Selasa, 11 Juli 2017

Lurus Teguh : Sebuah Perjalanan


Bagaimana jika aksara hanya sampai ke mata? Segala yang kamu baca, bagaimana jika tak sampai ke hati, ke jantung, ke laku? Tentu, zaman ini yang demikian memang hal biasa saja, Findi. Manusia macam begitu banyak berkeliaran, termasuk aku dan kamu, mungkin. Segala pengetahuan yang kita dapat ternyata kadang hanya berdiam diri, nangreu, di mata, atau di kerongkongan saja.

Kamu tahu, Findi, indra adalah pintu gerbang masuknya pengetahuan. Kamu pasti sudah mafhum itu. Mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Lewat mereka, pengetahuan masuk menuju kepala. Dari kelimanya, kamu juga mungkin sudah bisa menebak mana yang paling vital sebagai gerbang pengetahuan. Ya, mata. Karenanya, mata adalah bagian tubuh yang khas. Tatkala sebagian besar tubuh kita tertutupi kulit dan bulu-bulu, mata adalah satu-satunya bagian tubuh yang berbeda. Ia punya warna dan rupa yang hanya ia yang punya.

Tentu, indra lain pun tak kalah penting dan berperan, tapi mata memang menjadi sangat dominan sebagai jendela kepala. Namun ketika pengetahuan yang ada hanya sampai mata, ia hanya akan jadi informasi saja. Tamat dan tak jadi apa-apa. Kamu sebatas tahu ada-nya tanpa pemahaman. Pra-refleksi. Pengetahuanmu masih berupa bahan mentah. Jika kamu puas hanya dengan melihat (atau mendengar, mencercap, mencium, meraba) tanpa meneruskannya ke alam pikir, kamu tak beda dengan seekor cacing atau sejenis insekta. Sungguh kamu tak lebih pintar dari seekor anjing.

Pengetahuan itu seperti sungai yang mengalir, Findi. Setidaknya menurutku. Ia mengalir dan jika alirannya tak lancar, terhalang, terhenti maka kekacauan pasti terjadi. Seusainya di mata, ia, pengetahuan itu, lantas melanjutkan perjalanan ke kepala. Di sinilah ia mulai diotak-atik. Didedah, dibolak-balik, tirai-tirainya disibak. Akal adalah senjata utamanya. Apakah penalaranmu lurus atau tidak, pencernaanmu tuntas atau menggantung, itu kembali pada dirimu sendiri. Dewasa ini, saat data dan informasi benar-benar membanjir, cukup banyak manusia yang gagap memamah pengetahuan. Sumbu pendek. Simpulan-simpulannya prematur dan itu mengerikan jika terus mengalir ke tenggorokan. Ada jenis manusia yang memang malas menggerakkan akalnya. Ada pula yang merasa cukup dengan membebek pada figur tertentu tanpa kritik.

Tidak, Findi, kepala barulah permulaan, dan tenggorokan adalah titik selanjutnya. Di tenggorokan, pengetahuan menemukan celah untuk dimuntahkan. Manusia, yang pengetahuannya sampai ke tenggorokan, berpotensi mengutarakan hasil pengolahannya di kepala. Ini butuh keberanian dan tidak semua manusia lancar pada  tahap ini. Banyak juga manusia yang tuntas di kepala namun karena tak ada api keberanian, tenggorokannya mendadak kaku jika harus meluncurkan kata-kata atau tangannya tak mampu menulis sehuruf pun. Ia akan menjadi lemari besi penuh pengetahuan yang terkunci rapat dan kesepian. Dan sebaliknya, jenis manusia yang keberaniannya terlalu berkobar akan dengan mudah mengumbar, mengobral omongan dan tulisan, yang biasanya dangkal. Ini yang marak akhir-akhir ini. Manusia-manusia itu, dengan sedikit menalar, dengan kesimpulan yang prematur, sangat berani berbicara macam-macam seolah ia seorang ahli bahkan jenis manusia seperti ini cenderung jadi hakim atau tuhan sekalian. Manusia macam ini ada di semua bidang, agaknya. Findi, kamu mungkin pernah berjumpa dengan manusia macam ini. Mualaf ilmu. Ia merasa dirinya telah menemukan kebenaran dan tak sabar membagikannya pada orang lain. Boleh jadi semangat berbagi ini dilatarbelakangi hasrat eksistensi diri, semangat keagamaan, atau malah cinta kasih pada sesama. Manusia tipe ini akan sangat cerewet, berisik, dan tergesa-gesa. Banyak bicara sedikit mendengar. Sering berak jarang makan, akhirnya kurus kering. Ia biasanya cenderung melupakan dirinya sendiri karena sibuk pada manusia lain. Pengetahuan hasil olahannya hanya berlaku bagi orang lain dan tidak bagi dirinya. Menengok diri sendiri adalah kesulitan yang amat sangat baginya. Mungkin aku juga sering mengalami yang demikian. Jarkoni, ngajar ora dilakoni. Aku tak melakukan apa yang aku katakan. Bagaimana denganmu, Findi? Ah, jangan tersinggung. Aku hanya bertanya, bukan menuduh.  

Jika pengetahuan tak melanjutkan perjalannya dan terhenti di tenggorokan, ini bisa sangat berbahaya. Ia, pengetahuan itu, justru bisa membunuh si manusia. Pengetahuan dengan pamahaman yang dangkal yang lantas dimuntahkan dengan menggebu, alih-alih berbagi, malah bisa jadi bumerang yang mematikan.

Oh, tentu, Findi. Dari mata hingga tenggorokan adalah proses. Ada yang berhenti di titik tertentu lantaran satu berbagai hal. Ada pula yang terus berlanjut. Dan lanjutan dari tenggorokan adalah jantung. Ya, pusat peredaran darah pada tubuh. Bilamana pengetahuanmu sudah mencapai titik ini, barulah ia mulai menubuh. Pengetahuanmu, seperti darah yang beredar ke seluruh tubuh, ia pun mengalir ke seluruh tubuh. Kamu sudah mulai bisa menemukan “kegunaan” pengetahuan itu bagi dirimu sendiri. Tentu saja, Findi. Pengetahuan apa pun. Findi, apa pun yang kamu pelajari dengan sungguh-sungguh, ia akan membawamu pada kebijaksanaan. Kadang kamu bisa menemukan hal lain yang sekilas tak ada hubungannya dengan pengetahuanmu. Pada titik ini pula pemahamanmu sudah makin mendalam akan suatu pengetahuan. Pemahaman pengetahuan yang makin dalam justru akan membuatmu makin haus menyerap pengetahuan lain, sebab sungguh, tak ada pengetahuan yang benar-benar sempurna.  Karena penguasaanmu yang hampir pairpurna itu, lambat laun pengatahuan itu akan menampakkan wajah-wajah lain padamu. Ia akan makin menyibakkan dirinya, menyuguhkanmu hal-hal lain. Di jantung, kamu sudah menguasai pengetahuanmu baik tataran operasional maupun filosofis. Sayangnya, “kebijaksanaan” ini baru mampu kamu terapkan bagi dirimu secara egois. Maksudku, pengetahuanmu belum cukup kuat memancar, belum cukup kuat untuk di rasakan orang lain. Pengetahuanmu baru “berguna” mempengaruhi diri lahiriahmu untuk dirimu sendiri.

Baiklah, Findi, perjalanan kita masih harus berlanjut. Perut adalah maqom selanjutnya tempat pengetahuan singgah. Setelah kamu kawin dengan pengetahuanmu di jantung, barulah ia berlanjut ke perut. Itu bila kamu menghendaki untuk terus bergerak. Perut selalu bersangkutan dengan makan dan minum, dan makan minum adalah kebutuhan dasar manusia demi berdenyutnya jantung. Untuk bertahan hidup manusia mustilah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam memenuhi kebutuhan makan minum, manusia zaman kini agaknya tak bisa mengelak dari interkasinya dengan manusia lain. Disebabkan hasrat makan minum inilah, ekonomi bergerak, kebudayaan tumbuh, dan peradaban dibangun. Ketika pengetahuan telah mencapai perut, di sinilah ia mulai mempengaruhi sikap manusia pada manusia lain, setidaknya di ruang publik. Baiklah, Findi, katakan padaku bagaimana caramu memenuhi hasrat perutmu tanpa kamu berhubungan dengan manusia lain? Perkara perut ini yang sering jadi muasal segala persoalan. Tak jarang manusia harus membunuh demi mengisi perutnya. Melalui Materialisme Historis, Karl Marx dengan sistematis telah memberitahu kita bagaimana urusan perut bisa mengubah dunia. Bila hikmah pengetahuanmu telah menyentuh perut maka hasrat perutmu dapat lebih terkontrol dan bersikap lebih bijak, setidaknya di ruang-ruang sosial. Ingat, Findi, jika aku mengatakan hasrat perut, itu bukan hanya berarti makan minum dalam arti praktik. Perut adalah simbol hasrat dan keinginan lahiriah. Dan hubungannya pasti dengan manusia lain.

Perjalanan akan berlanjut ke alat kelamin. Ya, tentu. Apa pun alat kelaminmu, penis atau vagina, pengetahuan akan mengalir ke sana. Perut dan alat kelamin adalah ihwal tarik menarik antara ruang privat dan publik, antara aku dan liyan. Antara pemenuhan kebutuhan diri di satu sisi dan cara pemenuhannya di sisi lain. Cara memenuhi kebutuhan elementer ini sedikit banyak pastilah bergesekan dengan manusia lain, Findi. Persinggungan inilah yang rentan jadi ladang konflik. Seks itu lebih intim dari makan minum, Findi. Meski mungkin tak sampai menyebabkan kematian seperti jika kamu tak makan minum, namun hasrat seks adalah yang paling primordial, primitif. Seperti makan minum, kebutuhan seks adalah elementer. Dorongannya begitu kuat dan kadang tidak kita sadari. Ia sering jadi latar belakang berbagai konflik di satu sisi dan bisnis penggerak ekonomi di sisi lain. Perbedaannya, seks lebih privat ketimbang makan minum, kepuasannya hanya kamu sendiri yang tahu. Dan kamu bisa melakukannya sendiri. Ya, masturbasi. Ini yang membedakannya dengan perut yang selalu membutuhkan hal lain untuk memuaskan hasratnya. Maka ketika pengetahuanmu sudah sampai ke alat kelamin, hikmah pengetahuanmu sudah merembes hingga ke ruang diri yang sangat dalam. Ia sudah benar-benar mendarah daging. Jika di perut, hikmah pengetahuanmu baru “berguna” di ruang-ruang sosial, mempengaruhi interaksi manusia satu dengan manusia lainnya maka di alat kelamin,   hikmah itu sudah mampu mempengaruhi interaksimu dengan dirimu sendiri. hikmah itu akan menuntunmu tidak hanya di ruang sosial, tidak hanya ihwal interaksi sosial tapi juga perkara ruang-ruang privatmu. Kamu sudah sanggup lurus dan teguh. Kepala (pemikiran), tenggorokan (output lisan dan tulisan), jantung (hikmah pengetahuan), dan  perut (interaksi sosial, sikap lahir) sudah sejalan, konsisten dengan alat kelamin (sikap batin) dan niscaya kamu terhindar dari sikap hipokrit.

Pada titik ini, pancaran kebijaksanaan pengetahuanmu sudah nyaris sempurna : memancar ke luar (manusia lain) sebagai kebijaksanaa lewat laku dan sikap diri yang di satu sisi, merembes ke dalam sebagai kebijaksanaan lewat sikap batin yang ajeg. Perkawinan antara pancaran dan rembesan ini menghasilkan sikap lahir batin yang lurus dan konsisten. Tak ada jarkoni atau mengumbar pengetahuan yang dangkal. Ketika kepala dan alat kelaminmu lurus, itulah titik menuju puncak tertinggi sekaligus yang paling rendah.

Oh, ini belum berakhir Findi, dan tak pernah berakhir. Seperti yang kubilang, pengetahuan seperti sungai, mengalir dan terhukumi siklus. Ia akan terus daur, terus menerus. Dan titik balik perjalanan pengatahuanmu tepat berada di dasar, yakni tulang ekormu. Tulang ekormu akan jadi titik tolak pengetahuanmu buat meluncur ke atas, menembus cakrawala menjumpai Sang Kekasih. Bilamana pengetahuanmu sudah sampai hingga ke tulang ekor, ia akan membawamu menuju Sang Maha Mengetahui, Sumber Dari Segala Pengetahuan. Transendental. Dan setelah satu pengetahuan tembus hingga ke tulang ekor, tubuh lahir dan batinmu malah akan haus pengetahuan. Ia, tubuh lahir batinmu, akan terus mencari. Terus menerus.

Cakra? Ya, aku memang terinspirasi darinya.

Panjalu,
8 - 11 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...