Seks, apa yang terbayang di benakmu ketika
mendengar kata itu? Porno? Dosa? Hubungan alat kelamin? Ayolah, Dasta. Apa yang
salah dengan membicarakan seks? Ia bagian tak terpisahkan dari tubuh dan
kehidupan manusia. Kamu mustahil hidup jika ayah ibumu tak berhubungan seks,
kecuali kamu hasil kloning. Dosa? Sejak kapan membicarakan seks tergolong dosa?
Jangan hipokrit, Dasta. Bukankah perkawinan
juga adalah kepanjangan dari seks? Bila saja kita tak punya akal budi, upacara
perkawinan yang kompleks dan sakral itu takkan pernah ada. Di beberapa agama
dan kepercayaan, perkawinan adalah semacam ritual suci. Punya nilai ibadah.
Urusannya bukan hanya kamu dan pasanganmu, atau keluargamu dan keluarga
pasanganmu. Perkara perkawinan adalah urusan kalian dan keluarga kalian dengan
Tuhan. Saking pentingnya perkawinan, negara sampai membuat undang-undangnya
secara khusus. Dan ada lembaga negara yang khusus mengurus perkawinan.
Perkawinan merasuki pelbagai dimensi, tak hanya ruang privat belaka.
Bermodal berahi atau cinta kasih semata,
mungkin belumlah cukup untuk menyelenggarakan upacara perkawinan. Setidaknya
itu dari sudut agama dan adat istiadat. Ada sekian persyaratan yang musti kamu
penuhi buat sebuah upacara perkawinan. Itu sudah pasti, Dasta. Modal utamanya
memang cinta kasih. Jika tidak, buat apa kamu kawin?
Aku bukan menutup mata. Memang ada
perkawinan tanpa cinta kasih antar pasangannya. Perkawinan dengan latar
belakang bisnis, politik, sebagai sarana penyebaran agama, status sosial, dan
lainnya. Dan perkawinan macam ini sangatlah banyak, Dasta. Sejarah dan sastra
klasik banyak menceritakan itu. Dan kukira, di era post-modern ini, perkawinan
macam begitu masihlah ada. Jujur saja, aku agak meragukan sakralitas perkawinan
macam itu. Oh, benar, Dasta. Ada pula yang kawin demi menghindari dosa
prostitusi dan onani. Juga ada yang kawin lantaran dorongan dogma agama, tak
peduli kamu cinta atau tidak pada pengantinmu.
Tapi, Dasta, insyafahkah kamu bahwa
perkawinan juga adalah peristiwa komunal? Perkawinan bukan hanya ihwal ritus
ibadah yang langsung berurusan dengan The Holy Supreme. Perkawinan juga adalah
peristiwa perayaan kegembiraan. Selalu ada perayaan, ada pesta usai ritual yang
sakral itu. Ada profan usai sakral. Ada riuh usai sepi. Begitulah barangkali
kebudayaan kita, dan kebudayaan lampau lainnya : sakral dan profan tidak
terdikotomi tegas seperti pola pikir modern. Sakral dan profan berkelindan.
Saling bersulam. Bahkan tak ada sama sekali istilah sakral dan profan sebab semua
laku jadi emanasi hubungan transendental.
Pada kebudayaan tradisional, perayaan
perkawian dilakukan sepenuhya oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat secara
gotong royong. Sejak masa persiapan hingga pasca acara, mereka semua yang
menangani. Semua dilakukan atas dasar tugas sosial sebagai masyarakat. Mereka
meyakini bahwa perkawian, pada dimensi lain, adalah sebuah peristiwa komunal,
ibadah sosial yang menjadi tanggung jawab bersama. Bila ada pasangan yang
upacara perkawinannya terasa kurang sempurna, banyak dari mereka yang meyakini
bahwa bencana dan amuk Tuhan atau Dewa bukan saja pada pasangan pengantin
semata, tetapi melanda seluruh kampung. Begitupun kebahagiaan satu keluarga
yang kawin sejatinya adalah kebahagiaan bersama seluruh anggota komunitas
masyarakat.
Tak masalah, Dasta. Membicarakan perkawinan
bukan menu khusus buat orang yang sudah kawin saja, kamu pun berhak. Semua
berhak sebab, seperti yang kukatakan, perkawinan menginjakkan satu kakinya di
dimensi sosial (publik), satu kaki di dimensi privat. Ihwal perkawinan di ruang
publik, perayaan perkawinan adalah pernyataan jelas tentang hal itu. Tentu,
Dasta. Semua terlibat. Ada petugas masak–memasak. Dan mereka punya struktur
tersendiri, siapa kepala, siapa bagian menanak nasi, siapa bagian urus ikan,
siapa bagian urus sayur-mayur, siapa bagian urus kue-kue, siapa urus
buah-buahan, siapa bagian urus penataan, siapa bagian cuci-mencuci, dan lain
sebagainya. Itu baru bagian dapur. Belum lagi urusan dekorasi, panggung
hiburan, tenda, dan kursi. Memang, sejak beberapa tahun lampau, perkara
dekorasi sudah ditangani lebih profesional oleh pihak ketiga. Sebut saja Juru
Rias. Biasanya mereka membawa paketan bersama baju dan rias pengantin.
Zaman berubah, Dasta. Dewasa ini, khususnya
di masyarakat urban kelas menengah ke atas, masyarakat sudah tak lagi memiliki
perayaan perkawinan. Perayaan ini kini mengalami dekomunalisasi, suatu proses
pen-tidak-masyarakat-an. Proses bergesernya sesuatu yang asalnya milik komunal,
milik masyarakat ke arah lain, non-komunal. Perayaan perkawinan sudah ditangani
secara profesional oleh sekelompok orang yang tidak memliki hubungan apapun
dengan mempelai kecuali hubungan bisnis. Mereka bukan saudara, bukan kerabat,
bukan pula anggota komunitas masyarakat tempat si mempelai tinggal. Mereka
ialah sumber daya yang mengkhususkan dan melatih diri mengurusi perayaan
perkawinan orang lain.
Mereka menyiapkan segalanya, Dasta. Konsep,
baju pesta, masakan, tempat perayaan, dekorasi, hiburan, dokumentasi berupa foto
dan video, dan segala ihwal perayaan perkawinan. Jika kamu si pengantin, kamu
akan diarahkan ibarat raja dan ratu yang punya ajudan dan divisi protokol. Yang
menjadi urusan kamu hanyalah upacara perkawinan yang sakral itu di mana kamulah
aktor utamanya.
Menurutku, di era post-modern ini, dimensi
sakral dan profan dari suatu perkawinan masihlah ada hanya wujudnya saja yang
berubah. Tapi barangkali memang terjadi pergeseran interpretasi. Sakralitas
perkawinan yang tersimpan dalam upacara perkawinan pun boleh jadi mengalami
perubahan makna. Barometer sakralitas yang tadinya merupakan prodak agama dan
adat, kini menjadi lebih personal. Yang mengukur sakral tidaknya adalah
pengantin semata. Beberapa elemen yang menurut agama dan adat adalah penentu
sakralitas, kadang disubstitusi oleh elemen sakral versi pengantin sendiri atau
ditafsir ulang menjadi bentuk baru yang lebih terasa privat.
Ruang profan yang terwujud lewat perayaan
pun berubah. Yang asalnya merupakan prodak komunal, prodak masyarakat, kini
telah jadi prodak Wedding Organizer atau Wedding Planner. Hiburan-hiburan pesta
perkawinan jadi sangat terbatas, demikian pun waktu resepsi. Semua serba
terjadwal, ketat, dan dalam beberapa kasus, kaku. Perayaan perkawinan jadi
bisnis “seni kemas acara” yang menggiurkan. Perkawinan jadi serupa seni
pertunjukan yang dikelola secara profesioal, tentu harus sangat entertain. Percayalah,
Dasta, dalam beberapa kasus, hal ihwal yang katanya acara adat itu hanya jadi tempelan
belaka, dan tujuannya jelas hiburan.
Demikianlah, Dasta. Masyarakat kini
benar-benar hanya tamu belaka dalam suatu resepsi perkawinan, tak lebih. Para
tetangga cukup datang, bersalaman, berpotret, memberi amplop, makan, dan
pulang. Alasannya jelas : efektifitas dan efisiensi. Agaknya, itu alasan yang bergaung
di semua bidang, di era milenial ini, Dasta.
Panjalu, 28 Juli
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar