Kamis, 13 Juli 2017

Tilang, Negara, Dan "Aku"


Din, beberapa waktu lalu aku ditilang polisi. Sebabnya sederhana dan aku kira tidak musti sampai dihukum membayar sekitar lima puluh ribu. Tidak, aku tidak minta damai. Aku mengakui kesalahanku, menerima surat tilang berwarna biru, dan bermaksud mengikuti sidang. Sebagai sitaan, STNK-ku yang sudah telat pajak itu ditahan polisi. Bukan. Aku, istri dan anakku memakai helm. Aku melanggar petunjuk “belok kiri ikuti lampu”. Aku pun heran. Sudah beribu kali aku lewati jalan itu sepanjang hidupku, dan entah berapa ratus kali aku melanggar rambu itu bahkan saat ada polisi. Semua baik-baik saja. Aku tak pernah kena tilang. Persis baru kali itu saja. Saat itu memang agak spesial. Kabarnya ada pembesar yang akan melewati jalan itu, tepatnya siapa, aku lupa. Seperti biasa, polisi lalu lintas berjaga ekstra mengamankan perjalanan sang pembesar. Dan tepat di sebrang perampatan jalan itu sedang ada galian jalan sampai jalan pun ditutup sementara. Nah, aku tak fokus pada lampu merah perempatan jalan itu. Mataku terfokus ke peristiwa galian jalan yang ternyata baru beberapa hari lalu dimulai. Wajarlah. Aku lebih tertarik pada hal yang tak biasa ketimbang pada lampu merah yang tiap saat berdiri tegak di samping jalan. Galian jalan itu kan tidak setiap saat ada. Bukankah manusia memang begitu? Selalu punya respon lebih pada hal-hal baru, hal-hal yang tak lazim.

Hahaha….memang sudah biasa. Siapa bilang tilangan polantas itu hal luar biasa? Tilangannya memang biasa dan bagi si polisi penilang, pasti sudah sangat biasa karena memang itu salah satu tugasnya. Yang luar biasa adalah aku yang mengalami tilangan karena buatku itu bukan pengalaman yang lazim. Saat itu aku memang berniat mengikuti sidang. Aku ingin mendapati pengalaman sidang di Pengadilan Negeri. Aku ingin “mengalami” pengalaman ber-hukum positif. Meski sudah banyak informasi tentang tata cara sidang dan kebiasaan-kebiasaannya, tapi mengalami secara empiris itu jelas punya keasyikan tersendiri. Segenap diri kita terlibat langsung. Tubuh, nalar, jiwa, ruh, dan segala tentang kita hadir dalam ruang dan waktu sebagai bagian dari sebuah peristiwa, sebuah realitas, seperti bermain atau menonton teater. Pencerapannya jelas akan beda.

Bukan berlebihan, Din. Beda rasanya antara berimajinasi, berempati, bersimpati karena mendengar cerita tilangan seorang kawan dengan tubuh kita sendiri yang mengalami. Kamu musti mencoba, Din. Eh, ini sama saja dengan berhubungan intim dan makan. Atau pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman empiris (dalam arti keterlibatan keseluruhan diri secara langsung) itu punya sensasi yang lain, unik, dan khas. Tiap orang pasti punya kesan dan sensasi yang berbeda.

Aku lanjutkan, Din. Singkat cerita aku sampai ke Pengadilan di waktu dan ditentukan. Hapuslah sudah harapanku berjumpa yang mulia tuan hakim. Ternyata tak ada peristiwa sidang yang aku bayangkan. Nyatanya aku cukup membayar denda tilang di bank yang telah ditunjuk, menyetorkan ke rekening yang telah ditentukan lantas mengambil STNK-ku di Kejaksaan Negeri. Katanya ini peraturan baru. Ya, itu semua tertera di Pengadilan. Ada papan pengumuman yang berisi daftar pelanggar tilang lengkap dengan jumlah nominal denda dan ke nomor mana kita harus membayar.

Oh, tidak. Kami, para pelanggar UU Lalu Lintas, bisa mengantre dengan tertib dan baik. Meski kami tidak mengular seperti antrean di bank, tapi siapa datang lebih awal, dia dilayani lebih dulu. Prinsipnya kami antre hanya wujudnya saja yang berantakan.  Nah, ini yang menarik, Din. Kami, para pelanggar, berkumpul di satu tempat dan waktu yang sama. Bisa kamu terka apa yang jadi topik utama pembicaraan kami. Tepat sekali. Kami, atau sebagian dari kami tepatnya, banyak membahas ihwal polisi, aturan lalu lintas, dan tilang menilang, khususnya kasus helm dan sabuk pengaman.

Pertanyaan mendasar, kenapa polisi mau repot-repot mengurusi keselamatan kita? Mengapa jika tak pakai sabuk pengaman mobil, si pengemudi bisa ditilang? Padahal si pengemudi, misalnya, adalah pemilik mobil. “Mobil milikku, sabuk pengaman milikku, kesalamatan ya keselamatanku, kenapa musti diurusi negara? Dan kalau tak pakai sabuk pengaman, kenapa harus bayar denda pada negara?” Begitu kira-kira ungkapan seorang lelaki paruh baya yang kena tilang lantaran tak pakai sabuk pengaman. Esensi yang sama bisa hadir pula dalam kasus pengendara motor tanpa helm. Singkatnya, ini kasus ihwal keselamatan si pengendara.

Itu dia, Din. Urusan aku dengan diriku sendiri, kok sampai diurusi negara? Bukankah negara harusnya hanya mengatur hubungan aku dengan aku lainnya, dengan the other?

Nah, dari pertanyaan itu lantas aku berpikir. Apa mungkin ini adalah tafsir dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea  ke empat yang berbunyi, “…Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Menilang pengendara mobil tak bersabuk pengaman dan pengendara motor tak berhelm adalah upaya negara melindungi “segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih tepatnya melindungi keselamatan rakyatnya.

Lho, itu namanya tindakan pencegahan, preventif, Din. Secara hiperbola bisa dikatakan bahwa negara, saking cintanya padaku sebagai rakyatnya, ia lantas mengkhawatirkan keselamatanku saat berkendara. Maka tiap hal yang berpotensi menyebabkan keselamatanku terganggu, itu harus dieliminir, wajib ditindak. Segala potensi dan probabilitas yang mengancam keselamatan harus diberangus. Tidak menggunakan sabuk pengaman dan helm saat berkendara adalah tindakan yang masuk kategori potensi dan probalitas pengancam keselamatan.

Iya,Din. Jika kamu tak pakai helm saat berkendara motor, itu berarti keselamatanmu terancam. Ya, potensi terluka atau bahkan mati jika kamu mengalami kecelakaan. Jadi negara mencegah potensi dan sebuah kemungkinan. Potensi dari potensi. Iya, lah. Coba perhatikan, Din. Saat berkendara kamu berpotensi mengalami kecelakaan lalu lintas, itu sudah jadi semacam hukum umum. Potensi kecelakaan itu lantas dikembangkan. Bilamana kamu tak berhelm atau sabuk pengaman, maka kamu berpotensi terluka atau mati. Begitulah, Din. Asumsi dari sebuah asumsi : jika kecelakaan.

Dan kenapa kita musti membayar denda atau dihukum jika melanggar ketentuan pencegahan itu? Itu pula yang kupertanyakan, Din. Sementara ini aku berpikir bahwa hukum bekerja dengan memilah antara tindakan dan pelaku tindakan. Yang dikenai aturan ialah tindakannya. Semisal, ketentuannya adalah setiap pengendara kendaraan roda dua wajib menggunakan helm. Nah, dengan logika yang kukatakan di atas, maka siapa pun yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm wajib dikenai sanksi karena telah menyebabkan si pengendara teracam keselamatannya. Bahkan jika “yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm” itu adalah si pengendara itu sendiri. Artinya subjek yang sama mempunyai dua predikat, sebagai pengendara di satu sisi dan sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara di sisi lain. Nah, yang dihukumi sebagai pelanggar oleh negara ialah subjek sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara, atau subjek sebagai penyebab tak ber-sabuk pengaman-nya pengendara mobil.

Negara, melalui hukum, melindungi rakyat bahkan dari dirinya sendiri. Din, sadarkah kamu bahwa negara melindungimu bahkan dari dirimu sendiri. Melalui peraturan helm dan sabuk pengaman macam begini seolah negara mencintaimu lebih dari dirimu sendiri. Negara, lagi-lagi melalui hukum positif, sepertinya lebih berhak atas keselamatanmu ketimbang dirimu sendiri. Yang menjadi aneh, kenapa seolah  negara hanya hadir di jalan (lalu lintas) saja? Di mana negara saat jumlah rakyat miskin malah makin menumpuk? Selain keselamatan dan hak hidup, bukankah negara menjamin rakyatnya untuk hidup dengan layak dan sejahtera? Jika terhadap keselamatan diri rakyatnnya dalam berkendara, yang adalah asumsi di atas asumsi,  negara mampu hadir dan tegak, mengapa dalam hal kesejahteraan, yang menurutku lebih elementer dan nyata, yang adalah jelas bukan asumsi, yang jelas tertulis dalam Pancasila, negara seolah tak hilang entah ke mana?

Din, sebenarnya di mana negara?

Panjalu,

12 – 13 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...