Din, beberapa waktu lalu aku
ditilang polisi. Sebabnya sederhana dan aku kira tidak musti sampai dihukum membayar sekitar lima puluh ribu. Tidak, aku tidak
minta damai. Aku mengakui kesalahanku, menerima surat tilang berwarna biru, dan
bermaksud mengikuti sidang. Sebagai sitaan, STNK-ku yang sudah telat pajak itu
ditahan polisi. Bukan. Aku, istri dan anakku memakai helm. Aku melanggar
petunjuk “belok kiri ikuti lampu”. Aku pun heran. Sudah beribu kali aku lewati
jalan itu sepanjang hidupku, dan entah berapa ratus kali aku melanggar rambu
itu bahkan saat ada polisi. Semua baik-baik saja. Aku tak pernah kena tilang.
Persis baru kali itu saja. Saat itu memang agak spesial. Kabarnya ada pembesar
yang akan melewati jalan itu, tepatnya siapa, aku lupa. Seperti biasa,
polisi lalu lintas berjaga ekstra mengamankan perjalanan sang pembesar. Dan tepat
di sebrang perampatan jalan itu sedang ada galian jalan sampai jalan pun
ditutup sementara. Nah, aku tak fokus pada lampu merah perempatan jalan itu.
Mataku terfokus ke peristiwa galian jalan yang ternyata baru beberapa hari lalu
dimulai. Wajarlah. Aku lebih tertarik pada hal yang tak biasa ketimbang pada lampu merah yang
tiap saat berdiri tegak di samping jalan. Galian jalan itu kan tidak setiap
saat ada. Bukankah manusia memang begitu? Selalu punya respon lebih pada
hal-hal baru, hal-hal yang tak lazim.
Hahaha….memang sudah biasa. Siapa
bilang tilangan polantas itu hal luar biasa? Tilangannya memang biasa dan bagi
si polisi penilang, pasti sudah sangat biasa karena memang itu salah satu
tugasnya. Yang luar biasa adalah aku yang mengalami tilangan karena buatku itu
bukan pengalaman yang lazim. Saat itu aku memang berniat mengikuti sidang. Aku
ingin mendapati pengalaman sidang di Pengadilan
Negeri. Aku
ingin “mengalami” pengalaman ber-hukum positif. Meski sudah banyak informasi
tentang tata cara sidang dan kebiasaan-kebiasaannya, tapi mengalami secara
empiris itu jelas punya keasyikan tersendiri. Segenap diri kita terlibat
langsung. Tubuh, nalar, jiwa, ruh, dan segala tentang kita hadir dalam ruang
dan waktu sebagai bagian dari sebuah peristiwa, sebuah realitas,
seperti bermain atau menonton teater. Pencerapannya jelas akan beda.
Bukan berlebihan, Din. Beda
rasanya antara berimajinasi, berempati, bersimpati karena mendengar cerita
tilangan seorang kawan dengan tubuh kita sendiri yang mengalami. Kamu musti
mencoba, Din. Eh, ini sama saja dengan berhubungan
intim dan makan. Atau pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman empiris (dalam
arti keterlibatan keseluruhan diri secara langsung) itu punya sensasi yang
lain, unik, dan khas. Tiap orang pasti punya kesan dan sensasi yang berbeda.
Aku lanjutkan, Din. Singkat cerita
aku sampai ke Pengadilan di waktu dan ditentukan. Hapuslah sudah harapanku berjumpa yang mulia tuan hakim. Ternyata tak ada peristiwa sidang
yang aku bayangkan. Nyatanya aku cukup membayar denda tilang di bank yang telah
ditunjuk, menyetorkan ke rekening yang telah ditentukan lantas mengambil
STNK-ku di Kejaksaan Negeri. Katanya ini peraturan baru. Ya,
itu semua tertera di Pengadilan. Ada papan pengumuman yang berisi
daftar pelanggar tilang lengkap dengan
jumlah nominal denda
dan ke nomor mana kita harus membayar.
Oh, tidak. Kami, para pelanggar UU
Lalu Lintas, bisa mengantre dengan tertib dan baik. Meski kami tidak mengular
seperti antrean di bank, tapi siapa datang lebih awal, dia dilayani lebih dulu. Prinsipnya kami antre hanya wujudnya saja yang berantakan. Nah, ini yang menarik, Din. Kami, para
pelanggar, berkumpul di satu tempat dan waktu yang sama. Bisa kamu terka apa
yang jadi topik utama pembicaraan kami. Tepat sekali. Kami, atau sebagian dari
kami tepatnya, banyak membahas ihwal polisi, aturan lalu lintas, dan tilang menilang, khususnya kasus helm dan sabuk
pengaman.
Pertanyaan mendasar, kenapa polisi
mau repot-repot mengurusi keselamatan kita? Mengapa jika tak pakai sabuk
pengaman mobil, si pengemudi bisa ditilang? Padahal si pengemudi, misalnya,
adalah pemilik mobil. “Mobil milikku, sabuk pengaman milikku,
kesalamatan ya keselamatanku, kenapa musti diurusi negara? Dan kalau tak pakai
sabuk pengaman, kenapa harus bayar denda pada negara?” Begitu kira-kira
ungkapan seorang lelaki paruh baya yang kena tilang lantaran tak pakai sabuk
pengaman. Esensi yang sama bisa hadir pula dalam kasus pengendara motor tanpa
helm. Singkatnya, ini kasus ihwal
keselamatan si pengendara.
Itu dia, Din. Urusan aku dengan
diriku sendiri, kok sampai diurusi negara? Bukankah negara harusnya hanya
mengatur hubungan aku dengan aku lainnya, dengan the other?
Nah, dari pertanyaan itu lantas aku
berpikir. Apa mungkin ini adalah tafsir dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea ke empat yang berbunyi,
“…Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia…”. Menilang pengendara mobil tak bersabuk
pengaman dan pengendara motor tak berhelm adalah upaya negara melindungi
“segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih tepatnya
melindungi keselamatan rakyatnya.
Lho, itu namanya tindakan pencegahan, preventif, Din. Secara hiperbola bisa dikatakan bahwa negara, saking
cintanya padaku sebagai rakyatnya, ia lantas mengkhawatirkan keselamatanku saat
berkendara. Maka tiap hal yang berpotensi menyebabkan keselamatanku terganggu,
itu harus dieliminir, wajib ditindak. Segala potensi dan probabilitas yang
mengancam keselamatan harus diberangus. Tidak menggunakan sabuk pengaman dan helm
saat berkendara adalah tindakan yang masuk kategori potensi dan probalitas
pengancam keselamatan.
Iya,Din. Jika kamu tak pakai helm
saat berkendara motor, itu berarti keselamatanmu terancam. Ya, potensi terluka
atau bahkan mati jika kamu mengalami kecelakaan. Jadi negara mencegah potensi
dan sebuah kemungkinan. Potensi dari potensi. Iya, lah. Coba perhatikan, Din.
Saat berkendara kamu berpotensi mengalami kecelakaan lalu lintas, itu sudah
jadi semacam hukum umum. Potensi kecelakaan itu lantas dikembangkan. Bilamana
kamu tak berhelm atau sabuk pengaman, maka kamu berpotensi terluka atau mati. Begitulah, Din. Asumsi dari sebuah asumsi : jika kecelakaan.
Dan kenapa kita musti membayar denda
atau dihukum jika melanggar ketentuan pencegahan itu? Itu pula yang
kupertanyakan, Din. Sementara ini aku berpikir bahwa hukum bekerja dengan
memilah antara tindakan dan pelaku tindakan. Yang dikenai aturan ialah
tindakannya. Semisal, ketentuannya adalah setiap pengendara kendaraan roda dua
wajib menggunakan helm. Nah, dengan logika yang kukatakan di atas, maka siapa
pun yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm wajib dikenai sanksi
karena telah menyebabkan si pengendara teracam keselamatannya. Bahkan jika
“yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm” itu adalah si pengendara itu
sendiri. Artinya subjek yang sama mempunyai dua predikat, sebagai pengendara di
satu sisi dan sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara di sisi lain.
Nah, yang dihukumi sebagai pelanggar oleh negara ialah subjek sebagai penyebab
tak berhelmnya pengendara, atau subjek sebagai penyebab tak ber-sabuk
pengaman-nya pengendara mobil.
Negara, melalui hukum, melindungi
rakyat bahkan dari dirinya sendiri. Din, sadarkah kamu bahwa negara
melindungimu bahkan dari dirimu sendiri. Melalui peraturan helm dan sabuk
pengaman macam begini seolah negara mencintaimu lebih dari dirimu sendiri.
Negara, lagi-lagi melalui hukum positif, sepertinya lebih berhak atas
keselamatanmu ketimbang dirimu sendiri. Yang menjadi aneh, kenapa seolah negara hanya hadir di jalan (lalu lintas)
saja? Di mana negara saat jumlah rakyat miskin malah makin menumpuk? Selain
keselamatan dan hak hidup, bukankah negara menjamin rakyatnya untuk hidup
dengan layak dan sejahtera? Jika terhadap keselamatan diri rakyatnnya dalam berkendara,
yang adalah asumsi di atas asumsi,
negara mampu hadir dan tegak, mengapa dalam hal kesejahteraan, yang
menurutku lebih elementer dan nyata, yang adalah jelas bukan asumsi, yang jelas
tertulis dalam Pancasila, negara seolah tak hilang entah ke mana?
Din, sebenarnya di mana negara?
Panjalu,
12 – 13 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar