Jumat, 28 Juli 2017

Dekomunalisasi Perkawinan


Seks, apa yang terbayang di benakmu ketika mendengar kata itu? Porno? Dosa? Hubungan alat kelamin? Ayolah, Dasta. Apa yang salah dengan membicarakan seks? Ia bagian tak terpisahkan dari tubuh dan kehidupan manusia. Kamu mustahil hidup jika ayah ibumu tak berhubungan seks, kecuali kamu hasil kloning. Dosa? Sejak kapan membicarakan seks tergolong dosa?

Jangan hipokrit, Dasta. Bukankah perkawinan juga adalah kepanjangan dari seks? Bila saja kita tak punya akal budi, upacara perkawinan yang kompleks dan sakral itu takkan pernah ada. Di beberapa agama dan kepercayaan, perkawinan adalah semacam ritual suci. Punya nilai ibadah. Urusannya bukan hanya kamu dan pasanganmu, atau keluargamu dan keluarga pasanganmu. Perkara perkawinan adalah urusan kalian dan keluarga kalian dengan Tuhan. Saking pentingnya perkawinan, negara sampai membuat undang-undangnya secara khusus. Dan ada lembaga negara yang khusus mengurus perkawinan. Perkawinan merasuki pelbagai dimensi, tak hanya ruang privat belaka.

Bermodal berahi atau cinta kasih semata, mungkin belumlah cukup untuk menyelenggarakan upacara perkawinan. Setidaknya itu dari sudut agama dan adat istiadat. Ada sekian persyaratan yang musti kamu penuhi buat sebuah upacara perkawinan. Itu sudah pasti, Dasta. Modal utamanya memang cinta kasih. Jika tidak, buat apa kamu kawin?

Aku bukan menutup mata. Memang ada perkawinan tanpa cinta kasih antar pasangannya. Perkawinan dengan latar belakang bisnis, politik, sebagai sarana penyebaran agama, status sosial, dan lainnya. Dan perkawinan macam ini sangatlah banyak, Dasta. Sejarah dan sastra klasik banyak menceritakan itu. Dan kukira, di era post-modern ini, perkawinan macam begitu masihlah ada. Jujur saja, aku agak meragukan sakralitas perkawinan macam itu. Oh, benar, Dasta. Ada pula yang kawin demi menghindari dosa prostitusi dan onani. Juga ada yang kawin lantaran dorongan dogma agama, tak peduli kamu cinta atau tidak pada pengantinmu.

Tapi, Dasta, insyafahkah kamu bahwa perkawinan juga adalah peristiwa komunal? Perkawinan bukan hanya ihwal ritus ibadah yang langsung berurusan dengan The Holy Supreme. Perkawinan juga adalah peristiwa perayaan kegembiraan. Selalu ada perayaan, ada pesta usai ritual yang sakral itu. Ada profan usai sakral. Ada riuh usai sepi. Begitulah barangkali kebudayaan kita, dan kebudayaan lampau lainnya : sakral dan profan tidak terdikotomi tegas seperti pola pikir modern. Sakral dan profan berkelindan. Saling bersulam. Bahkan tak ada sama sekali istilah sakral dan profan sebab semua laku jadi emanasi hubungan transendental.

Pada kebudayaan tradisional, perayaan perkawian dilakukan sepenuhya oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat secara gotong royong. Sejak masa persiapan hingga pasca acara, mereka semua yang menangani. Semua dilakukan atas dasar tugas sosial sebagai masyarakat. Mereka meyakini bahwa perkawian, pada dimensi lain, adalah sebuah peristiwa komunal, ibadah sosial yang menjadi tanggung jawab bersama. Bila ada pasangan yang upacara perkawinannya terasa kurang sempurna, banyak dari mereka yang meyakini bahwa bencana dan amuk Tuhan atau Dewa bukan saja pada pasangan pengantin semata, tetapi melanda seluruh kampung. Begitupun kebahagiaan satu keluarga yang kawin sejatinya adalah kebahagiaan bersama seluruh anggota komunitas masyarakat.

Tak masalah, Dasta. Membicarakan perkawinan bukan menu khusus buat orang yang sudah kawin saja, kamu pun berhak. Semua berhak sebab, seperti yang kukatakan, perkawinan menginjakkan satu kakinya di dimensi sosial (publik), satu kaki di dimensi privat. Ihwal perkawinan di ruang publik, perayaan perkawinan adalah pernyataan jelas tentang hal itu. Tentu, Dasta. Semua terlibat. Ada petugas masak–memasak. Dan mereka punya struktur tersendiri, siapa kepala, siapa bagian menanak nasi, siapa bagian urus ikan, siapa bagian urus sayur-mayur, siapa bagian urus kue-kue, siapa urus buah-buahan, siapa bagian urus penataan, siapa bagian cuci-mencuci, dan lain sebagainya. Itu baru bagian dapur. Belum lagi urusan dekorasi, panggung hiburan, tenda, dan kursi. Memang, sejak beberapa tahun lampau, perkara dekorasi sudah ditangani lebih profesional oleh pihak ketiga. Sebut saja Juru Rias. Biasanya mereka membawa paketan bersama baju dan rias pengantin.      
 
Zaman berubah, Dasta. Dewasa ini, khususnya di masyarakat urban kelas menengah ke atas, masyarakat sudah tak lagi memiliki perayaan perkawinan. Perayaan ini kini mengalami dekomunalisasi, suatu proses pen-tidak-masyarakat-an. Proses bergesernya sesuatu yang asalnya milik komunal, milik masyarakat ke arah lain, non-komunal. Perayaan perkawinan sudah ditangani secara profesional oleh sekelompok orang yang tidak memliki hubungan apapun dengan mempelai kecuali hubungan bisnis. Mereka bukan saudara, bukan kerabat, bukan pula anggota komunitas masyarakat tempat si mempelai tinggal. Mereka ialah sumber daya yang mengkhususkan dan melatih diri mengurusi perayaan perkawinan orang lain.

Mereka menyiapkan segalanya, Dasta. Konsep, baju pesta, masakan, tempat perayaan, dekorasi, hiburan, dokumentasi berupa foto dan video, dan segala ihwal perayaan perkawinan. Jika kamu si pengantin, kamu akan diarahkan ibarat raja dan ratu yang punya ajudan dan divisi protokol. Yang menjadi urusan kamu hanyalah upacara perkawinan yang sakral itu di mana kamulah aktor utamanya.

Menurutku, di era post-modern ini, dimensi sakral dan profan dari suatu perkawinan masihlah ada hanya wujudnya saja yang berubah. Tapi barangkali memang terjadi pergeseran interpretasi. Sakralitas perkawinan yang tersimpan dalam upacara perkawinan pun boleh jadi mengalami perubahan makna. Barometer sakralitas yang tadinya merupakan prodak agama dan adat, kini menjadi lebih personal. Yang mengukur sakral tidaknya adalah pengantin semata. Beberapa elemen yang menurut agama dan adat adalah penentu sakralitas, kadang disubstitusi oleh elemen sakral versi pengantin sendiri atau ditafsir ulang menjadi bentuk baru yang lebih terasa privat.

Ruang profan yang terwujud lewat perayaan pun berubah. Yang asalnya merupakan prodak komunal, prodak masyarakat, kini telah jadi prodak Wedding Organizer atau Wedding Planner. Hiburan-hiburan pesta perkawinan jadi sangat terbatas, demikian pun waktu resepsi. Semua serba terjadwal, ketat, dan dalam beberapa kasus, kaku. Perayaan perkawinan jadi bisnis “seni kemas acara” yang menggiurkan. Perkawinan jadi serupa seni pertunjukan yang dikelola secara profesioal, tentu harus sangat entertain. Percayalah, Dasta, dalam beberapa kasus, hal ihwal yang katanya acara adat itu hanya jadi tempelan belaka, dan tujuannya jelas hiburan.


Demikianlah, Dasta. Masyarakat kini benar-benar hanya tamu belaka dalam suatu resepsi perkawinan, tak lebih. Para tetangga cukup datang, bersalaman, berpotret, memberi amplop, makan, dan pulang. Alasannya jelas : efektifitas dan efisiensi. Agaknya, itu alasan yang bergaung di semua bidang, di era milenial ini, Dasta.

Panjalu, 28 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...