberatnya ialah pocong. Soal pocong, agaknya ia juga patut dipertanyakan ke-Nusantaraan-nya. Pasalnya ia jelas mahluk hantu beragama Islam. Pemocongan jenazah adalah tuntunan ajaran agama Islam. Artinya di seluruh dunia, jenazah seorang muslim pastilah dipocong. Jadi sebenarnya pocong ialah hantu yang transnasional. Karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia maka popularitas pocong menjadi lebih kentara dibanding negara berpenduduk muslim lain di bumi ini. Rivalitas pocong dan kuntilanak ini pada hakekatnya ialah perang antara dua corak budaya yang jejaknya bisa ditelisik hingga ke negeri-negeri seberang.  

Lantas, siapa hantu pribumi itu?

Panjalu,
5 - 6 Agustus 2017

Sumber Gambar :
http://journalpsyche.org/tag/unconscious-mind/

Jumat, 28 Juli 2017

Dekomunalisasi Perkawinan


Seks, apa yang terbayang di benakmu ketika mendengar kata itu? Porno? Dosa? Hubungan alat kelamin? Ayolah, Dasta. Apa yang salah dengan membicarakan seks? Ia bagian tak terpisahkan dari tubuh dan kehidupan manusia. Kamu mustahil hidup jika ayah ibumu tak berhubungan seks, kecuali kamu hasil kloning. Dosa? Sejak kapan membicarakan seks tergolong dosa?

Jangan hipokrit, Dasta. Bukankah perkawinan juga adalah kepanjangan dari seks? Bila saja kita tak punya akal budi, upacara perkawinan yang kompleks dan sakral itu takkan pernah ada. Di beberapa agama dan kepercayaan, perkawinan adalah semacam ritual suci. Punya nilai ibadah. Urusannya bukan hanya kamu dan pasanganmu, atau keluargamu dan keluarga pasanganmu. Perkara perkawinan adalah urusan kalian dan keluarga kalian dengan Tuhan. Saking pentingnya perkawinan, negara sampai membuat undang-undangnya secara khusus. Dan ada lembaga negara yang khusus mengurus perkawinan. Perkawinan merasuki pelbagai dimensi, tak hanya ruang privat belaka.

Bermodal berahi atau cinta kasih semata, mungkin belumlah cukup untuk menyelenggarakan upacara perkawinan. Setidaknya itu dari sudut agama dan adat istiadat. Ada sekian persyaratan yang musti kamu penuhi buat sebuah upacara perkawinan. Itu sudah pasti, Dasta. Modal utamanya memang cinta kasih. Jika tidak, buat apa kamu kawin?

Aku bukan menutup mata. Memang ada perkawinan tanpa cinta kasih antar pasangannya. Perkawinan dengan latar belakang bisnis, politik, sebagai sarana penyebaran agama, status sosial, dan lainnya. Dan perkawinan macam ini sangatlah banyak, Dasta. Sejarah dan sastra klasik banyak menceritakan itu. Dan kukira, di era post-modern ini, perkawinan macam begitu masihlah ada. Jujur saja, aku agak meragukan sakralitas perkawinan macam itu. Oh, benar, Dasta. Ada pula yang kawin demi menghindari dosa prostitusi dan onani. Juga ada yang kawin lantaran dorongan dogma agama, tak peduli kamu cinta atau tidak pada pengantinmu.

Tapi, Dasta, insyafahkah kamu bahwa perkawinan juga adalah peristiwa komunal? Perkawinan bukan hanya ihwal ritus ibadah yang langsung berurusan dengan The Holy Supreme. Perkawinan juga adalah peristiwa perayaan kegembiraan. Selalu ada perayaan, ada pesta usai ritual yang sakral itu. Ada profan usai sakral. Ada riuh usai sepi. Begitulah barangkali kebudayaan kita, dan kebudayaan lampau lainnya : sakral dan profan tidak terdikotomi tegas seperti pola pikir modern. Sakral dan profan berkelindan. Saling bersulam. Bahkan tak ada sama sekali istilah sakral dan profan sebab semua laku jadi emanasi hubungan transendental.

Pada kebudayaan tradisional, perayaan perkawian dilakukan sepenuhya oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat secara gotong royong. Sejak masa persiapan hingga pasca acara, mereka semua yang menangani. Semua dilakukan atas dasar tugas sosial sebagai masyarakat. Mereka meyakini bahwa perkawian, pada dimensi lain, adalah sebuah peristiwa komunal, ibadah sosial yang menjadi tanggung jawab bersama. Bila ada pasangan yang upacara perkawinannya terasa kurang sempurna, banyak dari mereka yang meyakini bahwa bencana dan amuk Tuhan atau Dewa bukan saja pada pasangan pengantin semata, tetapi melanda seluruh kampung. Begitupun kebahagiaan satu keluarga yang kawin sejatinya adalah kebahagiaan bersama seluruh anggota komunitas masyarakat.

Tak masalah, Dasta. Membicarakan perkawinan bukan menu khusus buat orang yang sudah kawin saja, kamu pun berhak. Semua berhak sebab, seperti yang kukatakan, perkawinan menginjakkan satu kakinya di dimensi sosial (publik), satu kaki di dimensi privat. Ihwal perkawinan di ruang publik, perayaan perkawinan adalah pernyataan jelas tentang hal itu. Tentu, Dasta. Semua terlibat. Ada petugas masak–memasak. Dan mereka punya struktur tersendiri, siapa kepala, siapa bagian menanak nasi, siapa bagian urus ikan, siapa bagian urus sayur-mayur, siapa bagian urus kue-kue, siapa urus buah-buahan, siapa bagian urus penataan, siapa bagian cuci-mencuci, dan lain sebagainya. Itu baru bagian dapur. Belum lagi urusan dekorasi, panggung hiburan, tenda, dan kursi. Memang, sejak beberapa tahun lampau, perkara dekorasi sudah ditangani lebih profesional oleh pihak ketiga. Sebut saja Juru Rias. Biasanya mereka membawa paketan bersama baju dan rias pengantin.      
 
Zaman berubah, Dasta. Dewasa ini, khususnya di masyarakat urban kelas menengah ke atas, masyarakat sudah tak lagi memiliki perayaan perkawinan. Perayaan ini kini mengalami dekomunalisasi, suatu proses pen-tidak-masyarakat-an. Proses bergesernya sesuatu yang asalnya milik komunal, milik masyarakat ke arah lain, non-komunal. Perayaan perkawinan sudah ditangani secara profesional oleh sekelompok orang yang tidak memliki hubungan apapun dengan mempelai kecuali hubungan bisnis. Mereka bukan saudara, bukan kerabat, bukan pula anggota komunitas masyarakat tempat si mempelai tinggal. Mereka ialah sumber daya yang mengkhususkan dan melatih diri mengurusi perayaan perkawinan orang lain.

Mereka menyiapkan segalanya, Dasta. Konsep, baju pesta, masakan, tempat perayaan, dekorasi, hiburan, dokumentasi berupa foto dan video, dan segala ihwal perayaan perkawinan. Jika kamu si pengantin, kamu akan diarahkan ibarat raja dan ratu yang punya ajudan dan divisi protokol. Yang menjadi urusan kamu hanyalah upacara perkawinan yang sakral itu di mana kamulah aktor utamanya.

Menurutku, di era post-modern ini, dimensi sakral dan profan dari suatu perkawinan masihlah ada hanya wujudnya saja yang berubah. Tapi barangkali memang terjadi pergeseran interpretasi. Sakralitas perkawinan yang tersimpan dalam upacara perkawinan pun boleh jadi mengalami perubahan makna. Barometer sakralitas yang tadinya merupakan prodak agama dan adat, kini menjadi lebih personal. Yang mengukur sakral tidaknya adalah pengantin semata. Beberapa elemen yang menurut agama dan adat adalah penentu sakralitas, kadang disubstitusi oleh elemen sakral versi pengantin sendiri atau ditafsir ulang menjadi bentuk baru yang lebih terasa privat.

Ruang profan yang terwujud lewat perayaan pun berubah. Yang asalnya merupakan prodak komunal, prodak masyarakat, kini telah jadi prodak Wedding Organizer atau Wedding Planner. Hiburan-hiburan pesta perkawinan jadi sangat terbatas, demikian pun waktu resepsi. Semua serba terjadwal, ketat, dan dalam beberapa kasus, kaku. Perayaan perkawinan jadi bisnis “seni kemas acara” yang menggiurkan. Perkawinan jadi serupa seni pertunjukan yang dikelola secara profesioal, tentu harus sangat entertain. Percayalah, Dasta, dalam beberapa kasus, hal ihwal yang katanya acara adat itu hanya jadi tempelan belaka, dan tujuannya jelas hiburan.


Demikianlah, Dasta. Masyarakat kini benar-benar hanya tamu belaka dalam suatu resepsi perkawinan, tak lebih. Para tetangga cukup datang, bersalaman, berpotret, memberi amplop, makan, dan pulang. Alasannya jelas : efektifitas dan efisiensi. Agaknya, itu alasan yang bergaung di semua bidang, di era milenial ini, Dasta.

Panjalu, 28 Juli 2017

Jumat, 14 Juli 2017

Patung


Demi tuhan, saya memang tidak tahu. Sepanjang ingatan saya, patung itu sudah lama berdiri di sana tanpa saya tahu siapa penciptanya. Dan saya agak yakin juga, bukan saya seorang saja yang tidak tahu pembuat patung itu. Saya hanya tahu bahwa patung itu sudah jadi milik negara. Pembuatannya bukan di zaman saya jadi saya tidak tahu siapa yang buat.

Niat saya baik. Saya menilai perlu ada pembaharuan. Bukan berarti patung itu jelek. Patung itu sangat bagus dan indah, apalagi penciptanya ialah seorang seniman besar. Seorang pematung kelas dunia. Sebagai pemimpin daerah dan warga asli daerah ini, saya bisa mewakili perasaan segenap warga masyarakat yang tentunya merasa bangga akan kehadiran patung itu yang telah menemani hari-hari kami. Jadi ikon daerah kami. Namun seiring perkembangan zaman dan kemajuan yang telah dicapai daerah kami dibawah kepemimpinan saya, alangkah baiknya jika patung itu diperbaharui agar lebih mewakili visi dan semangat kekinian dari daerah kami.

Tidak. Sama sekali saya tidak punya niatan atau perasaan merendahkan atau mencemooh patung itu sebagai patung yang ketinggala zaman. Ah, itu anggapan orang-orang yang iri saja pada saya. Atau mungkin itu tulisan-tulisan di koran yang kurang bertanggungjawab. Sudah saya katakan, saya dan segenap masyarakat di sini sangat bersyukur dan bangga atas kehadiran patung itu. Daerahnya jadi tempat berdirinya patung karya seniman terkenal, siapa yang tak bangga.

Justru tindakan yang saya lakukan adalah wujud rasa cinta dan kebanggaan terhadap daerah yang saya pimpin ini. Ide pembaharuan, sekali lagi saya katakan, pembaharuan patung itu berangkat dari rasa bangga saya atas pencapaian-pencapaian pemerintah dan masyaraat daerah yang saya pimpin. Sebagai daerah yang baru beberapa tahun memiliki hak otonomi, wajar saya merasa bangga atas segala pencapaian kami. Sebagai wujud rasa cinta, bangga, dan syukur saya maka saya bermaksud memperbaharui patung tersebut. Semangat yang tersirat dibalik patung itu sudah bagus dan itu pula yang memberi kami semangat lebih untuk bekerja membangun daerah kami.  Nah, semangat itu alangkah lebih baik jika bisa dipancarkan lebih luas lagi, lebih dahsyat lagi melalui bentuk patung yang baru. Kan begitu.

Masalah metode pembaharuan patung, memang ada hal-hal yang saya sesali. Untuk kekhilafan saya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Idealnya memang saya memberitahu dan minta izin pada seniman pematung itu, tapi karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya, apa boleh buat. Saya akui saya khilaf dan oleh karenanya saya mohon maaf kepada seluruh pihak yang merasa kurang nyaman atas tindakan saya terhadap patung itu, terutama kepada seniman bersangkutan.

Saya kan manusia, bukan malaikat. Sudah pasti punya kekurangan, ada kealpaan. Justru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini kita harus saling mengisi. Kekurangan saya bisa diisi oleh masyarakat dan begitu sebaliknya. Pemerihtah dan masyarakat, apalagi dalam hal ini seniman, sudah seharusnya saling mengisi. Saling mendukung dan bekerja sama membangun daerah. Harus ada sinergitas yang baik antara seniman dan pemerintah. Kan sama-sama masyarakat, sama-sama rakyat. Secara esensi, tidak ada antara saya dan sang pematung itu. Sama-sama anak bangsa, sama-sama tumpah darah negeri  ini.

Apa jadinya hidup tanpa seni? Seni itu unsur mendasar yang wajib ada di tiap sendi kehidupan. Kalau saya tidak punya jiwa seni, dengan apa saya memperindah daerah yang saya pimpin. Seni itu tinggalan mulia para leluhur kita. Pelesrarian dan pengembangannya adalah wajib. Saya berupaya keras membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong pelestarian dan pengembangan kesenian di daerah saya. Seniman adalah mitra pemeritah sejak lama.

Itu baiknya. Dengan peristiwa ini kan saya jadi kenal beliau. Jadi silaturrahmi. Kemarin saya sudah temui beliau dan beberapa seniman lain. Saya sampaikan salam silaturrahmi dan permohonan maaf. Beliau seniman besar, sudah level nasional, bahkan internasional. Silaturrahmi kemarin tentu baru langkah awal. Saya, baik atas nama pribadi maupun  pimpinan daerah, akan terus menjalin silaturrahmi dengan seniman-seniman demi membuat sinergitas untuk membangun daerah.

Iya, seperti yang sudah saya utarakan. Silaturrahmi ini baru langkah awal. Ini kan langkah yang baik. Saya juga jadi menambah kawan, menambah saudara. Ini baik untuk saling menularkan semangat. Kebetulan kami punya banyak kesamaan. Yang paling utama, saya dan beliau sama-sama punya semangat membangun. Pancaran semangat beliau bisa terlihat dari karya-karyanya yang menomental dan bernilai seni tinggi. Semangat membangun ini pun yang saya kelola baik-baik untuk daerah saya. Besar harapan saya bila semangat ini bisa lebih membumi dan meluas. Semangat membangun ini seyogianya memang bukan hanya hadir di daerah saya saja, tapi juga di daerah lain. Kita kan masih dalam satu bingkai. Semangat pembangunan yang tertata dalam struktur pemerintahan dari pucuk pimpinan hingga yang paling bawah, dari Gubernur hingga RT, itu hal diharapkan bersama agar pembangunan bisa lebih tertata, terencana, dan mudah dievaluasi. Memimpin daerah besar seperti provinsi kita ini butuh semangat membangun yang tinggi. Pemimpinnya jelas harus tangguh dan pantang menyerah. Banyak sekali persoalan yang harus segera diselesaikan. Ini hanya mungkin teratasi dengan semangat membangun yang tinggi dan tak putus-putusnya.


Ya, bila memang rakyat mempercayai saya menjadi pemimpin yang lebih tinggi, dengan sekuat tenaga, dengan segenap hati dan jiwa, saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan. Saya akan jaga baik-baik amanat dan mandat rakyat.

Panjalu,
14 Juli 2017

Kamis, 13 Juli 2017

Tilang, Negara, Dan "Aku"


Din, beberapa waktu lalu aku ditilang polisi. Sebabnya sederhana dan aku kira tidak musti sampai dihukum membayar sekitar lima puluh ribu. Tidak, aku tidak minta damai. Aku mengakui kesalahanku, menerima surat tilang berwarna biru, dan bermaksud mengikuti sidang. Sebagai sitaan, STNK-ku yang sudah telat pajak itu ditahan polisi. Bukan. Aku, istri dan anakku memakai helm. Aku melanggar petunjuk “belok kiri ikuti lampu”. Aku pun heran. Sudah beribu kali aku lewati jalan itu sepanjang hidupku, dan entah berapa ratus kali aku melanggar rambu itu bahkan saat ada polisi. Semua baik-baik saja. Aku tak pernah kena tilang. Persis baru kali itu saja. Saat itu memang agak spesial. Kabarnya ada pembesar yang akan melewati jalan itu, tepatnya siapa, aku lupa. Seperti biasa, polisi lalu lintas berjaga ekstra mengamankan perjalanan sang pembesar. Dan tepat di sebrang perampatan jalan itu sedang ada galian jalan sampai jalan pun ditutup sementara. Nah, aku tak fokus pada lampu merah perempatan jalan itu. Mataku terfokus ke peristiwa galian jalan yang ternyata baru beberapa hari lalu dimulai. Wajarlah. Aku lebih tertarik pada hal yang tak biasa ketimbang pada lampu merah yang tiap saat berdiri tegak di samping jalan. Galian jalan itu kan tidak setiap saat ada. Bukankah manusia memang begitu? Selalu punya respon lebih pada hal-hal baru, hal-hal yang tak lazim.

Hahaha….memang sudah biasa. Siapa bilang tilangan polantas itu hal luar biasa? Tilangannya memang biasa dan bagi si polisi penilang, pasti sudah sangat biasa karena memang itu salah satu tugasnya. Yang luar biasa adalah aku yang mengalami tilangan karena buatku itu bukan pengalaman yang lazim. Saat itu aku memang berniat mengikuti sidang. Aku ingin mendapati pengalaman sidang di Pengadilan Negeri. Aku ingin “mengalami” pengalaman ber-hukum positif. Meski sudah banyak informasi tentang tata cara sidang dan kebiasaan-kebiasaannya, tapi mengalami secara empiris itu jelas punya keasyikan tersendiri. Segenap diri kita terlibat langsung. Tubuh, nalar, jiwa, ruh, dan segala tentang kita hadir dalam ruang dan waktu sebagai bagian dari sebuah peristiwa, sebuah realitas, seperti bermain atau menonton teater. Pencerapannya jelas akan beda.

Bukan berlebihan, Din. Beda rasanya antara berimajinasi, berempati, bersimpati karena mendengar cerita tilangan seorang kawan dengan tubuh kita sendiri yang mengalami. Kamu musti mencoba, Din. Eh, ini sama saja dengan berhubungan intim dan makan. Atau pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman empiris (dalam arti keterlibatan keseluruhan diri secara langsung) itu punya sensasi yang lain, unik, dan khas. Tiap orang pasti punya kesan dan sensasi yang berbeda.

Aku lanjutkan, Din. Singkat cerita aku sampai ke Pengadilan di waktu dan ditentukan. Hapuslah sudah harapanku berjumpa yang mulia tuan hakim. Ternyata tak ada peristiwa sidang yang aku bayangkan. Nyatanya aku cukup membayar denda tilang di bank yang telah ditunjuk, menyetorkan ke rekening yang telah ditentukan lantas mengambil STNK-ku di Kejaksaan Negeri. Katanya ini peraturan baru. Ya, itu semua tertera di Pengadilan. Ada papan pengumuman yang berisi daftar pelanggar tilang lengkap dengan jumlah nominal denda dan ke nomor mana kita harus membayar.

Oh, tidak. Kami, para pelanggar UU Lalu Lintas, bisa mengantre dengan tertib dan baik. Meski kami tidak mengular seperti antrean di bank, tapi siapa datang lebih awal, dia dilayani lebih dulu. Prinsipnya kami antre hanya wujudnya saja yang berantakan.  Nah, ini yang menarik, Din. Kami, para pelanggar, berkumpul di satu tempat dan waktu yang sama. Bisa kamu terka apa yang jadi topik utama pembicaraan kami. Tepat sekali. Kami, atau sebagian dari kami tepatnya, banyak membahas ihwal polisi, aturan lalu lintas, dan tilang menilang, khususnya kasus helm dan sabuk pengaman.

Pertanyaan mendasar, kenapa polisi mau repot-repot mengurusi keselamatan kita? Mengapa jika tak pakai sabuk pengaman mobil, si pengemudi bisa ditilang? Padahal si pengemudi, misalnya, adalah pemilik mobil. “Mobil milikku, sabuk pengaman milikku, kesalamatan ya keselamatanku, kenapa musti diurusi negara? Dan kalau tak pakai sabuk pengaman, kenapa harus bayar denda pada negara?” Begitu kira-kira ungkapan seorang lelaki paruh baya yang kena tilang lantaran tak pakai sabuk pengaman. Esensi yang sama bisa hadir pula dalam kasus pengendara motor tanpa helm. Singkatnya, ini kasus ihwal keselamatan si pengendara.

Itu dia, Din. Urusan aku dengan diriku sendiri, kok sampai diurusi negara? Bukankah negara harusnya hanya mengatur hubungan aku dengan aku lainnya, dengan the other?

Nah, dari pertanyaan itu lantas aku berpikir. Apa mungkin ini adalah tafsir dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea  ke empat yang berbunyi, “…Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Menilang pengendara mobil tak bersabuk pengaman dan pengendara motor tak berhelm adalah upaya negara melindungi “segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih tepatnya melindungi keselamatan rakyatnya.

Lho, itu namanya tindakan pencegahan, preventif, Din. Secara hiperbola bisa dikatakan bahwa negara, saking cintanya padaku sebagai rakyatnya, ia lantas mengkhawatirkan keselamatanku saat berkendara. Maka tiap hal yang berpotensi menyebabkan keselamatanku terganggu, itu harus dieliminir, wajib ditindak. Segala potensi dan probabilitas yang mengancam keselamatan harus diberangus. Tidak menggunakan sabuk pengaman dan helm saat berkendara adalah tindakan yang masuk kategori potensi dan probalitas pengancam keselamatan.

Iya,Din. Jika kamu tak pakai helm saat berkendara motor, itu berarti keselamatanmu terancam. Ya, potensi terluka atau bahkan mati jika kamu mengalami kecelakaan. Jadi negara mencegah potensi dan sebuah kemungkinan. Potensi dari potensi. Iya, lah. Coba perhatikan, Din. Saat berkendara kamu berpotensi mengalami kecelakaan lalu lintas, itu sudah jadi semacam hukum umum. Potensi kecelakaan itu lantas dikembangkan. Bilamana kamu tak berhelm atau sabuk pengaman, maka kamu berpotensi terluka atau mati. Begitulah, Din. Asumsi dari sebuah asumsi : jika kecelakaan.

Dan kenapa kita musti membayar denda atau dihukum jika melanggar ketentuan pencegahan itu? Itu pula yang kupertanyakan, Din. Sementara ini aku berpikir bahwa hukum bekerja dengan memilah antara tindakan dan pelaku tindakan. Yang dikenai aturan ialah tindakannya. Semisal, ketentuannya adalah setiap pengendara kendaraan roda dua wajib menggunakan helm. Nah, dengan logika yang kukatakan di atas, maka siapa pun yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm wajib dikenai sanksi karena telah menyebabkan si pengendara teracam keselamatannya. Bahkan jika “yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm” itu adalah si pengendara itu sendiri. Artinya subjek yang sama mempunyai dua predikat, sebagai pengendara di satu sisi dan sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara di sisi lain. Nah, yang dihukumi sebagai pelanggar oleh negara ialah subjek sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara, atau subjek sebagai penyebab tak ber-sabuk pengaman-nya pengendara mobil.

Negara, melalui hukum, melindungi rakyat bahkan dari dirinya sendiri. Din, sadarkah kamu bahwa negara melindungimu bahkan dari dirimu sendiri. Melalui peraturan helm dan sabuk pengaman macam begini seolah negara mencintaimu lebih dari dirimu sendiri. Negara, lagi-lagi melalui hukum positif, sepertinya lebih berhak atas keselamatanmu ketimbang dirimu sendiri. Yang menjadi aneh, kenapa seolah  negara hanya hadir di jalan (lalu lintas) saja? Di mana negara saat jumlah rakyat miskin malah makin menumpuk? Selain keselamatan dan hak hidup, bukankah negara menjamin rakyatnya untuk hidup dengan layak dan sejahtera? Jika terhadap keselamatan diri rakyatnnya dalam berkendara, yang adalah asumsi di atas asumsi,  negara mampu hadir dan tegak, mengapa dalam hal kesejahteraan, yang menurutku lebih elementer dan nyata, yang adalah jelas bukan asumsi, yang jelas tertulis dalam Pancasila, negara seolah tak hilang entah ke mana?

Din, sebenarnya di mana negara?

Panjalu,

12 – 13 Juli 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...