Jumat, 14 Juli 2017

Patung


Demi tuhan, saya memang tidak tahu. Sepanjang ingatan saya, patung itu sudah lama berdiri di sana tanpa saya tahu siapa penciptanya. Dan saya agak yakin juga, bukan saya seorang saja yang tidak tahu pembuat patung itu. Saya hanya tahu bahwa patung itu sudah jadi milik negara. Pembuatannya bukan di zaman saya jadi saya tidak tahu siapa yang buat.

Niat saya baik. Saya menilai perlu ada pembaharuan. Bukan berarti patung itu jelek. Patung itu sangat bagus dan indah, apalagi penciptanya ialah seorang seniman besar. Seorang pematung kelas dunia. Sebagai pemimpin daerah dan warga asli daerah ini, saya bisa mewakili perasaan segenap warga masyarakat yang tentunya merasa bangga akan kehadiran patung itu yang telah menemani hari-hari kami. Jadi ikon daerah kami. Namun seiring perkembangan zaman dan kemajuan yang telah dicapai daerah kami dibawah kepemimpinan saya, alangkah baiknya jika patung itu diperbaharui agar lebih mewakili visi dan semangat kekinian dari daerah kami.

Tidak. Sama sekali saya tidak punya niatan atau perasaan merendahkan atau mencemooh patung itu sebagai patung yang ketinggala zaman. Ah, itu anggapan orang-orang yang iri saja pada saya. Atau mungkin itu tulisan-tulisan di koran yang kurang bertanggungjawab. Sudah saya katakan, saya dan segenap masyarakat di sini sangat bersyukur dan bangga atas kehadiran patung itu. Daerahnya jadi tempat berdirinya patung karya seniman terkenal, siapa yang tak bangga.

Justru tindakan yang saya lakukan adalah wujud rasa cinta dan kebanggaan terhadap daerah yang saya pimpin ini. Ide pembaharuan, sekali lagi saya katakan, pembaharuan patung itu berangkat dari rasa bangga saya atas pencapaian-pencapaian pemerintah dan masyaraat daerah yang saya pimpin. Sebagai daerah yang baru beberapa tahun memiliki hak otonomi, wajar saya merasa bangga atas segala pencapaian kami. Sebagai wujud rasa cinta, bangga, dan syukur saya maka saya bermaksud memperbaharui patung tersebut. Semangat yang tersirat dibalik patung itu sudah bagus dan itu pula yang memberi kami semangat lebih untuk bekerja membangun daerah kami.  Nah, semangat itu alangkah lebih baik jika bisa dipancarkan lebih luas lagi, lebih dahsyat lagi melalui bentuk patung yang baru. Kan begitu.

Masalah metode pembaharuan patung, memang ada hal-hal yang saya sesali. Untuk kekhilafan saya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Idealnya memang saya memberitahu dan minta izin pada seniman pematung itu, tapi karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya, apa boleh buat. Saya akui saya khilaf dan oleh karenanya saya mohon maaf kepada seluruh pihak yang merasa kurang nyaman atas tindakan saya terhadap patung itu, terutama kepada seniman bersangkutan.

Saya kan manusia, bukan malaikat. Sudah pasti punya kekurangan, ada kealpaan. Justru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini kita harus saling mengisi. Kekurangan saya bisa diisi oleh masyarakat dan begitu sebaliknya. Pemerihtah dan masyarakat, apalagi dalam hal ini seniman, sudah seharusnya saling mengisi. Saling mendukung dan bekerja sama membangun daerah. Harus ada sinergitas yang baik antara seniman dan pemerintah. Kan sama-sama masyarakat, sama-sama rakyat. Secara esensi, tidak ada antara saya dan sang pematung itu. Sama-sama anak bangsa, sama-sama tumpah darah negeri  ini.

Apa jadinya hidup tanpa seni? Seni itu unsur mendasar yang wajib ada di tiap sendi kehidupan. Kalau saya tidak punya jiwa seni, dengan apa saya memperindah daerah yang saya pimpin. Seni itu tinggalan mulia para leluhur kita. Pelesrarian dan pengembangannya adalah wajib. Saya berupaya keras membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong pelestarian dan pengembangan kesenian di daerah saya. Seniman adalah mitra pemeritah sejak lama.

Itu baiknya. Dengan peristiwa ini kan saya jadi kenal beliau. Jadi silaturrahmi. Kemarin saya sudah temui beliau dan beberapa seniman lain. Saya sampaikan salam silaturrahmi dan permohonan maaf. Beliau seniman besar, sudah level nasional, bahkan internasional. Silaturrahmi kemarin tentu baru langkah awal. Saya, baik atas nama pribadi maupun  pimpinan daerah, akan terus menjalin silaturrahmi dengan seniman-seniman demi membuat sinergitas untuk membangun daerah.

Iya, seperti yang sudah saya utarakan. Silaturrahmi ini baru langkah awal. Ini kan langkah yang baik. Saya juga jadi menambah kawan, menambah saudara. Ini baik untuk saling menularkan semangat. Kebetulan kami punya banyak kesamaan. Yang paling utama, saya dan beliau sama-sama punya semangat membangun. Pancaran semangat beliau bisa terlihat dari karya-karyanya yang menomental dan bernilai seni tinggi. Semangat membangun ini pun yang saya kelola baik-baik untuk daerah saya. Besar harapan saya bila semangat ini bisa lebih membumi dan meluas. Semangat membangun ini seyogianya memang bukan hanya hadir di daerah saya saja, tapi juga di daerah lain. Kita kan masih dalam satu bingkai. Semangat pembangunan yang tertata dalam struktur pemerintahan dari pucuk pimpinan hingga yang paling bawah, dari Gubernur hingga RT, itu hal diharapkan bersama agar pembangunan bisa lebih tertata, terencana, dan mudah dievaluasi. Memimpin daerah besar seperti provinsi kita ini butuh semangat membangun yang tinggi. Pemimpinnya jelas harus tangguh dan pantang menyerah. Banyak sekali persoalan yang harus segera diselesaikan. Ini hanya mungkin teratasi dengan semangat membangun yang tinggi dan tak putus-putusnya.


Ya, bila memang rakyat mempercayai saya menjadi pemimpin yang lebih tinggi, dengan sekuat tenaga, dengan segenap hati dan jiwa, saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan. Saya akan jaga baik-baik amanat dan mandat rakyat.

Panjalu,
14 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...